net/publication/333565263
CITATIONS READS
0 18
4 authors, including:
Retnowati WD Tuti
Universitas Muhammadiyah Jakarta
21 PUBLICATIONS 1 CITATION
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Retnowati WD Tuti on 03 June 2019.
Editor:
Dr. Endang Sulastri, M.Si
ISBN : 978-602-52726-2-2
No. Hak Cipta : 000119826
PENGADUAN PENGHUNI RUSUNAWA
PERSPEKTIF AGAMA
Karya:
Dr. Retnowati WD Tuti, M.Si
Dr.N.Oneng Nurul Bariyah, M.Ag
Mawar, SIP., M.AP
Dini Gandini Purbaningrum, S.IP., M.A
Editor:
Dr.Endang Sulastri, M.Si
ISBN : 978-602-52726-2-2
No. Hak Cipta : 000119826
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke Hadirat Allah subbanahu wata’ala yang telah memberikan
karunianya, sehingga dapat menyelesaiknn buku Referensi berjudul Pengaduan Penghuni
Rusunawa Perspektif Agama.
Kehadiran Buku Referensi ini kiranya dapat memberikan informasi bagi setiap
mahasiswa dan pihak lain yang membutuhkan sebagai referensi dalam kajian Pelayanan Publik
khususnya Pengaduan Masyarakat. Kajian buku ini menghadirkan nilai-nilai agama sebagai
landasan dalam pengaduan masyarakat dan pelayanan publik. Kehadiran buku ini diharapkan
memberikan kemudahan dalam kajian Pelayanan Publik yang dikaji dengan pendekatan agama.
Sehingga kehadirannya dapat memenuhi kebutuhan materi Pengaduan bagi para penghuni
rusunawa.
Buku ini hadir sebagai salah satu kontribusi dari Tim Penulis yang telah melakukan
penelitian tentang Pengaduan Penghuni di Rusunawa Rawa Bebek Jakarta. Buku ini diharapkan
memberi kontribusi bagi pengembangan kajian Pelayanan dan Pengaduan Penghuni Rusunawa.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan
Tinggi yang telah memfasilitasi dana penelitian. Demikian pula diucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian dan penyusunan buku ini. Semoga kebaikan dan
partisipasi semua pihak mendapatkan balasan yang sesuai dari Allah subhanahu wata’ala.
Akhirnya, mudah-mudahan buku ini bermanfaat dan menajdi amal baik dalam rangka
menyampaikan ilmu pengetahuan bagi masyarakat.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL............................................................................... ii
iv
BAGIAN 6 AGAMA DAN PENGADUAN ................................................. 84
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
BAGIAN 1
MENYOAL PRAKTEK PELAYANAN PUBLIK
1
pelayanan berkualitas dalam jasa pendidikan juga merupakan kwajiban dari
fakultas maupun Perguruan Tinggi.
Danang Girindrawardana, ketua Ombudsman Republik Indonesia
memaparkan hasil survei kepatuhan pada UU No 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik kepada dinas yang menyelenggarakan unit pelayanan publik
di DKI Jakarta, yaitu hasil survei menyatakan DKI Jakarta hampir 50 persen
dinas yang menyelenggarakan unit pelayanan publik belum mematuhi standar
pelayanan sesuai UU Pelayanan Publik. (Kompas.com, Sabtu. 7 Desember
2013 11:22 WIB). Dwiyanto, 2010 mengatakan bahwa telah dilakukan
reformasi dalam segala bidang, namun pelayanan publik masih tetap menjadi
“pekerjaan rumah”. Pelayanan publik belum memuaskan masyarakat, masih
jauh dari harapan. Indonesia mendapat peringkat ease of doing businesske-
114 dari 189 negara (World Bank, Ease of Doing Business, 2014 dalam
sambutan MENPAN RB di FISIP-Universitas Muhammadiyah Jakarta, 28
Maret 2015). Selain itu, dulu sebelum UU Pelayanan Publik diterapkan, Hasil
Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (2000), pelayanan publik
oleh pemerintah daerah yang langsung mengenai perikehidupan masyarakat
ada sekitar 250 jenis pelayanan, sementara pengaduan yang masuk ke
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (selanjutnya disingkat YLKI) sebanyak
910 pengaduan: keluhan mengenai mutu pelayanan yang rendah, tidak
tanggapnya petugas pemberi layanan, minimnya informasi atas jasa layanan
publik yang diberikan, tidak berjalannya mekanisme pengaduan dan tidak
jelasnya tindak lanjut pengaduan masyarakat (media Cinta Ibu Kota, edisi 8
tahun ke 3 Februari 2000) jumlah pengaduan belum sepenuhnya dapat
dijadikan indikator ketidakpuasan masyarakat akan jasa pelayanan publik
sebab rutinitas pengaduan dengan tanggapan yang negatif dapat menjadikan
masyarakat malas mengadu, karena kenyataannya aparat tidak cepat tanggap
dan merespon keluhan masyarakat, perilaku apatisme demikian akan
menumpulkan kontrol masyarakat terhadap perilaku negatif aparat
pemerintah yang seharusnya menjadi pelayanan masyarakat. Fakta hasil
monitoring awal YLKI tersebut mengidentifikasikan bahwa kepercayaan
2
masyarakat terhadap aparat pemerintah telah rapuh. Service delivery system
dari birokrasi pemerintah masih diragukan, integritas profesional aparat
pemerintah perlu dipertanyakan. Semua ini menjadi bukti empiris rendahnya
kualitas pelayanan publik yang berarti juga rendahnya tingkat akuntabilitas
publik pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik.
Selanjutnya, Penelitian Pusat Studi Kependudukan UGM Tahun 2002,
hasil penelitian menyatakan: banyak mengungkap bukti-bukti kinerja
pelayanan public yang buruk, antara lain ditandai beberapa hal yaitu: 1).
Adanya ketidakpuasan masyarakat atas pelayanan public yang diberikan
birokrasi pemerintah, terutatama dalam hal waktu, biaya, dan cara pelayanan;
2). Adanya diskriminasi pelayanan, yang pada umumnya didasarkan pada
diskriminasi atas hubungan pertemanan, afiliasi politik, etnis dan bahkan
agama, sehingga netralitas birokrasi dalam pelayanan public terabaikan, 3).
Adanya mata rantai birokrasi pelayanan yang panjang dan suap serta
pungutan liar menjadi semakin diterima dan dianggap wajar dalam suatu
proses pelayanan public, 4). Adanya orientasi pelayanan public tidak
ditujukan kepada pengguna pelayanan tetapi kepada kepentingan pemerintah
dan para pejabatnya, 5). Prinsip yang mendasari sistim pelayanan public
bukan trust melainkan distrust, 6). Prosedur yang diterapkan untuk
pemberian pelayanan public bukan untuk memfasilitasi tetapi justru untuk
mengontrol perilaku dan 7). Kewenangan untuk memberi pelayanan public
terdistribusi pada berbagai unit kerja birokrasi sehingga memberatkan
pengguna jasa pelayanan public. Hasil penelitian ini hanya mengungkap
tentang buruknya saja tanpa penyebab buruknya atau bagaimana proses
pelayanan itu sendiri.
Begitu pula hasil penelitian Lembaga Administrasi Negara (2002)
tentang: IMB, SITU, Sertifikasi tanah di 14 kabupaten Indonesia oleh bidang
kajian Manajemen dan kebijakan public LAN yaitu 1). Banyaknya persyaratan
administrasi yang kurang relevan dengan jenis pelayanan yang diminta
pelanggan; 2). Kondisi tidak transparan aparat pemerintah tentang waktu
penyelesaian pelayanan dan biaya pelayanan; 3). Banyak pengaduan
3
masyarakat yang kurang cepat mendapat tanggapan/penanganan dan tindak
lanjut pengaduan, dan bahkan banyak yang tidak mendapatkan perhatian dan
penyelesaian; 4). Rata-rata petugas pelayanan tingkat kesadarannya rendah
pada pentingnya pelayanan, kurang ramah, kurang tanggap, kurang peduli,
dan kurang professional dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan; 5).
Banyaknya pejabat yang bertanggung jawab terhadap unit-unit pelayanan
tidak mengetahui adanya kebijakan tentang peningkatan kualitas pelayanan
public, padahal telah cukup banyak kebijakan yang telah ditetapkan dan
digariskan.
Sementara amanah Undang-Undang Pelayanan Publik (2009)
menyebutkan bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga
negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya
penyelenggaraan pelayanan publik yang baik. Artinya, mau tidak mau,
sanggup tidak sanggup perbaikan kualitas pelayanan harus dilakukan. Begitu
pula pelayanan kepada penghuni Rusunawa oleh pemerintah daerah, dikenal
kurang berkualitas, apalagi yang berasal dari masyarakat yang direlokasi. DKI
Jakarta melakukan penataan pembangunan kawasan perkotaan untuk lebih
dapat memberikan kesejahteraan pada warga DKI Jakarta. Penataan
Pembangunan tersebut mengenai tanah pemda yang ditinggali oleh
masyarakat tanpa izin. Masyarakat tersebut dipindahkan ke Rusunawa Rawa
Bebek. Masyarakat yang terluka hatinya tentunya membutuhkan pelayanan
yang baik untuk dapat tinggal di rusunawa Rawa Bebek, masyarakat tersebut
perlu melakukan adaptasi kebiasaan biasa tinggal di rumah datar/landed
kemudian tinggal di rumah vertical dengan “dipaksa”. Tentunya banyak
permasalahan yang dihadapi oleh Unit Pengelola Rumah Susun Sewa (UPRS)
terkait dengan para penghuni yang disebut Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR) relokasi. Apalagi bangunan rusunawanya pun masih baru
belum pernah dihuni. Masalah dari penghuni dan masalah dari gedung dan
lingkungannya.
Masalah pelayanan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia,
karena pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi pelayan
4
(mengabdi) kepada Allah Pencipta alam semesta (Alquran surat al-Dzariyat/51
ayat 56) yang berbunyi:
{56} َوﻣَﺎﺧَ ﻠَﻘْتُ ا ْﻟﺟِنﱠ َو ْاﻹِﻧسَ إِﻻﱠﻟِﯾَﻌْ ُﺑدُو ِن
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.
5
berinteraksi satu sama lain. Interaksi manusia dengan sesamanya dalam
ruang lingkup terkecil disebut dengan keluarga, dan menjadi besar lingkupnya
dalam kehidupan masyarakat. Dalam setiap lingkungan itu manusia
hendaknya senantiasa mampu melayani diri sendiri dan sesamanya agar
sellau selaras dengan nilai-nilai agama. Namun, jika manusia tidak mampu
malayani dirinya serta sesamanya, maka akan terjadi kehidupan yang tidak
kondusif.
6
BAGIAN 2
DASAR HUKUM PELAYANAN
7
Hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan
itu adalah bahwa kebijakan itu haruslah mengutamakan kemaslahatan
masyarakat. Dalam sebuah qaidah disebutkan bahwa:
ط ﺑِﺎ ْﻟﻣَﺻْ ﻠَﺣَ ِﺔ
ٌ اﻷ َﻣﺎِم َﻋﻠَﻰ اﻟرﱠ اﻋِ ﱠﯾ ِﺔ َﻣﻧ ُْو
ِ ْ ُﺻرﱡ ف
َ َﺗ
“Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”
8
pelayanan publik ada beberapa peraturan yang menjadi landasan hukum bagi
para penyelenggara sebagai berikut:
9
untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat
dan penyelenggara dalarn pelayanan public (Pasal 2 UU No 25 Tentang
Pelyanan Publik)
Dengan demikian maka masyarakat dapat memahami hak-hak atas
pelayanan publik sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.
Masyarakat seyogianya mengetahui peraturan yang berlaku terkait
pelayanan publik. Adanya undang-undang pelayanan public memiliki
tujuan sebagaimana disebutkan pada pasal 3 bahwa Tujuan undang-
undang tentang pelayanan publik adalah:
a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung
jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik;
b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Berdasarkan tujuan di atas, maka pelayanan publik harus diketahui
oelh masyarakat sebagai obyek pelaksanakan undang-undang tersebut.
Dengan mengetahui undang-undnag tersebut public dapat menilai
pelaksanaannya oleh aparatur sipil negara.
Undang-undang Pelayanan publik ditetapkan berdasarkan
pertimbangan:
a. bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan
penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam
kerangka pelayanan publik;
b. bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik
yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan
yang dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga
negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
10
c. bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara
dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya.
Penerapan pelayanan barang, pelayanan jasa dan pelayanan
administrasi yang menurut UU 25/2009 tersebut didasarkan pada 12 asas,
yaitu
1) kepentingan umum;
2) kepastian hukum;
3) kesamaan hak;
4) keseimbangan hak dan kewajiban;
5) keprofesionalan;
6) partisipatif;
7) persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
8) keterbukaan;
9) akuntabilitas;
10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
11) ketepatan waktu;
12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan (pasal 4 ).
Adapun komponen standar pelayanan menurut pasal 21
sekurang-kurangnya meliputi:
a. dasar hukum;
b. persyaratan;
c. sistem, mekanisme, dan prosedur;
d. jangka waktu penyelesaian;
e. biaya/ tarif;
11
f. produk pelayanan;
g. sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas;
h. kompetensi pelaksana;
i. pengawasan internal;
j. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
k. jumlah pelaksana;
l. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan
sesuai dengan standar pelayanan;
m. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen
untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko
keraguraguan; dan
n. evaluasi kinerja pelaksana
12
6. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan dalam pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana
teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).
8. Kemudahan Akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah
dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.
9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah,
serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
10. Kenyamanan
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu
yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta
dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet,
tempat ibadah dan lain-lain.
Kualitas pelayanan publik mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Pemerintah menegaskan pentingnya penataan dan perbaikan
seperti dimaksud dalam Surat Edaran MENKOWASBANGPAN No.
