Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan
selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.Teru
tama dalam hal muamalah, seperti jual beli, baik dalam urusan dirisendiri maupun
untuk kemaslahatan umum. Namun sering kali dalamkehidupan sehari-hari
banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini dan
merugikan masyarakat. Untuk menjawab segala problem tersebut, agama
memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik- baiknya kepada kita yang
telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Quran dan hadits, dan
tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar hubungan antar
manusia berjalan dengan lancar dan teratur.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu
yangsetiap hari pasti dilakukan namun kadang kala kita tidak mengetahui apakah
cara nya sudah memenuhi syara atau belum. "ita perlu mengetahui bagaimana
cara berjual beli menurut syariat. 0leh karena itu, dalam makalah ini, kami bahas
mengenai jual beli, karena sangat kental dengan kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari Jual beli ?
2. Apa saja dasar hukum Jual beli ?
3. Apa saja rukun dan pelaksanaan Jual beli ?
4. Apa saja syarat yang terdapat dalam Jual beli ?
5. Apa hukum bai, serta pembahasan barang dan harga ?
6. Apa hukum dan siafat Jual beli ?
7. Apa saja jual beli yang dilarang dalam islam ?
8. Apa saja macam-macam Jual beli ?

1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa definisi dari Jual beli
2. Mengetahui apa saja dasar hukum Jual beli
3. Mengetahui apa saja rukun dan pelaksanaan Jual beli
4. Mengetahui apa saja syarat yang terdapat dalam Jual beli
5. Mengetahui bagaimana hukum bai, serta pembahasan barang dan harga
6. Mengetahui hukum dan sifat Jual beli
7. Mengetahui apa saja jual beli yang dilarang dalam islam
8. Mengetahui apa saja macam-macam dalam Jual beli

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jual beli


Menurut Etimologi, jual b eli diartikan, pertukaran sesuatu dengan sesuatu
yang lain. kata lain dari al-bai adalah asy-syra, al mubadah, dan at-tijarah, dalam
Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 dinyatakan :

َ ُ‫َارةً لَ ْن تَب‬
‫ور‬ َ ‫يَ ْر ُجونَ تِج‬
Artinya :
“mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi” (QS. Fathir :29).
Sedangkan menurut Terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya, antara lain :
Ulama Hanafiyah mendefinisikan jual beli dalam Islam sebagai pertukaran
harta (benda) dengan harta berdasarkan cara yang khusus (yang diperbolehkan).
Ulama Malikiyah mendefinisikan jual beli dalam Islam pada 2 definisi.
Yaitu definisi umum dan definisi khusus. Pada definisi umum, jual beli dalam
Islam adalah suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan
kenikmatan. Kemudian pada definisi khusus, ikatan tukar menukar sesuatu yang
bukan kemanfaatan dan buka pula kelezatan yang mempunyai daya tarik,
penukarannya bukan emas dan bukan perak bendanya dapat direalisir dan ada di
tempat. Juga bukan merupakan barang hutangan dan jelas sifat-sifat akan barang
tersebut.

2.2 Landasan Syara


1. Al - Qur’an
َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
ِ ‫َّللاُ ا ْل َب ْي َع َوح ََّر َم‬
‫الر َبا‬
Artinya :
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS.Al-Baqarah :275)

3
2. Hadist
‫إِنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ع َْن ت َ َراض‬
Artinya :
“Jual beli itu hanya bisa jika didasari dengan keridhaan masing-masing [HR. Ibnu
Hibbân, Ibnu Mâjah dan yang lain]
3. Ijma
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang
lain, namun demukian, bantuan atau milik orang lain yang dibutuhkannya itu,
harus digant dengan barang lainnya yang sesuai.

2.3 Rukun Dan Pelaksanaan Jual Beli


Dalam menetapkan rukun jual beli, di antara para ulama terjadi perbedaan
pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang
menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik denan ucpan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulam ada empat, yaitu :
1. Bai (penjual)
2. Mustari (pembeli)
3. Shighat (ijab dna qabul )
4. Ma’qud alaih (bend atau barang

2.4 Syarat Jual Beli


Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu
1. syarat terjadiya akad (in’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara, jika persyaratan ini tidak
dipenuhi, jual beli batal. Tentang syarat ini, ulama hanafiyah menetapkan empat
syarat, yaitu berikut ini.

