Anda di halaman 1dari 115

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/333565263

PENGADUAN PENGHUNI RUSUNAWA PERSPEKTIF AGAMA

Book · September 2018

CITATIONS READS
0 18

4 authors, including:

Retnowati WD Tuti
Universitas Muhammadiyah Jakarta
21 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Journal View project

All content following this page was uploaded by Retnowati WD Tuti on 03 June 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENGADUAN
PENGHUNI
RUSUNAWA
PERSPEKTIF
AGAMA
Oleh

Dr. Retnowati WD Tuti, M.Si


Dr.N.Oneng Nurul Bariyah, M.Ag
Mawar , S.IP. M.AP
Dini Gandini Purbaningrum, S.IP, M.A.

Editor:
Dr. Endang Sulastri, M.Si

ISBN : 978-602-52726-2-2
No. Hak Cipta : 000119826
PENGADUAN PENGHUNI RUSUNAWA
PERSPEKTIF AGAMA

Karya:
Dr. Retnowati WD Tuti, M.Si
Dr.N.Oneng Nurul Bariyah, M.Ag
Mawar, SIP., M.AP
Dini Gandini Purbaningrum, S.IP., M.A

Editor:
Dr.Endang Sulastri, M.Si

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


All Right Reserved

Cetakan I, Muharram 1440H / September 2018

ISBN : 978-602-52726-2-2
No. Hak Cipta : 000119826

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke Hadirat Allah subbanahu wata’ala yang telah memberikan
karunianya, sehingga dapat menyelesaiknn buku Referensi berjudul Pengaduan Penghuni
Rusunawa Perspektif Agama.

Kehadiran Buku Referensi ini kiranya dapat memberikan informasi bagi setiap
mahasiswa dan pihak lain yang membutuhkan sebagai referensi dalam kajian Pelayanan Publik
khususnya Pengaduan Masyarakat. Kajian buku ini menghadirkan nilai-nilai agama sebagai
landasan dalam pengaduan masyarakat dan pelayanan publik. Kehadiran buku ini diharapkan
memberikan kemudahan dalam kajian Pelayanan Publik yang dikaji dengan pendekatan agama.
Sehingga kehadirannya dapat memenuhi kebutuhan materi Pengaduan bagi para penghuni
rusunawa.

Pengaduan yang baik berdampak pada penerima pengaduan sehingga terpenuhinya


keinginan pihak yang mengadu. Sebagai insan yang beragama, maka pengaduan itu hendaknya
memiliki nilai-nilai agama yang menjadi anutan. Karena agama, bukan sekedar ibadah ritual
(mahdah), tetapi agama juga memuat sistem nilai yang menjadi jiwa kehidupan bagi setiap
pemeluknya. Dengan kata lain bahwa agama harus menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia
termasuk pengaduan.

Buku ini hadir sebagai salah satu kontribusi dari Tim Penulis yang telah melakukan
penelitian tentang Pengaduan Penghuni di Rusunawa Rawa Bebek Jakarta. Buku ini diharapkan
memberi kontribusi bagi pengembangan kajian Pelayanan dan Pengaduan Penghuni Rusunawa.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan
Tinggi yang telah memfasilitasi dana penelitian. Demikian pula diucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian dan penyusunan buku ini. Semoga kebaikan dan
partisipasi semua pihak mendapatkan balasan yang sesuai dari Allah subhanahu wata’ala.

Akhirnya, mudah-mudahan buku ini bermanfaat dan menajdi amal baik dalam rangka
menyampaikan ilmu pengetahuan bagi masyarakat.

Jakarta, September 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................ iii

DAFTAR ISI .......................................................................................... iv

DAFTAR TABEL .................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii

BAGIAN 1 MENYOAL PRAKTEK PELAYANAN PUBLIK ......................... 1

BAGIAN 2 DASAR HUKUM PELAYANAN ............................................. 7

BAGIAN 3 KONSEP PELAYANAN PUBLIK ............................................ 18

3.1 Pengertian Pelayanan Publik .............................................. 18

3.2 Kriteria Pelayanan Publik ................................................... 21

3.3 Kualitas Pelayanan Publik .................................................. 25

3.4 Paradigma Pelayanan Publik .............................................. 39

3.5 Orientasi Perilaku Pemberi Pelayanan Publik ..................... 54

3.6 Azas Pelayanan Publik ....................................................... 54

3.7 Prinsip Pelayanan Publik .................................................... 55

3.8 Langkah Strategis Dalam Peningkatan Pelayanan Publik.... 57

3.9 Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik ............................. 57

BAGIAN 4 KONSEP PENGADUAN MASYARAKAT ................................ 62

4.1 Pengaduan Masyarakat ...................................................... 62

4.2 Manajemen Pengaduan ...................................................... 64

4.3 Prinsip Manajemen Pengaduan .......................................... 67

BAGIAN 5 PELAYANAN KEPADA PENGHUNI RUSUNAWA ................... 75

iv
BAGIAN 6 AGAMA DAN PENGADUAN ................................................. 84

BAGIAN 7 ETIKA PENGADUAN PENGHUNI RUSUNAWA ..................... 88

7.1 Pengertian Etika................................................................. 88

7.2 Etika Pelayanan Publik ...................................................... 91

7.3 Pentingnya Etika Dalam Pelayanan Publik ......................... 93

7.4 Etika Pengaduan Penghuni Rusun ..................................... 96

7.5 Etika Mengadu Bagi Penghuni Rusun ................................ 102

BAGIAN 8 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................... 104

8.1 Kesimpulan ....................................................................... 104

8.2 Rekomendasi...................................................................... 104

REFERENSI .................. ....................................................................... 105

v
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perbandingan Perspektif OPA, NPM dan NPS ...................... 45

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Gambar Gedung Rusun ..................................................... 82

Gambar 5.2 Rusun Relokasi Keluarga ................................................... 82

vii
BAGIAN 1
MENYOAL PRAKTEK PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan Publik di bidang Jasa banyak dikeluhkan masyarakat.


Beberapa Hasil Penelitian berikut ini mendukung pernyataan tersebut.
Penelitian Pertama, yang berjudul Penyelenggaraan Pelayanan Publik di
Kabupaten Bogor, oleh Retnowati WD Tuti (Disertasi, 2013), mengemukakan
temuannya bahwa Pelayanan Publik di Kabupaten Bogor khususnya
pelayanan dalam pembuatan Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMBG)
tergolong kurang baik, karena prosedur berbelit-belit, waktu sangat lama,
banyak pembayaran di luar retribusi resmi, Moral hazard tinggi, pelayanan
belum Terpadu dan Satu Pintu, dan tidak pernah melibatkan masyarakat.
Penelitian Kedua, yang berjudul Analisis Pelayanan Angkutan Perkotaan di
Kabupaten Bogor, oleh Retnowati WD Tuti dan Izzatusholeha (Penelitian
Fondamental DIKTI 2013 dan 2014), mengungkapkan pula bahwa pelayanan
dalam pada pengusaha angkot yang mengurus surat-surat angkot masih
kurang bagus, karena tidak transparan biaya, biaya tidak pasti dan sangat
mahal, Moral hazard tinggi, tidak pernah melibatkan masyarakat, pengaduan
masyarakat sangat jarang. Penelitian Ketiga, yang berjudul Analisis
Pelayanan IMB di Kota Depok oleh Retnowati WD Tuti (2015) juga
mengungkapkan hal yang sama bahwa pelayanan IMB di Kota Depok masih
kurang baik.
Seorang pakar Administrasi Publik mengungkapkan, Moestapadidjaya
(2003, p. 16). penyelenggaraan pelayanan publik diarahkan pada pencapaian
kepuasan masyarakat. Pemberian layanan: “Memerlukan perilaku “melayani,
bukan dilayani”; “mendorong, bukan menghambat”; “mempermudah, bukan
mempersulit”; “sederhana, bukan berbelit belit”; dan “terbuka untuk setiap
orang, bukan untuk segelintir orang”. Pemberian pelayanan yang bermutu
merupakan kewajiban dari pihak pemberi pelayanan. Begitu pula pemberian

1
pelayanan berkualitas dalam jasa pendidikan juga merupakan kwajiban dari
fakultas maupun Perguruan Tinggi.
Danang Girindrawardana, ketua Ombudsman Republik Indonesia
memaparkan hasil survei kepatuhan pada UU No 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik kepada dinas yang menyelenggarakan unit pelayanan publik
di DKI Jakarta, yaitu hasil survei menyatakan DKI Jakarta hampir 50 persen
dinas yang menyelenggarakan unit pelayanan publik belum mematuhi standar
pelayanan sesuai UU Pelayanan Publik. (Kompas.com, Sabtu. 7 Desember
2013 11:22 WIB). Dwiyanto, 2010 mengatakan bahwa telah dilakukan
reformasi dalam segala bidang, namun pelayanan publik masih tetap menjadi
“pekerjaan rumah”. Pelayanan publik belum memuaskan masyarakat, masih
jauh dari harapan. Indonesia mendapat peringkat ease of doing businesske-
114 dari 189 negara (World Bank, Ease of Doing Business, 2014 dalam
sambutan MENPAN RB di FISIP-Universitas Muhammadiyah Jakarta, 28
Maret 2015). Selain itu, dulu sebelum UU Pelayanan Publik diterapkan, Hasil
Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (2000), pelayanan publik
oleh pemerintah daerah yang langsung mengenai perikehidupan masyarakat
ada sekitar 250 jenis pelayanan, sementara pengaduan yang masuk ke
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (selanjutnya disingkat YLKI) sebanyak
910 pengaduan: keluhan mengenai mutu pelayanan yang rendah, tidak
tanggapnya petugas pemberi layanan, minimnya informasi atas jasa layanan
publik yang diberikan, tidak berjalannya mekanisme pengaduan dan tidak
jelasnya tindak lanjut pengaduan masyarakat (media Cinta Ibu Kota, edisi 8
tahun ke 3 Februari 2000) jumlah pengaduan belum sepenuhnya dapat
dijadikan indikator ketidakpuasan masyarakat akan jasa pelayanan publik
sebab rutinitas pengaduan dengan tanggapan yang negatif dapat menjadikan
masyarakat malas mengadu, karena kenyataannya aparat tidak cepat tanggap
dan merespon keluhan masyarakat, perilaku apatisme demikian akan
menumpulkan kontrol masyarakat terhadap perilaku negatif aparat
pemerintah yang seharusnya menjadi pelayanan masyarakat. Fakta hasil
monitoring awal YLKI tersebut mengidentifikasikan bahwa kepercayaan
2
masyarakat terhadap aparat pemerintah telah rapuh. Service delivery system
dari birokrasi pemerintah masih diragukan, integritas profesional aparat
pemerintah perlu dipertanyakan. Semua ini menjadi bukti empiris rendahnya
kualitas pelayanan publik yang berarti juga rendahnya tingkat akuntabilitas
publik pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik.
Selanjutnya, Penelitian Pusat Studi Kependudukan UGM Tahun 2002,
hasil penelitian menyatakan: banyak mengungkap bukti-bukti kinerja
pelayanan public yang buruk, antara lain ditandai beberapa hal yaitu: 1).
Adanya ketidakpuasan masyarakat atas pelayanan public yang diberikan
birokrasi pemerintah, terutatama dalam hal waktu, biaya, dan cara pelayanan;
2). Adanya diskriminasi pelayanan, yang pada umumnya didasarkan pada
diskriminasi atas hubungan pertemanan, afiliasi politik, etnis dan bahkan
agama, sehingga netralitas birokrasi dalam pelayanan public terabaikan, 3).
Adanya mata rantai birokrasi pelayanan yang panjang dan suap serta
pungutan liar menjadi semakin diterima dan dianggap wajar dalam suatu
proses pelayanan public, 4). Adanya orientasi pelayanan public tidak
ditujukan kepada pengguna pelayanan tetapi kepada kepentingan pemerintah
dan para pejabatnya, 5). Prinsip yang mendasari sistim pelayanan public
bukan trust melainkan distrust, 6). Prosedur yang diterapkan untuk
pemberian pelayanan public bukan untuk memfasilitasi tetapi justru untuk
mengontrol perilaku dan 7). Kewenangan untuk memberi pelayanan public
terdistribusi pada berbagai unit kerja birokrasi sehingga memberatkan
pengguna jasa pelayanan public. Hasil penelitian ini hanya mengungkap
tentang buruknya saja tanpa penyebab buruknya atau bagaimana proses
pelayanan itu sendiri.
Begitu pula hasil penelitian Lembaga Administrasi Negara (2002)
tentang: IMB, SITU, Sertifikasi tanah di 14 kabupaten Indonesia oleh bidang
kajian Manajemen dan kebijakan public LAN yaitu 1). Banyaknya persyaratan
administrasi yang kurang relevan dengan jenis pelayanan yang diminta
pelanggan; 2). Kondisi tidak transparan aparat pemerintah tentang waktu
penyelesaian pelayanan dan biaya pelayanan; 3). Banyak pengaduan
3
masyarakat yang kurang cepat mendapat tanggapan/penanganan dan tindak
lanjut pengaduan, dan bahkan banyak yang tidak mendapatkan perhatian dan
penyelesaian; 4). Rata-rata petugas pelayanan tingkat kesadarannya rendah
pada pentingnya pelayanan, kurang ramah, kurang tanggap, kurang peduli,
dan kurang professional dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan; 5).
Banyaknya pejabat yang bertanggung jawab terhadap unit-unit pelayanan
tidak mengetahui adanya kebijakan tentang peningkatan kualitas pelayanan
public, padahal telah cukup banyak kebijakan yang telah ditetapkan dan
digariskan.
Sementara amanah Undang-Undang Pelayanan Publik (2009)
menyebutkan bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga
negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya
penyelenggaraan pelayanan publik yang baik. Artinya, mau tidak mau,
sanggup tidak sanggup perbaikan kualitas pelayanan harus dilakukan. Begitu
pula pelayanan kepada penghuni Rusunawa oleh pemerintah daerah, dikenal
kurang berkualitas, apalagi yang berasal dari masyarakat yang direlokasi. DKI
Jakarta melakukan penataan pembangunan kawasan perkotaan untuk lebih
dapat memberikan kesejahteraan pada warga DKI Jakarta. Penataan
Pembangunan tersebut mengenai tanah pemda yang ditinggali oleh
masyarakat tanpa izin. Masyarakat tersebut dipindahkan ke Rusunawa Rawa
Bebek. Masyarakat yang terluka hatinya tentunya membutuhkan pelayanan
yang baik untuk dapat tinggal di rusunawa Rawa Bebek, masyarakat tersebut
perlu melakukan adaptasi kebiasaan biasa tinggal di rumah datar/landed
kemudian tinggal di rumah vertical dengan “dipaksa”. Tentunya banyak
permasalahan yang dihadapi oleh Unit Pengelola Rumah Susun Sewa (UPRS)
terkait dengan para penghuni yang disebut Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR) relokasi. Apalagi bangunan rusunawanya pun masih baru
belum pernah dihuni. Masalah dari penghuni dan masalah dari gedung dan
lingkungannya.
Masalah pelayanan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia,
karena pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi pelayan
4
(mengabdi) kepada Allah Pencipta alam semesta (Alquran surat al-Dzariyat/51
ayat 56) yang berbunyi:
{56} ‫َوﻣَﺎﺧَ ﻠَﻘْتُ ا ْﻟﺟِنﱠ َو ْاﻹِﻧسَ إِﻻﱠﻟِﯾَﻌْ ُﺑدُو ِن‬

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.

Manusia sebagai hamba Allah (âbid) yang mengerahkan seluruh jiwa


dan kehidupannya untuk melaksanakan seluruh tugas penghambaannya
melaksanakan perintah TuhanNya. Bnetuk pengabdian manusia kepada Allah
terdiri dari dua bentuk, yang dikenal dengan ritual secara langsung (ibadah
mahdhah) yang tata aturannya semua telah ditentukan oleh Allah melalui
Rasul-Nya. Dalam bentuk ibadah ini manusia hanyalah tunduk dan patuh
semata tidak boleh ada usaha untuk merubahnya. Ibadah yang paling pokok
dengan oprinsip taat dan patuh semata terkandung dalam lima rukun Islam
yang dimulai dari kalimah syahadat (persaksian) atau pengakuan Allah
sebagai satu-Satunya Ilâh yang wajib disembah, selanjutnya shalat,
menuanaikan zakat, puasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke
baitullah (Muhammad Al-Arifi, 2015: ix).
Selanjutnya ibadah berupa segala tindakan manusia yang dilakukan
untuk mencari Tidha Allah yang berdanpak terhadap kemaslahatan manusia
di dunia. Ibadah demikian dikenal dengan istilah ibadah ghair mahdhah.
Ibadah ghair mahdhah berupa segala aktifitas manusia yang dilakukan
bertujuan untuk kemaslahatan manusia serta sesuai dengan nilai-nilai yang
ditetapkan Allah. Termasuk dalam ibadah ghair mahdhah adalah sikap dan
tindakan manusia dalam melaksanakan amanah atas tugas dan kewajiban
dalam kehidupan sosial.
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang selalu hidup
membutuhkan keberadaan manusi alainnya. Dengan istilah lain bahwa
manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, Allah menyebut manusia
dengan sebutan al-Nâs yaitu makhluk yang memiliki sifat kebersamaan dalam
sebuah kelompok. Manusia hidup bersama membentuk komunitas yang saling

5
berinteraksi satu sama lain. Interaksi manusia dengan sesamanya dalam
ruang lingkup terkecil disebut dengan keluarga, dan menjadi besar lingkupnya
dalam kehidupan masyarakat. Dalam setiap lingkungan itu manusia
hendaknya senantiasa mampu melayani diri sendiri dan sesamanya agar
sellau selaras dengan nilai-nilai agama. Namun, jika manusia tidak mampu
malayani dirinya serta sesamanya, maka akan terjadi kehidupan yang tidak
kondusif.

6
BAGIAN 2
DASAR HUKUM PELAYANAN

Dalam segala aktifitas yang dilakukan oleh aparat pemerintah dalam


setiap tingkatannya dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat baik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik fisik
maupun non-fisik seperti administratif. Dalam sistem hukum tata negara di
Indonesia, Pancasila merupakan sumber hukum bagi setiap peraturan yang
berlaku. Termasuk dalam pelayanan, jiwa Pancasila sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan dasar hukum utama yang harus menjadikan
dasar dalam pelayanan. Karena, manusia ciptaan Tuhan yang bertugas di
dunia ini untuk melaksanakan perintahNya.
Landasan hukum pelayanan juga terkandung dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tentang persamaan hak warga negara.
Artinya, UUD RI Tahun 1945 juga menjadi dasar hukum bagi pelayanan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal demikian mengingat fungsi
pemerintah berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yakni “… melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Pemerintah memiliki tugas utama, yaitu: to protect the people, to regulate
the people dan to serve the people. To protect the people artinya bahwa
pemerintah wajib melindungi segenap warga negaranya. To regulate the people,
mengandung arti bahwa pemerintah memiliki tugas mengatur dan
mengendalikan rakyat dalam rangka ketertiban umum. to serve the
people mengandung arti bahwa pemerintah dimanapun wajib memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Semua tuigas pemerintah itu dalam
pelaksanaannya dilaksanakan oleh lembaga pemerintah mulai dari Presiden
sampai kepada aparatur negara berlandaskan peratruan yang berlaku.

7
Hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan
itu adalah bahwa kebijakan itu haruslah mengutamakan kemaslahatan
masyarakat. Dalam sebuah qaidah disebutkan bahwa:
‫ط ﺑِﺎ ْﻟﻣَﺻْ ﻠَﺣَ ِﺔ‬
ٌ ‫اﻷ َﻣﺎِم َﻋﻠَﻰ اﻟرﱠ اﻋِ ﱠﯾ ِﺔ َﻣﻧ ُْو‬
ِ ْ ُ‫ﺻرﱡ ف‬
َ ‫َﺗ‬
“Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”

Kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin selaku yang mendapatkan amanah


rakyat dalam melaksanakan keputusannya harus sejalan dengan kepentingan
masyarakat banyak, bukan untuk kepentingan golongan tertentu apalagi
untuk kepentingan kekuasaan diri sendiri. Pemerintah adalah abdi
masyarakat yang harus memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap
kehidupan masyarakat.
Senada dengan kaidah di atas, Imam Syafi’I sebagai Imam Besar yang
berjasa dalam merumuskan Ilmu Ushul Fikih (Kaidah-kiadah Hukum Islam)
pernah menyampaikan fatwa bahwa:
ِ‫َﻣﻧْزِ ﻟَ ُﺔ ْاﻻِﻣَﺎمِ ﻣِنَ اﻟ ﱠرﻋِ ﱢﯾ ِﺔ َﻣﻧْزِ ﻟَ ُﺔ اﻟ َْوﻟِﻰﱢ ﻣِنَ ا ْﻟ َﯾ ِﺗﯾْم‬
“Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap
anak yatim”.

Untuk itu dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia


tahun 1945 para pendiri bangsa menetapak satu landasan sebagai pasal yang
harus dilaksnakan oleh pemerintah yaitu
Pasal 34 yang berbunyi bahwa:
1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.