56/MK.WASPAN/6/98 (Menko Wasbangpan, 1998:2) yang ditujukan
kepada seluruh Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan, Gubernur Bank
Indonesia, Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Intinya
sebagai berikut:
1. Dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-langkah perbaikan
mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit kerja/kantor
pelayanan termasuk BUMN dan BUMD.
13
2. Langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat tersebut
diupayakan dengan:
a. Menerbitkan pedoman pelayanan yang antara lain memuat
persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu
penyelesaian pelayanan, baik dalam bentuk panduan/pengumuman
atau melalui media informasi lainnya.
b. Menempatkan petugas yang bertanggungjawab melakukan
pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian
diterima atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu
juga.
c. Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu
yang ditetapkan, dan apabila batas waktu yang ditetapkan tersebut
terlampaui, maka berarti bahwa permohonan tersebut disetujui.
d. Melarang atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain
dan meniadakan segala bentuk pungutan liar di luar biaya jasa
pelayanan yang telah ditetapkan.
e. Sedapat mungkin menerapkan pelayanan secara terpadu (satu atap
atau satu pintu) bagi unit-unit kerja kantor pelayanan yang terkait
dalam proses atau menghasilkan satu produk pelayanan.
Untuk mencapai keberhasilan dalam memperkenalkan inisiatif
pelayanan dengan menggunakan indikator pelayanan membutuhkan
komitmen semua komponen birokrasi yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Dukungan dan komitmen berbentuk:
1. Kejelasan
Kejelasan segala hal yang berkaitan dengan sistem dan prosedur
pelayanan menurut ketentuan yang berlaku pada organisasi pemerintah
diperlukan dalam pelayanan. Tujuannya agar masyarakat mengerti hak
dan kewajibannya dalam memperoleh pelayanan prima dari birokrasi.
2. Konsistensi
Aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
dituntut bersikap konsisten dalam melaksanakan aturan. Prosedur
14
pelayanan diharapkan konsisten dengan kenyataan dan harapan
masyarakat.
3. Komunikasi
Pemberi layanan perlu mengkomunikasikan bahwa sistem dan prosedur
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuannya agar tercipta suasana yang harmonis antara pemberi layanan
dan masyarakat.
4. Komitmen.
Komitmen yang kuat diperlukan dalam mengimplementasikan
pelayanan prima kepada masyarakat. Komitmen pelayanan prima
dimulai dari pengambil keputusan hingga pelaksana sehingga
membentuk sinergi harmonis seperti orkes simfoni.
15
b. cepat, tepat, terbuka, adil, tidak diskriminatif, dan tidak memungut
biaya;
c. menjamin kerahasiaan identitas pelapor sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. memberikan penjelasan secara transparan tentang perkembangan
proses pengaduan yang ditangani;
e. mengedepankan prinsip profesionalitas dan independensi dalam
mengelola pengaduan; dan
f. memperhatikan kelompok rentan dan berkebutuhan khusus.
17
BAGIAN 3
KONSEP PELAYANAN PUBLIK
18
Sementara itu, Wiryatmi (2004:33) mengungkapkan bahwa terminologi
publik sering diartikan sebagai sekelompok masyarakat. Masyarakat itu
sendiri dapat dipandang dari berbagai pengertian. Frederickson (1997: 21)
mengungkapkan pengertian publik dari bahasa Yunani, yakni : “…… the public
as a political community the polis-in which all citizens (that is adult males and
nonslaves) participated”, artinya, publik merupakan suatu masyarakat polis
dan semua penduduk berpartisipasi di dalamnya.
Dalam perkembangannya, pengertian tentang publik dalam Administrasi
Publik sangat berpengaruh terhadap pemahaman dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Publik di sini terbagi menjadi 5 (lima) perspektif: Pertama,
publik sebagai kelompok minat (perspektif pluralis). Publik dari perspektif
pluralis yang mengartikan sebagai masyarakat secara luas, yang
berkepentingan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; Kedua, publik
sebagai pemilik rasional (perspektif pilihan publik/Public Choice). Publik
adalah masyarakat yang mempunyai minat tertentu dalam memenuhi
kebutuhannya dan menekankan pada kemanfaatan yang positif. Masyarakat
mempunyai kebebasan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya secara
rasional; Ketiga, publik seperti direpresentasikan (perspektif legislative).
Publik di sini bertindak melalui perwakilan. Masyarakat mempercayai
wakilnya untuk mengakomodasi kepentingannya. oleh karena itu legitimasi
penyelenggara pelayanan sangat kuat dan mempunyai kebebasan yang sangat
luas; Keempat, publik sebagai pelanggan (perspektif penyedia pelayanan).
Satu perspektif yang paling menarik dari publik adalah pelanggan. Pelanggan
sebagai individu dan kelompok yang dilayani oleh birokrat. Contoh: anak-anak
sekolah, adalah pelanggan dari guru dan kepala sekolah; Korban kejahatan
pelanggan dari polisi; Pasien atau orang cacat, baik secara fisik maupun
emosional, adalah pelanggan profesional medis dalam agen kesehatan publik.
Semua penduduk dalam waktu yang sama adalah pelanggan Pemerintah. Oleh
karena itu, masyarakat adalah pelanggan The Internal Revenue Service.
Birokrat operasional (pegawai negeri) diharapkan memberikan pelayanan
19
kepada masyarakat dengan menggunakan kemampuan, pendidikan,
pengetahuan dan pengamanan terbaik untuk masyarakat sebagai pelanggan;
Kelima, publik sebagai citizen. Konsep citizenship terikat erat dengan
Administrasi Publik. Pada era reformasi membutuhkan pelayan publik yang
berpendidikan dan terpilih berdasarkan manfaat, juga membutuhkan
penduduk yang aktif. Tekanannya pada partisipasi penduduk dalam
pengambilan keputusan sebagai bentuk utama dari administrasi demokratis.
Kelima perspektif ini dalam praktek pelayanan publik dilakukan secara
bervariasi dan tergantung dari perkembangan politik dan kemampuan
masyarakat setempat.
Terminologi pelayanan dan publik di atas, memberikan dasar pengertian
terhadap pelayanan publik. Pelayanan publik yang didefinisikan oleh Roth
(1987) sebagai “any services available to the public whether provided publicly
(as is a museum) or privately (as is a restaurant meal)”, Any services yang
diungkapkan oleh Roth berkaitan dengan barang dan jasa dalam pelayanan.
Pelayanan publik yang dimaksud adalah segala bentuk kegiatan pelayanan
yang dilakukan oleh suatu organisasi atau individu dalam bentuk barang atau
jasa kepada masyarakat, baik secara individu maupun kelompok atau
organisasi.
Dalam pelayanan publik pada umumnya pemerintah melakukan
pengaturan terhadap barang publik ataupun barang setengah publik. Sejalan
dengan karakteristik barang di atas, kegiatan pelayanan publik dikatakan oleh
Londsdale & Enyedi (1991: 3 dalam Wiryatmi, 2007: 34) sebagai “something
made available to the whole of population, and it involves things which people
can not provide for them selves, i.e. people must act collectively”. Pengertian ini
memberikan ciri bahwa setiap orang tidak dapat menyediakan kebutuhannya
sendiri melainkan harus disediakan secara berkelompok.
20
3.2 Kriteria Pelayanan Publik
Sementara itu dalam konteks Administrasi Publik, kriteria pelayanan
publik menurut Stahl (1984) sebagaimana dikutip oleh Zauhar (1996) adalah
sebagai berikut:
a) pelayanan yang diberikan oleh Administrasi Publik lebih bersifat urgen
atau lebih mendesak daripada yang dilaksanakan oleh privat;
b) pelayanan yang ditangani oleh Administrasi Publik pada umumnya
bersifat monopoli atau semi monopoli;
c) kegiatan Administrasi Publik terkait dengan hukum;
d) perbuatan Administrasi Publik berada di bawah pengamatan
masyarakat;
e) pelayanan publik yang diberikan oleh Administrasi Publik tidak terkait
harga pasar.
Karakteristik tersebut di atas menggambarkan bahwa kegiatan
pelayanan publik harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin sehingga dapat
memberikan kepuasan terhadap masyarakat yang dilayani.
Menurut Effendi dalam Widodo (2001), dalam kondisi masyarakat yang
demokratis, Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan publik yang lebih
profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,
responsif dan adaptif sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam
arti kapasitas individu dan masyarakat yang secara aktif menentukan masa
depannya sendiri pelayanan publik yang profesional harus memiliki ciri – ciri
akuntabilitas dari pemberi pelayanan.
Salah satu tuntutan perubahan dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah adalah perubahan perspektif Pemda dalam memberikan pelayanan
publik. Pelayanan publik merupakan kegiatan sentral dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, sekaligus berfungsi dalam menjaga eksistensi serta
pertumbuhan masyarakat, bangsa dan negara (Hartley et al, 2008). Bahkan
dasar pembentukan Pemerintah itu sendiri adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, melalui pelayanan publik. Hal
21
tersebut berupa pelayanan perlindungan, pelayanan kesejahteraan, pelayanan
untuk mencerdaskan kehidupan, dan pelayanan dalam melaksanakan
ketertiban dunia (Silaban dan Purwanto, 2012).
Pemberian pelayanan publik merupakan tugas Pemerintah, hal tersebut
ditegaskan oleh Rasyid (1997:11) bahwa “tugas pokok pemerintahan modern
pada hakekatnya adalah pelayanan publik (masyarakat). Pemerintah tidak
diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat”.
Dengan demikian pelayanan publik merupakan misi dan tugas utama
pemerintahan suatu negara. Hal ini sebagaimana dijelaskan Adam Smith
dalam Muluk (2009):
“pemerintah memiliki tugas melindungi masyarakat dari pelanggaran
dan invasi masyarakat lainnya, dan sejauh mungkin bertugas
melindungi setiap anggota masyarakat lainnya, serta bertugas
menegakkan administrasi keadilan secara pasti”.
22
untuk memisahkan pihak yang membayar dengan pihak yang tidak membayar
meski menikmati pelayanan yang sama. Kondisi tersebut memicu kesulitan
pihak yang menawarkan pelayanan untuk memecahkan free rider problem
(Starling, 1998).
Menghadapi persoalan kegagalan pasar tersebut, lalu masyarakat
menuntut pemecahannya dari Pemerintah. Peran Pemerintah lalu diperluas
tidak lagi sekedar pertahanan, pengadilan, dan polisional belaka. Musgrave &
Musgrave (1991) mengungkapan bahwa peran Pemerintah berkembang
menjadi fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi
menunjukan peran Pemerintah untuk mengatasi kegagalan mekanisme pasar
dengan menyediakan public goods, atau dengan mengalokasikan seluruh
sumber daya yang ada agar dapat dipergunakan baik sebagai private maupun
public goods, dan menentukan komposisi dari public goods. Regulasi yang
dilakukan Pemerintah juga termasuk dalam fungsi alokasi ini. Selanjutnya,
fungsi distribusi merupakan tugas Pemerintah untuk melakukan penyesuaian
terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan guna menjamin terpenuhinya
kondisi yang adil dan merata. Lalu, fungsi stabilisasi merupakan penggunaan
kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mencapai tingkat kesempatan
kerja tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya, dan laju pertumbuhan
ekonomi yang tepat.
Menguatnya peran Pemerintah tidak berarti tidak memunculkan
masalah. Persoalan baru timbul karena pada dasarnya Pemerintah tidak
sempurna. Kegagalan Pemerintah dalam memberikan layanan publik yang
efisien, merata dan memuaskan disebabkan oleh berbagai faktor (Starling,
1998). Pertama, tidak terdapatnya kaitan langsung antara biaya dan
pendapatan, maka terdapat kurangnya insentif untuk mencapai efisiensi yang
lebih besar. Kedua, sedikitnya indikator langsung kinerja, maka organisasi
sektor publik dapat mengembangkan tujuan-tujuan kontra produktif, seperti
peningkatan anggaran, kemajuan anggaran, dan kendali informasi. Tindakan
23
Pemerintah juga dapat memicu negative externalities atau efek samping yang
tak dikehendaki.
Meningkatnya peran Pemerintah tersebut sangat terkait erat dengan
penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan publik. Hal tersebut yang
melahirkan konsep barang publik dan meningkatkan kebutuhan akan
pelayanan publik.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
ditetapkan berdasarkan pertimbangan:
a) bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan
penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam
kerangka pelayanan publik;
b) bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik
yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan
yang dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga
negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
c) bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara
dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d) bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya.
Sementara pengertian pelayanan Publik menurut UU Pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau pelayanan
administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Secara
24
tegas dalam Undang Undang Pelayanan Publik disebutkan tiga pelayanan
publik yaitu pelayanan barang, pelayanan jasa dan pelayanan administrasi.
25
Secara lebih rinci, Christian Gonroos dalam Managing Services :
Marketing, Operations and Human Resources oleh Christopher H.Lovelock
(2006:12) mencoba memadukan pengertian jasa sebagai aktivitas dari suatu
hakekat yang tidak berwujud, berinteraksi antara konsumen dan pemberi jasa
dan sumber daya fisik atau barang dan sistem yang memberikan jasa, yang
memberikan solusi bagi masalah-masalah konsumen.
Definisi kualitas jasa sebagaimana dimaksud di atas berpusat pada
upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan
penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Hal ini
sebagaimana diuraikan oleh Mts. Arief (2007) bahwa kualitas jasa adalah
tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain
ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service
dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived
service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan
baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan,
maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika
jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa
dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung
pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya
secara konsisten. Kualitas total suatu jasa terdiri atas tiga komponen utama.
Pertama, technical quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas
output (keluaran) jasa yang diterima pelanggan, dapat merinci menjadi: a).