4
A. Syarat Aqid (Orang yang akad)
Akid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) Berakal Dan Mumayyiz
Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharuf yang
boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum yaitu :
 Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah.
 Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni seperti tidak sah talak
oleh anak kecil.
b) Akid harus berbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan seorang diri.
Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang menjual dan membeli.
B. Syarat dalam akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul.
D Tempat akad
Harus bersatu atau berhubungan antara ijb dan qabul.
E Ma’qud Alaih (Objek akad)
a. Ma’qud alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang tidak ada
atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang belum tampak.
b. Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin
dimanfaatkan dan disimpan.
c. Benda tersebut milik sendiri.
d. Dapat di serahkan.
2. syarat sahnya akad
Syarat ini terbagi atas dua bagian, yaitu umum dan khusus :
a. Syarat umum
Adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan sebuah bentuk jual beli yang telah
ditetapkan syara.
b. Syarat khusus
Adalah syarat-syarat yang ada pada barang-baramg teretntu yaitu
 Harga awal harus dikerahui, yaitu pada jual beli amanat
 Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah. Yitu pada jual beli yang
bendanya ada ditempat.

5
3. syarat terlaksanya akad (nafadz)
a. Benda dimiliki akid atau berkuasa untuk akad
b. Pada benda tidak terdapat milik orang lain.
Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang sewaaan atau gadai, sebab
barang tersebut bukan milinnya sendiri, kecuali kalau dizinkan oleh pemilik
sebenarnya.
4. Syarat lujum. (kemestian)
Syarat ini hanya ada satu, yatu akad jual beli harus terlepas dari khiyar
(pilihan) yang berkaitan dengan kedua belah pihak yang akad dan akan
menyebabkan batalnya akad.

2.5 Hukum (Ketetapan) Ba’I beserta Pembahasan Barang dan Harga


1. Hukum (Ketetapan) Akad
Hukum akad adalah tujuan dari aqad. Dalam jual belim ketetapan
akad adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan
harga atau uang sebagai milik penjual.
Secara mutlak hukum aqad dibagi 3 bagian :
a. Dimaksudkan sebagai taklif , yang berkaitan dengan wajib,
haram,sunnag, makruh dan mubah.
b. Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yaitu sah,
luzum, dan tidak luzum, seperti pernyataan, “Akad yang sesuai dengan
rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”
c. Dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’ , seperti wasiat yang
memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik
bagi orang yang diberi wasiat maupun bagi orang atau benda yang
diwasiatkan.
Hukum atau ketetapan yang dimaksud pada pembahasan Akad jual-beli ini,
yakni menetapkan barang milik pembeli dan menetapkan uang milik
penjual.

6
Hak –hak akad (Huquq al-aqd) adalah aktivitas yang harus
dikerjakan sehingga menghasilkan hukum akad, seperti menyerahkan
barang yang dijual, memegang harga (uang), mengembalikan barang yang
cacat, khiyar, dan lain-lain.
Adapun hak jual-beli yang mengikuti hukum adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan barang yang dibeli, yang meliputi berbagai hak
yang harus ada dari benda tersebut yang disebut pengiring (murafiq).
Kaidah umum maslaah ini misalnya segala sesuatu yang berkaitan dengan
rumah adalah termasuk pintu, jendela, WC, dapur, dan lain-lain, walaupun
tidak disebutkan ketika akad, kecuali jka ada pengecualian.

2. Tsaman (Harga) dan Mabi’ ( Barang Jualan)


a. Pengertian Harga dan Mabi’
Secara umum, mabi’ adalah ( perkara yang menjadi tentu dan
ditentukan). Sedangkan pengertian harga secara umum adalah (perkara
yang tidak tentu dengan ditentukan).
Definisi diatas sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung
pada bentuk dan barang yang diperjualbelikan, Adakalanya Mabi’
tidak memerlukan penentuan. Sebaliknya harga memerlukan
penentuan, seperti penetapan uang muka.
Imam Syafi’I dan Jafar berpendapat bahwa harga dan mabi’
termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi artinya sama.
Perbedaan diantara keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf
ba (dengan).

b. Penentuan Mabi’ ( Barang Jualan)


Penentuan Mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dan
barang-barang lainnya yang tidak akan dijual, jika penentuan tersebut
menolong atau menentuakn akad, baik pada jual-beli yang barangnta
ada di tempat akad atau tidak. Apabila Mabi’ tidak ditentukan dalam
akad, penentuannya dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.