Maka, pemerintah bertanggung jawab memberikan perlindungan bagi


seluruh warga sehingga tercipta masyarakat adil sejahtera. Adapun terkait

8
pelayanan publik ada beberapa peraturan yang menjadi landasan hukum bagi
para penyelenggara sebagai berikut:

1. Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan


Pelayanan Terpadu Satu Pintu (= PPTSP)
Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang PPTSP tersebut terdiri dari 15
Bab dan 30 Pasal.
Peraturan tersebut sebagai landasan hukum dalam melaksanakan
pelayanan yang dilakukan secara terpadu.
Tujuan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah: (Pasal 2)
a. meningkatkan kualitas layanan publik; (Pasal 3)
b. memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk
memperoleh pelayanan publik.
Adapun Sasaran Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah:
a. terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan,
pasti dan terjangkau;
b. meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik

2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan


Publik dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Undang-Undang tersebut sangat penting untuk diketahui setiap
warga negara karena undang-undang ini dapat memberikan kepastian
hukum dalam hubungan antara masyarkat dan penyelenggara dalam
pelayanan publik. Hal demikian sebagaimana tertulis pada pasal 2 yang
berbunyi bahwa Undang-undang tentang pelayanan publik dimaksudkan

9
untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat
dan penyelenggara dalarn pelayanan public (Pasal 2 UU No 25 Tentang
Pelyanan Publik)
Dengan demikian maka masyarakat dapat memahami hak-hak atas
pelayanan publik sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.
Masyarakat seyogianya mengetahui peraturan yang berlaku terkait
pelayanan publik. Adanya undang-undang pelayanan public memiliki
tujuan sebagaimana disebutkan pada pasal 3 bahwa Tujuan undang-
undang tentang pelayanan publik adalah:
a. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung
jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik;
b. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
d. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Berdasarkan tujuan di atas, maka pelayanan publik harus diketahui
oelh masyarakat sebagai obyek pelaksanakan undang-undang tersebut.
Dengan mengetahui undang-undnag tersebut public dapat menilai
pelaksanaannya oleh aparatur sipil negara.
Undang-undang Pelayanan publik ditetapkan berdasarkan
pertimbangan:
a. bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan
penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam
kerangka pelayanan publik;
b. bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik
yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan
yang dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga
negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
10
c. bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara
dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya.
Penerapan pelayanan barang, pelayanan jasa dan pelayanan
administrasi yang menurut UU 25/2009 tersebut didasarkan pada 12 asas,
yaitu
1) kepentingan umum;
2) kepastian hukum;
3) kesamaan hak;
4) keseimbangan hak dan kewajiban;
5) keprofesionalan;
6) partisipatif;
7) persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
8) keterbukaan;
9) akuntabilitas;
10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
11) ketepatan waktu;
12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan (pasal 4 ).
Adapun komponen standar pelayanan menurut pasal 21
sekurang-kurangnya meliputi:
a. dasar hukum;
b. persyaratan;
c. sistem, mekanisme, dan prosedur;
d. jangka waktu penyelesaian;
e. biaya/ tarif;

11
f. produk pelayanan;
g. sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas;
h. kompetensi pelaksana;
i. pengawasan internal;
j. penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
k. jumlah pelaksana;
l. jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan
sesuai dengan standar pelayanan;
m. jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen
untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko
keraguraguan; dan
n. evaluasi kinerja pelaksana

3. Kepmenpan Nomor 63 Tahun 2003, Prinsip-Prinsip Pelayanan


Publik
Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 (Menpan, 2003:3)
menjelaskan prinsip-prinsip pelayanan prima sebagai berikut:
1. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan
mudah dilaksanakan
2. Kejelasan:
a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/
persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;
c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian Waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu
yang telah ditentukan.
4. Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
5. Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan
kepastian hukum.

12
6. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/persoalan dalam pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan
pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana
teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).
8. Kemudahan Akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah
dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi
telekomunikasi dan informatika.
9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah,
serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
10. Kenyamanan
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu
yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta
dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet,
tempat ibadah dan lain-lain.
Kualitas pelayanan publik mendapat perhatian serius dari
pemerintah. Pemerintah menegaskan pentingnya penataan dan perbaikan
seperti dimaksud dalam Surat Edaran MENKOWASBANGPAN No.
56/MK.WASPAN/6/98 (Menko Wasbangpan, 1998:2) yang ditujukan
kepada seluruh Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan, Gubernur Bank
Indonesia, Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Intinya
sebagai berikut:
1. Dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-langkah perbaikan
mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit kerja/kantor
pelayanan termasuk BUMN dan BUMD.

13
2. Langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat tersebut
diupayakan dengan:
a. Menerbitkan pedoman pelayanan yang antara lain memuat
persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu
penyelesaian pelayanan, baik dalam bentuk panduan/pengumuman
atau melalui media informasi lainnya.
b. Menempatkan petugas yang bertanggungjawab melakukan
pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian
diterima atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu
juga.
c. Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu
yang ditetapkan, dan apabila batas waktu yang ditetapkan tersebut
terlampaui, maka berarti bahwa permohonan tersebut disetujui.
d. Melarang atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain
dan meniadakan segala bentuk pungutan liar di luar biaya jasa
pelayanan yang telah ditetapkan.
e. Sedapat mungkin menerapkan pelayanan secara terpadu (satu atap
atau satu pintu) bagi unit-unit kerja kantor pelayanan yang terkait
dalam proses atau menghasilkan satu produk pelayanan.
Untuk mencapai keberhasilan dalam memperkenalkan inisiatif
pelayanan dengan menggunakan indikator pelayanan membutuhkan
komitmen semua komponen birokrasi yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Dukungan dan komitmen berbentuk:
1. Kejelasan
Kejelasan segala hal yang berkaitan dengan sistem dan prosedur
pelayanan menurut ketentuan yang berlaku pada organisasi pemerintah
diperlukan dalam pelayanan. Tujuannya agar masyarakat mengerti hak
dan kewajibannya dalam memperoleh pelayanan prima dari birokrasi.
2. Konsistensi
Aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
dituntut bersikap konsisten dalam melaksanakan aturan. Prosedur
14
pelayanan diharapkan konsisten dengan kenyataan dan harapan
masyarakat.
3. Komunikasi
Pemberi layanan perlu mengkomunikasikan bahwa sistem dan prosedur
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuannya agar tercipta suasana yang harmonis antara pemberi layanan
dan masyarakat.
4. Komitmen.
Komitmen yang kuat diperlukan dalam mengimplementasikan
pelayanan prima kepada masyarakat. Komitmen pelayanan prima
dimulai dari pengambil keputusan hingga pelaksana sehingga
membentuk sinergi harmonis seperti orkes simfoni.

4. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan


Pelayanan Pengaduan Publik
Perpres di atas ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 36 dan Pasal
37 UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
diwajibkan bagi penyelenggara pelayanan publik untuk menyediakan
sarana pengaduan dan menugaskan Pelaksana yang kompeten dalam
pengelolaan pengaduan. Selian itu bahwa pembentukan sarana pengaduan
dan penugasan kepada pengelola pengaduan pelayanan publik bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam memperoleh pelayanan
publik yang berkualitas, wajar, dan adil;
Pengaduan adalah penyampaian keluhan yang disampaikan pengadu
kepada pengelola pengaduan pelayanan publik atas pelayanan pelaksana
yang tidak sesuai dengan standar pelayanan, atau pengabaian kewajiban
dan/atau pelanggaran larangan oleh penyelenggara
Pasal 13 Pengelola wajib memberikan pelayanan dengan:
a. empati, hormat dan santun, tanpa pamrih, dan tanpa unsur
pemaksaan;

15
b. cepat, tepat, terbuka, adil, tidak diskriminatif, dan tidak memungut
biaya;
c. menjamin kerahasiaan identitas pelapor sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. memberikan penjelasan secara transparan tentang perkembangan
proses pengaduan yang ditangani;
e. mengedepankan prinsip profesionalitas dan independensi dalam
mengelola pengaduan; dan
f. memperhatikan kelompok rentan dan berkebutuhan khusus.

Pasal 14 Pengelola dilarang:


a. menggunakan fasilitas sarana prasarana pengaduan untuk kepentingan
pribadi atau kelompok; dan
b. menerima imbalan dalam bentuk apapun untuk kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan pengaduan.
Materi pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya meliputi: a. identitas pengadu; b. prosedur
pengelolaan pengaduan; c. penentuan pelaksana yang mengelola
pengaduan; d. prioritas penyelesaian pengaduan; e. pelaporan proses dan
hasil pengelolaan pengaduan kepada atasan pelaksana; f. rekomendasi
pengelolaan pengaduan; g. penyampaian hasil pengelolaan pengaduan
kepada pihak terkait; h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan pengaduan.;
i. dokumentasi dan statistik pengelolaan pengaduan ; dan j . pencanturnan
nama dan alamat penanggung jawab serta sarana pengaduan yang mudah
diakses.
Penyampaian aduan atau informasi dari masyarakat atas terjadinya
dugaan pelanggaran kode etik atau disiplin pegawai dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara yaitu: 1. Pengaduan secara langsung
Pengaduan secara langsung dilakukan oleh masyarakat dengan cara datang
langsung ke meja pengaduan (helpdesk) dan/atau bertemu langsung
dengan pejabat yang berwenang dalam menangani pengaduan masyarakat.
16
Pengaduan secara langsung dilakukan dengan menyampaikan secara lisan
keluhan atau ketidakpuasan dan/atau informasi adanya dugaan
pelanggaran kode etik/disiplin pegawai. Untuk kemudian dicatat oleh
pegawai yang menangani pengaduan masyarakat. 2. Pengaduan secara
tidak langsung Pengaduan secara tidak langsung dilakukan oleh
masyarakat dengan cara tidak langsung berhadapan atau bertemu dengan
pejabat yang berwenang dalam menangani pengaduan masyarakat atau
datang langsung ke meja pengaduan/saluran.
Pengaduan secara tidak langsung biasanya dilakukan melalui:
a. Short Message Service (SMS);
b. Surat;
c. Faximili;
d. E-mail;
e. Telepon;
f. Website/aplikasi yang dibuat secara khusus untuk saluran pengaduan
online, yaitu Sistem Aplikasi Pengaduan Masyarakat (SIPUMA); dan
g. Kotak Pengaduan.
Materi pengaduan masyarakat dibedakan menjadi: 1. pengaduan
masyarakat yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang/pelanggaran
disiplin yang dilakukan oleh pegawai; 2. pengaduan masyarakat yang tidak
berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang/pelanggaran disiplin
pegawai, yaitu: a. pengaduan yang menyangkut kinerja dan kedinasan,
misalnya tercapainya Indikator Kinerja Utama (IKU), jam kerja, dan lain-
lain; b. pengaduan yang tidak menyangkut kinerja dan kedinasan, misalnya
perselingkuhan, pelecehan seksual, dan lain-lain.
Sumber pengaduan adalah: 1. Individu / perorangan; 2. Kelompok
masyarakat; 3. Lembaga; 4. Institusi pemerintah; dan 5. Pihak lain yang
berkepentingan.

17
BAGIAN 3
KONSEP PELAYANAN PUBLIK

3.1 Pengertian Pelayanan Publik


Kebutuhan akan barang dan jasa publik sebagaimana telah diuraikan di
atas menuntut adanya pelayanan publik oleh Pemerintah. Oleh karena itu
perlu dipahami pengertian pelayanan publik yang sudah berkembang sampai
saat ini.
Menurut Devrye (1994:8) dalam Wiryatmi (Disertasi, 2004), terminologi
pelayanan berasal dari kata service, yang mengandung dua pengertian di
dalamnya, yakni …. the attendance of an inferior upon a superior atau to be
useful. Pengertian pertama mengandung unsur ikut serta atau tunduk dan
pengertian kedua mengandung suatu kebermanfaatan atau kegunaan.
Pengertian kedua tersebut sejalan dengan pendapat Davidow Uttal yang
memberi pengertian lebih luas, yaitu “what ever enhances customer
satisfaction. Dengan demikian, dikatakan bahwa pelayanan merupakan suatu
usaha untuk mempertinggi kepuasan pelanggan. Kottler dalam Fandy Tjiptono
(2000), pelayanan adalah setiap tindakan yang dapat ditawarkan oleh suatu
pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak
berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa
dapat berhubungan dengan produk baik fisik maupun bukan fisik.
Dengan karakteristik jasa seperti di atas maka bagi konsumen akan
menimbulkan kesulitan yang lebih besar dalam mengevaluasi kualitas jasa
(service quality) dibanding kualitas barang (good quality). Kualitas merupakan
sesuatu yang harus diperhatikan perusahaan dalam menjual produknya. Oleh
sebab itu, penjualan sangat berpengaruh pada perusahaan untuk meraih
keunggulan yang berkesinambungan baik sebagai pemimpin pasar ataupun
sebagai strategi untuk terus tumbuh dan berkembang.

18
Sementara itu, Wiryatmi (2004:33) mengungkapkan bahwa terminologi
publik sering diartikan sebagai sekelompok masyarakat. Masyarakat itu
sendiri dapat dipandang dari berbagai pengertian. Frederickson (1997: 21)
mengungkapkan pengertian publik dari bahasa Yunani, yakni : “…… the public
as a political community the polis-in which all citizens (that is adult males and
nonslaves) participated”, artinya, publik merupakan suatu masyarakat polis
dan semua penduduk berpartisipasi di dalamnya.
Dalam perkembangannya, pengertian tentang publik dalam Administrasi
Publik sangat berpengaruh terhadap pemahaman dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Publik di sini terbagi menjadi 5 (lima) perspektif: Pertama,
publik sebagai kelompok minat (perspektif pluralis). Publik dari perspektif
pluralis yang mengartikan sebagai masyarakat secara luas, yang
berkepentingan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; Kedua, publik
sebagai pemilik rasional (perspektif pilihan publik/Public Choice). Publik
adalah masyarakat yang mempunyai minat tertentu dalam memenuhi
kebutuhannya dan menekankan pada kemanfaatan yang positif. Masyarakat
mempunyai kebebasan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya secara
rasional; Ketiga, publik seperti direpresentasikan (perspektif legislative).
Publik di sini bertindak melalui perwakilan. Masyarakat mempercayai
wakilnya untuk mengakomodasi kepentingannya. oleh karena itu legitimasi
penyelenggara pelayanan sangat kuat dan mempunyai kebebasan yang sangat
luas; Keempat, publik sebagai pelanggan (perspektif penyedia pelayanan).
Satu perspektif yang paling menarik dari publik adalah pelanggan. Pelanggan
sebagai individu dan kelompok yang dilayani oleh birokrat. Contoh: anak-anak
sekolah, adalah pelanggan dari guru dan kepala sekolah; Korban kejahatan
pelanggan dari polisi; Pasien atau orang cacat, baik secara fisik maupun
emosional, adalah pelanggan profesional medis dalam agen kesehatan publik.
Semua penduduk dalam waktu yang sama adalah pelanggan Pemerintah. Oleh
karena itu, masyarakat adalah pelanggan The Internal Revenue Service.
Birokrat operasional (pegawai negeri) diharapkan memberikan pelayanan

19
kepada masyarakat dengan menggunakan kemampuan, pendidikan,
pengetahuan dan pengamanan terbaik untuk masyarakat sebagai pelanggan;
Kelima, publik sebagai citizen. Konsep citizenship terikat erat dengan
Administrasi Publik. Pada era reformasi membutuhkan pelayan publik yang
berpendidikan dan terpilih berdasarkan manfaat, juga membutuhkan
penduduk yang aktif. Tekanannya pada partisipasi penduduk dalam
pengambilan keputusan sebagai bentuk utama dari administrasi demokratis.
Kelima perspektif ini dalam praktek pelayanan publik dilakukan secara
bervariasi dan tergantung dari perkembangan politik dan kemampuan
masyarakat setempat.
Terminologi pelayanan dan publik di atas, memberikan dasar pengertian
terhadap pelayanan publik. Pelayanan publik yang didefinisikan oleh Roth
(1987) sebagai “any services available to the public whether provided publicly
(as is a museum) or privately (as is a restaurant meal)”, Any services yang
diungkapkan oleh Roth berkaitan dengan barang dan jasa dalam pelayanan.
Pelayanan publik yang dimaksud adalah segala bentuk kegiatan pelayanan
yang dilakukan oleh suatu organisasi atau individu dalam bentuk barang atau
jasa kepada masyarakat, baik secara individu maupun kelompok atau
organisasi.
Dalam pelayanan publik pada umumnya pemerintah melakukan
pengaturan terhadap barang publik ataupun barang setengah publik. Sejalan
dengan karakteristik barang di atas, kegiatan pelayanan publik dikatakan oleh
Londsdale & Enyedi (1991: 3 dalam Wiryatmi, 2007: 34) sebagai “something
made available to the whole of population, and it involves things which people
can not provide for them selves, i.e. people must act collectively”. Pengertian ini
memberikan ciri bahwa setiap orang tidak dapat menyediakan kebutuhannya
sendiri melainkan harus disediakan secara berkelompok.

20
3.2 Kriteria Pelayanan Publik
Sementara itu dalam konteks Administrasi Publik, kriteria pelayanan
publik menurut Stahl (1984) sebagaimana dikutip oleh Zauhar (1996) adalah
sebagai berikut:
a) pelayanan yang diberikan oleh Administrasi Publik lebih bersifat urgen
atau lebih mendesak daripada yang dilaksanakan oleh privat;
b) pelayanan yang ditangani oleh Administrasi Publik pada umumnya
bersifat monopoli atau semi monopoli;
c) kegiatan Administrasi Publik terkait dengan hukum;
d) perbuatan Administrasi Publik berada di bawah pengamatan
masyarakat;
e) pelayanan publik yang diberikan oleh Administrasi Publik tidak terkait
harga pasar.
Karakteristik tersebut di atas menggambarkan bahwa kegiatan
pelayanan publik harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin sehingga dapat
memberikan kepuasan terhadap masyarakat yang dilayani.
Menurut Effendi dalam Widodo (2001), dalam kondisi masyarakat yang
demokratis, Pemerintah harus dapat memberikan pelayanan publik yang lebih
profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,
responsif dan adaptif sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam
arti kapasitas individu dan masyarakat yang secara aktif menentukan masa
depannya sendiri pelayanan publik yang profesional harus memiliki ciri – ciri
akuntabilitas dari pemberi pelayanan.
Salah satu tuntutan perubahan dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah adalah perubahan perspektif Pemda dalam memberikan pelayanan
publik. Pelayanan publik merupakan kegiatan sentral dalam berbagai aspek
kehidupan manusia, sekaligus berfungsi dalam menjaga eksistensi serta
pertumbuhan masyarakat, bangsa dan negara (Hartley et al, 2008). Bahkan
dasar pembentukan Pemerintah itu sendiri adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, melalui pelayanan publik. Hal

21
tersebut berupa pelayanan perlindungan, pelayanan kesejahteraan, pelayanan
untuk mencerdaskan kehidupan, dan pelayanan dalam melaksanakan
ketertiban dunia (Silaban dan Purwanto, 2012).
Pemberian pelayanan publik merupakan tugas Pemerintah, hal tersebut
ditegaskan oleh Rasyid (1997:11) bahwa “tugas pokok pemerintahan modern
pada hakekatnya adalah pelayanan publik (masyarakat). Pemerintah tidak
diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat”.
Dengan demikian pelayanan publik merupakan misi dan tugas utama
pemerintahan suatu negara. Hal ini sebagaimana dijelaskan Adam Smith
dalam Muluk (2009):
“pemerintah memiliki tugas melindungi masyarakat dari pelanggaran
dan invasi masyarakat lainnya, dan sejauh mungkin bertugas
melindungi setiap anggota masyarakat lainnya, serta bertugas
menegakkan administrasi keadilan secara pasti”.

Pendapat tersebut juga menegaskan peran Pemerintah dalam


memberikan pelayanan publik bersifat terbatas, yakni hanya pada
pertahanan, pengadilan dan polisional. Kebutuhan masyarakat di luar hal
tersebut dipenuhi sendiri oleh masyarakat dengan berinteraksi satu sama lain
dalam lembaga pasar, sehingga terdapat keseimbangan yang merupakan titik
temu antara permintaan dan penawaran sehingga setiap pihak akan mencapai
kepuasan maksimum.
Kondisi tersebut tentu tidak dapat dipertahankan lagi karena kelemahan
mekanisme pasar dalam memberikan pelayanan publik yang efisien, adil, serta
memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dan
menuntut untuk dipenuhi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan
pasar tersebut antara lain: natural monopoly atas hal-hal tertentu sehingga
harga tidak ditentukan oleh titik temu antara kekuatan Pemerintah dan
penawaran; asymmetric information yang mengganggu kompetisi pasar; dan
externality sehingga pasar tidak dapat bekerja dengan sempurna. Selain itu,
faktor lainnya yang mengganggu mekanisme pasar adalah kegagalan pasar
bebas untuk menyediakan public goods secara memadai karena kesulitan

22
untuk memisahkan pihak yang membayar dengan pihak yang tidak membayar
meski menikmati pelayanan yang sama. Kondisi tersebut memicu kesulitan
pihak yang menawarkan pelayanan untuk memecahkan free rider problem
(Starling, 1998).
Menghadapi persoalan kegagalan pasar tersebut, lalu masyarakat
menuntut pemecahannya dari Pemerintah. Peran Pemerintah lalu diperluas
tidak lagi sekedar pertahanan, pengadilan, dan polisional belaka. Musgrave &
Musgrave (1991) mengungkapan bahwa peran Pemerintah berkembang
menjadi fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi
menunjukan peran Pemerintah untuk mengatasi kegagalan mekanisme pasar
dengan menyediakan public goods, atau dengan mengalokasikan seluruh
sumber daya yang ada agar dapat dipergunakan baik sebagai private maupun
public goods, dan menentukan komposisi dari public goods. Regulasi yang
dilakukan Pemerintah juga termasuk dalam fungsi alokasi ini. Selanjutnya,
fungsi distribusi merupakan tugas Pemerintah untuk melakukan penyesuaian
terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan guna menjamin terpenuhinya
kondisi yang adil dan merata. Lalu, fungsi stabilisasi merupakan penggunaan
kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mencapai tingkat kesempatan
kerja tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya, dan laju pertumbuhan
ekonomi yang tepat.
Menguatnya peran Pemerintah tidak berarti tidak memunculkan
masalah. Persoalan baru timbul karena pada dasarnya Pemerintah tidak
sempurna. Kegagalan Pemerintah dalam memberikan layanan publik yang
efisien, merata dan memuaskan disebabkan oleh berbagai faktor (Starling,
1998). Pertama, tidak terdapatnya kaitan langsung antara biaya dan
pendapatan, maka terdapat kurangnya insentif untuk mencapai efisiensi yang
lebih besar. Kedua, sedikitnya indikator langsung kinerja, maka organisasi
sektor publik dapat mengembangkan tujuan-tujuan kontra produktif, seperti
peningkatan anggaran, kemajuan anggaran, dan kendali informasi. Tindakan

23
Pemerintah juga dapat memicu negative externalities atau efek samping yang
tak dikehendaki.
Meningkatnya peran Pemerintah tersebut sangat terkait erat dengan
penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan publik. Hal tersebut yang
melahirkan konsep barang publik dan meningkatkan kebutuhan akan
pelayanan publik.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
ditetapkan berdasarkan pertimbangan:
a) bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan
penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam
kerangka pelayanan publik;
b) bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik
yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan
yang dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga
negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
c) bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara
dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan
norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d) bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari
penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya.
Sementara pengertian pelayanan Publik menurut UU Pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi
setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau pelayanan
administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Secara

24
tegas dalam Undang Undang Pelayanan Publik disebutkan tiga pelayanan
publik yaitu pelayanan barang, pelayanan jasa dan pelayanan administrasi.