Search quality, yaitu kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan sebelum
membeli, misalnya harga ; b). Experience quality, yaitu kualitas yang hanya
bisa dievaluasi pelanggan setelah membeli atau mengkonsumsi jasa.
Contohnya ketepatan waktu, kecepatan, pelayanan, dan kerapian hasil; c).
Credence quality, yaitu kualitas yang sukar dievaluasi pelanggan meskipun
telah mengkonsumsi suatu jasa. Misalnya kualitas operasi jantung. d).
Functional quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas cara
26
penyampaian suatu jasa ; e). Corporate image, yaitu profil, reputasi, citra
umum, daya tarik khusus suatu perusahaan.
Pakar lainnya, Gronroos dalam Fandy Tjiptono (2005:14-16)
menyebutkan, bahwa terdapat tiga kriteria pokok dalam menilai kualitas jasa,
yaitu: outcome related, process related, dan image related criteria. Ketiga
kriteria tersebut dapat dijabarkan menjadi enam unsur pelayanan berkualitas,
yakni:
1) Profesionalism and skills merupakan outcome-related criteria, pelanggan
menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, sistem operasional, dan
sumber daya fisik, memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional
2) Attitudes and behavior, pelanggan merasa karyawan perusahaan
menaruh perhatian terhadapnya dan berusaha membantu dalam
memecahkan masalah secara spontan dan senang hati (termasuk
process-related criteria).
3) Accesisbility and flexibility, pelanggan merasa bahwa penyedia jasa,
lokasi, kerja, karyawan dan sistem operasionalnya, dirancang dan
dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelayanan dapat melakukan
akses dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud supaya
dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan
pelanggan (termasuk process-related criteria);
4) Reliability and trusworthiness (termasuk proses-related criteria, dimana
pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, pelanggan dapat
mempercayai segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan
dan sistemnya);
5) Recovery (pelanggan menyadari jika ada kesalahan atau apabila terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera
mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari
pemecahan yang tepat (termasuk process-related criteria);
27
6) Reputation and credibility, kriteria ini merupakan imaged-related criteria).
Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya
dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan
pengorbanannya.
Pendapat Gronroos (1990) tersebut sejalan dengan pendapat Lovelock
(1920) dimana harapan konsumen atau pengguna jasa tentang kualitas
pelayanan pada dasarnya didasari oleh lima dimensi yaitu: (a) kehandalan
(reliability) yakni kemampuan memberikan jasa dengan akurat dan
profesional, (b) ketanggapan (responsiveness) yakni kemampuan untuk
menangkap keinginan konsumen dan memberikan pelayanan yang
dibutuhkan dengan cepat, (c) kepastian (assurance) yakni kemampuan untuk
meyakinkan konsumen untuk mendapatkan pelayanan yang tepat dan dapat
dipercaya, (d) empati (emphaty) yakni memberikan perhatian kepada
konsumen secara personal dan istimewa serta selalu berusaha memahami
keluhan dan keinginan mereka, (e) wujud fisik (tangibility) yakni penampilan
dan kemampuan sarana dan prasarana yang bersifat fisik.
Pelayanan berkualitas, menurut Gronroos juga dalam Tjiptono (1996)
mengandung tiga dimensi kualitas, yaitu Technical quality (berkaitan dengan
apa yang di terima pelanggan), functional quality (berkaitan dengan cara jasa di
berikan) dan corporate quality (berhubungan dengan citra perusahaan).
Hampir mirip dengan Gronroos, Lehtinen dalam Tjiptono (1996) mengatakan
ada dua dimensi kualitas jasa, yaitu proses quality (yang dievaluasi pelanggan
selama jasa di berikan) dan Output quality yang dievaluasi setelah jasa
diberikan).
Muara dari Pelayanan publik berkualitas tersebut adalah, menurut
Schanaars seperti dikutip Harbani Pasolong (2007:144), adalah terciptanya
kepuasaan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya:
hubungan antara pelanggan dengan instansi menjadi harmonis, memberikan
dasar yang baik bagi pembeli (pemakaian) ulang, terciptanya loyalitas dari
28
pelanggan serta terbentuknya rekomendasi dari mulut ke mulut yang
kesemuanya menguntungkan perusahaan.
Salah satu pendekatan kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan
dalam penelitian pemasaran adalah model yang dikembangkan oleh,
Parasuraman, Zethithamal dan Berry adalah SERVQUAL (Service Quality).
Pendekatan tersebut dibuat berdasarkan perbandingan dua faktor utama,
yaitu persepsi konsumen atas layanan nyata yang diterima (perceived
perception), dan layanan yang sesungguhnya diharapkan/diinginkan (expected
service). Model tersebut memilliki lima dimensi, yaitu:
1. Tangible (bukti fisik), yaitu fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan
sarana komunikasi.
2. Reliabity (keandalan); kemampuan memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan para staf untuk
membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap
4. Assurance (jaminan), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan
dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para pegawai bebas dari bahaya,
resiko atau keragu-raguan
5. Emphathy, yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi
yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pelanggan.
Selanjutnya, untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu, sesuai
dengan paradigma the New Public Service, menurut Denhardt & Denhardt,
pemerintah perlu memperhatikan delapan prinsip pelayanan yang bermutu,
yakni:
1. Convenience: ukuran yang menunjukkan tingkat sejauh mana
pelayanan yang diberikan pemerintah dapat diakses dan tersedia dengan
mudah oleh warga;
2. Reliability: menilai tingkat sejauh mana pelayanan pemerintah dapat
disediakan secara benar dan tepat waktu;
29
3. Personal attention: mengukur sejauh mana pelayanan pemerintah dapat
diinformasikan oleh aparat dengan tepat kepada warga dan aparat bisa
bekerja sama dengan mereka untuk membantu memenuhi
kebutuhannya:
4. Citizen influence: mengukur sejauh mana warga merasa bahwa mereka
dapat mempengaruhi mutu pelayanan yang diterima dari pemerintah.
5. Fairness: ukuran untuk menilai sejauh mana warga percaya bahwa
pemerintah telah menyediakan pelayanan dengan cara yang adil bagi
semua orang;
6. Problem-solving approach: mengukur tingkat sejauh mana aparat
pelayanan mampu menyediakan informasi bagi warga untuk mengatasi
masalahnya;
7. Fiscal Responsibility: ukuran untuk menilai sejauh mana warga percaya
bahwa pemerintah telah menyediakan pelayanan dengan cara
menggunakan uang publik dengan penuh tanggung jawab; dan
8. Security: ukuran yang menunjukkan tingkat sejauh mana pelayanan
yang diberikan menjadikan warga merasa aman dan yakin bila
menggunakannya;
Konsep pengutamaan kepentingan citizen/warga menjadi dasar
pemikiran dalam perkembangan pelayanan publik saat ini. Kepentingan warga
menjadi semacam kontrak sosial yang disepakati dan harus dijalankan oleh
pemerintah. Hal ini dilaksanakan di beberapa kota di Inggris dan lazim dikenal
melalui konsep The Citizen Charters. Citizen's Charter merupakan suatu
petunjuk dan referensi bagi birokrat dalam menjalankan tugasnya yang berisi
hak-hak yang dimiliki masyarakat dalam suatu pelayanan. Citizen's charter
sekaligus menjadi alat publik untuk mengatasi jalannya penyelenggaraan
pelayanan. Di dalamnya terdapat acuan yang jelas mengenai persyaratan
pelayanan, waktu, biaya yang diperlukan, dan mekanisme pengaduan jika
pemberi pelayanan gagal, memberikan pegangan bagi pengguna jasa publik
30
pada umumnya untuk ikut memantau dan mengawasi jalannya pelayanan
(Soeprapto, 2005).
Sementara itu, menurut Garvin yang dikutip oleh Ibrahim, kualitas jasa
atau pelayanan mencakup dimensi–dimensi: 1). Performance/tampilan; 2).
Fitur (features); 3). Kesesuaian (conformance); keandalan (realibility);
ketahanan (durability), tanggapan, estetika; dan reputasi.
Secara lebih sederhana, Goetsch dan Davis (1994, 4) menguraikan
bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas pelayanan juga diartikan sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan terpenuhinya harapan/kebutuhan
pelanggan, dimana pelayanan dikatakan berkualitas apabila dapat
menyediakan produk dan jasa pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan
harapan pelanggan.
Dengan demikian menurut Goetsch dan Davis (1994, 4) terdapat lima
hal penting dalam kualitas pelayanan, yaitu : 1) pihak yang melayani, 2) pihak
yang dilayani (customer/pelanggan), 3) bentuk atau jenis pelayanan yang
diberikan, 4) bantuan secara optimal, dan 5) perlakuan dalam pelayanan.
Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam hubungan dengan pelayanan prima di lingkungan birokrasi
pemerintah, maka yang dimaksud dengan pihak yang melayani adalah seluruh
jajaran “birokrasi pemerintah”. Artinya, baik yang duduk sebagai pejabat
struktural (manajer), pejabat fungsional, maupun staf yang tidak memiliki
kedua jenis jabatan tersebut, memiliki kewajiban memberikan pelayanan
kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang memerlukan dilayani sebaik
mungkin. Dengan demikian, pelayanan tidak hanya diberikan oleh petugas
loket, Satpam, operator, sekretaris, staf bagian umum/tata usaha, atau
petugas lapangan lainnya yang non manajerial saja, tetapi seluruh tingkatan
dalam tatanan organisasi. Pendekatan ini menjadi penting, oleh karena
konotasi pelayanan sampai saat ini adalah hanya yang dilakukan oleh para
31
petugas teknis yang berada di garis paling depan. Padahal kenyataannya dan
hakekat dari pemberi pelayanan, tidak sesempit sebagaimana dimaksud.
Pihak yang dilayani dalam proses pelayanan prima, yaitu masyarakat
dalam arti luas baik masyarakat dalam artian sebagai individu, kelompok,
dalam bentuk organisasi sosial kemasyarakatan, dunia usaha maupun
masyarakat yang datang dari negara lain. Dalam bahasa di dunia bisnis adalah
customers atau para pelanggan. Bahkan dalam konsep manajemen bisnis,
customers adalah merupakan nilai inti (core value), sebab mati hidupnya suatu
perusahaan sangat tergantung dari para pelanggan. Dengan demikian,
pelanggan hakekatnya adalah semua orang yang memerlukan pelayanan dan
harus diberikan sebaik mungkin. Menyangkut masyarakat asing atau pihak
asing, pertimbangannya karena dalam era globalisasi serta keterkaitan dengan
negara lain dalam berbagai kesepakatan, baik yang terkait dengan masalah
ekonomi, perdagangan, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan,
lingkungan hidup dan lain sebagainya. Sebagai contoh pelayanan informasi
tentang pencemaran udara baik yang berasal dari luar negeri maupun berasal
dari Indonesia ke negara lain.
Pada dasarnya bentuk pelayanan sangat variatif. Misalnya pelayanan
yang berbentuk produk/barang (fisik), jasa (non fisik) maupun administratif.
Dalam pekerjaan kesekretariatan bentuk pelayanan dikenal berupa pelayanan
teknis dan administrasi. Pelayanan dalam bentuk teknis, antara lain :
mengetik, menghitung, pengamanan, kebersihan dan lain sebagainya.
Pelayanan dalam bentuk administratif antara lain pembuatan perizinan,
sistem kerja misalnya, sistem perkantoran, sistem komunikasi organisasi,
sistem tata ruang, sistem informasi kebakaran hutan, sistem pemantauan
kerusakan terumbu karang, sistem pengendalian dampak lingkungan global,
dan sebagainya. Pelayanan administratif hampir tidak dapat dilaksanakan
tanpa bantuan pelayanan teknis. Untuk itu, baik pelayanan teknis maupun
administratif hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan, atau
merupakan satu kesatuan yang utuh.
32
Bantuan secara optimal bermakna bahwa bantuan yang diberikan
kepada pihak-pihak yang memerlukan, prinsipnya harus diberikan seoptimal
mungkin. Optimal adalah suatu upaya yang secara terus-menerus
ditingkatkan. Dengan demikian dalam optimalisasi tidak dikenal berhenti atau
puas sesaat. Ide dasarnya, adalah “sikap tidak pernah puas”. Konsep ini
apabila dikembangkan, menjadi dorongan atau motivasi yang besar dan tanpa
batas. Hal ini mengingat, konsep pelayanan prima hakekatnya merupakan
suatu konsep yang kualitatif. Artinya, suatu konsep yang pengukurannya
sangat relatif, namun demikian dalam manajemen pelayanan karena
pertimbangan keterbatasan, maka dibuat ukuran-ukuran minimal. Konsep ini
sejalan dengan konsep Total Quality Management, yang hakekatnya berisi
tentang peningkatan kualitas produk tanpa henti (Juran, 1995).
Perlakuan dalam pelayanan adalah satu sikap tertentu (dapat dalam
bentuk kurang baik maupun baik) dari pihak yang melayani terhadap
pelanggan. Dalam pelayanan prima, maka perlakuan dalam pelayanan adalah
berdasarkan prinsip bahwa semua pelanggan (masyarakat) atau yang dilayani
adalah “raja”, tanpa membedakan suku, agama, ras, warna kulit, status,
pangkat dan sejenisnya. Dengan kata lain, baik yang memerlukan pelayanan
pejabat, pegawai biasa, dan bahkan masyarakat yang paling bawah pun,
harus dilayani sama. Pernyataan ini mudah diucapkan, tetapi dalam praktek
sulit diterapkan. Penyebabnya, antara lain orientasi birokrasi pemerintah
masih cenderung menggunakan feodalitik manajemen, kolusi, dan secara
struktural masih menganggap adanya stratifikasi dalam masyarakat.