7
c. Perbedaan Harga, Nilai, dan Utang
1. Harga
Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam
akad, lebih baik sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang.
Biasanya, harga dijadikan penukar barang yang diridai oleh kedua
pihak yang akad.
2. Nilai Sesuatu
Sesuatu yang dinilai sama dengan menurut pandangan manusia.
3. Utang
Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam
urusan harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa
iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu untuk orang lain, seperti merusak harta
gashab, berutang, dan lain-lain.

d. Perbedaan Mabi’ dan Harga


Kaidah umum tentang mabi’ dan harga adalah segala sesuatu yang
dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga
dapat menjadi mabi’.
Diantara perbedaan antara mabi’ dan tsaman adalah :
1. Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual
adalah mabi’
2. Jika tidak menggunakan uang, barang yang ditukarkan adalah
mabi’ dan penukaranya adalah harga.

e. Ketetapan Mabi’ dan Harga


Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain:
1. Mabi’ disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga
tidak disyaratkan demikian.

8
2. Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan
harga tidak disyaratkan demikian.
3. Tidak boleh mendahulukan harga pada jual-beli pesanan, sebaliknya
mabi’ harus didahulukan.
4. Orang yang bertanggungjawab atas harga adalah pembeli, sedangkan
yang bertanggungjawab atas mabi’ adalah penjual.
5. Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah
fasid dan akad tanpa menyebutkan mabi’ adalah batal.
6. Mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga
rusak sebelum penyerahan , tidak batal.
7. Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum dieterimanya, tetapi
dibolehkan bagu penjual untuk tasharruf sebelum menerima.

f. Hukum atas mabi’ dan harga rusak serta harga yang tidak laku
1. Kerusakan Barang
Tentang hukum barang yang rusak, baik seluruhnya, sebagian,
sebelum akad, dan setelah akad, terdapat beberapa ketentuan,
yaitu :
a. Jika barang rusak semuanya sebelum diterima pembeli
 Mabi’ rusak dengan sednirinya atau rusak oleh penjual,
jual-be;I batal.
 Mabi’ rusak oleh pembeli, akad tidak batal, dan pembeli
harus membayar.
 Mabi’ rusak oleh oranglain, jual-beli tidak batal, tetapi
pembeli harus khiyar antara membeli dan membatalkan.
b. Jika barang rusak semuanya setelah diterima pembeli:
 Mabi’ rusak dengan sendirinya atau rusak oleh
penjual,pembeli, atau oranglain, jual-beli tidaklah batal
sebab barng telah keluar dari tanggungan penjual. Akan
tetapi, jika yang merusak oranglain, tanggung jawabnya
diserahkan kepada perusaknya.

9
 Jika mabi’ rusak oleh penjual, ada dua sikap:
1. Jika pembeli telah memegangnya, baik dengan seizing
penjual atau tidak, tetapi telah membayar harga, penjual
bertanggung jawab.
2. Jika penjual tidak mengizinkan untuk memegangnya
dan harga belum diserahkan, akad batal.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa segala kerusakan atas
tanggungan pembeli, kecuali dalam lima keadaan:
1. Jual-beli yang tidak tampak
2. Barang yangbdibeli disertai khiyar
3. Buah-buahan yang dibeli sbelum sempurna
4. Barang yang didalamnya berhubungan dengan ukuran
5. Jual beli rusak (fasid)
Ulama Syafi’iyah baerpendapat bahwa setiap barang
merupakan tanggungan penjual sampai barang tersbut
dipegang pembeli.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika barang tersebut
merupakan sesuatu yang diukur atau ditimbang, apabila rusak,
masih termasuk harta penjual, sedangkan barng-barang selain
itu yang tidak mesti dipegang, sudah termasuk barang pembeli.
c. Barang rusak sebagian sebelum diterima pembeli:
Ulama Hanafiyah berpendapat:
 Jika rusak sebagian diakibatkan sendirinya, pembeli berhak
khiyar (memilih), boleh membeli atau tidak.
 Jika rusak oleh penjual, pembeli berhak khiyar
 Jika rusak oleh pembeli, jual-beli tidaklah batal.
d. Barang rusak sebagian setelah dipegang pembeli:
 Tanggungjawab oleh pembeli, baik rusak oleh sendirinya
ataupun oranglain.
 Jika disebabkan oleh pembelidilihat dari dua segi. Jika
dipegang atas seizing penjual hukumnya sama seperti

10
barang yang dirusak oleh oranglain. Jika dipegang bukan
atas seizinnya, jual-beli batal atas barang yang dirusaknya.