Yang dimaksud Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan


berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik; Sementara itu,
yang dimaksud Pelayanan Jasa adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai
jasa yang dibutuhkan oleh publik; dan Pelayanan Administratif adalah
pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang
dibutuhkan oleh publik;

3.3. Kualitas Pelayanan Publik


Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah akan
menentukan tercapainya pemenuhan kebutuhan barang dan jasa publik.
Sasaran manajemen pelayanan adalah kepuasan. Meskipun sasaran
pelayanan publik itu sederhana, namun pencapaiannya memerlukan
kesungguhan kriteria dan syarat-syarat yang seringkali tidak mudah untuk
dilakukan. Oleh karena itu, setiap organisasi penyedia jasa pelayanan
haruslah memperhatikan kualitas pelayanannya. Hanya dengan pemberian
pelayanan yang berkualitaslah, kepuasan pelanggan dapat diwujudkan.
Dalam memahami kualitas pelayanan, maka salah satu konsep yang
harus dipahami bersama adalah: apakah yang dimaksud dengan pelayanan
dan jasa, serta bagaimana kaitannya antara pelayanan itu sendiri dengan
pemasaran. Dalam pemasaran, produk mempunyai arti yang luas, yaitu suatu
kesatuan yang ditawarkan pada pasar baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud. Produk yang berwujud biasa disebut barang (goods) dan yang tidak
berwujud biasa disebut jasa (service). Kotler dan Amstrong (2009:231)
menguraikan bahwa jasa adalah suatu bentuk produk yang mencakup setiap
kegiatan atau manfaat yang ditawarkan kepada pihak lain, yang pada
dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Pada
proses produksi, jasa pelayanan tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.

25
Secara lebih rinci, Christian Gonroos dalam Managing Services :
Marketing, Operations and Human Resources oleh Christopher H.Lovelock
(2006:12) mencoba memadukan pengertian jasa sebagai aktivitas dari suatu
hakekat yang tidak berwujud, berinteraksi antara konsumen dan pemberi jasa
dan sumber daya fisik atau barang dan sistem yang memberikan jasa, yang
memberikan solusi bagi masalah-masalah konsumen.
Definisi kualitas jasa sebagaimana dimaksud di atas berpusat pada
upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan
penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Hal ini
sebagaimana diuraikan oleh Mts. Arief (2007) bahwa kualitas jasa adalah
tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain
ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service
dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived
service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan
baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan,
maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika
jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa
dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung
pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya
secara konsisten. Kualitas total suatu jasa terdiri atas tiga komponen utama.
Pertama, technical quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas
output (keluaran) jasa yang diterima pelanggan, dapat merinci menjadi: a).
Search quality, yaitu kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan sebelum
membeli, misalnya harga ; b). Experience quality, yaitu kualitas yang hanya
bisa dievaluasi pelanggan setelah membeli atau mengkonsumsi jasa.
Contohnya ketepatan waktu, kecepatan, pelayanan, dan kerapian hasil; c).
Credence quality, yaitu kualitas yang sukar dievaluasi pelanggan meskipun
telah mengkonsumsi suatu jasa. Misalnya kualitas operasi jantung. d).
Functional quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas cara

26
penyampaian suatu jasa ; e). Corporate image, yaitu profil, reputasi, citra
umum, daya tarik khusus suatu perusahaan.
Pakar lainnya, Gronroos dalam Fandy Tjiptono (2005:14-16)
menyebutkan, bahwa terdapat tiga kriteria pokok dalam menilai kualitas jasa,
yaitu: outcome related, process related, dan image related criteria. Ketiga
kriteria tersebut dapat dijabarkan menjadi enam unsur pelayanan berkualitas,
yakni:
1) Profesionalism and skills merupakan outcome-related criteria, pelanggan
menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, sistem operasional, dan
sumber daya fisik, memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional
2) Attitudes and behavior, pelanggan merasa karyawan perusahaan
menaruh perhatian terhadapnya dan berusaha membantu dalam
memecahkan masalah secara spontan dan senang hati (termasuk
process-related criteria).
3) Accesisbility and flexibility, pelanggan merasa bahwa penyedia jasa,
lokasi, kerja, karyawan dan sistem operasionalnya, dirancang dan
dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelayanan dapat melakukan
akses dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud supaya
dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan
pelanggan (termasuk process-related criteria);
4) Reliability and trusworthiness (termasuk proses-related criteria, dimana
pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, pelanggan dapat
mempercayai segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan
dan sistemnya);
5) Recovery (pelanggan menyadari jika ada kesalahan atau apabila terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera
mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari
pemecahan yang tepat (termasuk process-related criteria);

27
6) Reputation and credibility, kriteria ini merupakan imaged-related criteria).
Pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya
dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan
pengorbanannya.
Pendapat Gronroos (1990) tersebut sejalan dengan pendapat Lovelock
(1920) dimana harapan konsumen atau pengguna jasa tentang kualitas
pelayanan pada dasarnya didasari oleh lima dimensi yaitu: (a) kehandalan
(reliability) yakni kemampuan memberikan jasa dengan akurat dan
profesional, (b) ketanggapan (responsiveness) yakni kemampuan untuk
menangkap keinginan konsumen dan memberikan pelayanan yang
dibutuhkan dengan cepat, (c) kepastian (assurance) yakni kemampuan untuk
meyakinkan konsumen untuk mendapatkan pelayanan yang tepat dan dapat
dipercaya, (d) empati (emphaty) yakni memberikan perhatian kepada
konsumen secara personal dan istimewa serta selalu berusaha memahami
keluhan dan keinginan mereka, (e) wujud fisik (tangibility) yakni penampilan
dan kemampuan sarana dan prasarana yang bersifat fisik.
Pelayanan berkualitas, menurut Gronroos juga dalam Tjiptono (1996)
mengandung tiga dimensi kualitas, yaitu Technical quality (berkaitan dengan
apa yang di terima pelanggan), functional quality (berkaitan dengan cara jasa di
berikan) dan corporate quality (berhubungan dengan citra perusahaan).
Hampir mirip dengan Gronroos, Lehtinen dalam Tjiptono (1996) mengatakan
ada dua dimensi kualitas jasa, yaitu proses quality (yang dievaluasi pelanggan
selama jasa di berikan) dan Output quality yang dievaluasi setelah jasa
diberikan).
Muara dari Pelayanan publik berkualitas tersebut adalah, menurut
Schanaars seperti dikutip Harbani Pasolong (2007:144), adalah terciptanya
kepuasaan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya:
hubungan antara pelanggan dengan instansi menjadi harmonis, memberikan
dasar yang baik bagi pembeli (pemakaian) ulang, terciptanya loyalitas dari

28
pelanggan serta terbentuknya rekomendasi dari mulut ke mulut yang
kesemuanya menguntungkan perusahaan.
Salah satu pendekatan kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan
dalam penelitian pemasaran adalah model yang dikembangkan oleh,
Parasuraman, Zethithamal dan Berry adalah SERVQUAL (Service Quality).
Pendekatan tersebut dibuat berdasarkan perbandingan dua faktor utama,
yaitu persepsi konsumen atas layanan nyata yang diterima (perceived
perception), dan layanan yang sesungguhnya diharapkan/diinginkan (expected
service). Model tersebut memilliki lima dimensi, yaitu:
1. Tangible (bukti fisik), yaitu fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan
sarana komunikasi.
2. Reliabity (keandalan); kemampuan memberikan pelayanan yang
dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan para staf untuk
membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap
4. Assurance (jaminan), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan
dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para pegawai bebas dari bahaya,
resiko atau keragu-raguan
5. Emphathy, yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi
yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan pelanggan.
Selanjutnya, untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu, sesuai
dengan paradigma the New Public Service, menurut Denhardt & Denhardt,
pemerintah perlu memperhatikan delapan prinsip pelayanan yang bermutu,
yakni:
1. Convenience: ukuran yang menunjukkan tingkat sejauh mana
pelayanan yang diberikan pemerintah dapat diakses dan tersedia dengan
mudah oleh warga;
2. Reliability: menilai tingkat sejauh mana pelayanan pemerintah dapat
disediakan secara benar dan tepat waktu;

29
3. Personal attention: mengukur sejauh mana pelayanan pemerintah dapat
diinformasikan oleh aparat dengan tepat kepada warga dan aparat bisa
bekerja sama dengan mereka untuk membantu memenuhi
kebutuhannya:
4. Citizen influence: mengukur sejauh mana warga merasa bahwa mereka
dapat mempengaruhi mutu pelayanan yang diterima dari pemerintah.
5. Fairness: ukuran untuk menilai sejauh mana warga percaya bahwa
pemerintah telah menyediakan pelayanan dengan cara yang adil bagi
semua orang;
6. Problem-solving approach: mengukur tingkat sejauh mana aparat
pelayanan mampu menyediakan informasi bagi warga untuk mengatasi
masalahnya;
7. Fiscal Responsibility: ukuran untuk menilai sejauh mana warga percaya
bahwa pemerintah telah menyediakan pelayanan dengan cara
menggunakan uang publik dengan penuh tanggung jawab; dan
8. Security: ukuran yang menunjukkan tingkat sejauh mana pelayanan
yang diberikan menjadikan warga merasa aman dan yakin bila
menggunakannya;
Konsep pengutamaan kepentingan citizen/warga menjadi dasar
pemikiran dalam perkembangan pelayanan publik saat ini. Kepentingan warga
menjadi semacam kontrak sosial yang disepakati dan harus dijalankan oleh
pemerintah. Hal ini dilaksanakan di beberapa kota di Inggris dan lazim dikenal
melalui konsep The Citizen Charters. Citizen's Charter merupakan suatu
petunjuk dan referensi bagi birokrat dalam menjalankan tugasnya yang berisi
hak-hak yang dimiliki masyarakat dalam suatu pelayanan. Citizen's charter
sekaligus menjadi alat publik untuk mengatasi jalannya penyelenggaraan
pelayanan. Di dalamnya terdapat acuan yang jelas mengenai persyaratan
pelayanan, waktu, biaya yang diperlukan, dan mekanisme pengaduan jika
pemberi pelayanan gagal, memberikan pegangan bagi pengguna jasa publik

30
pada umumnya untuk ikut memantau dan mengawasi jalannya pelayanan
(Soeprapto, 2005).
Sementara itu, menurut Garvin yang dikutip oleh Ibrahim, kualitas jasa
atau pelayanan mencakup dimensi–dimensi: 1). Performance/tampilan; 2).
Fitur (features); 3). Kesesuaian (conformance); keandalan (realibility);
ketahanan (durability), tanggapan, estetika; dan reputasi.
Secara lebih sederhana, Goetsch dan Davis (1994, 4) menguraikan
bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas pelayanan juga diartikan sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan terpenuhinya harapan/kebutuhan
pelanggan, dimana pelayanan dikatakan berkualitas apabila dapat
menyediakan produk dan jasa pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan
harapan pelanggan.
Dengan demikian menurut Goetsch dan Davis (1994, 4) terdapat lima
hal penting dalam kualitas pelayanan, yaitu : 1) pihak yang melayani, 2) pihak
yang dilayani (customer/pelanggan), 3) bentuk atau jenis pelayanan yang
diberikan, 4) bantuan secara optimal, dan 5) perlakuan dalam pelayanan.
Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam hubungan dengan pelayanan prima di lingkungan birokrasi
pemerintah, maka yang dimaksud dengan pihak yang melayani adalah seluruh
jajaran “birokrasi pemerintah”. Artinya, baik yang duduk sebagai pejabat
struktural (manajer), pejabat fungsional, maupun staf yang tidak memiliki
kedua jenis jabatan tersebut, memiliki kewajiban memberikan pelayanan
kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang memerlukan dilayani sebaik
mungkin. Dengan demikian, pelayanan tidak hanya diberikan oleh petugas
loket, Satpam, operator, sekretaris, staf bagian umum/tata usaha, atau
petugas lapangan lainnya yang non manajerial saja, tetapi seluruh tingkatan
dalam tatanan organisasi. Pendekatan ini menjadi penting, oleh karena
konotasi pelayanan sampai saat ini adalah hanya yang dilakukan oleh para

31
petugas teknis yang berada di garis paling depan. Padahal kenyataannya dan
hakekat dari pemberi pelayanan, tidak sesempit sebagaimana dimaksud.
Pihak yang dilayani dalam proses pelayanan prima, yaitu masyarakat
dalam arti luas baik masyarakat dalam artian sebagai individu, kelompok,
dalam bentuk organisasi sosial kemasyarakatan, dunia usaha maupun
masyarakat yang datang dari negara lain. Dalam bahasa di dunia bisnis adalah
customers atau para pelanggan. Bahkan dalam konsep manajemen bisnis,
customers adalah merupakan nilai inti (core value), sebab mati hidupnya suatu
perusahaan sangat tergantung dari para pelanggan. Dengan demikian,
pelanggan hakekatnya adalah semua orang yang memerlukan pelayanan dan
harus diberikan sebaik mungkin. Menyangkut masyarakat asing atau pihak
asing, pertimbangannya karena dalam era globalisasi serta keterkaitan dengan
negara lain dalam berbagai kesepakatan, baik yang terkait dengan masalah
ekonomi, perdagangan, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan,
lingkungan hidup dan lain sebagainya. Sebagai contoh pelayanan informasi
tentang pencemaran udara baik yang berasal dari luar negeri maupun berasal
dari Indonesia ke negara lain.
Pada dasarnya bentuk pelayanan sangat variatif. Misalnya pelayanan
yang berbentuk produk/barang (fisik), jasa (non fisik) maupun administratif.
Dalam pekerjaan kesekretariatan bentuk pelayanan dikenal berupa pelayanan
teknis dan administrasi. Pelayanan dalam bentuk teknis, antara lain :
mengetik, menghitung, pengamanan, kebersihan dan lain sebagainya.
Pelayanan dalam bentuk administratif antara lain pembuatan perizinan,
sistem kerja misalnya, sistem perkantoran, sistem komunikasi organisasi,
sistem tata ruang, sistem informasi kebakaran hutan, sistem pemantauan
kerusakan terumbu karang, sistem pengendalian dampak lingkungan global,
dan sebagainya. Pelayanan administratif hampir tidak dapat dilaksanakan
tanpa bantuan pelayanan teknis. Untuk itu, baik pelayanan teknis maupun
administratif hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan, atau
merupakan satu kesatuan yang utuh.

32
Bantuan secara optimal bermakna bahwa bantuan yang diberikan
kepada pihak-pihak yang memerlukan, prinsipnya harus diberikan seoptimal
mungkin. Optimal adalah suatu upaya yang secara terus-menerus
ditingkatkan. Dengan demikian dalam optimalisasi tidak dikenal berhenti atau
puas sesaat. Ide dasarnya, adalah “sikap tidak pernah puas”. Konsep ini
apabila dikembangkan, menjadi dorongan atau motivasi yang besar dan tanpa
batas. Hal ini mengingat, konsep pelayanan prima hakekatnya merupakan
suatu konsep yang kualitatif. Artinya, suatu konsep yang pengukurannya
sangat relatif, namun demikian dalam manajemen pelayanan karena
pertimbangan keterbatasan, maka dibuat ukuran-ukuran minimal. Konsep ini
sejalan dengan konsep Total Quality Management, yang hakekatnya berisi
tentang peningkatan kualitas produk tanpa henti (Juran, 1995).
Perlakuan dalam pelayanan adalah satu sikap tertentu (dapat dalam
bentuk kurang baik maupun baik) dari pihak yang melayani terhadap
pelanggan. Dalam pelayanan prima, maka perlakuan dalam pelayanan adalah
berdasarkan prinsip bahwa semua pelanggan (masyarakat) atau yang dilayani
adalah “raja”, tanpa membedakan suku, agama, ras, warna kulit, status,
pangkat dan sejenisnya. Dengan kata lain, baik yang memerlukan pelayanan
pejabat, pegawai biasa, dan bahkan masyarakat yang paling bawah pun,
harus dilayani sama. Pernyataan ini mudah diucapkan, tetapi dalam praktek
sulit diterapkan. Penyebabnya, antara lain orientasi birokrasi pemerintah
masih cenderung menggunakan feodalitik manajemen, kolusi, dan secara
struktural masih menganggap adanya stratifikasi dalam masyarakat.
Pernyataan ini perlu diteliti kebenarannya, namun yang paling jelas terlihat
adalah karena “uang”. Oleh karena itu dapat dikatakan, kecepatan pelayanan
sangat ditentukan oleh besarnya uang pelicin, dan kedekatannya dengan
petugas.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, Budi Ibrahim sespanas LAN
sebagaimana dikutip oleh Sudarsono (2001) mengemukakan bahwa dalam
hubungan dengan pelayanan publik, maka terdapat delapan variabel yang
inhern di dalamnya, yaitu:
33
1) Pemerintah yang bertugas melayani.
2) Masyarakat yang dilayani Pemerintah.
3) Kebijakan yang dijadikan landasan pelayanan publik.
4) Peralatan atau sarana pelayanan yang canggih.
5) Resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan
pelayanan.
6) Kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standar
dan asas-asas pelayanan masyarakat.
7) Manajemen dan kepemimpinan serta organisasi pelayanan masyarakat.
8) Perilaku yang terlibat dalam pelayanan masyarakat, pejabat dan
masyarakat, apakah masing-masing menjalankan fungsinya.
Dari sisi yang berbeda, kriteria kualitas pelayanan menurut Evans dan
Lindsay (1997) dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika dilihat dari sudut
pandang konsumen, maka kualitas pelayanan selalu dihubungkan dengan
sesuatu yang baik/prima (excellent). Jika kualitas pelayanan dipandang dari
sudut “product based”, maka kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagai
suatu fungsi yang spesifik, dengan variable pengukuran yang berbeda-beda
dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan karakteristik produk
yang bersangkutan. Kualitas pelayanan jika dilihat dari sudut “user based”,
maka kualitas pelayanan adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau
tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Sementara, jika dilihat dari
“value based”, maka kualitas pelayanan merupakan keterkaitan antara
kegunaan atau kepuasan dengan harga.
Menurut World Bank (2010) Indonesia menempati urutan yang kurang
baik terkait pelayanan baik, penyelenggaraan pelayanan publik tersebut
seringkali belum mampu memenuhi kepuasan masyarakat di Indonesia.
Masyarakat masih banyak yang berpendapat bahwa sampai saat ini aparat
pemerintah dalam hal pemberian pelayanan sulit untuk diakses, prosedur
yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perzjinan tertentu, besaran
biaya tidak jelas, serta terjadinya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

34
(selanjutnya disingkat KKN) merupakan suatu fenomena rendahnya kualitas
pelayanan publik di Indonesia. Keadaan tersebut menjadikan pelayanan
publik di Indonesia masih harus meningkatkan kualitas pelayanannya agar
dapat memuaskan masyarakat penggunanya. Kualitas pelayanan merupakan
suatu hal yang sangat penting bagi organisasi penyedia pelayanan, termasuk
juga pelayanan publik atau dengan kata lain praktek KKN dalam
pemerintahan dan pelayanan publik masih terus berlangsung bahkan dengan
skala dan pelaku yang semakin meluas. Keinginan masyarakat untuk
menikmati pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel masih
amat jauh dari kenyataan.
Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian atas pemenuhan kriteria dan
prinsip tersebut secara baik. Penilaian terhadap kualitas pelayanan dilakukan
pada saat pemberian pelayanan, yaitu terjadinya kontak antara pelanggan
dengan petugas pemberi pelayanan (service contact person). Kualitas pelayanan
akan terlihat dari kesesuaian pelayanan yang diterima pelanggan dengan apa
yang menjadi harapan dan keinginan pelanggan tersebut.
Untuk menilai Kualitas pelayanan publik dapat pula dilakukan dengan
menilai Indek Kepuasan masyarakat (IKM). Berdasarkan Kepmenpan Nomor
25 Tahun 2004 tentang Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, terdapat 14 unsur
penilaian Pelayanan Publik, yaitu:
1) Prosedur Pelayanan;
2) Persyaratan Pelayanan;
3) Kejelasan Tugas Pelayanan;
4) Kedisiplinan Petugas Pelayanan;
5) Tanggung Jawab Petugas Pelayanan;
6) Kemampuan Petugas Pelayanan;
7) Kecepatan Petugas Pelayanan;
8) Keadilan Mendapatkan Pelayanan;
9) Kesopanan Dan Keramahan Petugas;
10) Kewajaran Biaya Pelayanan;
35
11) Kepastian Biaya Pelayanan;
12) Kepastian Jadwal Pelayanan;
13) Kenyamanan Lingkungan; Dan
14) Keamanan Pelayanan.

Menurut Mts. Arief (2007)


1) Kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengen-
dalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan
pelanggan. Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi
kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service.

2) Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai


dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan
memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan,
maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya
jika jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka
kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya
kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam
memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. Kualitas total suatu
jasa dapat pula ditinjau dari technical quality, yaitu komponen yang
berkaitan dengan kualitas output (keluaran) jasa yang diterima
pelanggan, dapat merinci menjadi:

a. Search quality, yaitu kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan


sebelum membeli, misalnya harga ;

b. Experience quality, yaitu kualitas yang hanya bisa dievaluasi


pelanggan setelah membeli atau mengkonsumsi jasa. Contohnya
ketepatan waktu, kecepatan, pelayanan, dan kerapian hasil;

c. Credence quality, yaitu kualitas yang sukar dievaluasi pelanggan


meskipun telah mengkonsumsi suatu jasa. Misalnya kualitas operasi
jantung.

36
d. Functional quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas
cara penyampaian suatu jasa ;

e. Corporate image, yaitu profil, reputasi, citra umum, daya tarik


khusus suatu perusahaan.

Untuk mengevaluasi sistem pemberian pelayanan, menurut Hirschman


(1970) dapat dilihat dari apakah warga masyarakat puas dengan barang dan
jasa yang diberikan oleh sistem birokrasi, yakni sejauh mana respons yang
diberikan oleh warga masyarakat terhadap ketidakpuasan tersebut.
Hirschman mengemukakan adanya 3 (tiga) bentuk respons yang dapat diambil
oleh warga masyarakat atas pelayanan yang tidak sesuai dengan harapannya,
yakni: exit, voice, dan loyalty. Tanggap rspons exit dilakukan ketika konsumen
tidak puas dengan pelayanan barang atau jasa yang diperolehnya dengan jalan
mencari alternatif pelayanan dari perusahaan atau organisasi lainnya. Akan
tetapi, apabila pelayanan itu bersifat monopoli seperti pelayanan perizinan:
Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMBG); respons exit (menghindari)
semacam ini tidak akan mungkin dilakukan karena tidak ada pilihan lain dari
warga untuk memperoleh perizinan tersebut. Perizinan merupakan monopoli
Pemda.
Namun warga masyarakat dapat menggunakan bentuk respons kedua
yakni voice ketika merasa bahwa pelayanan yang diterimanya tidak sesuai
dengan harapannya. Respons voice (bersuara) dapat dilakukan melalui
keluhan-keluhan atau komplain terhadap birokrasi pelayanan apakah
langsung kepada birokrasi pelayanan atau saluran-saluran bersuara lainnya
seperti melalui Komisi Ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, media massa,
dan lain-lainnya. Menurut Hirschman, bersuara bagi warga masyarakat atau
konsumen ini adalah, bertujuan untuk mengubah praktek, kebijakan dan
output dari perusahaan yang produk atau jasanya mereka beli, atau
mengubah organisasi tempat mereka berada (Hirschman, 1970). Sementara
loyalty (loyalitas) adalah merupakan bentuk kesetiaan terhadap birokrasi yang
memberikan pelayanan, meskipun seorang warga masyarakat memiliki

37
kemampuan untuk "exit". Masyarakat mungkin beralasan bahwa jika setiap
orang" keluar dari pelayanan, masyarakat secara keseluruhan, termasuk
dirinya, akan bertambah buruk kinerja pelayanan dan karenanya mereka
memilih opsi voice ketimbang opsi exit dan tetap loyal terhadap service
provider.
Di sisi lain, secara lebih operasional, Salim dan Woodward (1992) dalam
Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa untuk menilai kinerja pelayanan
publik dapat dilihat berdasarkan pertimbangan ekonomis, efisiensi, efektivitas,
dan persamaan pelayanan. Aspek ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai
strategi untuk menggunakan sumber daya yang seminimal mungkin dalam
proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi kinerja pelayanan
publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi tercapainya perbandingan
terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output pelayanan.
Demikian pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan yang telah ditentukan.
Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai
ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah
memperhatikan aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses
yang sama terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan. Dimensi-dimensi
orientasi Pelayanan menurut Salim dan Woodward (1992) dalam Dwiyanto
(2002) adalah: 1). Quality, Pelanggan sangat berkepentingan dengan pelayanan
yang bermutu. Pelayanan harus berorientasi pada mutu, sehingga perlu
didengar dan dilihat pandangan pelanggan serta pengalaman mereka atas
mutu pelayanan yang diterimanya; 2). Access, pelayanan harus mudah diakses
oleh pelanggan: a). Letak kantor pelayanan harus sedekat mungkin bisa
dijangkau oleh pelanggan; b). Sifat fisik kantor pelayanan harus cukup
representatif agar dapat diberikan pelayanan yang memuaskan bagi
pelanggan; c). Jam kerja kantor pelayanan harus luas sesuai dengan peluang
dan kesempatan pelanggan; d). Aparat dan sistem pelayanan harus menjamin
terpenuhinya kebutuhan kejiwaan dan sosial pelanggan; e). Pelanggan harus
mudah memperoleh dan memahami informasi pelayanan dan organisasi

38
pelayanan; 3). Choice, pelayanan harus berorientasi pada pilihan dan
keinginan pelanggan. Aparat perlu mencermati dan memahami dengan baik
dan benar apa yang menjadi pilihan dan keinginan pelanggan dan kemudian
berusaha memenuhinya; 4). Participative control, Rakyat mempunyai hak
untuk mengawasi dan mengendalikan pelayanan yang mereka terima. Bila
ternyata pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan pilihan dan
kepentingan mereka maka aparat pelayanan harus mengubah dan
memperbaikinya sesuai dengan harapan pelanggan.

3.4. Paradigma Pelayanan Publik


3.4.1. Old Public Administration
Dalam beberapa tahun terakhir masyarakat di segala penjuru dunia
sedang mengalami perubahan besar dalam perkembangan paradigma
pelayanan publik akibat proses globalisasi. Dampak dari perubahan itu
membawa akibat timbulnya berbagai macam persoalan terutama di sektor
publik. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhannya dan berkualitas membuat birokrasi publik harus
berbenah diri. Maka Old Public Administration yang tercermin dalam prinsip-
prinsip birokrasi tipe ideal Weber yang pernah diyakini kebenarannya tidak
lagi sepenuhnya diterima. Sebagai bagian dari respons terhadap tantangan
global, telah terjadi pergeseran paradigma dalam pelayanan publik. Tiga
pergeseran yang dicatat oleh Edi Suharto (2008), Pertama, pergeseran dari
problem-based services ke right-based services. Pelayanan publik yang dulunya
diberikan hanya untuk merespons masalah atau kebutuhan masyarakat, kini
diselenggarakan untuk memenuhi hak-hak masyarakat sebagaimana telah
diamanatkan konstitusi nasional maupun konvensi internasional; Kedua, dari
rules-based approaches ke outcome-oriented approaches. Pelayanan publik
cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan normatif menjadi
pendekatan yang berorientasi pada hasil; Ketiga, dari Public Management ke
Public Governance, menurut Bovaird dan Loffler (2003), dalam manajemen

39
publik masyarakat dianggap sebagai klien, pelanggan, atau sekadar pengguna
pelayanan sehingga merupakan bagian dari market contract.
Pada umumnya pelayanan publik memiliki sifat differential information
dan interdependence. Sifat pertama berarti adanya kedudukan yang tidak
berimbang antara penyedia pelayanan dan konsumennya yang disebabkan
oleh ketidaksetaraan posisi antara penyedia pelayanan dan konsumen. Sifat
kedua berarti bahwa keberadaan pelayanan publik dapat mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan masyarakat. Pelayanan publik pada dasarnya adalah
bentuk tanggung jawab pemerintah sebagai institusi yang dibentuk guna
menjalankan fungsi pemerintahan kepada warga negaranya. Dalam
perkembangannya, paradigma pelayanan publik mengikuti paradigma yang
berkembang dalam praktek Administrasi Negara. Pada masa administrasi
negara klasik, pelayanan publik diarahkan pada pelayanan “klien” sehingga
memposisikan pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik lebih tinggi dari
masyarakat, sebagaimana sifat alamiah pelayanan publik differential
information di atas. Pada paradigma tersebut, masyarakat berada pada situasi
sebagai objek pelayanan publik semata sehingga tidak memiliki kewenangan,
kewenangan milik pejabat publik. Rakyat punya hak dan kewajiban untuk
mengontrol jumlah, jenis, dan kualitas pelayanan publik yang diberikan.

Prinsip-prinsip Adm. Publik Tradisional (OPA)


1) Diorganisasikan secara hierarchical
2) Sistem dan prosedur berdasarkan prinsip one-best-way
3) Pemerintah (Administrasi publik) sebagai penyelenggara semua
pelayanan publik yang telah ditetapkan oleh kebijakan publik
4) Pegawai negeri bertindak berdasarkan kepentingan publik (public
interest)
5) Memerlukan birokrasi yang profesional, pegawai negeri yang bersikap
netral, karir sampai pensiun, dan mampu melayani political master

40
Karakter utama Old Public Administration (Denhard &
Denhard,2003)
1) Peran Administrasi Publik terbatas pada proses perumusan
kebijakan, peran utamanya adalah implementasi kebijakan
2) Pemberian pelayanan dilaksanakan oleh para administrator yang
harus bertanggungjawab kepada pejabat terpilih (pejabat politik) dan
diberi diskresi yang sangat terbatas.
3) Program-program publik dikelola oleh organisasi yang herarkhis
dimana para pemimpinnya (manager) mengontrol dari atas ke bawah
4) Tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi pemerintahan adalah
efisiensi dan rasional
5) Organisasi publik bila ingin efisien harus dikelola dengan sistem
tertutup dimana keterlibatan masyarakat sangat terbatas
6) Tugas utama administrasi publik melaksanakan POSDCORB

Profil Layanan Publik


1) Pelayanan publik bersifat administratif dan tidak ada tanggung jawab
individual terhadap hasilnya
2) Monopoli layanan oleh organisasi publik. Layanan “single best way”.
3) Layanan dilaksanakan dengan “Protap, juklak, juknis yang jelas dan
hierarkhis.
4) Efektivitasi-efisiensi sebagai core value. Tanggung jawab layanan
kepada political master

Masalah Adm Publik dan Pelayanan publik dengan OPA:


1) Birokrasi sering tidak bekerja seperti apa yang diharapkan
2) Upaya mencari one best way sering terjebak pada rigidity
3) Ada kecenderungan birokrasi pemerintah melaksanakan sendiri
penyelenggaraan pelayanan masyarakat
4) Tuntutan masyarakat terhadap administrasi publik agar
mempertanggung jawabankan langsung kepada publik
41
5) Para pegawai negeri ternyata banyak yang tidak netral tetapi terlibat
kegiatan politik dan vested interest

Kecenderungan Administrasi Publik


1) Adm. Publik tidak hanya mengandalkan mekanisme birokrasi bagi
penyelenggaraan pelayanan publik tetapi juga menerapkan alternatif
mekanisme pasar. Alternatif yang lebih efisien dan lebih baik kualitas
pelayanannya yang akan dipilih
2) Birokrasi pemerintah lebih banyak mengatur (regulatory) dari pada
menyelenggarakan pelayanan (service delivery)
3) Memasukan unsur persaingan ke dalam pelayanan publik baik
berupa persaingan pasar, quasi persaingan atau benchmarking

Saran Christopher Hood:


1. Menyerahkan tugas-tugas sektor publik kepada manajer profesional
2. Menetapkan secara eksplisit standar dan ukuran kinerja
3. Menegaskan pentingnya “hasil” daripada “proses” sehingga hasil
harus terus menerus dikendalikan
4. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dengan mendesentralisasikan
tugas- tugas ke bawah dan ke unit lain di luar

3.4.2. Paradigma New Public Administration/ New Public


Management
Menurut Holmes & Shand (1995), bahwa New Public Manajemen:
1. Menyelaraskan wewenang dan tanggung jawab dalam rangka
peningkatan kinerja
2. Lebih menekankan akuntabilitas dan transparansi dengan
mensyaratkan pelaporan hasil dan biaya pencapaiannya
3. Sistem budgeting dan manajemen untuk mendukung dan mendorong
perubahan tersebut

42
4. Bermaksud mengembangkan budaya yang berorientasi kinerja
(performance-oriented culture) di sektor publik
5. Desentralisasi keputusan alokasi sumber daya dan pelaksanaan
pelayanan publik
6. Lebih fokus pada hasil (efisiensi, efektifitas dan kualitas pelayanan) dan
sistem manajemen yang lebih fleksible
7. Memperkuat kapasitas strategik di pusat untuk menuntun perubahan
manajemen publik

Terdapat beberapa Model NPM;


1) New Public Management Model 1: The Efficiency Drive (New
Taylorism or New Thatcherite):
a. An increase attention to financial control
b. A stronger general managerial spine
c. More standard setting and bench-marking
d. More provider responsiveness to customers
e. A reduction of self-regulating power of professions
f. New form of corporate governance
2) NPM Model 2: Downsizing and Decentralization:
a. An extention of the early stress on market-mindedness to more
elaborate and develop quasi-markets
b. A split between a small strategic core and a large operational
periphery and contracting out of non-strategic functions
c. Delayering and downsizing
d. A split between public funding and independent sector provision
e. An attempt to move away from standardized forms of service to a
service system
3) NPM Model 3: In Search of Excellence
a. Emphasize on organizational development and learning
b. Radical decentralization with performance judged by results
c. Explicit attempts to secure culture change
43
d. A more assertive and strategic human resources management
function

Mentransformasi praktek manajemen pelayanan publik dengan


mengadopsi nilai-nilai yg berkembang disektor bisnis seperti:
• Enterpreneurship
• Kepedulian pada pengguna
• Orientasi pada revenue-generating dan penghasilan.
Dipelopori oleh (Osborne &Gaebler ,1992 dlmA.Dwiyanto)
• Mengembangkan semangat nilai-nilai kewirausahaan
• Manajer sektor publik dituntut semula manajer birokrasi menjadi
wirausaha
• Bukan menghabiskan anggaran ttp mencari sumber penerimaan dan
penghasilan pemerintah
Denhardt & Denhardt (2000), memiliki pandangan yang berbeda dengan
Osborne & Gaebler. Mengatakan birokrasi manapun memiliki peranan dan
corak kerja yang berbeda dengan sektor swasta sehingga peranannya tidak
mungkin dapat diganti oleh pasar karena corak dan lingkungan kerja birokrasi
tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai dalam market mechanism, sehingga
melaksanakan prisnsip-prinsip manajemen swasta ke dalam institusi birokrasi
justru dapat berakibat kontra produktif terhadap kinerja birokrasi itu sendiri.
Denhardt & Denhardt (2003) King & Stivers (1998) Wamsley & Wolf
(1996), Masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengekspresikan
kepentingannya dalam manajemen pelayanan kemudian pemerintah atau
penyelenggara layanan harus menjadikan kepentingan publik tersebut sebagai
kriteria utama dalam penyelenggaraan layanan publik.
• Desentralisasi
• Memberikan ruang kpd Daerah utk menggali sumber2 pendapatan
Daerah
• Semakin berkembangnya lembaga non pemerintah dan korporasi
• Pemerintah daerah mengembangkan BUMD, dan mengoptimalkan UPT
44
• Transformasi
Demikian pula paradigma new public management yang di Indonesia
belum berjalan secara mapan, harus rela dikritisi pula. Saat ini telah
dikembangkan paradigma baru yang dikenal sebagai New Public Service
(Denhardt, dan Denhardt, 2003).

3.4.3. Paradigma New Public Service


Denhardt & Denhardt (2000), memiliki pandangan yang berbeda dengan
Osborne&Gaebler. Mengatakan birokrasi manapun memiliki peranan dan
corak kerja yang berbeda dengan sektor swasta sehingga peranannya tidak
mungkin dapat diganti oleh pasar karena corak dan lingkungan kerja birokrasi
tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai dalam market mechanism, sehingga
melaksanakan prisnsip-prinsip manajemen swasta ke dalam institusi birokrasi
justru dapat berakibat kontra produktif terhadap kinerja birokrasi itu sendiri.
Denhardt & Denhardt (2003) King & Stivers (1998) Wamsley & Wolf (1996),
masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengekspresikan kepentingannya
dalam manajemen pelayanan kemudian pemerintah atau penyelenggara
layanan harus menjadikan kepentingan publik tersebut sebagai kriteria utama
dalam penyelenggaraan layanan publik.
Denhardt dan Denhardt (2003), memberikan gambaran perbandingan
antar perspektif pelayanan publik tersebut. Berikut ini disajikan aspek-aspek
yang telah diperbandingkannya:
Perbandingan Perspektif
Old Public Administration; New Public Management; New Public Service.

Administrasi Manajemen Publik Pelayanan publik


Publik Lama Baru Baru
Dasar Teoritis Teori Politik, Teori Ekonomi, Teori Demokrasi,
dan fondasi uraian sosial dialog yang lebih berbagai
epistemologi. dan politik kompleks pendekatan ilmu
yang dipertegas berdasarkan IPS pengetahuan
dengan IPS positivistik termasuk positif,
interpretif, dan
kritikal

45
Administrasi Manajemen Publik Pelayanan publik
Publik Lama Baru Baru
Konsepsi Kepentingan Kepentingan publik Kepentingan publik
dengan publik yang adalah hasil dari
Kepentingan didefinisikan merepresentasikan dialog mengenai
Publik. secara politis
akumulasi pembagian nilai
dan mewakili
kepentingan-
hukum kepentingan
individu
Diskresi Terbatas pada Kebebasan yang Diperlukan tetapi
administratif petugas luas untuk dibatasi dan
administratif mencapai sasaran bertanggung jawab
enterpreneurial

Pendekatan Hierarchis Didorong oleh– Banyak segi pe


Akuntabilitas. administrator akumulasi layanan publik
bertanggung kepentingan diri harus mematuhi
jawab kepada akan menghasilkan hukum, nilai
pemimpin keluaran yang masyarakat, norma
politik yang diinginkan oleh politik, standar
dipilih secara kelompok besar profesional dan
demokratis pelanggan kepentingan warga
negara
Kepada siapa Klien dan Pelanggan/Konsu- Warga negara
petugas pemilih men
Pelayanan
publik bertng
jawab
Peranan Rowing, yaitu Steering, yaitu Serving, Melayani
pemerintah. Mengendalikan Mengarahkan (negoisasi dan
(desain dan (bertindak sebagai bertindak sebagai
implementasi katalis untuk perantara diantara
kebijakan melepaskan warga negara
difokuskan kekuatan pasar) dan kelompok
pada ketetapan komunitas,
tunggal yang menciptakan
dilakukan pembagian nilai
secara politis

46
Administrasi Manajemen Publik Pelayanan publik
Publik Lama Baru Baru
Mekanisme Melakukan Menciptakan Membangun
untuk program- mekanisme dan koalisasi antara
mencapai program struktur insentif publik, non-profit,
sasaran melalui agensi- untuk mencapai dan privat untuk
kebijakan. agensi sasaran kebijakan temukan
pemerintah melalui agensi kesepakatan
yang sudah privat /swasta dan bersama atas
ada nonprofit kebutuhan yg ada

Struktur Organisasi Desentralisasi Struktur kolaboratif


organisasional birokratis organisasi publik dengan
yang ditandai oleh dengan kontrol kepemimpinan yang
diasumsikan. otoritas top- utama pada agensi tersebar secara
down dalam internal dan
tubuh agensi- eksternal
agensi dan
kontrol atau
regulasi pada
klien
Asumsi basis pembayaran Spirit Pelayanan publik,
motif dan entrepreneurl, keinginan untuk
Pelayanan keuntungan, hasrat ideologis memberikan
publik dan perlindungan untuk mengurangi kontribusi kepada
administrator. terhadap pengaruh masyarakat
pelayanan pemerintah
masyarakat

Sumber: Denhardt and Denhardt (2003)

Lebih lanjut, Denhardt & Denhardt (2003) menegaskan prinsip-prinsip


dalam New Public Service: Pertama, melayani Warga Negara, bukan
konsumen; kepentingan publik menghasilkan dialog tentang penyebaran nilai
bukannya agregasi dari kepentingan individual. Oleh karena itu, pelayanan
publik tidak semata-mata merespon pada permintaan konsumen, tetapi
berfokus pada membangun hubungan kepercayaan dan kolaborasi diantara
warga negara. Kedua, memperhatikan kepentingan publik; administrator
publik harus memberikan kontribusi terhadap bangunan kolektif, berbagi ide
umum tentang kepentingan publik. Ketiga, menghargai kewarganegaraan di

47
atas enterpreneurship; kepentingan publik dikembangkan secara lebih baik
oleh pelayanan publik dan warga negara memberikan kontribusi berharga
untuk membuat kontribusi penuh terhadap masyarakat daripada manajer
entrepreneurial yang bertindak jika dibayar. Keempat, berpikir secara
strategic, bertindak secara demokratis. Kebijakan-kebijakan dan program yang
mernenuhi kebutuhan publik dapat secara efektif dan responsif dicapai
melalui usaha bersama dan proses kolaborasi. Kelima, mengakui bahwa
akuntabilitas bukan hal sederhana, Pelayanan publik harus lebih perhatian,
harus hadir dalam hukum konstitusional dan statutory, nilai masyarakat, nilai
politik, standar profesional dan kepentingan warga negara. Keenam, melayani
bukannya mengatur; barangkali semakin penting bagi pelayanan publik untuk
menggunakan kepemimpinan berbasis nilai, berbagi dalam membantu warga
negara menyampaikan dan memenuhi kepentingan mereka daripada berusaha
mengontrol atau mengendalikan masyarakat ke arah baru. Ketujuh,
menghargai orang-orang, bukan hanya produktivitas, organisasi dan jaringan
dimana mereka berpartisipasi paling memungkinkan akan sukses dalam
jangka panjang jika mereka beroperasi melalui. proses kolaborasi dan berbasis
kepemimpinan menyebar berdasarkan penghargaan bagi semua orang.
Selanjutnya, unsur mendasar dalam The Citizen's Charter menurut
Oliver dan Drewry (1996) adalah:
1. Standar yang lebih tinggi: Publikasi, dan bahasa yang jelas, standar
pelayanan, pengawasan yang lebih kuat dan independen, sebuah
skema tanda "charter” untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga yang
ada melalui term charter / dana;
2. Keterbukaan; menghilangkan kekaburan tatanan organisasional,
biaya pelayanan, dan sebagainya; staf diidentifikasi melalui nama-
namanya;
3. Informasi: publikasi secara reguler mengenai target-target kinerja dan
seberapa bagus dipenuhi;