Pernyataan ini perlu diteliti kebenarannya, namun yang paling jelas terlihat
adalah karena “uang”. Oleh karena itu dapat dikatakan, kecepatan pelayanan
sangat ditentukan oleh besarnya uang pelicin, dan kedekatannya dengan
petugas.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Budi Ibrahim sespanas LAN
sebagaimana dikutip oleh Sudarsono (2001) mengemukakan bahwa dalam
hubungan dengan pelayanan publik, maka terdapat delapan variabel yang
inhern di dalamnya, yaitu:
33
1) Pemerintah yang bertugas melayani.
2) Masyarakat yang dilayani Pemerintah.
3) Kebijakan yang dijadikan landasan pelayanan publik.
4) Peralatan atau sarana pelayanan yang canggih.
5) Resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan
pelayanan.
6) Kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standar
dan asas-asas pelayanan masyarakat.
7) Manajemen dan kepemimpinan serta organisasi pelayanan masyarakat.
8) Perilaku yang terlibat dalam pelayanan masyarakat, pejabat dan
masyarakat, apakah masing-masing menjalankan fungsinya.
Dari sisi yang berbeda, kriteria kualitas pelayanan menurut Evans dan
Lindsay (1997) dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika dilihat dari sudut
pandang konsumen, maka kualitas pelayanan selalu dihubungkan dengan
sesuatu yang baik/prima (excellent). Jika kualitas pelayanan dipandang dari
sudut “product based”, maka kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagai
suatu fungsi yang spesifik, dengan variable pengukuran yang berbeda-beda
dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan karakteristik produk
yang bersangkutan. Kualitas pelayanan jika dilihat dari sudut “user based”,
maka kualitas pelayanan adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau
tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Sementara, jika dilihat dari
“value based”, maka kualitas pelayanan merupakan keterkaitan antara
kegunaan atau kepuasan dengan harga.
Menurut World Bank (2010) Indonesia menempati urutan yang kurang
baik terkait pelayanan baik, penyelenggaraan pelayanan publik tersebut
seringkali belum mampu memenuhi kepuasan masyarakat di Indonesia.
Masyarakat masih banyak yang berpendapat bahwa sampai saat ini aparat
pemerintah dalam hal pemberian pelayanan sulit untuk diakses, prosedur
yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perzjinan tertentu, besaran
biaya tidak jelas, serta terjadinya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
34
(selanjutnya disingkat KKN) merupakan suatu fenomena rendahnya kualitas
pelayanan publik di Indonesia. Keadaan tersebut menjadikan pelayanan
publik di Indonesia masih harus meningkatkan kualitas pelayanannya agar
dapat memuaskan masyarakat penggunanya. Kualitas pelayanan merupakan
suatu hal yang sangat penting bagi organisasi penyedia pelayanan, termasuk
juga pelayanan publik atau dengan kata lain praktek KKN dalam
pemerintahan dan pelayanan publik masih terus berlangsung bahkan dengan
skala dan pelaku yang semakin meluas. Keinginan masyarakat untuk
menikmati pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel masih
amat jauh dari kenyataan.
Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian atas pemenuhan kriteria dan
prinsip tersebut secara baik. Penilaian terhadap kualitas pelayanan dilakukan
pada saat pemberian pelayanan, yaitu terjadinya kontak antara pelanggan
dengan petugas pemberi pelayanan (service contact person). Kualitas pelayanan
akan terlihat dari kesesuaian pelayanan yang diterima pelanggan dengan apa
yang menjadi harapan dan keinginan pelanggan tersebut.
Untuk menilai Kualitas pelayanan publik dapat pula dilakukan dengan
menilai Indek Kepuasan masyarakat (IKM). Berdasarkan Kepmenpan Nomor
25 Tahun 2004 tentang Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, terdapat 14 unsur
penilaian Pelayanan Publik, yaitu:
1) Prosedur Pelayanan;
2) Persyaratan Pelayanan;
3) Kejelasan Tugas Pelayanan;
4) Kedisiplinan Petugas Pelayanan;
5) Tanggung Jawab Petugas Pelayanan;
6) Kemampuan Petugas Pelayanan;
7) Kecepatan Petugas Pelayanan;
8) Keadilan Mendapatkan Pelayanan;
9) Kesopanan Dan Keramahan Petugas;
10) Kewajaran Biaya Pelayanan;
35
11) Kepastian Biaya Pelayanan;
12) Kepastian Jadwal Pelayanan;
13) Kenyamanan Lingkungan; Dan
14) Keamanan Pelayanan.
36
d. Functional quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas
cara penyampaian suatu jasa ;
37
kemampuan untuk "exit". Masyarakat mungkin beralasan bahwa jika setiap
orang" keluar dari pelayanan, masyarakat secara keseluruhan, termasuk
dirinya, akan bertambah buruk kinerja pelayanan dan karenanya mereka
memilih opsi voice ketimbang opsi exit dan tetap loyal terhadap service
provider.
Di sisi lain, secara lebih operasional, Salim dan Woodward (1992) dalam
Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa untuk menilai kinerja pelayanan
publik dapat dilihat berdasarkan pertimbangan ekonomis, efisiensi, efektivitas,
dan persamaan pelayanan. Aspek ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai
strategi untuk menggunakan sumber daya yang seminimal mungkin dalam
proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi kinerja pelayanan
publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi tercapainya perbandingan
terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output pelayanan.
Demikian pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan yang telah ditentukan.
Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai
ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah
memperhatikan aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses
yang sama terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan. Dimensi-dimensi
orientasi Pelayanan menurut Salim dan Woodward (1992) dalam Dwiyanto
(2002) adalah: 1). Quality, Pelanggan sangat berkepentingan dengan pelayanan
yang bermutu. Pelayanan harus berorientasi pada mutu, sehingga perlu
didengar dan dilihat pandangan pelanggan serta pengalaman mereka atas
mutu pelayanan yang diterimanya; 2). Access, pelayanan harus mudah diakses
oleh pelanggan: a). Letak kantor pelayanan harus sedekat mungkin bisa
dijangkau oleh pelanggan; b). Sifat fisik kantor pelayanan harus cukup
representatif agar dapat diberikan pelayanan yang memuaskan bagi
pelanggan; c). Jam kerja kantor pelayanan harus luas sesuai dengan peluang
dan kesempatan pelanggan; d). Aparat dan sistem pelayanan harus menjamin
terpenuhinya kebutuhan kejiwaan dan sosial pelanggan; e). Pelanggan harus
mudah memperoleh dan memahami informasi pelayanan dan organisasi
38
pelayanan; 3). Choice, pelayanan harus berorientasi pada pilihan dan
keinginan pelanggan. Aparat perlu mencermati dan memahami dengan baik
dan benar apa yang menjadi pilihan dan keinginan pelanggan dan kemudian
berusaha memenuhinya; 4). Participative control, Rakyat mempunyai hak
untuk mengawasi dan mengendalikan pelayanan yang mereka terima. Bila
ternyata pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan pilihan dan
kepentingan mereka maka aparat pelayanan harus mengubah dan
memperbaikinya sesuai dengan harapan pelanggan.
39
publik masyarakat dianggap sebagai klien, pelanggan, atau sekadar pengguna
pelayanan sehingga merupakan bagian dari market contract.
Pada umumnya pelayanan publik memiliki sifat differential information
dan interdependence. Sifat pertama berarti adanya kedudukan yang tidak
berimbang antara penyedia pelayanan dan konsumennya yang disebabkan
oleh ketidaksetaraan posisi antara penyedia pelayanan dan konsumen. Sifat
kedua berarti bahwa keberadaan pelayanan publik dapat mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan masyarakat. Pelayanan publik pada dasarnya adalah
bentuk tanggung jawab pemerintah sebagai institusi yang dibentuk guna
menjalankan fungsi pemerintahan kepada warga negaranya. Dalam
perkembangannya, paradigma pelayanan publik mengikuti paradigma yang
berkembang dalam praktek Administrasi Negara. Pada masa administrasi
negara klasik, pelayanan publik diarahkan pada pelayanan “klien” sehingga
memposisikan pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik lebih tinggi dari
masyarakat, sebagaimana sifat alamiah pelayanan publik differential
information di atas. Pada paradigma tersebut, masyarakat berada pada situasi
sebagai objek pelayanan publik semata sehingga tidak memiliki kewenangan,
kewenangan milik pejabat publik. Rakyat punya hak dan kewajiban untuk
mengontrol jumlah, jenis, dan kualitas pelayanan publik yang diberikan.
40
Karakter utama Old Public Administration (Denhard &
Denhard,2003)
1) Peran Administrasi Publik terbatas pada proses perumusan
kebijakan, peran utamanya adalah implementasi kebijakan
2) Pemberian pelayanan dilaksanakan oleh para administrator yang
harus bertanggungjawab kepada pejabat terpilih (pejabat politik) dan
diberi diskresi yang sangat terbatas.
3) Program-program publik dikelola oleh organisasi yang herarkhis
dimana para pemimpinnya (manager) mengontrol dari atas ke bawah
4) Tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi pemerintahan adalah
efisiensi dan rasional
5) Organisasi publik bila ingin efisien harus dikelola dengan sistem
tertutup dimana keterlibatan masyarakat sangat terbatas
6) Tugas utama administrasi publik melaksanakan POSDCORB
42
4. Bermaksud mengembangkan budaya yang berorientasi kinerja
(performance-oriented culture) di sektor publik
5. Desentralisasi keputusan alokasi sumber daya dan pelaksanaan
pelayanan publik
6. Lebih fokus pada hasil (efisiensi, efektifitas dan kualitas pelayanan) dan
sistem manajemen yang lebih fleksible
7. Memperkuat kapasitas strategik di pusat untuk menuntun perubahan
manajemen publik
45
Administrasi Manajemen Publik Pelayanan publik
Publik Lama Baru Baru
Konsepsi Kepentingan Kepentingan publik Kepentingan publik
dengan publik yang adalah hasil dari
Kepentingan didefinisikan merepresentasikan dialog mengenai
Publik. secara politis
akumulasi pembagian nilai
dan mewakili
kepentingan-
hukum kepentingan
individu
Diskresi Terbatas pada Kebebasan yang Diperlukan tetapi
administratif petugas luas untuk dibatasi dan
administratif mencapai sasaran bertanggung jawab
enterpreneurial
46
Administrasi Manajemen Publik Pelayanan publik
Publik Lama Baru Baru
Mekanisme Melakukan Menciptakan Membangun
untuk program- mekanisme dan koalisasi antara
mencapai program struktur insentif publik, non-profit,
sasaran melalui agensi- untuk mencapai dan privat untuk
kebijakan. agensi sasaran kebijakan temukan
pemerintah melalui agensi kesepakatan
yang sudah privat /swasta dan bersama atas
ada nonprofit kebutuhan yg ada
47
atas enterpreneurship; kepentingan publik dikembangkan secara lebih baik
oleh pelayanan publik dan warga negara memberikan kontribusi berharga
untuk membuat kontribusi penuh terhadap masyarakat daripada manajer
entrepreneurial yang bertindak jika dibayar. Keempat, berpikir secara
strategic, bertindak secara demokratis. Kebijakan-kebijakan dan program yang
mernenuhi kebutuhan publik dapat secara efektif dan responsif dicapai
melalui usaha bersama dan proses kolaborasi. Kelima, mengakui bahwa
akuntabilitas bukan hal sederhana, Pelayanan publik harus lebih perhatian,
harus hadir dalam hukum konstitusional dan statutory, nilai masyarakat, nilai
politik, standar profesional dan kepentingan warga negara. Keenam, melayani
bukannya mengatur; barangkali semakin penting bagi pelayanan publik untuk
menggunakan kepemimpinan berbasis nilai, berbagi dalam membantu warga
negara menyampaikan dan memenuhi kepentingan mereka daripada berusaha
mengontrol atau mengendalikan masyarakat ke arah baru. Ketujuh,
menghargai orang-orang, bukan hanya produktivitas, organisasi dan jaringan
dimana mereka berpartisipasi paling memungkinkan akan sukses dalam
jangka panjang jika mereka beroperasi melalui. proses kolaborasi dan berbasis
kepemimpinan menyebar berdasarkan penghargaan bagi semua orang.
Selanjutnya, unsur mendasar dalam The Citizen's Charter menurut
Oliver dan Drewry (1996) adalah:
1. Standar yang lebih tinggi: Publikasi, dan bahasa yang jelas, standar
pelayanan, pengawasan yang lebih kuat dan independen, sebuah
skema tanda "charter” untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga yang
ada melalui term charter / dana;
2. Keterbukaan; menghilangkan kekaburan tatanan organisasional,
biaya pelayanan, dan sebagainya; staf diidentifikasi melalui nama-
namanya;
3. Informasi: publikasi secara reguler mengenai target-target kinerja dan
seberapa bagus dipenuhi;
48
4. Non-diskriminasi: pelayanan yang tersedia apapun ras maupun jenis
kelaminnya; brosur yang dicetak dalam bahasa-bahasa minoritas
yang dibutuhkan;
5. Daya respon: kepekaan yang lebih besar terhadap kebutuhan
konsumen; konsumen diminta pendapatnya mengenai pelayanan
yang diberikan;
6. Keluhan: tingkat respon terhadap keluhan yang lebih bagus
(termasuk sebuah sistem mediator lokal yang terkait dengan
penanganan klaim-klaim minor), penyembuhan yang memadai,
termasuk kompensasi yang tepat.
Jika dapat diinternalisasikan dengan baik, citizen's charter ini mampu
mandorong penyelenggara pelayanan publik benar-benar menempatkan
masyarakat pengguna jasa sebagai pusat perhatian dari sistem pelayanan.