2. Kerusakan Harga
Harga rusak ditempat akad sebelum dipegang:
 Jika harga berupa uang, akad tidak batal sebab dapat diganti
dengan yang lain.
 Jika harga menggunakan barang yang dapat rusak dan tidak
dapat diganti waktu itu, menurut ulama Hanafiyah, akadnya
batal.

3. Harga Tidak Berlaku


Ulama Hanafiyah berpendapat, jika uang tidak berlaku sebelum
diserahkan kepada penjual, akad batal. Pembeli harus
mengembalikan barang kepada penjual atau menggantinya jika
rusak.
Adapun menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua orang
sahabat Imam Hanafi), akad tidak batal, tetapi penjual berhak
khiyar , baik dengan mrmbatalkan jual-beli atau mengambil sesuatu
yang sesuai dengan nilai uang yang tidak berlaku tersebut.

g. Tasharruf atas mabi’ dan harga sebelum memegang


1. Tasharruf Mabi’
Menurut ulama Hanafiyah, mabi’ yang dapat dipindahkan tidak
boleh di-tasharruf-kan sebelum diterima atau dipegang oleh
pembeli, sebab Rasulullah SAW, melarangnya sebagimana
dinyatakan sdalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
2. Tasharruf Harga Sebelum Dipegang
Dibolehkan tasharruf atas harga sebelum memegang sebab
termasuk utang. Begitu pula dibolehkan tasharruf atas

11
utang-utang lainnya, seperti mahar, upah, pengganti barang yang
rusak, dan lain-lain.

h. Penyerahan mabi’ dan harga


Penyerahan harga dari pembeli dan mabi’ (barang) dari penjualan
harus dilakukan oleh penjual dan pembeli. Dengan kata lain, hal itu
merupakan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad.

i. Hak menahan mabi’ (al-habsu)


Telah disinggung bahwa pemebeli diharuskan terlebih dahulu
menyerahkan harga. Hal itu menunjukan bahwa ia memiliki hak untuk
mengekang barang sehingga ia membayar harganya, baik sebagian
maupun seluruhnya.
Syarat dibolehkannya mengekang mabi’ ada dua:
1. Salah satu pengganti dari jual-beli harus berupa utang (seperti uang,
dinar, dan lain-lain)
2. Harga yang ditetapkan harus dibayar waktu itu, jika disepakati ada
pengangguhan, gugurlah hak mengekang.

j. Penyerahan dan cara meyakinkan


Penyerahan atau pemegangan menurut Ulama Hanafiyah adalah
penyerahan atau pembebasan antara mabi’ dan pembeli sehingga tidak
ada lagi penghalang antara keduanya. Pembeli dibolehkan tasharruf
atas barang yang tadinya milik penjual.
Pemegangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
1. Penyerahan atau pembebasan
2. Pembeli merusak barang yang ada di tangan penjual
3. Penitipan barang kepada pembeli atau meminkamkannya
4. Pemetikan,yakni pembeli memetic buah pedagang.

12
2.6 Hukum dan Sifat Jual-Beli
Ditinjau dari hukum sifat jual-beli, jumhur ulama membagi jual-beli menjadi
dua macam, yaitu jual-beli yang dikategorikan sah (sahih) dan jual-beli yang
dikategorikan tidak sah. Jual-beli sahih adalah jual beli yang memenuhi
ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya, sedangka jual beli yang tidak
sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehungga
jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain, menurut jumhur
ulama , rusak dan batal memiliki arti yang sama. Adapun ulama Hanafiyah
membagi hukum dan sifat jual-beli menjadi sah, batal dan rusak.
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama Hanafiyah berpangkal
pada jual-beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan hadits :
َْ ‫َمنْ أَحدَثَْ فِى أَم ِرنَا َهذَا َما لَي‬
ْ‫س مِ نهْ فَه َوْ َرد‬
Artinya:
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas ajaran
kami maka itu tertolak.”. (Muslim dari Siti Aisyah)
Berdasarkan hadits diatas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad atau
jual-beli yang keluar dari ketentuan syara’ harus ditolak atau tidak dianggap,
baik dalam hal muamalat maupun ibadah.
Adapun menurut Ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah terkadang
ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’ sehingga tidak
sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti itu adalah
rusak, tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal saja dan ada
pula yang rusak saja. Lebih jauh tentang penjelasan jual beli sahih, fasad, dan
batal adalah berikut ini.
Jual beli Sahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat.
Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
Jual beli Batal adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun,
atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya,
seperti jual-beli yang dilakukan oleh orang gila dan anak.
Jual beli Rusak adalah jual-beli yang sesuai dengan ketentuan syariat
pada asalnya, tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual-beli