48
4. Non-diskriminasi: pelayanan yang tersedia apapun ras maupun jenis
kelaminnya; brosur yang dicetak dalam bahasa-bahasa minoritas
yang dibutuhkan;
5. Daya respon: kepekaan yang lebih besar terhadap kebutuhan
konsumen; konsumen diminta pendapatnya mengenai pelayanan
yang diberikan;
6. Keluhan: tingkat respon terhadap keluhan yang lebih bagus
(termasuk sebuah sistem mediator lokal yang terkait dengan
penanganan klaim-klaim minor), penyembuhan yang memadai,
termasuk kompensasi yang tepat.
Jika dapat diinternalisasikan dengan baik, citizen's charter ini mampu
mandorong penyelenggara pelayanan publik benar-benar menempatkan
masyarakat pengguna jasa sebagai pusat perhatian dari sistem pelayanan.
Pengembangan citizen's charter tentu akan mendorong bukan hanya
perubahan struktur birokrasi, seperti prosedur pelayanan dan sifat hubungan
antara penyelenggara dan pengguna pelayanan publik, tetapi nilai, etika dan
budaya pelayanan yang selama ini cenderung melecehkan kedudukan
pengguna jasa tentu tidak dapat dilakukan lagi, mempermudah para
pengguna pelayanan dan siapa saja yang melakukan peran kontrol seperti civil
society organization (CSO) dan media massa untuk mengawasi jalannya
penyelenggaraan pelayanan publik. Karenanya pengembangan citicen's charter
akan dapat mendorong perubahan yang cukup mendasar dalam praktek
penyelenggaraan pelayanan publik.
e-governance: Screen-Level Bureaucracy (transaksi lewat layar komputer)
dan from street level to system level bureaucracies
Sistem informasi juga diperlukan sebagai bentuk pengendalian yang
dapat menjamin tidak terjadinya penyimpangan yang sering terjadi saat
birokrasi melakukan transaksi secara langsung (tatap muka) dengan publik.
Salah satu bentuk pentingnya sistem informasi menjadi gagasan Bovens dan
Zouridis (2001) tentang Screen-Level Bureaucracy (transaksi lewat layar

49
komputer) yang saat ini mulai dipertimbangkan sebagai alat pelayanan publik.
Gagasan Bovens dan Zouridis dikembangkan seiring dengan semakin
berkembangnya penggunaaan teknologi informasi dan komunikasi (ITC).
Dalam konsep Screen-Level Bureaucracy ini, transaksi tidak dijalankan secara
kontak langsung antara birokrat dengan publik, melainkan dilakukan lewat
layar komputer. Dengan tidak adanya kontak langsung dalam transaksi dan
dengan mengalihkan transaksi lewat layar komputer, seluruh informasi
tentang penyelenggaraan pelayanan menjadi bersifat publik, sehingga
melahirkan transparansi. Terdapatnya transparansi memungkinkan dan
memudahkan kontrol secara langsung, sehingga segala bentuk penyimpangan
dapat dihindari.
Namun tidak berapa lama kemudian, gagasan tersebut diperbaharui
sendiri oleh Mark Booven dan Stavros Zouridis. Tulisan dalam makalahnya
yang berjudul From street level to system level bureaucracies- how ICT is
transforming administrative discreation and constitutional control yang
disampaikan di Leiden University pada 21-22 June 2001 mengemukakan
perubahan dari street level bureaucracy menjadi system level bureaucracies,
seperti yang dikemukakan di bawah ini:
“A number of large excecutive organizations have undergone a process of
gradual but fundamental change over the past few decades. Key in the
was the role of information and communication technology (ICT). The sheer
dynamism caused by the introduction of computers impacted on both the
organization of the street level bureaucracy and on the underlying legal set
up. In a relatively short period of time, the street level bureaucracy
changed into what we could call a screen level bureaucracy. In so far as
the implementing officials are directly in contact with citizens, these
contacts always run via or in the presence of a computer screen. Public
servants can no longer freely taje to the streets, but are always connected
to the organization via the computer. Client data must be filled in, with the
help of fixed templates, in electronic forms. Knowledge managemnt system
and digita; decision trees have strongly reduced the scope of
administrative disreation. Many decisions are no longer made at street
level, by the worker handling the case, but have been programmed into the
computer in the design of the software. A number of major excecutive
organizations have meanwhile progressed even further and are rapidly
developing into what could be termed system level bureacracies”.

50
Kontak dengan warga tidak lagi terjadi di jalan, dalam ruang
pertemuan atau dibelakang jendela, tetapi melalui kamera, modem dan
website. Sistem pakar telah mengganti pekerja profesional. Terpisah dari
informasi publik dan staff pembantu, tidak ada lagi birokrasi garis
depan yang didefinisikan oleh Lipsky (1980). Proses penerbitan
keputusan dilakukan – dari awal sampai akhir – oleh komputer.
Informasi yang dibutuhkan disuplai secara elektronik dan diproses oleh
komputer sedangkan produk akhir diberikan secara elektronik, dengan
email. Jika warga memberikan keluhan atau keberatan akan ada
petugas khusus.
Dari birokrasi garis depan berubah ke birokrasi screen monitor dan
berubah lagi menjadi birokrasi level system. Semula masyarakat
bertemu muka dengan banyak pegawai dan meja, lalu berubah menjadi
masyarakat bertemu dengan layar monitor komputer. Rupanya hal
tersebut mengilhami Bovens dan Zouridis yang kemudian
mengemukakan gagasannya yang lebih baru yaitu masyarakat tidak
perlu bertemu langsung dengan pegawai, cukup mengirimkan
permohonannya melalui email dan hasilnya pun diemail pula. Oleh
karena itu proses pelayanan menjadi terpadu - satu pintu - satu meja.
Persiapan pelayanan terpadu-satu pintu-satu meja perlu banyak
dilakukan beberapa hal, antara lain petugas sudah menguasai IT,
software dan hardware telah tersedia, masyarakat harus diberdayakan
dengan ICT. Persiapan tersebut tidak mudah dilakukan, namun dapat
dilakukan, seluruh pihak (stakeholder) secara bersamaan
memberdayakan dirinya, termasuk para birokrat.
Contoh kegiatan dalam system level bureaucracies: di Indonesia
terdapat perusahaan penerbangan swasta, sebut saja X saat ini sudah
menerapkan kecanggihan ICT tersebut. Citizen dari rumahnya
melakukan booking tiket penerbangan melalui internet kemudian
membayar melalui sms banking dengan Handphonenya, tidak sampai 5

51
menit citizen tersebut sudah langsung menerima tiket melalui email,
tanpa beranjak dari mejanya. Atau permintaan booking dilakukan secara
lesan dengan handphone, setelah mendapat kode booking dan kode
bayar lalu membayar dengan sms banking melaui handphonenya,
kemudian 5 menit kemudian tiket sudah diterima melalui email, dan
langsung dapat dicetak. Begitu pula petugas tiketing dari perusahaan
penerbangan X tersebut, ketika ada permintaan booking langsung
memberikan kode booking pada citizen sekaligus dengan kode bayar dan
time limit nya. Semua pekerjaan tersebut dilakukan pada satu meja yang
dilengkapi Personal Computer (PC) atau laptop, printer dan Handphone,
waktu penyelesaian pekerjaan sangat cepat tidak sampai 10 menit,
persyaratan mudah, prosedur sederhana, citizen dan pegawai maskapai
penerbangan tidak bertemu tatap muka, sehinggga tidak terjadi
korupsi/moral hazard. Proses inilah yang oleh Bovens dan Zouridir
disebut System Level Bureaucracies. System Level Bureaucracies dapat
pula diterapkan pada pengurusan pelayanan administrasi lainnya
seperti pelayanan perizinan, tentunya dengan modifikasi software yang
berbeda dengan pengurusan ticketing.

3.4.4. New Public Government


Dikutip dari hasil kajian Sistem Hukum dan Administrasi Negara,
dijelaskan berbeda dengan paradigma NPN dan NPS yang berangkat dari
praktek empiris administrasi publik diberbagai negara, kelahiran new
public govermenment merupakan gagasan konseptual yang merupakan
hasil refleksi terhadap kekurangan OPA dan NPM (Osborn, 2010).
Meskipun sama sama berpiajak pada kelemahan dua paradigma
tersebut, NPG tidak sepenuhnya sama dengan NPS yang murni
mengedepankan pendekatan humanistik baik dalam proses layanan
publik maupun manajemen sumber daya aparatur.

52
NPG dapat dipraktekan di lingkungan masyarakat yang telah
memiliki tatanan yang baik (governance) yang mampu mementukan
pilihan layanan yang mereka butuhkan, membangun aliansi atau
kerjasama antar anggota masyarakat untuk mewujudkan laynanan
tersebut untuk mereka sendiri. Model NPM dan NPS kurang dapat
memfasilitasi inisiasi masyrakat yang demikian, apalagi OPA yang
menghendaki persetujuan politis untuk setiap gerakan pelayanan
publik. Untuk Itu NPG dirancang sebagai bentuk administrasi publik
yang dapat memfasilitasi inisiasi m asyarakat dalam menentukan
layanan publik yang diperlukan oleh mereka, dan memfasilitasi
masyarakat untuk membangun jejaring dengan anggoata masyrakat
lainnya untuk memberikan layanan tersebut kepada sesama anggotanya.
Akuntabilitas pelayanan publik bertumpun pada nilai trust
(Runya, et al., 2005) atau kepercyaaan antar anggota jejaring yang
dipelihara oleh sistem dan aturan yang dibuat oleh anggota jejaring.
Dalam paradigma ini kapasitas organisasi pelayanan publik (Public
Service Organization atau PSO) atau profesional yang diperlukan dalam
kapasista dalam membangun jejaring antar organisasi dan kolaborasi
dengan organisasi masyarakat, sehingga jenis - jenis pelayanan
masyarakat yang diselenggarakan oleh pemerintah semakin dapat
dirasakan oleh masyarakat dengan menggunakan kepanjanagan tangan
anggota masyarakat ataupun organisasi masyarkat secara sukarela
(community service organization). Merujuk pada deskripsi di atas,
paradigma mengedepankan aspek demokratisasi dengan membuka
kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan, menciptakan dan
juga memberikan pelayanan kepada masyarakat lainnya. Dengan
berjalannya mekanisme masyarakat ini, disatu sisi, efisiensi pelayanan
publik dapat tercapai. Namun demikian, paradigma ini pun
mendapatkan berbagai kritik. Dengan karakteristik jejaring dan
kolektivitas kelompok tertentu, dikhawatirkan bahwa layanan publik
tertentu hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu, sehingga
53
efekvitas pelayanan diragukan. Demikian juga pelibatan masyarakat
atau organisasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan publik
diragukan keterhandalannya, terkait sangsi akan kapasitas sumber daya
manusia dan kelembagaannya.

3.5. Orientasi Perilaku Pemberi Pelayanan Publik,


Menurut Catherine De Vrye, 1994:
1) Memiliki harga diri (Self Esteem)
2) Melampaui yang diharapkan (Exceed Expectation)
3) Berorientasi pada pembenahan (Recovery)
4) Memiliki wawasan ke depan (Vision)
5) Berorientasi pada peningkatan/perbaikan (Improvement)
6) Perhatian terhadap kualitas (Care)
7) Berorientasi pada pemberdayaan (Empowerment)

3.6. Azas Pelayanan Publik


Azas Pelayanan Publik menurut UU Pelayanan Publik, yaitu: Tiga
pelayanan publik yang sudah dikelompokkan menurut UU 25/2009 tersebut
di atas, diterapkan oleh setiap daerah otonom.
Penerapan pelayanan barang, pelayanan jasa dan pelayanan
administrasi yang menurut UU 25/2009 tersebut didasarkan pada 12 asas,
yaitu:
1) kepentingan umum;
2) kepastian hukum;
3) kesamaan hak;
4) keseimbangan hak dan kewajiban;
5) keprofesionalan;
6) partisipatif;
7) persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
8) keterbukaan;

54
9) akuntabilitas;
10) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
11) ketepatan waktu;
12) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan (pasal 4).

3.7. Prinsip Pelayanan Publik


Islamy (2000) dalam Wibisono (2002) mengemukakan beberapa
prinsip pokok dalam pemberian pelayanan publik kepada masyarakat:
1) Prinsip aksesibilitas, yakni pada hakekatnya setiap jenis pelayanan
harus dijangkau oleh setiap pengguna pelayanan baik dari segi
tempat, jarak dan sistem pelayanan harus sedapat mungkin dekat
dan dapat di jangkau oleh pengguna pelayanan.
2) Prinsip kontinuitas, yakni bahwa setiap pelayanan harus secara
terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan
kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut;
3) Prinsip teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan, proses
pelayanannya harus ditangani oleh tenaga yang benar- benar
memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan
kejelasan, ketetapan, dan kemantapan sistem, prosedur dan
instrumen pelayanan;
4) Prinsip profitabilitas, yakni proses pelayanan pada akhirnya harus
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta memberikan
keuntungan ekonomi dan sosial bagi Pemerintah maupun bagi
masyarakat luas.
5) Prinsip Akuntabilitas, yakni bahwa proses produk dan mutu
pelayanan yang diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat karena aparat pemerintah pada hakekatnya
mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik – baiknya
kepada masyarakat.

55
Sementara itu. menurut Kepmenpan Nomor 63 Tahun 2003,
Prinsip-Prinsip Pelayanan Publik adalah:
1) Kesederhanaan,
2) Kejelasan,
3) Kepastian Waktu,
4) Akurasi,
5) Keamanan,
6) Tanggungjawab,
7) Kelengkapan sarana dan prasarana,
8) Kemudahan Akses,
9) Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
10) Kenyamanan,

Prinsip-Prinsip Pengembangan Profesionalisme Dalam Pelayanan


Publik (Wiryatmi, 2006):
1. Mengembangkan modernisasi, kualitas, efisiensi, dan kepekaan.
2. Pendekatan yang pragmatis dan bukan dogmatis
3. Berorientasi kepada kepuasaan pelanggan (masyarakat)
4. Bekerja atas dasar kemitraan dengan sektor swasta
5. Mengembangkan jaringan kerja dalam pelaksanaan pelayanan
publik
6. Kontrak Karya digunakan jika kualitas output dapat ditingkatkan
dengan harga yang lebih murah (value for money)
7. Sumber daya, keterampilan, dan komitmen staf adalah aset yang
terbaik di dalam memodernisasi pelayanan umum
8. Pimpinan departemen/LPND tetap bertanggung jawab terhadap
proses contracting out kepada pihak swasta.
9. Perlunya antisipasi yang tepat terhadap perubahan yang terjadi
10. Perlindungan terhadap pegawai tetap diutamakan dengan
kompensasi yang layak.

56
11. Komunikasi yang efektif dan terus menerus adalah kunci
kesuksesan penyempurnaan dan perubahan
12. Adanya informasi dan komunikasi terbuka antara pelanggan
(masyarakat) dan stake holder
13. Hubungan dengan sektor swasta adalah dua arah, dengan
menerapkan prinsip keterbukaan dan kejujuran
14. Pejabat senior memberikan kepemimpinan yang merangsang
motivasi dan penyempurnaan yang berkelanjutan

3.8. Langkah Strategis Dalam Peningkatan Pelayanan


Publik
Langkah Strategis Dalam Peningkatan Pelayanan Publik (Wiryatmi,
2006):
1. Membangun kesadaran melayani bagi aparatur
2. Membangun kesadaran masyarakat sebagai konsumen dengan
membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
baik langsung maupun melalui media massa untuk menyampaikan
saran dan atau pengaduan mengenai pelayanan masyarakat.
3. Memberikan “reward and punishment” yang seimbang;
4. Mengadakan kompetisi pelayanan untuk instansi yang memberikan
pelayanan sejenis.

3.9. Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik


Berdasarkan Kepmenpan Nomor 63 Tahun 2003, kelompok
Pelayanan Administratif terdiri atas empat pola penyelenggaraan
pelayanan publik, yaitu
1) Pertama, pola pelayanan fungsional, adalah pola pelayanan publik
yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan
tugas, fungsi dan kewenangannya.

57
2) Kedua, pelayanan terpusat, adalah pola pelayanan publik yang
diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan
berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan
terkait lainnya yang bersangkutan.
3) Ketiga, pelayanan terpadu, meliputi dua pola yaitu pelayanan
terpadu satu atap dan pelayanan terpadu satu pintu.
4) Keempat, Gugus Tugas, adalah petugas pelayanan secara
perorangan atau dalam bentuk tugas yang ditempatkan pada
instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan
tertentu.
Selain itu, Pemerintah dalam usaha untuk memperbaiki kualitas
pelayanan, khususnya kelompok pelayanan administratif, telah menetapkan
Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (= PPTSP). Dalam Permendagri tentang PPTSP
didefinisikan bahwa izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemda
berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti
legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk
melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Sementara perizinan adalah
pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu,
baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.
Dalam Permendagri tersebut dijelaskan, bahwa Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan
non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan
sarnpai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Tujuan
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu tersebut adalah: a). untuk
meningkatkan kualitas layanan publik; b). memberikan akses yang lebih luas
kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik. Sementara
sasarannya adalah: a). terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah,
mudah, transparan, pasti dan terjangkau; b). meningkatnya hak-hak
masyarakat terhadap pelayanan publik. Tugas utama PPTSP adalah
melakukan penyederhanaan pelayanan, yaitu upaya penyingkatan terhadap
58
waktu, prosedur, dan biaya pemberian perizinan dan non perizinan, termasuk
di dalamnya adalah proses penyelenggaraan pelayanan perizinan untuk satu
jenis perizinan tertentu atau perizinan paralel.
Penyederhanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, wajib dilakukan oleh
Bupati/Walikota. Bupati/Walikota mendelegasikan kewenangan
penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada Kepala PPTSP untuk
mempercepat proses pelayanan.
Cakupan Penyederhanaan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu, meliputi: (a). pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan
yang dilakukan oleh PPTSP; (b). percepatan waktu proses penyelesaian
pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam
peraturan daerah; (c). kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan
yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah; (d). kejelasan prosedur
pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian
perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya; (e).
mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua
atau lebih permohonan perizinan; (f). pembebasan biaya perizinan bagi Usaha
Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan
peraturan yang berlaku; dan (g). pemberian hak kepada masyarakat untuk
memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan.
Selain itu, Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu
Pintu yang terbentuk harus memiliki sarana dan prasarana yang berkaitan
dengan mekanisme pelayanan, yaitu: (a). loket/ruang pengajuan permohonan
dan informasi; (b). tempat/ruang pemrosesan berkas; (c). tempat/ruang
pembayaran; (d). tempat/ruang penyerahan dokumen; dan (e). tempat/ruang
penanganan pengaduan. Lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan
atas semua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi
kewenangan Kabupaten / Kota. PPTSP mengelola administrasi perizinan dan
non perizinan dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, dan kearnanan berkas.