Pengembangan citizen's charter tentu akan mendorong bukan hanya
perubahan struktur birokrasi, seperti prosedur pelayanan dan sifat hubungan
antara penyelenggara dan pengguna pelayanan publik, tetapi nilai, etika dan
budaya pelayanan yang selama ini cenderung melecehkan kedudukan
pengguna jasa tentu tidak dapat dilakukan lagi, mempermudah para
pengguna pelayanan dan siapa saja yang melakukan peran kontrol seperti civil
society organization (CSO) dan media massa untuk mengawasi jalannya
penyelenggaraan pelayanan publik. Karenanya pengembangan citicen's charter
akan dapat mendorong perubahan yang cukup mendasar dalam praktek
penyelenggaraan pelayanan publik.
e-governance: Screen-Level Bureaucracy (transaksi lewat layar komputer)
dan from street level to system level bureaucracies
Sistem informasi juga diperlukan sebagai bentuk pengendalian yang
dapat menjamin tidak terjadinya penyimpangan yang sering terjadi saat
birokrasi melakukan transaksi secara langsung (tatap muka) dengan publik.
Salah satu bentuk pentingnya sistem informasi menjadi gagasan Bovens dan
Zouridis (2001) tentang Screen-Level Bureaucracy (transaksi lewat layar
49
komputer) yang saat ini mulai dipertimbangkan sebagai alat pelayanan publik.
Gagasan Bovens dan Zouridis dikembangkan seiring dengan semakin
berkembangnya penggunaaan teknologi informasi dan komunikasi (ITC).
Dalam konsep Screen-Level Bureaucracy ini, transaksi tidak dijalankan secara
kontak langsung antara birokrat dengan publik, melainkan dilakukan lewat
layar komputer. Dengan tidak adanya kontak langsung dalam transaksi dan
dengan mengalihkan transaksi lewat layar komputer, seluruh informasi
tentang penyelenggaraan pelayanan menjadi bersifat publik, sehingga
melahirkan transparansi. Terdapatnya transparansi memungkinkan dan
memudahkan kontrol secara langsung, sehingga segala bentuk penyimpangan
dapat dihindari.
Namun tidak berapa lama kemudian, gagasan tersebut diperbaharui
sendiri oleh Mark Booven dan Stavros Zouridis. Tulisan dalam makalahnya
yang berjudul From street level to system level bureaucracies- how ICT is
transforming administrative discreation and constitutional control yang
disampaikan di Leiden University pada 21-22 June 2001 mengemukakan
perubahan dari street level bureaucracy menjadi system level bureaucracies,
seperti yang dikemukakan di bawah ini:
“A number of large excecutive organizations have undergone a process of
gradual but fundamental change over the past few decades. Key in the
was the role of information and communication technology (ICT). The sheer
dynamism caused by the introduction of computers impacted on both the
organization of the street level bureaucracy and on the underlying legal set
up. In a relatively short period of time, the street level bureaucracy
changed into what we could call a screen level bureaucracy. In so far as
the implementing officials are directly in contact with citizens, these
contacts always run via or in the presence of a computer screen. Public
servants can no longer freely taje to the streets, but are always connected
to the organization via the computer. Client data must be filled in, with the
help of fixed templates, in electronic forms. Knowledge managemnt system
and digita; decision trees have strongly reduced the scope of
administrative disreation. Many decisions are no longer made at street
level, by the worker handling the case, but have been programmed into the
computer in the design of the software. A number of major excecutive
organizations have meanwhile progressed even further and are rapidly
developing into what could be termed system level bureacracies”.
50
Kontak dengan warga tidak lagi terjadi di jalan, dalam ruang
pertemuan atau dibelakang jendela, tetapi melalui kamera, modem dan
website. Sistem pakar telah mengganti pekerja profesional. Terpisah dari
informasi publik dan staff pembantu, tidak ada lagi birokrasi garis
depan yang didefinisikan oleh Lipsky (1980). Proses penerbitan
keputusan dilakukan – dari awal sampai akhir – oleh komputer.
Informasi yang dibutuhkan disuplai secara elektronik dan diproses oleh
komputer sedangkan produk akhir diberikan secara elektronik, dengan
email. Jika warga memberikan keluhan atau keberatan akan ada
petugas khusus.
Dari birokrasi garis depan berubah ke birokrasi screen monitor dan
berubah lagi menjadi birokrasi level system. Semula masyarakat
bertemu muka dengan banyak pegawai dan meja, lalu berubah menjadi
masyarakat bertemu dengan layar monitor komputer. Rupanya hal
tersebut mengilhami Bovens dan Zouridis yang kemudian
mengemukakan gagasannya yang lebih baru yaitu masyarakat tidak
perlu bertemu langsung dengan pegawai, cukup mengirimkan
permohonannya melalui email dan hasilnya pun diemail pula. Oleh
karena itu proses pelayanan menjadi terpadu - satu pintu - satu meja.
Persiapan pelayanan terpadu-satu pintu-satu meja perlu banyak
dilakukan beberapa hal, antara lain petugas sudah menguasai IT,
software dan hardware telah tersedia, masyarakat harus diberdayakan
dengan ICT. Persiapan tersebut tidak mudah dilakukan, namun dapat
dilakukan, seluruh pihak (stakeholder) secara bersamaan
memberdayakan dirinya, termasuk para birokrat.
Contoh kegiatan dalam system level bureaucracies: di Indonesia
terdapat perusahaan penerbangan swasta, sebut saja X saat ini sudah
menerapkan kecanggihan ICT tersebut. Citizen dari rumahnya
melakukan booking tiket penerbangan melalui internet kemudian
membayar melalui sms banking dengan Handphonenya, tidak sampai 5
51
menit citizen tersebut sudah langsung menerima tiket melalui email,
tanpa beranjak dari mejanya. Atau permintaan booking dilakukan secara
lesan dengan handphone, setelah mendapat kode booking dan kode
bayar lalu membayar dengan sms banking melaui handphonenya,
kemudian 5 menit kemudian tiket sudah diterima melalui email, dan
langsung dapat dicetak. Begitu pula petugas tiketing dari perusahaan
penerbangan X tersebut, ketika ada permintaan booking langsung
memberikan kode booking pada citizen sekaligus dengan kode bayar dan
time limit nya. Semua pekerjaan tersebut dilakukan pada satu meja yang
dilengkapi Personal Computer (PC) atau laptop, printer dan Handphone,
waktu penyelesaian pekerjaan sangat cepat tidak sampai 10 menit,
persyaratan mudah, prosedur sederhana, citizen dan pegawai maskapai
penerbangan tidak bertemu tatap muka, sehinggga tidak terjadi
korupsi/moral hazard. Proses inilah yang oleh Bovens dan Zouridir
disebut System Level Bureaucracies. System Level Bureaucracies dapat
pula diterapkan pada pengurusan pelayanan administrasi lainnya
seperti pelayanan perizinan, tentunya dengan modifikasi software yang
berbeda dengan pengurusan ticketing.
52
NPG dapat dipraktekan di lingkungan masyarakat yang telah
memiliki tatanan yang baik (governance) yang mampu mementukan
pilihan layanan yang mereka butuhkan, membangun aliansi atau
kerjasama antar anggota masyarakat untuk mewujudkan laynanan
tersebut untuk mereka sendiri. Model NPM dan NPS kurang dapat
memfasilitasi inisiasi masyrakat yang demikian, apalagi OPA yang
menghendaki persetujuan politis untuk setiap gerakan pelayanan
publik. Untuk Itu NPG dirancang sebagai bentuk administrasi publik
yang dapat memfasilitasi inisiasi m asyarakat dalam menentukan
layanan publik yang diperlukan oleh mereka, dan memfasilitasi
masyarakat untuk membangun jejaring dengan anggoata masyrakat
lainnya untuk memberikan layanan tersebut kepada sesama anggotanya.
Akuntabilitas pelayanan publik bertumpun pada nilai trust
(Runya, et al., 2005) atau kepercyaaan antar anggota jejaring yang
dipelihara oleh sistem dan aturan yang dibuat oleh anggota jejaring.
Dalam paradigma ini kapasitas organisasi pelayanan publik (Public
Service Organization atau PSO) atau profesional yang diperlukan dalam
kapasista dalam membangun jejaring antar organisasi dan kolaborasi
dengan organisasi masyarakat, sehingga jenis - jenis pelayanan
masyarakat yang diselenggarakan oleh pemerintah semakin dapat
dirasakan oleh masyarakat dengan menggunakan kepanjanagan tangan
anggota masyarakat ataupun organisasi masyarkat secara sukarela
(community service organization). Merujuk pada deskripsi di atas,
paradigma mengedepankan aspek demokratisasi dengan membuka
kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan, menciptakan dan
juga memberikan pelayanan kepada masyarakat lainnya. Dengan
berjalannya mekanisme masyarakat ini, disatu sisi, efisiensi pelayanan
publik dapat tercapai. Namun demikian, paradigma ini pun
mendapatkan berbagai kritik. Dengan karakteristik jejaring dan
kolektivitas kelompok tertentu, dikhawatirkan bahwa layanan publik
tertentu hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu, sehingga
53
efekvitas pelayanan diragukan. Demikian juga pelibatan masyarakat
atau organisasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan publik
diragukan keterhandalannya, terkait sangsi akan kapasitas sumber daya
manusia dan kelembagaannya.
54
9) akuntabilitas;
10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
11) ketepatan waktu;
12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan (pasal 4).
55
Sementara itu. menurut Kepmenpan Nomor 63 Tahun 2003,
Prinsip-Prinsip Pelayanan Publik adalah:
1) Kesederhanaan,
2) Kejelasan,
3) Kepastian Waktu,
4) Akurasi,
5) Keamanan,
6) Tanggungjawab,
7) Kelengkapan sarana dan prasarana,
8) Kemudahan Akses,
9) Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
10) Kenyamanan,
56
11. Komunikasi yang efektif dan terus menerus adalah kunci
kesuksesan penyempurnaan dan perubahan
12. Adanya informasi dan komunikasi terbuka antara pelanggan
(masyarakat) dan stake holder
13. Hubungan dengan sektor swasta adalah dua arah, dengan
menerapkan prinsip keterbukaan dan kejujuran
14. Pejabat senior memberikan kepemimpinan yang merangsang
motivasi dan penyempurnaan yang berkelanjutan
57
2) Kedua, pelayanan terpusat, adalah pola pelayanan publik yang
diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan
berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan
terkait lainnya yang bersangkutan.
3) Ketiga, pelayanan terpadu, meliputi dua pola yaitu pelayanan
terpadu satu atap dan pelayanan terpadu satu pintu.
4) Keempat, Gugus Tugas, adalah petugas pelayanan secara
perorangan atau dalam bentuk tugas yang ditempatkan pada
instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan
tertentu.
Selain itu, Pemerintah dalam usaha untuk memperbaiki kualitas
pelayanan, khususnya kelompok pelayanan administratif, telah menetapkan
Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (= PPTSP). Dalam Permendagri tentang PPTSP
didefinisikan bahwa izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemda
berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti
legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk
melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Sementara perizinan adalah
pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu,
baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.
Dalam Permendagri tersebut dijelaskan, bahwa Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan
non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan
sarnpai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Tujuan
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu tersebut adalah: a). untuk
meningkatkan kualitas layanan publik; b). memberikan akses yang lebih luas
kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik. Sementara
sasarannya adalah: a). terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah,
mudah, transparan, pasti dan terjangkau; b). meningkatnya hak-hak
masyarakat terhadap pelayanan publik. Tugas utama PPTSP adalah
melakukan penyederhanaan pelayanan, yaitu upaya penyingkatan terhadap
58
waktu, prosedur, dan biaya pemberian perizinan dan non perizinan, termasuk
di dalamnya adalah proses penyelenggaraan pelayanan perizinan untuk satu
jenis perizinan tertentu atau perizinan paralel.
Penyederhanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, wajib dilakukan oleh
Bupati/Walikota. Bupati/Walikota mendelegasikan kewenangan
penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada Kepala PPTSP untuk
mempercepat proses pelayanan.
Cakupan Penyederhanaan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu, meliputi: (a). pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan
yang dilakukan oleh PPTSP; (b). percepatan waktu proses penyelesaian
pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam
peraturan daerah; (c). kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan
yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah; (d). kejelasan prosedur
pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian
perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya; (e).
mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua
atau lebih permohonan perizinan; (f). pembebasan biaya perizinan bagi Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan
peraturan yang berlaku; dan (g). pemberian hak kepada masyarakat untuk
memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan.
Selain itu, Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu
Pintu yang terbentuk harus memiliki sarana dan prasarana yang berkaitan
dengan mekanisme pelayanan, yaitu: (a). loket/ruang pengajuan permohonan
dan informasi; (b). tempat/ruang pemrosesan berkas; (c). tempat/ruang
pembayaran; (d). tempat/ruang penyerahan dokumen; dan (e). tempat/ruang
penanganan pengaduan. Lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan
atas semua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi
kewenangan Kabupaten / Kota. PPTSP mengelola administrasi perizinan dan
non perizinan dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, dan kearnanan berkas.
59
Perangkat Daerah yang secara teknis terkait dengan PPTSP
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melakukan pembinaan teknis dan
pengawasan atas pengelolaan perizinan dan non perizinan sesuai dengan
bidang tugasnya. Pemeriksaan teknis di lapangan dilakukan oleh Tim Kerja
Teknis di bawah koordinasi Kepala PPTSP; Tim kerja teknis beranggotakan
masing-masing wakil dari perangkat daerah teknis terkait dan ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/Walikota. Tim kerja teknis memiliki kewenangan
untuk mengambil keputusan dalam memberikan rekomendasi mengenai
diterima atau ditolaknya suatu permohonan perizinan.
Sementara itu, terkait dengan jangka waktu penyelesaian pelayanan
perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 15 hari kerja terhitung
mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh kelengkapannya.
Besaran biaya perizinan dan non perizinan dihitung sesuai dengan tarif yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah, di mana dokumen persyaratan
perizinan yang disediakan kecamatan dan desa serta kelurahan harus dalam
satu paket biaya perizinan.