13
yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz, tetapi bodoh sehingga
menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam masalah ibadah, Ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur
ulama bahwa batal dan fasid adalah sama.

2.7 Jual Beli yang Dilarang dalam Islam


Jual be.li yang dilarang dalam islam sangatlah banyak. Jumhur ulama,
sebagaimana disinggung diatas, tidak membedakan antara fasid dan batal. Dengan
kata lain, menurut jumhur ulama, hukum jual beli terbagi dua, yaitu jual beli
shahih dan jual beli fasid, sedangkan menurut ulama Hanafiyah jual beli terbagi
tiga, yaitu jual beli sahih, jual beli fasid dan jual beli batal.
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam islam, Wahbah Al- Juhaili
meringkasnya sebagai berikut
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahihh apabila
dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih dan mampu
ber-tasharuf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya
adalah sebagai berikut
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula
sejenisnya, seperti orang mabuk, sekalor, dan lain-lain.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayiz)
dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele.
Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayiz yang belum baligh, tidak sah
sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut Ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, jual beli
anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan,
salah satu cara untuk melatih kedewasaan dengan memberikan keleluasaan untuk
jual beli, juga pengamalan atas firman Alloh SWT:

14
‫ن َءانَستم ِمنهمْ رشدًا فَادفَعوا‬ َْ ‫َوابتَلوا اليَتَا َمى َحتَّى ِإذَابَلَغوا النِ َكا‬
ْ ِ ‫ح فَإ‬
}6{.... ْ‫ِإلَي ِهمْ أَم َوالَهم‬

Artinya:
“Dan ujian anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka hartanya.” (Q.S An-Nisa:6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan sahih menurut jumhur jika barang yang
dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut Ulam
Syafi’iyah, jula beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan
barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli
fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauquf). Oleh
karena itu, keabsahannya di tangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa).
Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim, baginya ada khiyar. Adapun menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada
keridhoan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya.
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin
pemilik. Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah jual beli fudhul tidak
sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut
ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka menghaburkan hartnya,
menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling sahih
dikalangan Hanabilah, harus ditangguhkan. Adapun menurut ulama Syafi’iyah,

15
jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak
dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut
berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah,
sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang yang sakit parah yang
sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila
ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli
warisnya. Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan
pada harta yang tidak bergerak seperti tanah, rumah, dll.
g. Jual beli malja’
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni
untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama
Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.
2. Terlarang sebab Sighat
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada
keridhoan diantara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab dan
qobul; berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah.
Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para
ulama adalah berikut ini.
a. Jual beli mu’athah
Jual beli mu’athah adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad,
berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab qobul.
Jumhur ulama menyatakan sahih apabila ada ijab dari salahsatunya. Begitu pula
dibolehkan ijab-qobul dengan isyarat, perbuatan atau cara-cara lain yang
menunujukan keridhoan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang
sebagai sighat dengan perbuatan atau isyarat.
Adapun ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jual beli harus disertai
ijab-qobul, yakni dengan sighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat, sebab
keridhoan sifat itu tersembunyi dan tidak dapat tidak diketahui, kecuali dengan

16
ucapan. Mereka hanya memperbolehkan jual beli dengan isyarat, bagi orang yang
uzuzr.
Jual beli al mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah,
tetapi sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya seperti Imam Nawawi.
Menurutnya, hal itu dikembalikan pada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibnu
Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulam fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah.
Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama pada aqid
kedua. Jika qobul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti
surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dangan isyarat atau tulisan
Disepakati kesahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi
yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukan apa
yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat difahami dan tulisannya
jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada ditempat
adalah tidak sah sebab tidak memenuhi isyarat in’iqad’ (terjadinya akad).
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qobul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika
lebih baik, seperti meninggikan harga, menurut ulama Hanafiyah
membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah menganggapnya tiak sah.
f. Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau
ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid
menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran
oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud ‘alaih