59
Perangkat Daerah yang secara teknis terkait dengan PPTSP
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melakukan pembinaan teknis dan
pengawasan atas pengelolaan perizinan dan non perizinan sesuai dengan
bidang tugasnya. Pemeriksaan teknis di lapangan dilakukan oleh Tim Kerja
Teknis di bawah koordinasi Kepala PPTSP; Tim kerja teknis beranggotakan
masing-masing wakil dari perangkat daerah teknis terkait dan ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/Walikota. Tim kerja teknis memiliki kewenangan
untuk mengambil keputusan dalam memberikan rekomendasi mengenai
diterima atau ditolaknya suatu permohonan perizinan.
Sementara itu, terkait dengan jangka waktu penyelesaian pelayanan
perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 15 hari kerja terhitung
mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh kelengkapannya.
Besaran biaya perizinan dan non perizinan dihitung sesuai dengan tarif yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah, di mana dokumen persyaratan
perizinan yang disediakan kecamatan dan desa serta kelurahan harus dalam
satu paket biaya perizinan.
Selain proses perizinan dalam PPTSP, diatur pula kualifikasi sumber
daya manusianya, yakni pegawai yang ditugaskan di lingkungan PPTSP
diutamakan mempunyai kompetensi di bidangnya dan para pegawai tersebut
dapat diberikan tunjangan khusus yang besarannya ditetapkan dengan
Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kemampuan keuangan daerah
otonom. Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan pengembangan
sumber daya manusia pengelola pelayanan terpadu satu pintu secara
berkesinambungan.
Pada era reformasi saat ini sangat dibutuhkan keterbukaan informasi.
Oleh karena itu PPTSP wajib memiliki basis data dengan menggunakan sistem
manajemen informasi. Data dari setiap perizinan dan non perizinan yang
diselesaikannya disampaikan kepada perangkat daerah teknis terkait setiap
bulan. Selain itu, PPTSP wajib menyediakan dan menyebarkan informasi
berkaitan dengan jenis pelayanan dan persyaratan teknis, mekanisrne,
penelusuran posisi dokumen pada setiap proses, biaya dan waktu perizinan
60
dan non perizinan, serta tata cara pengaduan, yang dilakukan secara jelas
melalui berbagai media yang mudah diakses dan diketahui oleh masyarakat.
Selanjutnya, penyebarluasan informasi tersebut dilaksanakan oleh PPTSP
dengan melibatkan aparat pemerintah kecamatan, desa, dan kelurahan. Data
dan informasi jenis pelayanan, dapat diakses oleh masyarakat dan dunia
usaha.
Termasuk dalam keterbukaan informasi adalah kesiapsediaan PPTSP
untuk: (1). menyediakan sarana pengaduan dengan menggunakan media yang
disesuaikan dengan kondisi daerahnya; (2). menindaklanjuti pengaduan
masyarakat secara tepat, cepat, dan memberikan jawaban serta
penyelesaiannya kepada pengadu paling lama 10 hari kerja; (3). melakukan
penelitian kepuasan rnasyarakat secara berkala sesuai peraturan perundang-
undangan. Penelitian tentang kepuasan masyarakat tersebut diatur dalam
Keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara Nomor 25 Tahun 2004
Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit
Pelayanan Instansi Pemerintah

61
BAGIAN 4
KONSEP PENGADUAN MASYARAKAT

4.1. Pengaduan Masyarakat


Dalam proses pelayanan yang baik terdapat penanganan pengaduan
dari pelanggan. Manajemen Komplain dalam Rangka Meningkatkan Kualitas
Pelayanan Publik
“A complaint is an expression of dissatisfaction, about the standard of service,
actions or lack of action …… affecting an individual customer or group of
customers “(Keluhan / komplain pelayanan adalah merupakan ekspresi
perasaan ketidakpuasan atas standar pelayanan, tindakan atau tiadanya
tindakan aparat pelayanan yang berpengaruh kepada para pelanggan). Apakah
penyebab munculnya komplain? Penyebab komplain/pengaduan adalah : 1).
Adanya ketidak puasan pelanggan atas produk barang dan jasa; 2). Kegagalan
organisasi pelayanan memenuhi harapan pelanggan; 3). Rendahnya respon
aparat pelayanan atas keluhan pelanggan; 4). Oleh karena itu, organisasi
pelayanan memanajemen komplain akan memberikan dampak yang signifikan
terhadap efektivitas pelayanan dan persepsi pelanggan terhadapnya.
Keluhan (komplain) secara umum muncul karena:
1) Organisasi pelayanan gagal mewujudkan kinerja yang dijanjikan
2) Pelayanan yang tidak efisien
3) Pelayanan yang diberikan secara kasar, atau tidak membantu
4) Gagal menyampaikan info perubahan kepada pelanggan
5) Banyaknya pelayanan yang tertunda
6) Ketidak-sopanan / ketidak-ramahan aparat pelayanan
7) Pelayanan yang tidak layak / tidak wajar
8) Aparat pelayanan yang tidak kompeten
9) Aparat pelayanan yang apatis / tidak adanya atensi

62
10) Organisasi pelayanan tidak responsif terhadap kebutuhan dan keinginan
serta harapan pelanggan

Lebih lanjut Dyah Hariani (2008: 246) bahwa dalam prakteknya keluhan-
keluhan dari pengguna layanan (masyarakat) dan stakeholder perlu
diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis keluhan tertentu. Pengklasifikasian
jenis-jenis keluhan tertentu misalnya;
1. Keluhan mengenai keterlambatan proses pelayanan,
2. Petugas yang kurang ramah,
3. Informasi yang tidak jelas, atau bahkan juga keluhan berkaitan dengan
berbagai penyimpangan yang terjadi dalam penerapan standar-standar
pelayanan.
Selain itu, tidak semua keluhan dapat ditindak lanjuti pada saat keluhan
diterima, tetapi membutuhkan waktu tertentu untuk menyelesaikannya.
Sehingga setiap komplain (keluhan) yang masuk perlu disaring terlebih
dahulu.
Setelah melalui proses penyaringan ini, selanjutnya dilakukan penentuan
prioritas keluhan. Dyah Hariani (2008: 246) membagi prioritas keluhan dapat
dilakukan dengan kriteria antara lain:
1. Sejauhmana dampak keluhan terhadap kemungkinan menurunnya
kepercayaan pengguna layanan terhadap pelayanan yang dilakukan oleh
unit penyedia pelayanan.
2. Sejauhmana keluhan yang disampaikan disertai dengan data-data yang
akurat.
3. Sejauhmana keluhan memberikan dampak terhadap proses manajemen
pelayanan, dan lainnya.
Masalah dalam keluhan juga digolongkan kedalam tiga tingkatan yaitu:
1. Masalah yang penting
2. Masalah sederhana
3. Masalah kompleks
(Dyah Hariani, 2008: 246).
63
Namun demikian seperti disebutkan D.M. Martin (1994) menyatakan
bahwa: “Mature organizations encourage customers to complain. They seek to
convert complaining customers into satisfied customers ……….”. Organisasi yang
baik menyambut baik adanya pengaduan untuk merubahnya menjadi sebuah
kepuasan pengguna/ pelanggan. Dengan kata lain keluhan, memiliki manfaat.

Manfaat komplain adalah:

1) Organisasi semakin tahu akan kelemahan atau kekurangannya dlm


memberikan pelayanan kpd pelanggan
2) Sebagai alat introspeksi diri organisasi utk senantiasa responsif dan
mau memperhatikan ‘suara’ dan ‘pilihan’ pelanggan
3) Mempermudah organisasi mencari jalan keluar untuk meningkat-kan
mutu pelayanannya
4) Apabila segera ditangani, pelanggan merasa kepentingan dan hara-
pannya diperhatikan
5) Dapat mempertebal rasa-percaya dan kesetiaan pelanggan kpd
organisasi pelayanan
6) Penanganan komplain yang benar dan berhasil bisa meningkatkan
kepuasan pelanggan.

4.2. Manajemen Pengaduan


Dengan penjelasan tersebut pengaduan bukan melulu hal yang buruk,
lebih dari itu pengaduan adalah salah satu sarana bagi organisasi untuk terus
tumbuh dan berkembang untuk menjadi leboh baik. Namun tentunya hal itu
dapat terwujud jika pengaduan dikelola dengan baik dan benar. Karena
pengaduan sejatinya merupakan ekspresi ketidakpuasan.
Penanganan pengaduan menurut Queensland Ombudsman (2006:1) adalah:
“Handling complaints well presents an opportunity to show to the public that
you are accountable to them. Complaints are an essential part of any

64
accountability process and in fact are often the starting point. Any agency that
claims to be accountable for its actions must take complaints seriously.”
Keberhasilan Manajemen Komplain Dipengaruhi oleh:
1. Personal Factors --- yaitu faktor keahlian, rasa percaya diri, motivasi dan
komitmen masing-masing aparat pelayanan
2. Leadership Factors --- yaitu faktor kualitas dorongan, bimbingan dan
dukungan yag diberikan oleh atasan dan pimpinan tim
3. Team Factors --- yaitu faktor kualitas dukungan dari seluruh anggota tim
pelayanan
4. System Factors --- yaitu faktor sistem kerja yang handal dan fasilitas
yang memadai yang disediakan oleh organisasi pelayanan
5. Contextual (Situational) Factors --- yaitu situasi dan kondisi lingkungan
baik internal maupun eksternal

Syarat-syarat Bagi Sistem & Prosedur Komplain yang Baik


1. Adanya keterlibatan & komitmen yang kuat dari pimpinan pelayanan
dengan menetapkan sumber dan pelatihan staf pelayanan yang tepat;
2. Mengakui dan melindungi hak-hak pelanggan dan staf;
3. Tersedianya sistem & prosedur komplain yang terbuka, efektif dan
mudah utk diikuti bagi pelanggan;
4. Memanfaatkan umpan-balik dr luar seperti lembaga ombudsman,
lembaga konsumen dsb;
5. Terus-menerus memonitor keluhan pelanggan agar organisasi bisa
senantiasa meningkatkan mutu pelayanannya; dan
6. Mengaudit efektivitas pelaksanaan sistem & prosedur komplain yang
telah ada.

Pendekatan Positif terhadap Komplain


1) Tersedianya prosedur komplain yang standar pada semua bagian

65
2) Semua staf terlatih dan sadar akan tanggungjawabnya menangani
komplain dan memahami dengan baik prosedurnya
3) Semua aparat sadar dan faham akan prosedur komplain dengan seluruh
detailnya
4) Tersedianya informasi yang adekuat bagi masyarakat tentang aktivitas
aparat dan masalah-masalah untuk meminimalkan komplain
5) Adanya peluang bagi pelapor keluhan (komplainan) untuk
mendiskusikan atau mengklarifikasi keluhan
6) Adanya informasi tentang peran Ombudsman bila komplainan tidak
memperoleh kepuasan
7) Adanya titik-kontak atau pusat informasi tentang prosedur komplain
dan ombudsman lokal yang bisa dihubungi.
Metode Komplain: Telepon, SMS, Faximile, Surat Pos, E-Mail, Kontak Tatap-
Muka
Contoh: Prosedur Penanganan Keluhan Pelanggan PDAM
1) Dimulai sejak pelanggan menyampaikan keluhannya kepada staf dengan
membawa rekening air atau kartu meter;
2) Staf mencatat laporan keluhan dalam buku pengaduan pelanggan
secara lengkap;
3) Kepala Unit mempelajari, menganalisis dan melakukan koordinasi
dengan Sub-Unit terkait untuk menindak-lanjuti laporan pengaduan
tersebut;
4) Kepala Sub-Unit terkait menugaskan stafnya dengan membuat surat
perintah penyelesaian permasalahan pengaduan pelanggan dimaksud;
5) Selanjutnya staf terkait akan segera menyelesaikan tugas tersebut dan
kemudian meminta pelanggan yang bersangkutan untuk menanda-
tangani surat perintah sebagai bukti pengaduan pelanggan dan masalah
telah tertangani atau selesai;
6) Kemudian Sub-Unit mengarsipkan surat perintah tersebut;

66
7) Kepala Sub-Unit terkait menanda-tangani Buku Pengaduan Pelanggan
untuk mempermudah Kepala Unit mengontrol penyelesaian pengaduan
pelanggan; dan
8) Kepala Sub-Unit terkait menginventarisir pengaduan pelanggan setiap
bulan untuk mencegah terulangnya pengaduan yang sama.
ISO 9000: Complaints Management Systems
Telah terjadi peningkatan rasa tidak puas pelanggan, mereka mengeluh
atas pelayanan yang diterimanya, tetapi komplain adalah sangat penting bagi
organisasi yang ‘customer-focused; Keuntungan yang bisa diperoleh organisasi
yang mempunyai dan melaksanakan ‘Sistem Manajemen Komplain’ adalah:
1. menemukan peluang utk menemukan kelemahan-kelemahan
pelayanannya;
2. dapat mengidentifikasi wilayah-wilayah yang perlu diperbaiki dan
ditingkatkan;
3. menunjukkan adanya tingkat perhatian dan kepedulian yang tinggi
organisasi terhadap usaha pemecahan masalah pelayanan;
4. adanya prosedur komplain yang efektif dapat membantu organisasi
meningkatkan mutu produk dan pelayanannya dgn menawarkan
pelanggan yang mengeluh suatu metoda umpan-balik bagi penyedia
barang dan jasa pelayanan; dan
5. semuanya itu menjadi piranti utk mengembangkan suatu ‘quality
culture’ dlm organisasi yang berfokus pd kepentingan & harapan
pelanggan.

4.3. Prinsip Manajemen Pengaduan


Sistem Manajemen Komplain – adalah merupakan ‘a big U-turn’ yaitu
suatu proses perubahan radikal pd ‘customer service’ yang
mentransformasikan perilaku aparat pemerintah dari ‘bureaucratic routine’
menuju ke fokus ‘citizen’s needs’. Sistem Manajemen Komplain – harus
didesain dan dilaksanakan untuk mengkoversi ‘complaining customers’ menjadi

67
‘satisfied customers. Dengan Sistem Manajemen Komplain, keluhan dapat
ditangani dgn lebih baik dan sekaligus ini menunjukkan pentingnya perhatian
dan kepedulian organisasi kpd pelanggannya. Dengan Sistem Manajemen
Komplain, organisasi akan senantiasa mau mendengarkan pelanggannya, mau
belajar dr kesalahan-kesalahannya dan terus-menerus mau memperbaiki dan
meningkatkan mutu pelayanan-nya.

8 Prinsip Dasar Sistem Manajemen Komplain:


1) Mudah diakses dan dipublikasikan dengan sempurna
2) Kecepatan pelayanan dengan batas waktu penanganan yang pasti dan
menjaga agar pelanggan terus mengetahui perkemba-ngannya
3) Konfidensial, untuk melindungi staf dan pelanggan yang me-
nyampaikan komplain
4) Informatif, memberikan informasi yang cukup bg pimpinan shg
pelayanan bisa senantiasa ditingkatkan
5) Mudah difahami dan digunakan
6) Jujur, dengan menyediakan prosedur lengkap utk menyelidikinya
7) Effektif, setiap keluhan ditangani dgn menggunakan instrumen dan
alternatif yang tepat
8) Terus-menerus dimonitor dan diaudit, untuk memastikan masalahnya
telah diselesaikan dengan sempurna.
Menerapkan Prinsip ‘Service First‘. (Menginformasikan Prosedur
Komplain Kepada Masyarakat dan Pelanggan); Publikasi Komplain: harus
ditulis dengan bahasa yang jelas, prosedur mudah diikuti, dan berisi hal-hal
yang menyangkut kebijakan dan operasionalisasi prosedur serta diteliti dan
dinilai secara reguler. Publikasi Komplain tersebut perlu memperhatikan 12
butir sebagai berikut:
1) Menunjukkan bahwa organisasi akan memperhatikan dengan sungguh-
sungguh komplain tsb dan terikat utk menanganinya serta didukung
oleh pimpinan puncak organisasi;

68
2) Yakinkan pada pelanggan bahwa Anda akan menyambut baik keluhan
tersebut dan semua komentar tentang pelayanan akan menjadi umpan-
balik yang bermanfaat bg organisasi
3) Definisikan komplain dengan baik, misalnya: ‘Suatu ekspresi
ketidakpuasan yang membutuhkan respon;
4) Berikan jaminan bahwa komplain akan ditangani secara mendalam dan
imparsial
5) Terangkan pd pelanggan bagaimana cara menyampaikan komplain dan
cara penanganan komplain tsb;
6) Pastikan pelanggan dapat mengakses sistem komplain dg menggunakan
berbagai metoda (telepon, fax, pos, e-mail dsb) dan siapa petugas yang
bertanggungjawab yang harus dihubungi
7) Harus pula tercantum di dalamnya tentang tindakan perbaikan dan
ganti-rugi yang akan diberikan;
8) Deskripsikan tentang kondisi dan metoda bila komplain harus
dinaikkan (diserahkan) urusannya pada staf yang lebih senior atau
pimpinan langsung;
9) Tetapkan pula target waktu yang dibutuhkan utk menangani komplain
tersebut;
10) Sediakan pula informasi bg mereka yang kurang beruntung mis. Cacat
mata, kelompok minoritas dsb utk memperluas akses pelayanan;
11) Dimana mungkin kemukakan permintaan maaf, penjelasan dan jaminan
bhw kesalahan pelayanan tidak akan terjadi lagi dikemudi-an hari serta
kemungkinan pelanggan mendapatkan ganti-rugi; dan
12) Sajikan pula bhw karena tidak semua komplain dapat diatasi secara
internal maka dimungkinkan peran bagian eksternal dan sepakat
keputusannya mengikat semua pihak.

Menurut KEPMENPAN Nomor 118 Tahun 2004 Tentang Penanganan


Pengaduan Masyarakat, pengaduan masyarakat adalah bentuk penerapan dari
pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh masyarakat, baik secara lisan
69
maupun tertulis kepada aparatur pemerintah terkait, berupa sumbangan
pikiran, saran, gagasan, keluhan atau pengaduan yang bersifat membangun.
Tersedianya ruang untuk menyampaikan aspirasi (voice) dalam bentuk
pengaduan dan protes terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik akan sangat penting peranannya bagi upaya perbaikan
kinerja tata pemerintahan secara keseluruhan (Dwiyanto, 2002:5).
Manajemen pengaduan menjelaskan bahwa manajemen merupakan
pencapaian tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien lewat
perencanaan pengorganisasian pengarahan dan pengawasan sumberdaya
organisasi. Dalam Laporan Kajian Manajemen Pengaduan Masyarakat dalam
Pelayanan Publik BAPPENAS (2010) menguraikan bahwa manajemen
pengaduan masyarakat terdiri dari empat aspek antara lain:
1) Prinsip-Prinsip Dasar Prinsip-prisip dasar terdiri dari 4 elemen yaitu:
a. Prinsip dasar pertama adalah jawaban atas pertanyaan “Kepada
siapa mengabdi?”.
b. Mengontrol sumber dan alur masuk Pengaduan.
c. Mengontrol Responds Kelembagaan
d. Sikap dasar dalam menerim pengaduan
2) Elemen Penanganan Pengaduan Elemen Penanganan Pengaduan terdiri
dari beberapa aspek antara lain:
a. Sumber atau Asal Pengaduan
b. Isi Pengaduan
c. Unit Penanganan Pengaduan
d. Responds Pengaduan
e. Umpan Balik
f. Laporan Penanganan Pengaduan
3) Bentuk Pengaduan
4) Saluran Pengaduan Saluran Pengaduan di bagi menjadi dua yaitu:
a. Saluran Internal
b. Saluran Eksternal

70
Di dalam bukunya, Gorton (2005:6) dijelaskan bahwa, terdapat 7 prinsip
dalam penanganan pengaduan yang dapat dijadikan inti dari komponen
pelayanan dan dapat dimengerti oleh setiaplevel organisasi. Prinsip-prinsip
tersebut, yaitu:
1) Quality Improvement (Peningkatan Kualitas) Penanganan pengaduan
merupakan bagian yang penting dalam pendekatan peningkatan
kualitas. Peningkatan kualitas merupakan proses sistematis dalam
pelayanan yang secara kontinuitas dievaluasi dan ditingkatkan.
2) Open Disclosure (Keterbukaan Menerima Pengaduan) Elemen-elemen
keterbukaan adalah pernyataan bersalah, penjelasan secara faktual
ataas apa yang telah terjadi, konsekuensi potensial dan langkah yang
diambil dalam mengatur peristiwa dan mencegah kesalahan yang
berulang.
3) Commitment (Komitmen) Seluruh anggota organisasi memiliki komitmen
yang tinggi untuk mengintegrasikan manajemen pengaduan dan
keinginan untuk menyediakan kebutuhan yang diperlukan dalam proses
pelayanan secara efektif.
4) Accessibility (Aksesbilitas) Organisasi mendorong masyarakat dan
pegawai untuk saling memberikan timbal balik dalam hal pelayanan
daan membuat pelayanan semakin mudah untuk satu sama lainnya.
5) Responsiveness (Kemampuan Bereaksi) Bentuk pelayanan dalam sebuah
organisasi harus berorientasi keada masyarakat, sebagai pihak ayang
berhak menerima pelayanan. Organisasi juga harus maau menerima
pengaduan dan menyelesaikan pengaduan secara serius.
6) Transparency & Accountability (Transparansi dan Bertanggung Jawab)
Proses dalam penangan pengaduan harus dapat dijelaskan secara baik,
terbuka dan bertaanggung jawab kepada pegawai dan masyarakat.
7) Privacy & Confidentially Pelayanan dalam penanganan pengaduan
mengutamakan pada sifatnya yang pribadi dan rahasia dari masyarakatnya
dan informasi yang diterima selama proses pengaduan berlangsung, saat
dalam pembuatan keputusan harus terbuka dan bertanggung jawab.

71
Sedangkan untuk pengaduan pelayanan publik telah disebutkan pada
bagian sebelumnya diatur dalam Peraturan Presiden No 76 tahun 2003. Dalam
Pasal 1 poin 5 disebutkan Pengelolaan pengaduan adalah kegiatan
penanganan pengaduan sesuai dengan mekanisme dan tata cara pengelolaan
pengaduan.
Adapun mekanisme pengaduan yang dimaksud dalm Peraturan Presiden No
76 tahun 2003
a. penerimaan, terdiri dari pemeriksaan kelengkapan dokumen pengaduan
dan pencatatan serta pemberian tanggapan kepada pengadu.
b. penelaahan dan pengklasifikasian, terdiri dari identifikasi masalah,
pemeriksaan substansi pengaduan, klarifikasi, evaluasi bukti, dan
seleksi.
c. penyaluran pengaduan yaitu meneruskan pengaduan kepada
penyelenggara lain yang berwenang, dalam hal substansi pengaduan
tidak menjadi kewenangannya.
d. penyelesaian pengaduan, terdiri dan penyampaian saran penyelesaian
kepada pejabat terkait di lingkungan penyelenggara, pemantauan,
pemberian informasi kepada pengadu, pelaporan tindak lanjut, dan
pengarsipan.
Mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat disusun dengan memperhatikan kelompok rentan atau
berkebutuhan khusus.
Penyelesaian pengaduan dan tindakan korektif harus terbuka bagi publik dan
diinformasikan melalui Sistem Informasi Pelayanan Publik pada setiap
penyelenggara.

Kemudian dilanjutkan dalam Pasal 9 disebutkan:

(1) Pengelola wajib menyusun dan melaporkan pengelolaan pengaduan


kepada penyelenggara secara berkala.

72
(2) Laporan pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi materi dan kategori pengaduan, waktu penerimaan, status
penyelesaian, hasil penanganan, serta tanggapan pengadu.

Pasal 10
(1) Penyelenggara wajib melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
pengelolaan pengaduan secara berkala sekurang-kurangnya jumlah dan
jenis pengaduan yang diterima, penyebab pengaduan, serta penyelesaian
terhadap pengaduan.
(2) Hasil pemantauan dan evaluasi wajib ditindaklanjuti oleh penyelenggara
untuk peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik.
Selanjutnya untuk penyelesian pengaduan disebutkan dalam Pasal 11,
bahwa
(1) Penyelesaian pengaduan harus dilaksanakan secara cepat, tepat, tertib,
tuntas, dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Penyelenggara wajib menunjuk pelaksana yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan tindak lanjut pengaduan yang diterima di lingkungan
kerjanya.