Selain proses perizinan dalam PPTSP, diatur pula kualifikasi sumber
daya manusianya, yakni pegawai yang ditugaskan di lingkungan PPTSP
diutamakan mempunyai kompetensi di bidangnya dan para pegawai tersebut
dapat diberikan tunjangan khusus yang besarannya ditetapkan dengan
Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
otonom. Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan pengembangan
sumber daya manusia pengelola pelayanan terpadu satu pintu secara
berkesinambungan.
Pada era reformasi saat ini sangat dibutuhkan keterbukaan informasi.
Oleh karena itu PPTSP wajib memiliki basis data dengan menggunakan sistem
manajemen informasi. Data dari setiap perizinan dan non perizinan yang
diselesaikannya disampaikan kepada perangkat daerah teknis terkait setiap
bulan. Selain itu, PPTSP wajib menyediakan dan menyebarkan informasi
berkaitan dengan jenis pelayanan dan persyaratan teknis, mekanisrne,
penelusuran posisi dokumen pada setiap proses, biaya dan waktu perizinan
60
dan non perizinan, serta tata cara pengaduan, yang dilakukan secara jelas
melalui berbagai media yang mudah diakses dan diketahui oleh masyarakat.
Selanjutnya, penyebarluasan informasi tersebut dilaksanakan oleh PPTSP
dengan melibatkan aparat pemerintah kecamatan, desa, dan kelurahan. Data
dan informasi jenis pelayanan, dapat diakses oleh masyarakat dan dunia
usaha.
Termasuk dalam keterbukaan informasi adalah kesiapsediaan PPTSP
untuk: (1). menyediakan sarana pengaduan dengan menggunakan media yang
disesuaikan dengan kondisi daerahnya; (2). menindaklanjuti pengaduan
masyarakat secara tepat, cepat, dan memberikan jawaban serta
penyelesaiannya kepada pengadu paling lama 10 hari kerja; (3). melakukan
penelitian kepuasan rnasyarakat secara berkala sesuai peraturan perundang-
undangan. Penelitian tentang kepuasan masyarakat tersebut diatur dalam
Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara Nomor 25 Tahun 2004
Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit
Pelayanan Instansi Pemerintah
61
BAGIAN 4
KONSEP PENGADUAN MASYARAKAT
62
10) Organisasi pelayanan tidak responsif terhadap kebutuhan dan keinginan
serta harapan pelanggan
Lebih lanjut Dyah Hariani (2008: 246) bahwa dalam prakteknya keluhan-
keluhan dari pengguna layanan (masyarakat) dan stakeholder perlu
diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis keluhan tertentu. Pengklasifikasian
jenis-jenis keluhan tertentu misalnya;
1. Keluhan mengenai keterlambatan proses pelayanan,
2. Petugas yang kurang ramah,
3. Informasi yang tidak jelas, atau bahkan juga keluhan berkaitan dengan
berbagai penyimpangan yang terjadi dalam penerapan standar-standar
pelayanan.
Selain itu, tidak semua keluhan dapat ditindak lanjuti pada saat keluhan
diterima, tetapi membutuhkan waktu tertentu untuk menyelesaikannya.
Sehingga setiap komplain (keluhan) yang masuk perlu disaring terlebih
dahulu.
Setelah melalui proses penyaringan ini, selanjutnya dilakukan penentuan
prioritas keluhan. Dyah Hariani (2008: 246) membagi prioritas keluhan dapat
dilakukan dengan kriteria antara lain:
1. Sejauhmana dampak keluhan terhadap kemungkinan menurunnya
kepercayaan pengguna layanan terhadap pelayanan yang dilakukan oleh
unit penyedia pelayanan.
2. Sejauhmana keluhan yang disampaikan disertai dengan data-data yang
akurat.
3. Sejauhmana keluhan memberikan dampak terhadap proses manajemen
pelayanan, dan lainnya.
Masalah dalam keluhan juga digolongkan kedalam tiga tingkatan yaitu:
1. Masalah yang penting
2. Masalah sederhana
3. Masalah kompleks
(Dyah Hariani, 2008: 246).
63
Namun demikian seperti disebutkan D.M. Martin (1994) menyatakan
bahwa: “Mature organizations encourage customers to complain. They seek to
convert complaining customers into satisfied customers ……….”. Organisasi yang
baik menyambut baik adanya pengaduan untuk merubahnya menjadi sebuah
kepuasan pengguna/ pelanggan. Dengan kata lain keluhan, memiliki manfaat.
64
accountability process and in fact are often the starting point. Any agency that
claims to be accountable for its actions must take complaints seriously.”
Keberhasilan Manajemen Komplain Dipengaruhi oleh:
1. Personal Factors --- yaitu faktor keahlian, rasa percaya diri, motivasi dan
komitmen masing-masing aparat pelayanan
2. Leadership Factors --- yaitu faktor kualitas dorongan, bimbingan dan
dukungan yag diberikan oleh atasan dan pimpinan tim
3. Team Factors --- yaitu faktor kualitas dukungan dari seluruh anggota tim
pelayanan
4. System Factors --- yaitu faktor sistem kerja yang handal dan fasilitas
yang memadai yang disediakan oleh organisasi pelayanan
5. Contextual (Situational) Factors --- yaitu situasi dan kondisi lingkungan
baik internal maupun eksternal
65
2) Semua staf terlatih dan sadar akan tanggungjawabnya menangani
komplain dan memahami dengan baik prosedurnya
3) Semua aparat sadar dan faham akan prosedur komplain dengan seluruh
detailnya
4) Tersedianya informasi yang adekuat bagi masyarakat tentang aktivitas
aparat dan masalah-masalah untuk meminimalkan komplain
5) Adanya peluang bagi pelapor keluhan (komplainan) untuk
mendiskusikan atau mengklarifikasi keluhan
6) Adanya informasi tentang peran Ombudsman bila komplainan tidak
memperoleh kepuasan
7) Adanya titik-kontak atau pusat informasi tentang prosedur komplain
dan ombudsman lokal yang bisa dihubungi.
Metode Komplain: Telepon, SMS, Faximile, Surat Pos, E-Mail, Kontak Tatap-
Muka
Contoh: Prosedur Penanganan Keluhan Pelanggan PDAM
1) Dimulai sejak pelanggan menyampaikan keluhannya kepada staf dengan
membawa rekening air atau kartu meter;
2) Staf mencatat laporan keluhan dalam buku pengaduan pelanggan
secara lengkap;
3) Kepala Unit mempelajari, menganalisis dan melakukan koordinasi
dengan Sub-Unit terkait untuk menindak-lanjuti laporan pengaduan
tersebut;
4) Kepala Sub-Unit terkait menugaskan stafnya dengan membuat surat
perintah penyelesaian permasalahan pengaduan pelanggan dimaksud;
5) Selanjutnya staf terkait akan segera menyelesaikan tugas tersebut dan
kemudian meminta pelanggan yang bersangkutan untuk menanda-
tangani surat perintah sebagai bukti pengaduan pelanggan dan masalah
telah tertangani atau selesai;
6) Kemudian Sub-Unit mengarsipkan surat perintah tersebut;
66
7) Kepala Sub-Unit terkait menanda-tangani Buku Pengaduan Pelanggan
untuk mempermudah Kepala Unit mengontrol penyelesaian pengaduan
pelanggan; dan
8) Kepala Sub-Unit terkait menginventarisir pengaduan pelanggan setiap
bulan untuk mencegah terulangnya pengaduan yang sama.
ISO 9000: Complaints Management Systems
Telah terjadi peningkatan rasa tidak puas pelanggan, mereka mengeluh
atas pelayanan yang diterimanya, tetapi komplain adalah sangat penting bagi
organisasi yang ‘customer-focused; Keuntungan yang bisa diperoleh organisasi
yang mempunyai dan melaksanakan ‘Sistem Manajemen Komplain’ adalah:
1. menemukan peluang utk menemukan kelemahan-kelemahan
pelayanannya;
2. dapat mengidentifikasi wilayah-wilayah yang perlu diperbaiki dan
ditingkatkan;
3. menunjukkan adanya tingkat perhatian dan kepedulian yang tinggi
organisasi terhadap usaha pemecahan masalah pelayanan;
4. adanya prosedur komplain yang efektif dapat membantu organisasi
meningkatkan mutu produk dan pelayanannya dgn menawarkan
pelanggan yang mengeluh suatu metoda umpan-balik bagi penyedia
barang dan jasa pelayanan; dan
5. semuanya itu menjadi piranti utk mengembangkan suatu ‘quality
culture’ dlm organisasi yang berfokus pd kepentingan & harapan
pelanggan.
67
‘satisfied customers. Dengan Sistem Manajemen Komplain, keluhan dapat
ditangani dgn lebih baik dan sekaligus ini menunjukkan pentingnya perhatian
dan kepedulian organisasi kpd pelanggannya. Dengan Sistem Manajemen
Komplain, organisasi akan senantiasa mau mendengarkan pelanggannya, mau
belajar dr kesalahan-kesalahannya dan terus-menerus mau memperbaiki dan
meningkatkan mutu pelayanan-nya.
68
2) Yakinkan pada pelanggan bahwa Anda akan menyambut baik keluhan
tersebut dan semua komentar tentang pelayanan akan menjadi umpan-
balik yang bermanfaat bg organisasi
3) Definisikan komplain dengan baik, misalnya: ‘Suatu ekspresi
ketidakpuasan yang membutuhkan respon;
4) Berikan jaminan bahwa komplain akan ditangani secara mendalam dan
imparsial
5) Terangkan pd pelanggan bagaimana cara menyampaikan komplain dan
cara penanganan komplain tsb;
6) Pastikan pelanggan dapat mengakses sistem komplain dg menggunakan
berbagai metoda (telepon, fax, pos, e-mail dsb) dan siapa petugas yang
bertanggungjawab yang harus dihubungi
7) Harus pula tercantum di dalamnya tentang tindakan perbaikan dan
ganti-rugi yang akan diberikan;
8) Deskripsikan tentang kondisi dan metoda bila komplain harus
dinaikkan (diserahkan) urusannya pada staf yang lebih senior atau
pimpinan langsung;
9) Tetapkan pula target waktu yang dibutuhkan utk menangani komplain
tersebut;
10) Sediakan pula informasi bg mereka yang kurang beruntung mis. Cacat
mata, kelompok minoritas dsb utk memperluas akses pelayanan;
11) Dimana mungkin kemukakan permintaan maaf, penjelasan dan jaminan
bhw kesalahan pelayanan tidak akan terjadi lagi dikemudi-an hari serta
kemungkinan pelanggan mendapatkan ganti-rugi; dan
12) Sajikan pula bhw karena tidak semua komplain dapat diatasi secara
internal maka dimungkinkan peran bagian eksternal dan sepakat
keputusannya mengikat semua pihak.
70
Di dalam bukunya, Gorton (2005:6) dijelaskan bahwa, terdapat 7 prinsip
dalam penanganan pengaduan yang dapat dijadikan inti dari komponen
pelayanan dan dapat dimengerti oleh setiaplevel organisasi. Prinsip-prinsip
tersebut, yaitu:
1) Quality Improvement (Peningkatan Kualitas) Penanganan pengaduan
merupakan bagian yang penting dalam pendekatan peningkatan
kualitas. Peningkatan kualitas merupakan proses sistematis dalam
pelayanan yang secara kontinuitas dievaluasi dan ditingkatkan.
2) Open Disclosure (Keterbukaan Menerima Pengaduan) Elemen-elemen
keterbukaan adalah pernyataan bersalah, penjelasan secara faktual
ataas apa yang telah terjadi, konsekuensi potensial dan langkah yang
diambil dalam mengatur peristiwa dan mencegah kesalahan yang
berulang.
3) Commitment (Komitmen) Seluruh anggota organisasi memiliki komitmen
yang tinggi untuk mengintegrasikan manajemen pengaduan dan
keinginan untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan dalam proses
pelayanan secara efektif.
4) Accessibility (Aksesbilitas) Organisasi mendorong masyarakat dan
pegawai untuk saling memberikan timbal balik dalam hal pelayanan
daan membuat pelayanan semakin mudah untuk satu sama lainnya.
5) Responsiveness (Kemampuan Bereaksi) Bentuk pelayanan dalam sebuah
organisasi harus berorientasi keada masyarakat, sebagai pihak ayang
berhak menerima pelayanan. Organisasi juga harus maau menerima
pengaduan dan menyelesaikan pengaduan secara serius.
6) Transparency & Accountability (Transparansi dan Bertanggung Jawab)
Proses dalam penangan pengaduan harus dapat dijelaskan secara baik,
terbuka dan bertaanggung jawab kepada pegawai dan masyarakat.
7) Privacy & Confidentially Pelayanan dalam penanganan pengaduan
mengutamakan pada sifatnya yang pribadi dan rahasia dari masyarakatnya
dan informasi yang diterima selama proses pengaduan berlangsung, saat
dalam pembuatan keputusan harus terbuka dan bertanggung jawab.
71
Sedangkan untuk pengaduan pelayanan publik telah disebutkan pada
bagian sebelumnya diatur dalam Peraturan Presiden No 76 tahun 2003. Dalam
Pasal 1 poin 5 disebutkan Pengelolaan pengaduan adalah kegiatan
penanganan pengaduan sesuai dengan mekanisme dan tata cara pengelolaan
pengaduan.
Adapun mekanisme pengaduan yang dimaksud dalm Peraturan Presiden No
76 tahun 2003
a. penerimaan, terdiri dari pemeriksaan kelengkapan dokumen pengaduan
dan pencatatan serta pemberian tanggapan kepada pengadu.
b. penelaahan dan pengklasifikasian, terdiri dari identifikasi masalah,
pemeriksaan substansi pengaduan, klarifikasi, evaluasi bukti, dan
seleksi.
c. penyaluran pengaduan yaitu meneruskan pengaduan kepada
penyelenggara lain yang berwenang, dalam hal substansi pengaduan
tidak menjadi kewenangannya.
d. penyelesaian pengaduan, terdiri dan penyampaian saran penyelesaian
kepada pejabat terkait di lingkungan penyelenggara, pemantauan,
pemberian informasi kepada pengadu, pelaporan tindak lanjut, dan
pengarsipan.
Mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat disusun dengan memperhatikan kelompok rentan atau
berkebutuhan khusus.
Penyelesaian pengaduan dan tindakan korektif harus terbuka bagi publik dan
diinformasikan melalui Sistem Informasi Pelayanan Publik pada setiap
penyelenggara.
72
(2) Laporan pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi materi dan kategori pengaduan, waktu penerimaan, status
penyelesaian, hasil penanganan, serta tanggapan pengadu.
Pasal 10
(1) Penyelenggara wajib melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
pengelolaan pengaduan secara berkala sekurang-kurangnya jumlah dan
jenis pengaduan yang diterima, penyebab pengaduan, serta penyelesaian
terhadap pengaduan.
(2) Hasil pemantauan dan evaluasi wajib ditindaklanjuti oleh penyelenggara
untuk peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik.
Selanjutnya untuk penyelesian pengaduan disebutkan dalam Pasal 11,
bahwa
(1) Penyelesaian pengaduan harus dilaksanakan secara cepat, tepat, tertib,
tuntas, dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Penyelenggara wajib menunjuk pelaksana yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan tindak lanjut pengaduan yang diterima di lingkungan
kerjanya.
Pasal 12
(1) Pengaduan dapat dilakukan oleh setiap orang yang dirugikan atau pihak
lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima Iayanan.
(3) Penyelenggara wajib menyelesaikan setiap pengaduan paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak berkas pengaduan dinyatakan lengkap.
Pasca Wacana
1. Keluhan-keluhan yang disampaikan pelanggan pd pemerintah lokal
disebabkan karena mereka tidak puas dgn pelayanan yang diberikan
73
pemerintah. Keluhan yg disampaikan bukan hanya pd barang (seperti
air-minum) tetapi juga jasa (seperti tagihan yang membengkak);
2. Sistem manajemen komplain yang dapat berjalan secara efektif akan
memberikan dampak yang positif pd pelanggan. Tingkat keberhasilan
pemerintah lokal menangani ketidakpuasan pelang-gan akan
memberikan dampak yg signifikan pd persepsi pelang-gan, sebaliknya
bila gagal memenuhi harapan pelanggan akan dipersepsi negatif oleh
pelanggan;
3. Selain itu komplain yang disampaikan akan menumbuhkan umpan-
balik yang positif bg organisasi. Oleh karena itu pemerin-tah lokal perlu
mengorientasikan pelayanannnya pd ‘customer focused’ dan merancang
informasi ttg komplain yg sebaik-baiknya bg pelanggan.
4. Organisasi yang matang adalah yang mampu menggugah pelanggannya
utk menyampaikan keluhan, berusaha sekuat tenaga mampu mengubah
kondisi pelanggan yang mengeluh menjadi pelanggan yang puas.
5. Agar pelanggan dan masyarakat bisa mengakses komplain maka
pemerintah sangat perlu menyusun publikasi ttg informasi yang terkait
komplain dgn menggunakan ‘user-friendly language’ sehingga warga
terdorong menyampaikan komplainnya kepada penyedia pelayanan dan
ini adalah merupakan bagian yang sangat signifikan dalam Sistem
Manajemen Komplain.
74
BAGIAN 5
PELAYANAN KEPADA PENGHUNI RUSUNAWA
Persyaratan
Secara umum, untuk dapat tinggal di rusunawa, ada delapan
persyaratan utama yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Fotokopi KTP DKI Jakarta
2. Fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan surat nikah jika kamu telah berumah
tangga
3. Pas foto berwarna dengan ukuran 3 x 4 sebanyak tiga lembar
76
4. Pas foto berwarna dengan ukuran 4 x 6 sebanyak satu lembar
5. Surat keterangan belum memiliki rumah dari kelurahan (PM1)
6. Surat keterangan penghasilan atau slip gaji
7. Materai Rp 6 ribu sebanyak empat lembar
8. Selanjutnya, jika anda sebagai pemohon telah lolos tahapan verifikasi
berkas, maka wajib membuka rekening tabungan Bank DKI di cabang
yang telah ditentukan, atas nama sendiri serta menyetorkan jaminan
retribusi sebesar 3 kali retribusi tiap bulan.
Proses Penghunian
Pendaftaran calon penghuni rusunawa dilakukan oleh badan pengelola dengan
mempersiapkan formulir pendaftaran calon penghuni,
Tata cara pendaftaran calon penghuni:
Mengajukan permohonan tertulis dan melengkapi persyaratan yang
ditetapkan. Setelah dilakukan pendaftaran calon penghuni sebagaimana
selanjutnya dilakukan penetapan calon penghuni oleh badan pengelola dengan
tata cara sebagai berikut:
1. menyeleksi calon penghuni yang telah mendaftar dan telah memenuhi
persyaratan;
77
2. menetapkan pemohon yang ditunjuk sebagai calon penghuni;
3. menetapkan daftar tunggu calon penghuni yang memenuhi syarat dan
lulus seleksi;
4. mengumumkan dan memanggil calon penghuni;
5. meminta penghuni untuk mengisi surat pernyataan untuk mematuhi
tata tertib penghunian sebagaimana dicontohkan pada
6. membacakan dan memberitahukan hak dan kewajiban penghuni kepada
penghuni, sebelum penandatanganan perjanjian sewa menyewa.
78
Hak, Kewajiban dan Larangan Penghuni
Hak Penghuni
(1) Penghuni sarusunawa berhak:
a. memanfaatkan satuan bukan hunian yang disewa untuk kegiatan
usaha;
b. mendapatkan layanan suplai listrik, air bersih, gas, pembuangan air
kotor dan/atau air limbah;
c. mengajukan keberatan atas pelayanan kondisi lingkungan hunian yang
kurang diperhatikan atau terawat kepada badan pengelola;
d. mendapat pelayanan atas perbaikan kerusakan bangunan, prasarana
dan sarana dan utilitas umum yang bukan disebabkan oleh penghuni;
e. mempunyai sarana sosial;
f. mendapat pelayanan ruang duka pada ruang serba guna bagi yang
meninggal dunia;
g. menempati satuan hunian cadangan yang disiapkan oleh pengelola saat
dilakukan perbaikan pada satuan hunian penghuni;
h. menjadi anggota rukun tetangga, rukun warga yang dimanfaatkan
sebagai wadah komunikasi dan sosialisasi guna kepentingan bersama;
i. mendapat ketentraman dan privasi terhadap gangguan fisik maupun
psikologis;
j. mengetahui kekuatan komponen struktur menyangkut daya dukung
dan keamanan fisik bangunan;
k. mendapat pendampingan mengenai penghunian dari badan pengelola
dan/atau institusi lain yang berkaitan;
l. mendapat penjelasan, pelatihan dan bimbingan tentang penanggulangan
bahaya kebakaran dan evakuasi, pengelolaan sampah, pembuangan
limbah, penghematan air, listrik dan lainnya; dan
m. memanfaatkan prasarana, sarana dan utilitas sesuai dengan fungsi.
(2) Bagi penghuni yang cacat fisik dan lanjut usia berhak mendapatkan
perlakuan khusus.
79
(3) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
penempatan ruang hunian dan mobilitas.
Kewajiban Penghuni
Penghuni rusunawa berkewajiban untuk:
a. mentaati peraturan, tata tertib serta menjaga ketertiban lingkungan;
b. mengikuti aturan tentang kemampuan daya dukung yang telah
ditetapkan pengelola;
c. memelihara, merawat, menjaga kebersihan satuan hunian dan sarana
umum serta berpartisipasi dalam pemeliharaan;
d. membuang sampah di tempat yang telah ditentukan secara rapi dan
teratur;
e. membayar retribusi pemakaian sarana air bersih, listrik, gas;
f. membayar uang sewa dan jaminan uang sewa;
g. melaporkan pada pihak pengelola bila melihat adanya kerusakan pada
prasarana, sarana dan utilitas di rusunawa;
h. membayar ganti rugi untuk setiap kerusakan yang diakibatkan kelalaian
penghuni;
i. mengosongkan ruang huni pada saat perjanjian sewa berakhir;
j. berpartisipasi dalam menciptakan lingkungan dan kehidupan
bermasyarakat yang harmonis;
k. mengikuti pelatihan dan bimbingan yang dilaksanakan oleh pengelola
secara berkala;
l. memarkir dan meletakkan kendaraan di area yang telah ditetapkan.
Larangan Penghuni
Penghuni rusunawa dilarang:
a. memindahkan hak sewa kepada pihak lain;
b. menyewa lebih dari satu satuan hunian;
c. menggunakan satuan hunian sebagai tempat usaha/gudang;
d. mengisi satuan hunian melebihi ketentuan tata tertib;
80
e. mengubah prasarana, sarana dan utilitas rusunawa yang sudah ada;
f. menjemur pakaian dan lainnya di luar tempat yang telah ditentukan;
g. berjudi, menjual/memakai narkoba, minuman keras, berbuat maksiat,
kegiatan yang menimbulkan suara keras/bising, bau menyengat,
termasuk memelihara binatang peliharaan yang mengganggu keamanan,
kenyamanan dan ketertiban lingkungan;
h. mengadakan kegiatan organisasi terlarang sebagaimana peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
i. memasak dengan menggunakan kayu, arang, atau bahan lain yang
mengotori dan dapat menimbulkan bahaya kebakaran;
j. membuang benda-benda ke dalam saluran air kamar mandi/WC yang
dapat menyumbat saluran pembuangan;
k. menyimpan segala jenis bahan peledak, bahan kimia, bahan bakar atau
bahan terlarang lainnya yang dapat menimbulkan kebakaran atau
bahaya lain;
m. mengubah konstruksi bangunan rusunawa; dan
n. meletakkan barang–barang melampaui daya dukung bangunan yang
ditentukan.
82
Kondisi Pelayanan Rusunawa Berdasarkan 14 Unsur Indek Kepuasan
Masyarakat:
Potret Pelayanan Rusunawa berdasarkan 14 unsur Indek kepuasan
masyarakat secara ringkas sebagai berikut : 1). Prosedur Pelayanan Tidak
Berbelit; 2). Persyaratan : Sederhana; 3).Kejelasan Petugas: jelas; 4).
Kedisiplinan: disiplin; 5). Tanggung Jawab : betanggung jawab; 6).
Kemampuan Pegawai : memadai; 7).Kecepatan : Cepat ; 8).Keadilan: adil;
9).Sopan/Ramah: sopan dan ramah ; 10).Kewajaran Biaya;: sewa rusun
murah; namun tarif listrik yang mahal; 11).Kepastian Biaya : Pasti ; dijamin
dengan Peraturan Gubernur No.. ; 12).Kepastian Jadwal: pasti terdapat jam
kerja 8.0-15.0, namun sering sd maghrib). Kenyamanan Lingkungan: gersang,
dan jauh dari pusat keramaian 14). Keamanan: belum terjaga dengan baik
walaupun terdapat CCTV (Tdk Semua Ada Cctv).
83
BAGIAN 6
AGAMA DAN PENGADUAN PUBLIK
( َوﻟَﻘَدْ ﻛَرﱠ ْﻣﻧَﺎ َﺑﻧِﻲ آ َد َمSungguh Kami telah memuliakan keturunan Adam (manusia)
87
BAGIAN 7
ETIKA PENGADUAN PENGHUNI RUSUNAWA
88
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah
“Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Dalam
New Masters Pictorial Encyclopaedia disebutkan: Ethics is the science of moral
philosophy concerned not with fact, but with values, not with thw character of,
but the ideal of human conduct (Lewis M. Adams, 1965:460). Artinya, etika
adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-
nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya. Oleh
karena itu, etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang
merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal
tindakan yang buruk. Dalam kamus bahasa Indonesia dinyatakan bahwa
moral adalah baik buruk perbuatan dan kelakuan.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam
kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk
penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Antara Etika dan moral memiliki
perbedaan. Etika menentukan menentukan baik dan buruk menggunakan
akal fikiran sebgaai tolak ukur, sedangkan moral berdasar pada norman-
norma yang hidup dalam masyarakat.
Selain Etika dan moral, ada juga cara menentukan baik dan buruk,
yaitu akhlak. Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jamak
dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at (Luis
Ma’luf, 1989: 164), akar katanya dari khalaqa artinya menciptakan. Kata
khalaqa memiliki akar kata yang sama dengan kata Khâliq (Pencipta), makhlûq
(yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Adanya kesamaan akar kata tersebut
menurut Yunahar Ilyas (1009:1) mengisyaratkan bahwa dalam akhlak
tercakup keterpaduan antara kehendak Khâliq (Tuhan) dengan perilaku
makhlûq (manusia). Dengan kata lain bahwa perilaku seseorang terhadap
sesama dan lingkungannya memiliki nilai akhlak hakiki apabila tindakan atau
89
perilaku tersebut didasarkan pada kehendak Khâliq (Tuhan). Kata akhlak
secara istilah merupakan norma atau aturan perilaku manusia dalam
berhubungan dengan sesama, Tuhan, bahkan lingkungan dimana manusia
berada.
M Quraish Shihab (2011:755-756) menyatakan bahwa bentuk jamak
pada kata akhlak mengisyaratkan banyak hal yang dicakup olehnya. Akhlak
mencakup hubungan antar manusia, manusia dengan Allah, dengan
lingkungan baik lingkungan hidup maupun bukan serta hubungan diri
manusia secara pribadi.