17
adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat
dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain,
dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama,
tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, diantaranya berikut ini.
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di
udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran.
Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rosululloh SAW. Bersabda:

ْ‫اءْفَإِنَّهْغ ََرر‬ َّ ‫الَتَشتَرواْال‬


ِ ‫س َم َكْفِيْال َم‬
“Janganlah kalian membeli ikan yang masih berada di air karena (jual beli seperti
itu) mengandung unsur penipuan.” (HR. Ahmad)
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis, seperti khamas.
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis
(al mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan, seperti minyak yang terkena
bangkai tikus. Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk
dimakan, sedangkan Ulama Malikiyah membolehkannya setelahdibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki, seperti air sumur atau yang
disimpan ditempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama madzhab empat.
Sebaliknya Ulama Zahiriyah melarang atas jual beli air yang mubah, yakni yang
semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasid, sedangkan
menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan diantara manusia.

18
g. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad (gaib), tidak dapat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus
menyebutkan sifat-sifatnya, tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama
Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan lima
macan:
1. Harus jauh sekali tempatnya,
2. Tidak boleh dekat sekali tempatnya,
3. Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
4. Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
5. Penjual tidak boleh memberikan syarat.
h. Jual beli sesuatu sebelu dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang apat dipindahkan
sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan. Sebaliknya, ulama
Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan,
sedangakan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah,
tetapi belum matang akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut
jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang,
akadnya dibolehkan.
4. Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan
rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan diantara
para ulama, diantaranya berikut ini.
a. Jual beli riba
Riba nasi’ah dan riba Fadl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah, tetapi
batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid dan terjadi akad atas nilainya,
sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas dari

19
Hadis Bukhari an Muslim bahwa Rosululloh SAW mengharamkan jual beli
khamar, bangkai, anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalannya menuju tempat yang dituju
sehingga orang yang mencegatnya akan mendapatkan keuntungan. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat
bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual beli waktu Azan Jumat
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan sholat jumat.
Menurut Ulama Hanafiyah pada waktu azan pertama, sedangkan menurut ulama
lainnya, azan ketika khatib sudah berada di mimbar. Ulama Hanafiyah
menghukuminya makruh tahrim, sedangkan ulama syafi’iyah menghukumi sahih
haram. Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah, dan tidak
sah menurut ulama hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zahirnya sahih, tetapi makruh,
sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mamdiri.
g. Jual belii barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih dalam
khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya sebab
ia akan membelinya dengan harga lebih tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut Ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti “saya
akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu.” Begitu pula
menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama
Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salahsatu pihak yang
melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah tidak dibolehkan jika
hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.

20
2.8 Macam-macam Jual-Beli
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:
a. Jual beli salam (pesanan)
Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan
cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar
belakangan.
b. Jual beli muqayyadah (barter)
Jual beli muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan
barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah
disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang
biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak
dengan uang emas.
Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian:
1. Jual beli yang menguntungkan (al murabahah)
2. Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya
(at-tauliyah).
3. Jual beli rugi ( al khasarah)
4. Jual beli al musawah yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi
kedua orang yang akad saling meridhoi, jual beli seperti inilah yang
berkembang sekarang.

21
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu
diperbolehkan dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allahdalm Q.S
Al Baqarah :275 yang artinya “Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat
dan rukun jual beli. Adapun rukun dan syarat jual beli yaitu Bai (penjual),
Mustari (pembeli), Shighat (ijab dna qabul ), Ma’qud alaih (bend atau barang).
Adapun hikmah jual beli seperti, Mencari dan Mendapatkan Karunia Allah,
Menjauhi Riba, menjaga kehalalan rizki, Produktifitas dan Perputaran Ekonomi,
Silahturahmi dan Memperbanyak Jejaring.

3.2 Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apa-apa
saja mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang
terkaittentang hubungan jual beli yang baik antara penjual juga pembeli,sehingga
dapat mendorong munculnya penulisan makalah yang
sejenisdalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yangberkaita
n dengan hubungan jual beli

22

Anda mungkin juga menyukai