Pasal 12
(1) Pengaduan dapat dilakukan oleh setiap orang yang dirugikan atau pihak
lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima Iayanan.
(3) Penyelenggara wajib menyelesaikan setiap pengaduan paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak berkas pengaduan dinyatakan lengkap.

Pasca Wacana
1. Keluhan-keluhan yang disampaikan pelanggan pd pemerintah lokal
disebabkan karena mereka tidak puas dgn pelayanan yang diberikan

73
pemerintah. Keluhan yg disampaikan bukan hanya pd barang (seperti
air-minum) tetapi juga jasa (seperti tagihan yang membengkak);
2. Sistem manajemen komplain yang dapat berjalan secara efektif akan
memberikan dampak yang positif pd pelanggan. Tingkat keberhasilan
pemerintah lokal menangani ketidakpuasan pelang-gan akan
memberikan dampak yg signifikan pd persepsi pelang-gan, sebaliknya
bila gagal memenuhi harapan pelanggan akan dipersepsi negatif oleh
pelanggan;
3. Selain itu komplain yang disampaikan akan menumbuhkan umpan-
balik yang positif bg organisasi. Oleh karena itu pemerin-tah lokal perlu
mengorientasikan pelayanannnya pd ‘customer focused’ dan merancang
informasi ttg komplain yg sebaik-baiknya bg pelanggan.
4. Organisasi yang matang adalah yang mampu menggugah pelanggannya
utk menyampaikan keluhan, berusaha sekuat tenaga mampu mengubah
kondisi pelanggan yang mengeluh menjadi pelanggan yang puas.
5. Agar pelanggan dan masyarakat bisa mengakses komplain maka
pemerintah sangat perlu menyusun publikasi ttg informasi yang terkait
komplain dgn menggunakan ‘user-friendly language’ sehingga warga
terdorong menyampaikan komplainnya kepada penyedia pelayanan dan
ini adalah merupakan bagian yang sangat signifikan dalam Sistem
Manajemen Komplain.

74
BAGIAN 5
PELAYANAN KEPADA PENGHUNI RUSUNAWA

Penghuni Rusunawa sebelum tinggal di Rusunawa tentunya sudah


tinggal dalam rumah, walaupun bukan milik sendiri atau berdiri di atas lahan
pemerintah. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
berfungsi untuk mendukung terselenggaranya pembinaan keluarga,
pendidikan serta peningkatan kualitas generasi yang akan datang yang berjati
diri. Kebutuhan rumah tinggal sangat meningkat khususnya di kawasan
perkotaan maka fasilitas pembangunan rumah susun sederhana sewa menjadi
alternatif untuk pemenuhan rumah tinggal yang bermartabat, nyaman, aman
dan sehat bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah khususnya
yang berpenghasilan rendah. Rumah Susun Sederhana Sewa, yang
selanjutnya disebut rusunawa, adalah bangunan gedung bertingkat yang
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing digunakan secara terpisah,
status penguasaannya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah dengan fungsi utamanya sebagai hunian.
Pengelolaan adalah upaya terpadu yang dilakukan oleh badan pengelola
atas barang milik negara/daerah yang berupa rusunawa dengan melestarikan
fungsi rusunawa yang meliputi kebijakan perencanaan, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian,
penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan
dan pengendalian rusunawa. Pengelola, yang selanjutnya disebut badan
pengelola, adalah instansi pemerintah atau badan hukum atau badan layanan
umum yang ditunjuk oleh pemilik rusunawa untuk melaksanakan sebagian
75
fungsi pengelolaan rusunawa. Penghuni adalah warga negara Indonesia yang
termasuk dalam kelompok masyarakat berpenghasilan rendah sesuai
peraturan yang berlaku yang melakukan perjanjian sewa sarusunawa dengan
badan pengelola. Tarif Sewa adalah jumlah atau nilai tertentu dalam bentuk
sejumlah nominal uang sebagai pembayaran atas sewa sarusunawa dan/atau
sewa bukan hunian rusunawa untuk jangka waktu tertentu. Terdapat
beberapa kelompok Sasaran Penghuni seperti di bawah ini:

Kelompok Sasaran Penghuni Rusunawa


1) Kelompok sasaran penghuni rusunawa adalah warga negara Indonesia yang
terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, TNI/Polri, pekerja/buruh, dan masyarakat
umum yang dikategorikan sebagai MBR serta mahasiswa/pelajar.
2) Kelompok sasaran penghuni rusunawa sebagaimana adalah warga negara
Indonesia yang:
a. mengajukan permohonan tertulis kepada badan pengelola untuk
menjadi calon penghuni rusunawa;
b. mampu membayar harga sewa yang ditetapkan oleh badan pengelola;
dan
c. memiliki kegiatan yang dekat dengan lokasi rusunawa.
Penghuni rusunawa yang kemampuan ekonominya telah meningkat
menjadi lebih baik harus melepaskan haknya sebagai penghuni rusunawa
berdasarkan hasil evaluasi secara berkala yang dilakukan oleh badan
pengelola.

Persyaratan
Secara umum, untuk dapat tinggal di rusunawa, ada delapan
persyaratan utama yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Fotokopi KTP DKI Jakarta
2. Fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan surat nikah jika kamu telah berumah
tangga
3. Pas foto berwarna dengan ukuran 3 x 4 sebanyak tiga lembar
76
4. Pas foto berwarna dengan ukuran 4 x 6 sebanyak satu lembar
5. Surat keterangan belum memiliki rumah dari kelurahan (PM1)
6. Surat keterangan penghasilan atau slip gaji
7. Materai Rp 6 ribu sebanyak empat lembar
8. Selanjutnya, jika anda sebagai pemohon telah lolos tahapan verifikasi
berkas, maka wajib membuka rekening tabungan Bank DKI di cabang
yang telah ditentukan, atas nama sendiri serta menyetorkan jaminan
retribusi sebesar 3 kali retribusi tiap bulan.

Syarat Untuk Masyarakat Relokasi


1. Fotokopi KTP DKI Jakarta
2. Fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan surat nikah jika kamu telah berumah
tangga
3. Pas foto berwarna dengan ukuran 3 x 4 sebanyak tiga lembar
4. Pas foto berwarna dengan ukuran 4 x 6 sebanyak satu lembar
5. Surat keterangan belum memiliki rumah dari kelurahan (PM1)
6. Materai Rp 6 ribu sebanyak empat lembar
7. Foto rumah yang pernah ditinggali
Catatan: syarat slip gaji, dan deposit uang selama 3 bulan dibuku tabungan
Bank DKI Jakarta tidak dikenakan pada masyarakat Ruunawa.

Proses Penghunian
Pendaftaran calon penghuni rusunawa dilakukan oleh badan pengelola dengan
mempersiapkan formulir pendaftaran calon penghuni,
Tata cara pendaftaran calon penghuni:
Mengajukan permohonan tertulis dan melengkapi persyaratan yang
ditetapkan. Setelah dilakukan pendaftaran calon penghuni sebagaimana
selanjutnya dilakukan penetapan calon penghuni oleh badan pengelola dengan
tata cara sebagai berikut:
1. menyeleksi calon penghuni yang telah mendaftar dan telah memenuhi
persyaratan;
77
2. menetapkan pemohon yang ditunjuk sebagai calon penghuni;
3. menetapkan daftar tunggu calon penghuni yang memenuhi syarat dan
lulus seleksi;
4. mengumumkan dan memanggil calon penghuni;
5. meminta penghuni untuk mengisi surat pernyataan untuk mematuhi
tata tertib penghunian sebagaimana dicontohkan pada
6. membacakan dan memberitahukan hak dan kewajiban penghuni kepada
penghuni, sebelum penandatanganan perjanjian sewa menyewa.

Penetapan Calon Penghuni


1. penetapan calon penghuni oleh badan pengelola dengan tata cara
sebagai berikut:
2. menyeleksi calon penghuni yang telah mendaftar dan telah memenuhi
persyaratan;
3. menetapkan pemohon yang ditunjuk sebagai calon penghuni;
4. menetapkan daftar tunggu calon penghuni yang memenuhi syarat dan
lulus seleksi;
5. mengumumkan dan memanggil calon penghuni;
6. meminta penghuni untuk mengisi surat pernyataan untuk mematuhi
tata tertib penghunian
7. membacakan dan memberitahukan hak dan kewajiban penghuni kepada
penghuni, sebelum penandatanganan perjanjian sewa menyewa
8. menyampaikan surat pengantar dari pengelola untuk disampaikan
kepada lingkungan rukun tetangga/rukun warga/ketua
kelompok/ketua blok setempat untuk dicatat dan digunakan sebagai
bukti bahwa penghuni yang bersangkutan dinyatakan resmi menjadi
penghuni rusunawa.
9. memberikan surat pembatalan penghunian kepada calonpenghuni yang
tidak memenuhi syarat

78
Hak, Kewajiban dan Larangan Penghuni
Hak Penghuni
(1) Penghuni sarusunawa berhak:
a. memanfaatkan satuan bukan hunian yang disewa untuk kegiatan
usaha;
b. mendapatkan layanan suplai listrik, air bersih, gas, pembuangan air
kotor dan/atau air limbah;
c. mengajukan keberatan atas pelayanan kondisi lingkungan hunian yang
kurang diperhatikan atau terawat kepada badan pengelola;
d. mendapat pelayanan atas perbaikan kerusakan bangunan, prasarana
dan sarana dan utilitas umum yang bukan disebabkan oleh penghuni;
e. mempunyai sarana sosial;
f. mendapat pelayanan ruang duka pada ruang serba guna bagi yang
meninggal dunia;
g. menempati satuan hunian cadangan yang disiapkan oleh pengelola saat
dilakukan perbaikan pada satuan hunian penghuni;
h. menjadi anggota rukun tetangga, rukun warga yang dimanfaatkan
sebagai wadah komunikasi dan sosialisasi guna kepentingan bersama;
i. mendapat ketentraman dan privasi terhadap gangguan fisik maupun
psikologis;
j. mengetahui kekuatan komponen struktur menyangkut daya dukung
dan keamanan fisik bangunan;
k. mendapat pendampingan mengenai penghunian dari badan pengelola
dan/atau institusi lain yang berkaitan;
l. mendapat penjelasan, pelatihan dan bimbingan tentang penanggulangan
bahaya kebakaran dan evakuasi, pengelolaan sampah, pembuangan
limbah, penghematan air, listrik dan lainnya; dan
m. memanfaatkan prasarana, sarana dan utilitas sesuai dengan fungsi.

(2) Bagi penghuni yang cacat fisik dan lanjut usia berhak mendapatkan
perlakuan khusus.

79
(3) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi
penempatan ruang hunian dan mobilitas.

Kewajiban Penghuni
Penghuni rusunawa berkewajiban untuk:
a. mentaati peraturan, tata tertib serta menjaga ketertiban lingkungan;
b. mengikuti aturan tentang kemampuan daya dukung yang telah
ditetapkan pengelola;
c. memelihara, merawat, menjaga kebersihan satuan hunian dan sarana
umum serta berpartisipasi dalam pemeliharaan;
d. membuang sampah di tempat yang telah ditentukan secara rapi dan
teratur;
e. membayar retribusi pemakaian sarana air bersih, listrik, gas;
f. membayar uang sewa dan jaminan uang sewa;
g. melaporkan pada pihak pengelola bila melihat adanya kerusakan pada
prasarana, sarana dan utilitas di rusunawa;
h. membayar ganti rugi untuk setiap kerusakan yang diakibatkan kelalaian
penghuni;
i. mengosongkan ruang huni pada saat perjanjian sewa berakhir;
j. berpartisipasi dalam menciptakan lingkungan dan kehidupan
bermasyarakat yang harmonis;
k. mengikuti pelatihan dan bimbingan yang dilaksanakan oleh pengelola
secara berkala;
l. memarkir dan meletakkan kendaraan di area yang telah ditetapkan.

Larangan Penghuni
Penghuni rusunawa dilarang:
a. memindahkan hak sewa kepada pihak lain;
b. menyewa lebih dari satu satuan hunian;
c. menggunakan satuan hunian sebagai tempat usaha/gudang;
d. mengisi satuan hunian melebihi ketentuan tata tertib;
80
e. mengubah prasarana, sarana dan utilitas rusunawa yang sudah ada;
f. menjemur pakaian dan lainnya di luar tempat yang telah ditentukan;
g. berjudi, menjual/memakai narkoba, minuman keras, berbuat maksiat,
kegiatan yang menimbulkan suara keras/bising, bau menyengat,
termasuk memelihara binatang peliharaan yang mengganggu keamanan,
kenyamanan dan ketertiban lingkungan;
h. mengadakan kegiatan organisasi terlarang sebagaimana peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
i. memasak dengan menggunakan kayu, arang, atau bahan lain yang
mengotori dan dapat menimbulkan bahaya kebakaran;
j. membuang benda-benda ke dalam saluran air kamar mandi/WC yang
dapat menyumbat saluran pembuangan;
k. menyimpan segala jenis bahan peledak, bahan kimia, bahan bakar atau
bahan terlarang lainnya yang dapat menimbulkan kebakaran atau
bahaya lain;
m. mengubah konstruksi bangunan rusunawa; dan
n. meletakkan barang–barang melampaui daya dukung bangunan yang
ditentukan.

Perjanjian Sewa Menyewa


(1) Perjanjian sewa menyewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf
f mencakup:
a. identitas kedua belah pihak;
b. waktu terjadinya kesepakatan;
c. memuat ketentuan umum dan peraturan yang harus ditaati oleh kedua
belah pihak;
d. hak, kewajiban dan larangan para pihak;
e. jangka waktu dan berakhirnya perjanjian;
f. keadaan diluar kemampuan (force majeur);
g. penyelesaian perselisihan; dan
h. sanksi atas pelanggaran.
81
(2) Perjanjian sewa menyewa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan kebutuhan badan pengelola.

Gambar 5.1 Gambar Gedung Rusunawa

Gambar 5.2 Rusun Relokasi Keluarga

82
Kondisi Pelayanan Rusunawa Berdasarkan 14 Unsur Indek Kepuasan
Masyarakat:
Potret Pelayanan Rusunawa berdasarkan 14 unsur Indek kepuasan
masyarakat secara ringkas sebagai berikut : 1). Prosedur Pelayanan Tidak
Berbelit; 2). Persyaratan : Sederhana; 3).Kejelasan Petugas: jelas; 4).
Kedisiplinan: disiplin; 5). Tanggung Jawab : betanggung jawab; 6).
Kemampuan Pegawai : memadai; 7).Kecepatan : Cepat ; 8).Keadilan: adil;
9).Sopan/Ramah: sopan dan ramah ; 10).Kewajaran Biaya;: sewa rusun
murah; namun tarif listrik yang mahal; 11).Kepastian Biaya : Pasti ; dijamin
dengan Peraturan Gubernur No.. ; 12).Kepastian Jadwal: pasti terdapat jam
kerja 8.0-15.0, namun sering sd maghrib). Kenyamanan Lingkungan: gersang,
dan jauh dari pusat keramaian 14). Keamanan: belum terjaga dengan baik
walaupun terdapat CCTV (Tdk Semua Ada Cctv).

1). Kondisi Existing Pelayanan pada Penghuni Rusunawa berdasarkan 14


unsur indek kepuasan masyarakat
Secara garis besar pelayanan yang diberikan pengelola cukup memadai,
namun terdapat unsur yang dikeluhkan Penghuni, yaitu pembayaran sewa
rusun, sebenarnya tarif sudah murah namun karena perekonomian penghuni
tidak dapat berkembang maju sehingga yang murah tersebut dirasakan
mahal. Selain itu kurang penghijauan lingkungan rusunawa dan masih
terdapat motor, helm, baju yang hilang, keamanan kurang memadai

83
BAGIAN 6
AGAMA DAN PENGADUAN PUBLIK

Anselm von Feuerbach menyatakan bahwa agama merupakan


kebutuhan ideal manusia. Agama menentukan setiap bidang kehidupan.
Manusia tanpa agama tidak dapat hidup sempurna. Pendapat Anselm tersebut
dikutip Jalaludin Rahmat (1991:36) berbunyi “religion in welcher form sie
auftritt bleibt das ideale bedurfnis der menschheit.” Ungkapan tersebut
menunjukkan pentingnya agama bagi manusia dalam berbagai bidang
kehidupan. Kehidupan manusia meliputi kehidupan pribadi, keluarga, dan
masyarakat. Begitu pula aspek material dan spiritual. Agama sebagai sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Keberadaan agama menurut Quraish Shihab (2011:69) merupakan
sarana yang memberikan rasa aman. Hal ini dibuktikan dengan adanya
penetapan hak-hak manusia, anjuran menolong sesama, menolak segala
bentuk tirani, diperintahkan berlaku adil, anjuran mengucapkan salam
kepada setiap manusia, serta berbagai perintah baik dalam hubungan pribadi
sesama umat islam maupun dengan non muslim serta lingkungan tempat
manusia tinggal. Perusakan lingkungan mengakibatkan kerugian bagi
manusia dan lingkungan. Betapa manusia diberikan arahan dan petunjuk
agar dirinya merasa aman dan tenteram dengan terpeliharanya jiwa dari
berbagai bentuk yang menimbulkan rasa tidak aman.
Sebaliknya, ancaman berupa kelaparan dan rasa takut akan didapatkan
manusia jika mengingkari Tuhannya. Rasa aman dan keamanan mencakup
berbagai aspek, yaitu: aspek sosial, aspek ekonomi, politik, dan keamanan
nasional. Keyakinan merupakan unsur utama bagi terciptanya rasa aman
(Shihab, 2011:72). Keyakinan merupakan salah satu unsur dari agama.
Sebagaimana diketahui bahwa agama itu terdiri dari lima dimensi
(Rahmat, 1991:37-38): ritual, mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial.
Dimensi sosial adalah manifestasi ajaran agama dalam kehidupan
84
bermasyarakat yang meliputi seluruh perilaku. Dalam kehidupan sosial setiap
manusia memiliki peran ganda. Mulai dari peran dalam keluarga inti,
lingkungan sekitar rumah, hingga bangsa dan negara. Setiap orang sebagai
bagian dari keluarga dimana hidup berperilaku dalam keluarga sesuai peran.
Seseorang yang menjadi ibu bagi anak dalam keluarga, juga menjadi isteri bagi
suaminya. Dia pun menjadi bagian dalam masyarakat. Jika bekerja, maka dia
menjadi bagian dari tempat bekerja. Dalam semua peran itu, seorang
perempuan memposisikan dirinya sesuai dengan peran dimana dia berada.
Posisi sebagai ibu dari seorang anak tidak diterapkan dimana dia bekerja,
begitu pula peran di kantor tidak diterapkan di rumah. Dalam menjalankan
semua peran itu, agama memberikan petunjuk bagaimana cara
melakukannya. Sebagai seorang ibu dari seorang anak, maka seorang ibu
memberikan pelayanan kepada anaknya, yang tentu berbeda dalam melayani
suami atau melayani mitra di kantor. Agama sebagai landasan dan falsafah
hidup bagi orang yang beragama menjadi pedoman yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan.
Agama sesungguhnya adalah perilaku ideal sebagaimana sabda Nabi
Muhammad bahwa “al-Din (agama) adalah akhlak yang baik” (Yunahar,
2009:7). Artinya, bahwa agama itu berupa ajaran-ajaran kebaikan, sehingga
agama identik dengan akhlak (perilaku) baik (berbudi). Agama sebagai
landasan dan gfalsafah dalam berperilaku. Agama sebagai pembimbing dalam
berinteraksi dengan sesama dalam kehidupan. Disinilah, pentingnya agama
dalam dimensi sosial yang dimanipestasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Lingkungan hidup sebagai sesuatu dimana manusia berinteraksi dan
menetap. Maka, lingkungan tempat manusia berinteraksi dan menetap itu
memerlukan adanya agama. Rusunawa merupakan salah satu lingkungan
dimana masyarakat berinteraksi dan hidup berkumpul bersama membangun
kehidupan.
Menyampaikan pengaduan berarti menyampaikan keinginan akibat
ketidaknyamanan. Dalam pengaduan ini, seseorang hendaknya memegang
teguh nilai-nilai spiritual (agama) yang menjadi pegangan hidup. Manusia
85
diciptakan sebagai makhluk yang suci (fitrah) memiliki kebaikan, maka
masing-masing pribadi manusia itu harus berpandangan baik kepada
sesamanya dan berbuat baik untuk selamanya (M. Shofa & M. Taufik,
2013:29). Manusia hendaknya berprilaku dan bertindak sopan di mana pun
dia berada.
Agama sebagai pegangan hidup menjadi landasan dalam menyampaikan
pengaduan. Pengaduan hendaknya disampaikan dengan bahasa dan sikap
yang sopan. Rasa hormat kepada setiap orang termasuk kepada pihak yang
menerima pengaduan merupakan salah satu sifat manusia beriman. Mengapa
harus sopan? Allah telah memuliakan manusia sebagaimana disebutkan
dalam kitabNya Alquran surat Al-Isra/17 ayat 70 yang berbunyi:

‫( َوﻟَﻘَدْ ﻛَرﱠ ْﻣﻧَﺎ َﺑﻧِﻲ آ َد َم‬Sungguh Kami telah memuliakan keturunan Adam (manusia)

Kemuliaan manusia karena dianugerahi akal (al-Naisaburi,


2002M/1422H:114 Juz VI). Karena itu manusia diberi amanah untuk menjadi
wakil Allah di muka bumi (khalifah). Selain itu Allah memberi keutamaan
kepada manusia dengan sebaik-baik penciptaannya (Alquran surat al-Tîn ayat
4) sehingga tidak patut bagi manusia untuk merendahkan dan menghina
sesamanya dengan perkataan yang tidak pantas. Dengan keutamaan yang
diberikan Allah kepada manusia menjadi isyarat akan kewajiban manusia
untuk berperilaku baik terhadap sesamanya. Setiap manusia sepatutnya
berperilaku sopan dan hormat kepada siapa pun yang ditemuinya. Sikap
hormat terhadap sesama sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai ketuhanan
dalam perilaku manusia. Allah memberikan petunjuk agar manusia selalu
berbuat baik dan sopan dalam berperilaku. Allah tidak menghendaki manusia
saling mencela dan bermusuhan satu sama lain, sehingga manusia yang
berperilaku tidak baik diancam dengan hukuman oleh Allah.
Melayani dengan baik merupakan pengejawantahan atau implementasi
dari kebaikan dan ketinggian iman yang dimiliki. Sehingga, kebaikan dalam
berperilaku menjadi salah satu indikator mengukur tingkat keimanan. Dalam
86
sebuah hadis disebutkan bahwa: (Ibn al-Atsir,1971M/1390H): 5 yang berbunyi
sebagai berikut:
، ‫ ِﺧﯾَﺎ ُر ُﻛ ْم ﻷھﻠِ ِﮫ« أﺧرﺟﮫ اﻟﺗرﻣذي‬: ‫ َو ِﺧﯾَﺎ ُر ُﻛ ْم‬، ‫ أَﺣْ َﺳ ُﻧ ُﮭ ْم ُﺧﻠُﻘﺎ‬: ‫ »أَ ْﻛ َﻣ ُل اﻟﻣُؤﻣِﻧﯾنَ إِﯾﻣَﺎﻧﺎ‬:‫ﻗﺎل رﺳول ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم‬
«‫ » ُﺧﻠُﻘﺎ‬: ‫وأﺧرج أﺑو داود إﻟﻰ ﻗوﻟﮫ‬
(Ibn al-Atsir, jāmi al-Uṣūl fī Ahādiṭ al-Rasūl, Juz IV 1390 ‫ ھـ‬:[5]/ ‫ م‬1971)
“Rasulullah saw bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya
adalah orang yang sempurna budi pekertinya, dan sebaik-baik kalian adalah
orang yang paling baik terhadap keluarganya (HR Al-Turmudzi, dan Abu Daud
(dalam matannya sampai kata khuluqan)

Berdasarkan sabda Nabi Muhammad di atas, maka setiap manusia


hendaknya mampu berperilaku dengan baik. Kebikan berperilaku menjadi
tolak ukur bagi keimanan seseorang. Bahkan perilaku yangbaik akan menjadi
neraca bagi keselamatan di akhirat kelak.
Perilaku yang baik lahir karena kejujuran yang dimiliki seseorang, dan
perilaku baik itu akan melahirkan kebahagiaan dan ksentosaan. Sebaliknya,
perilaku buruk sebagai bentuk sifat buruk akan membawa manusia pada
kesulitan. Oleh karena itu, setiap perilaku buruk harus dijauhi karena
berakibat negative bagi diri dan masyarakat.