Mengapa perlu akhlak? Sebagai orang beriman dan berketuhanan Yang
Maha Esa sebagaimana Dasar Negara sila pertama, maka landasan agama
dalam berperilaku merupakan hal yang sangat urgen dan vital. Beragama
berarti berperilaku baik. Beragama berarti memiliki iman. Orang beriman
adalah orang yang paling baik akhlaknya. Hal ini berdasarkan pada sebuah
hadis Rasulullah saw.: “(Abu Daud, Juz IV: 354)
« » أَ ْﻛ َﻣ ُل ا ْﻟﻣ ُْؤ ِﻣﻧِﯾنَ إِﯾﻣَﺎﻧًﺎ أَﺣْ َﺳ ُﻧ ُﮭ ْم ُﺧﻠُﻘًﺎ- ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم- ﷲ
ِ َﻋنْ أَﺑِﻰ ھُرَ ﯾْرَ َة ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل رَ ﺳُو ُل ﱠ
ك
َ َوأَﺣْ ﺳِ ن َﻛﻣَﺂأَﺣْ َﺳنَ ﷲُ إِﻟَ ْﯾ
Artinya: ...” Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu.”
91
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan
“sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal
dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang
acap kali disebut “filsafat moral”.
Salah satu uraian dari diatas adalah tentang pembedaan atas konsep
etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan
itu sendiri yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan,
misalnya mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah
diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu
dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi
dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja,
misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan
cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tetapi tidak ada
persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan
cenderung mengutamakan simbol lahiriah, Apabila dibandingkan dengan etika
yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh
sikap batin. Etika pelayanan publik dalam arti yang sempit, pelayanan publik
adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan
secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat,
berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan
masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan
publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan
publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan,
kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi,
dan bank.
Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang
terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi
apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan
demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan
terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
92
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik
dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam
mencapai kepentingan publik. Dalam konteks ini pelayanan publik lebih
dititikberatkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti
policy making , desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk
mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan
pihak provider yang diberi tanggung jawab, contoh dari pandangan ini, dimana
pelayanan publik benar-benar identik dengan administrasi publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagai filsafat dan profesional standards (kode etik), atau aturan berperilaku
yang benar yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau
administrator publik Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas
maka yang dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek
administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik yang didasarkan
atas serangkaian tuntunan perilaku atau kode etik yang mengatur hal-hal
yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar
dihindarkan.
93
secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan
atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua
aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela
kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar.
Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte
perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini
tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain,
tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan
lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri.
Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam
organisasi (organizational humanism) . Dalam literatur tentang aliran human
relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus bersikap
etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara
manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern
for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan
produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan. Alasan berikut
berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu
variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai
negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan
pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis,
karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.
Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang
bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum
minoritas, miskin, tidak berdaya untuk menjadi pegawai atau menduduki
posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral yang diambil oleh seorang
birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as– fairness. Alasan penting
lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan
94
etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar.
Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan
kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian
pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan
publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidak menentuan ini mendorong
pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Keleluasaan inilah
yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat
pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan
perilaku yang ada.
Mengapa pemberi pelayanan publik harus memiliki etika? Tentu
manusia harus mengingat siapa dirinya, dan bagaimanakah kedudukannya.
Dalam pandangan ajaran agama, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling
mulia. Semua manusia diberi potensi akal untuk berfikir sehingga mampu
bertindak dengan arif dan bijak baik dalam kapasitas pribadi sebagai individu
maupun sebagai pejabat yang diberi amanah.
Manusia harus mampu menunjukkan sifat dan nilai-nilai
kemanusiaannya kepada sesama dan makhluk lainnya. Kemuliaan manusia
akan tampak pada seberapa baik sifat manusia dalam memebrikan pelayanan
kepada sesama dan lingkungannya. Manusia diperintahkan untuk
memberikan pelayanan terbaik bagi sesamanya. Nabi Muhammad memberi
nasihat kepada Mu’adz bin Jabal (Nawawi, t.t.: 67) sebagai berikut:
َوﺧَ ﺎﻟِقِ اﻟﻧﱠﺎسَ ِﺑ ُﺧﻠُقٍ ﺣَ َﺳ ٍن (( رواه اﻟﺗرﻣذي، اﺗﱠقِ ﷲ ﺣَ ْﯾ ُﺛﻣَﺎ ُﻛﻧْتَ َوأﺗْﺑﻊِ اﻟ ﱠﺳ ﱢﯾ َﺋ َﺔ اﻟﺣَ َﺳ َﻧ َﺔ َﺗ ْﻣ ُﺣﮭَﺎ
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah dimana saja engkau berada. Ikutilah
perbuatan yang buruk itu dengan kebaikan yang akan mengahpus
keburukan itu. Perlakukanlah manusia itu dengan akhlak yang baik
96
(1) Yang wajib melakukan penanganan pengaduan masyarakat adalah
Penyelenggara pelayanan, pelaksana pelayanan, dan ombudsman adalah
lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi Penyelenggara
pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara
negaradan pemerintahan termasuk BUMN, BUMD , dan badan hukum
milik negara serta badan swasta atau perseorang yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau APBD. Pemerintah daerah adalah penyelenggara
pelayanan publik, sementara SKPD merupakan pelaksana pelayanan
publik. Ombudsman adalah Penyelenggara berkewajiban menyediakan
sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam
pengelolaan pengaduan.
(2) Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari
penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, DPR, DPRD Propinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu.
(3) Penyelenggara 'berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan
pengaduan
(4) Penyelenggara berkewajiban mengumumkan nama dan alamat
penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang
disediakan.
Penyelesaian Pengaduan
(1) Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik
kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau DPR, DPRD Propinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Masyarakat yang melakukan pengaduan dijamin haknya.
(3) Pengaduan dilakukan terhadap:
a. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melanggar larangan; dan
b. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan.
Pasal 41
(1) Atasan satuan kerja penyelenggara berwenang menjatuhkan sanksi
kepada satuan kerja
(2) penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban dan/ atau melanggar
larangan
(3) Atasan pelaksana menjatuhkan sanksi kepada pelaksana yang
melakukan pelanggaran
(4) Pemberian sanksi dilakukan berdasarkan aduan masyarakat dan/atau
berdasarkan kewenangan yang dimiliki atasan.
98
(5) Pengaduan diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak
lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya.
(6) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan.
(7) Pengaduan disampaikan secara tertulis memuat: a. nama dan alamat
lengkap; b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan dan uraian kerugian materiel atau immateriel yang diderita; c.
permintaan penyelesaian yang diajukan; dan d. tempat, waktu
penyampaian, dan tanda tangan.
(8) Pengadu dapat memasukkan tuntutan ganti rugi dalam surat
pengaduannya
(9) Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat
dirahasiakan.
(10) Pengaduan dapat disertai dengan bukti-bukti sebagai pendukung
pengaduannya.
(11) Dalam hal pengadu membutuhkan dokumen terkait dengan
pengaduannya dari penyelenggara dan/atau pelaksana untuk
mendukung pembuktian maka penyelenggara dan/atau pelaksana wajib
memberikannya.
(12) Penyelenggara dan/ atau ombudsman wajib memberikan tanda terima
pengaduan.
(13) Tanda terima pengaduan sekurang-kurangnya memuat: a. identitas
pengadu secara lengkap; b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan; c. tempat dan waktu penerimaan pengaduan; dan d.
tanda tangan serta nama pejabatlpegawai yang menerima pengaduan.
(14) Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib menanggapi pengaduan
masyarakat paling larnbat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan
diterima yang sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak
lengkapnya materi aduan.
(15) Dalam hal materi aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi
aduannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
99
menerima tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman sebagaimana
diinformasikan oleh pihak penyelenggara dan / atau ombudsman.
(16) Dalam hal berkas pengaduan tidak dilengkapi, pengadu dianggap
mencabut pengaduannya.
(17) Pengaduan terhadap pelaksana ditujukan kepada atasan pelaksana.
(18) Pengaduan terhadap penyelenggara ditujukan kepada atasan satuan
kerja penyelenggara.
(19) Pengaduan terhadap penyelenggara yang berbentuk korporasi dan
lembaga independen ditujukan kepada pejabat yang bertanggung jawab
pada instansi pemerintah yang memberikan misi atau penugasan.
100
Penyelesaian Pengaduan oleh Penyelenggara Pelayanan Publik
(1) Penyelenggara wajib memeriksa pengaduan dari masyarakat rnengenai
pelayanan public yang diselenggarakannya.
(2) Proses pemeriksaan untuk memberikan tanggapan pengaduan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku
bagi penyelenggara.
(3) Dalam memeriksa materi pengaduan, penyelenggara wajib berpedoman
pada prinsip independen, nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak
memungut biaya.
(4) Penyelenggara wajib menerima dan merespons pengaduan.
(5) Dalam hal pengadu keberatan dipertemukan dengan pihak teradu
karena alasan tertentu yang dapat mengancam atau merugikan
kepentingan pengadu, dengar pendapat dapat dilakukan secara
terpisah.
(6) Dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, pihak pengadu menguraikan
kerugian yang ditimbulkan akibat pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan.
(7) Dalam melakukan pemeriksaan materi aduan, penyelenggara wajib
menjaga kerahasiaan.
(8) Kewajiban menjaga kerahasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak gugur setelah pimpinan penyelenggara berhenti atau
diberhentikan dari jabatannya.
(9) Penyelenggara wajib memutuskan hasil pemeriksaan pengaduan paling
lambat 60 (enampuluh) hari sejak berkas pengaduan dinyatakan
lengkap.
(10) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
kepada pihak pengadu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diputuskan.
(11) Dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat jumlah ganti rugi dan batas waktu
pembayarannya.
101
(12) Penyelenggara wajib menyediakan anggaran guna membayar ganti rugi.
(13) Dalam hal penyelesaian ganti rugi, ombudsman dapat melakukan
mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi khusus.
(14) Ajudikasi khusus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak
undang-undang ini diundangkan.
(15) Dalam melaksanakan ajudikasi khusus, mekanisme dan tata caranya
diatur lebih lanjut oleh peraturan ombudsman.
(16) Mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut
dalam peraturan presiden.
(17) Penyelenggara berkewajiban memberikan ternbusan keputusan kepada
pengadu mengenai penyelesaian perkara yang diadukan.
102
(14) Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan
perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain
(15) Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah
orang yang berbicara
Etika Menelpon
(1) Ceklah dengan baik nomor telepon yang akan anda hubungi
(2) Pilihlah waktu yang tepat untuk berhubungan via telepon
(3) Jangan memperpanjang pembicaraan tanpa alasan
(4) Hendaknya penelpon memulai pembicaraannya dengan ucapan salam
(5) Tidak memakai telpon orang lain kecuali seizin pemilik-nya, dan itupun
bila terpaksa.
(6) Tidak merekam pembicaraan lawan bicara kecuali seizin darinya
(7) Berbicara sesuai permasalahan tidak bertele-tele
Etika Berpakaian
(1) Berpakaian yang bersih
(2) Berpakaian yang rapi dan santun
(3) Mengenakan pakaian sederhana
(4) Tidak mengenakan pakaian syuhrah (sensasional)
(5) Tidak memakai pakaian dan perhiasan berlebihan
(6) Menghindari memakai jeans, kaos oblong dan sandal jepit pada area
kantor
(7) Tidak memakai make up berlebihan dan mencolok
103
BAGIAN 8
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan Hasil Penelitian di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut : bahwa Rusunawa belum terdapat Manajemen
Pengaduan Penghuni. Oleh karena itu manajemen pengaduan harus diadakan,
dimana penghuni juga dilatih tentang Etika Pengaduan, begitu pula pengelola
dilatih menerima dengan sabar pengaduan yang diterima dari para penghuni.
Intinya kedua belah pihak baik penghuni maupun pengelola rusunawa
menyampaikan dan menerima pengaduan dengan sepenuh hati.
8.2. Rekomendasi
Hendaknya Pengelola Rusunawa segera membuat bagan alur
manajemen pengaduan penghuni sehingga penghuni dapat dengan cepat
memahami pengaduan yang beretika.
104
DAFTAR REFERENSI
al-Naisâbûrî, Ahmad bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Tsa’labi, Bayrut: Dâr Ihyâ,
2002M/1422H, Cet I, h. 114
al-Sajistani, Abu Daud Sulaimân. Sunan Abi Daud Juz IV, Bayrût: Dâr al-
Kitâb al-‘Arabiy
Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B., 2003, The New Public Service: Serving, Not
Steering, New York: M.E. Sharpe
Dwiyanto, Agus (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada
Gorton, Michael, dkk. 2005. Health Service Review Council:Guide to Complaint
Handling in Health Care Services. Australia
Ibn al-Atsir, Jāmi al-Uṣūl fī Ahādiṭ al-Rasūl, Juz IV , 1390H/ 1971M
105
Retnowati WD Tuti. 2014. Textbook of Public Service. Jakarta. UMJ Press.
Disertasi
Research Result
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/c543580107c8d67a2
a6ba2f7149bbb32.pdf)
106
Ariesta Amanda dan Puji Lestari, 2013. Interaksi Sosial Masyarakat Rumah
Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Di Sleman Yogyakarta. E-
Societas Volume 2, Number 3, Tahun 2013 (
http://journal.student.uny.ac. id/ jurnal/artikel/2775/34/337)
Dian Pramana, Eka Dwi Murdiyanti, Tauran, 2011. Evaluasi Pengelolaan
Rumah Susun Sederhana Sewa Gunungsari Di Surabaya.
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-
akuntansi/article/view/6718
Hariani, Dyah. 2008. Manajemen Komplain dan Penanganan Keluhan Dalam
Pelayanan Publik. “DIALOGUE” Jurnal Ilmu Administrasi dan
Kebijakan Publik. Volum 5. Nomor 2 Mei 2008: 239- 253.
Publikasi Elektronik
Dokumen
107