87
BAGIAN 7
ETIKA PENGADUAN PENGHUNI RUSUNAWA

7.1. Pengertian Etika


Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan
hidup tingkat internasional diperlukan suatu system yang mengatur
bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan
tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan
santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan
tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar
mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya
serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat
kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di
masyarakat. Menurut para ahli etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat
kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan
mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga
disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-
nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang
baik.
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya
melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia
untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup
ini. Etika pada akhirnya membantu manusia untuk mengambil keputusan
tentang tindakan apa yang perlu dilakukan dan yang perlu difahami bersama
bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan.
Dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai
dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

88
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah
“Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Dalam
New Masters Pictorial Encyclopaedia disebutkan: Ethics is the science of moral
philosophy concerned not with fact, but with values, not with thw character of,
but the ideal of human conduct (Lewis M. Adams, 1965:460). Artinya, etika
adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-
nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya. Oleh
karena itu, etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang
merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan
melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal
tindakan yang buruk. Dalam kamus bahasa Indonesia dinyatakan bahwa
moral adalah baik buruk perbuatan dan kelakuan.
Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam
kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk
penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Antara Etika dan moral memiliki
perbedaan. Etika menentukan menentukan baik dan buruk menggunakan
akal fikiran sebgaai tolak ukur, sedangkan moral berdasar pada norman-
norma yang hidup dalam masyarakat.
Selain Etika dan moral, ada juga cara menentukan baik dan buruk,
yaitu akhlak. Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jamak
dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at (Luis
Ma’luf, 1989: 164), akar katanya dari khalaqa artinya menciptakan. Kata
khalaqa memiliki akar kata yang sama dengan kata Khâliq (Pencipta), makhlûq
(yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Adanya kesamaan akar kata tersebut
menurut Yunahar Ilyas (1009:1) mengisyaratkan bahwa dalam akhlak
tercakup keterpaduan antara kehendak Khâliq (Tuhan) dengan perilaku
makhlûq (manusia). Dengan kata lain bahwa perilaku seseorang terhadap
sesama dan lingkungannya memiliki nilai akhlak hakiki apabila tindakan atau

89
perilaku tersebut didasarkan pada kehendak Khâliq (Tuhan). Kata akhlak
secara istilah merupakan norma atau aturan perilaku manusia dalam
berhubungan dengan sesama, Tuhan, bahkan lingkungan dimana manusia
berada.
M Quraish Shihab (2011:755-756) menyatakan bahwa bentuk jamak
pada kata akhlak mengisyaratkan banyak hal yang dicakup olehnya. Akhlak
mencakup hubungan antar manusia, manusia dengan Allah, dengan
lingkungan baik lingkungan hidup maupun bukan serta hubungan diri
manusia secara pribadi.
Mengapa perlu akhlak? Sebagai orang beriman dan berketuhanan Yang
Maha Esa sebagaimana Dasar Negara sila pertama, maka landasan agama
dalam berperilaku merupakan hal yang sangat urgen dan vital. Beragama
berarti berperilaku baik. Beragama berarti memiliki iman. Orang beriman
adalah orang yang paling baik akhlaknya. Hal ini berdasarkan pada sebuah
hadis Rasulullah saw.: “(Abu Daud, Juz IV: 354)

« ‫ » أَ ْﻛ َﻣ ُل ا ْﻟﻣ ُْؤ ِﻣﻧِﯾنَ إِﯾﻣَﺎﻧًﺎ أَﺣْ َﺳ ُﻧ ُﮭ ْم ُﺧﻠُﻘًﺎ‬-‫ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم‬- ‫ﷲ‬
ِ ‫َﻋنْ أَﺑِﻰ ھُرَ ﯾْرَ َة ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل رَ ﺳُو ُل ﱠ‬

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda;


“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik
akhlaknya.”

Hadis di atas memberikan petunjuk bahwa berakhlak baik merupakan


identitas orang beriman. Akhlak yang baik menjadikan tolak ukur tingkat
keimanan seseorang. Berakhlak berarti berbuat baik kepada sesama manusia
dan makhluk lain ciptaan Allah di muka bumi, bahkan terhadap lingkungan
pun manusia diperintahkan memperlakukannya secara baik. Berakhlak
kepada sesama manusia dan makhluk ciptaan Allah dilakukan atas dasar
perintah Allah, karena manusia memiliki tugas utama di muka bumi ini yaitu
beribadah kepada Allah dan menjadi wakilNya di muka bumi. Bentuk ibadah
itu terdiri atas ibadah langsung kepada Allah, dengan kata lain berkahlak
90
kepada Allah. Bentuk ibadah lainnya yaitu berperilaku atau berakhlak baik
kepada sesama sebagai wujud melaksanakan perintah Allah.
Berakhlak baik terhadap sesama makhluk ciptaan Allah merupakan
perintahNya. Hal ini dinyatakan dalam Alquran surat Al Qashash ayat 77 yang
berbunyi:

‫ك‬
َ ‫َوأَﺣْ ﺳِ ن َﻛﻣَﺂأَﺣْ َﺳنَ ﷲُ إِﻟَ ْﯾ‬
Artinya: ...” Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu.”

Berbuat baik berarti memberikan pelayanan kepada sesama dengan


baik dan penuh perhatian dengan menghormati dan memuliakannya. Allah
telah menempatkan manusia sebagai makhluk paling mulia di muka bumi
serta paling baik bentuk dan rupanya, sehingga sangat tidak patut apabila
manusia tidak berbuat baik kepada sesamanya.
Atas dasar itulah, berakhlak dalam melayani berarti berbuat baik dalam
memberikan pelayanan dan memenuhi kebutuhan sesama. Dengan demikian,
antara akhlak, etika dan moral memiliki kesamaan sebagai tolak ukur
mennetukan baik dan buruk dalam perilaku.

7.2. Etika Pelayanan Publik


Etika menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu
diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak
dan watak. Istilah etika disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak dan (3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dengan memperhatikan beberapa sumber di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai
moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau

91
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan
“sistim nilai”; (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal
dengan “kode etik”; dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang
acap kali disebut “filsafat moral”.
Salah satu uraian dari diatas adalah tentang pembedaan atas konsep
etika dari konsep etiket. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan
itu sendiri yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan,
misalnya mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak pernah
diperbolehkan. Sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu
dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan atau berinteraksi
dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja,
misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan
cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tetapi tidak ada
persoalan bagi kebudayaan lain. Karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan
cenderung mengutamakan simbol lahiriah, Apabila dibandingkan dengan etika
yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sungguh-sungguh
sikap batin. Etika pelayanan publik dalam arti yang sempit, pelayanan publik
adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh
pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan
secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat,
berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan
masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan
publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan
publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan,
kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi,
dan bank.
Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang
terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi
apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan
demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan
terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
92
Dalam arti yang luas, konsep pelayanan public (public service) identik
dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam
mencapai kepentingan publik. Dalam konteks ini pelayanan publik lebih
dititikberatkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti
policy making , desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk
mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan
pihak provider yang diberi tanggung jawab, contoh dari pandangan ini, dimana
pelayanan publik benar-benar identik dengan administrasi publik.
Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan
sebagai filsafat dan profesional standards (kode etik), atau aturan berperilaku
yang benar yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau
administrator publik Berdasarkan konsep etika dan pelayanan publik di atas
maka yang dimaksudkan dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek
administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik yang didasarkan
atas serangkaian tuntunan perilaku atau kode etik yang mengatur hal-hal
yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar
dihindarkan.

7.3 Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik


Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus
terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan.
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak
semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-
prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya
terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum.
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah
adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh
pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan
secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik

93
secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan
atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua
aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela
kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar.
Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte
perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini
tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain,
tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan dengan
lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri.
Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam
organisasi (organizational humanism) . Dalam literatur tentang aliran human
relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus bersikap
etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara
manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern
for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan
produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan. Alasan berikut
berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu
variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai
negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan
pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis,
karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju.
Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang
bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum
minoritas, miskin, tidak berdaya untuk menjadi pegawai atau menduduki
posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral yang diambil oleh seorang
birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice – as– fairness. Alasan penting
lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan

94
etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar.
Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan
kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian
pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan
publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidak menentuan ini mendorong
pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Keleluasaan inilah
yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat
pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan
perilaku yang ada.
Mengapa pemberi pelayanan publik harus memiliki etika? Tentu
manusia harus mengingat siapa dirinya, dan bagaimanakah kedudukannya.
Dalam pandangan ajaran agama, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling
mulia. Semua manusia diberi potensi akal untuk berfikir sehingga mampu
bertindak dengan arif dan bijak baik dalam kapasitas pribadi sebagai individu
maupun sebagai pejabat yang diberi amanah.
Manusia harus mampu menunjukkan sifat dan nilai-nilai
kemanusiaannya kepada sesama dan makhluk lainnya. Kemuliaan manusia
akan tampak pada seberapa baik sifat manusia dalam memebrikan pelayanan
kepada sesama dan lingkungannya. Manusia diperintahkan untuk
memberikan pelayanan terbaik bagi sesamanya. Nabi Muhammad memberi
nasihat kepada Mu’adz bin Jabal (Nawawi, t.t.: 67) sebagai berikut:

‫ َوﺧَ ﺎﻟِقِ اﻟﻧﱠﺎسَ ِﺑ ُﺧﻠُقٍ ﺣَ َﺳ ٍن (( رواه اﻟﺗرﻣذي‬، ‫اﺗﱠقِ ﷲ ﺣَ ْﯾ ُﺛﻣَﺎ ُﻛﻧْتَ َوأﺗْﺑﻊِ اﻟ ﱠﺳ ﱢﯾ َﺋ َﺔ اﻟﺣَ َﺳ َﻧ َﺔ َﺗ ْﻣ ُﺣﮭَﺎ‬
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah dimana saja engkau berada. Ikutilah
perbuatan yang buruk itu dengan kebaikan yang akan mengahpus
keburukan itu. Perlakukanlah manusia itu dengan akhlak yang baik

Salah satu bentuk Implemnetasi takwa yaitu berperilaku baik,


memberikan penghormatan dan pelayanan prima dan menyenangkan kepada
setiap orang. Namun, memberikan pelayanan di sini haruslah berdasarkan
95
nilai-nilai ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya, pelayanan yang baik itu
berasaskan atau berlandasakan pada nilai-nilai yang dibenarkan oleh agama,
bukan keinginan atau hawa nafsu manusia belaka dengan
mengenyampingkan nilai-nilai agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab
dalam pelayanan harus berasakan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sebagai
contoh, cara berpakaian yang rapih dan sopan sesuai tuntunan agama dan
etika kesopanan tentu berbeda dengan cara berpakaian asal seadanya tanpa
mengindahkan kesopanan. Begitu pula memberikan pelayanan yang
menyenangkan berdasarkan asas kemanusiaan dan Ketuhanan Ynag Maha
Esa.
Tidak boleh ada diskriminasi dalam pelayanan karena semua manusia
memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada perbedaan kelebihan manusia atas
yang lainnya berdasarkan ras dan warna kulit. Semua orang mesti
diperlakukan sama, dihormati dan diterima dengan penerimaan yang tulus
dan menyenangkan. Jadi, pada prinsipnya setiap pelayan memuliakan semua
orang tanpa diskriminasi. Memberikan pelayanan prima berarti memegang
teguh etika dalam pelayanan. Etika dalam pelayanan public sangat urgen dan
penting karena berdampak pada kenyamanan, keamanan, ketenteraman dan
kepuasan bagi semua.

7.4. Etika Pengaduan penghuni Rusunawa


Dalam hal penerimaan berbagai bentuk layanan publik, penghuni
rusunawa berhak untuk melakukan pengaduan kepada pengelola atas
pelayanan yang diterimanya selama tinggal di rusunawa. Namun pengaduan
yang dilakukan itu dengan beretika, penyampaian pendapat baik lesan
maupun tertulis dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28.
Sementara dalam Undang –Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, diatur pula penyampaian pengaduan. UU 25 tahun 2009 pasal 36
yakni :

96
(1) Yang wajib melakukan penanganan pengaduan masyarakat adalah
Penyelenggara pelayanan, pelaksana pelayanan, dan ombudsman adalah
lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi Penyelenggara
pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara
negaradan pemerintahan termasuk BUMN, BUMD , dan badan hukum
milik negara serta badan swasta atau perseorang yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau APBD. Pemerintah daerah adalah penyelenggara
pelayanan publik, sementara SKPD merupakan pelaksana pelayanan
publik. Ombudsman adalah Penyelenggara berkewajiban menyediakan
sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam
pengelolaan pengaduan.
(2) Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari
penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, DPR, DPRD Propinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu.
(3) Penyelenggara 'berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan
pengaduan
(4) Penyelenggara berkewajiban mengumumkan nama dan alamat
penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang
disediakan.

Sementara Mekanisme pengaduan:


(1) Penyelenggara berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan
pengaduan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan asas
penyelesaian yang cepat dan tuntas.
(2) Materi dan mekanisme pengelolaan pengaduan diatur lebih lanjut oleh
penyelenggara.
(3) Materi pengelolaan pengaduan sekurang-kurangnya meliputi:
a. identitas pengadu;
b. prosedur pengelolaan pengaduan;
97
c. penentuan pelaksana yang mengelola pengaduan;
d. prioritas penyelesaian pengaduan;
e. pelaporan proses dan hasil pengelolaan pengaduan kepada atasan
pelaksana;
f. rekomendasi pengelolaan pengaduan;
g. penyampaian hasil pengelolaan pengaduan kepada pihak terkait;
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan pengaduan.;
i. dokumentasi dan statistik pengelolaan pengaduan; dan
j. pencanturnan nama dan alamat penanggung jawab serta sarana
pengaduan yang mudah diakses.

Penyelesaian Pengaduan
(1) Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik
kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau DPR, DPRD Propinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Masyarakat yang melakukan pengaduan dijamin haknya.
(3) Pengaduan dilakukan terhadap:
a. penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melanggar larangan; dan
b. pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan.

Pasal 41
(1) Atasan satuan kerja penyelenggara berwenang menjatuhkan sanksi
kepada satuan kerja
(2) penyelenggara yang tidak memenuhi kewajiban dan/ atau melanggar
larangan
(3) Atasan pelaksana menjatuhkan sanksi kepada pelaksana yang
melakukan pelanggaran
(4) Pemberian sanksi dilakukan berdasarkan aduan masyarakat dan/atau
berdasarkan kewenangan yang dimiliki atasan.
98
(5) Pengaduan diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak
lain yang menerima kuasa untuk mewakilinya.
(6) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan.
(7) Pengaduan disampaikan secara tertulis memuat: a. nama dan alamat
lengkap; b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan dan uraian kerugian materiel atau immateriel yang diderita; c.
permintaan penyelesaian yang diajukan; dan d. tempat, waktu
penyampaian, dan tanda tangan.
(8) Pengadu dapat memasukkan tuntutan ganti rugi dalam surat
pengaduannya
(9) Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat
dirahasiakan.
(10) Pengaduan dapat disertai dengan bukti-bukti sebagai pendukung
pengaduannya.
(11) Dalam hal pengadu membutuhkan dokumen terkait dengan
pengaduannya dari penyelenggara dan/atau pelaksana untuk
mendukung pembuktian maka penyelenggara dan/atau pelaksana wajib
memberikannya.
(12) Penyelenggara dan/ atau ombudsman wajib memberikan tanda terima
pengaduan.
(13) Tanda terima pengaduan sekurang-kurangnya memuat: a. identitas
pengadu secara lengkap; b. uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan; c. tempat dan waktu penerimaan pengaduan; dan d.
tanda tangan serta nama pejabatlpegawai yang menerima pengaduan.
(14) Penyelenggara dan/atau ombudsman wajib menanggapi pengaduan
masyarakat paling larnbat 14 (empat belas) hari sejak pengaduan
diterima yang sekurang-kurangnya berisi informasi lengkap atau tidak
lengkapnya materi aduan.
(15) Dalam hal materi aduan tidak lengkap, pengadu melengkapi materi
aduannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
99
menerima tanggapan dari penyelenggara atau ombudsman sebagaimana
diinformasikan oleh pihak penyelenggara dan / atau ombudsman.
(16) Dalam hal berkas pengaduan tidak dilengkapi, pengadu dianggap
mencabut pengaduannya.
(17) Pengaduan terhadap pelaksana ditujukan kepada atasan pelaksana.
(18) Pengaduan terhadap penyelenggara ditujukan kepada atasan satuan
kerja penyelenggara.
(19) Pengaduan terhadap penyelenggara yang berbentuk korporasi dan
lembaga independen ditujukan kepada pejabat yang bertanggung jawab
pada instansi pemerintah yang memberikan misi atau penugasan.

Penyelesaian Pengaduan oleh Ombudsman


(1) Ombudsman wajib menerima dan berwenang memproses pengaduan
dari masyarakat mengenai penyelenggaraan pelayanan publik sesuai
dengan undang-undang ini.
(2) Ombudsman wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat apabila
pengadu menghendaki penyelesaian pengaduan tidak dilakukan oleh
penyelenggara.
(3) Ombudsman wajib membentuk perwakilan di daerah yang bersifat
hierarkis untuk mendukung tugas dan fungsi ombudsman dalarn
kegiatan pelayanan publik.
(4) Pembentukan perwakilan ombudsman di daerah dilakukan paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
(5) Ombudsman wajib melakukan mediasi dan konsiliasi dalarn
menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak.
(6) Penyelesaian pengaduan dapat dilakukan oleh perwakilan ombudsman
di daerah.
(7) Mekanisme dan tata cara penyelesaian pengaduan oleh ombudsman

100
Penyelesaian Pengaduan oleh Penyelenggara Pelayanan Publik
(1) Penyelenggara wajib memeriksa pengaduan dari masyarakat rnengenai
pelayanan public yang diselenggarakannya.
(2) Proses pemeriksaan untuk memberikan tanggapan pengaduan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku
bagi penyelenggara.
(3) Dalam memeriksa materi pengaduan, penyelenggara wajib berpedoman
pada prinsip independen, nondiskriminasi, tidak memihak, dan tidak
memungut biaya.
(4) Penyelenggara wajib menerima dan merespons pengaduan.
(5) Dalam hal pengadu keberatan dipertemukan dengan pihak teradu
karena alasan tertentu yang dapat mengancam atau merugikan
kepentingan pengadu, dengar pendapat dapat dilakukan secara
terpisah.
(6) Dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, pihak pengadu menguraikan
kerugian yang ditimbulkan akibat pelayanan yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan.
(7) Dalam melakukan pemeriksaan materi aduan, penyelenggara wajib
menjaga kerahasiaan.
(8) Kewajiban menjaga kerahasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak gugur setelah pimpinan penyelenggara berhenti atau
diberhentikan dari jabatannya.
(9) Penyelenggara wajib memutuskan hasil pemeriksaan pengaduan paling
lambat 60 (enampuluh) hari sejak berkas pengaduan dinyatakan
lengkap.
(10) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
kepada pihak pengadu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diputuskan.
(11) Dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat jumlah ganti rugi dan batas waktu
pembayarannya.
101
(12) Penyelenggara wajib menyediakan anggaran guna membayar ganti rugi.
(13) Dalam hal penyelesaian ganti rugi, ombudsman dapat melakukan
mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi khusus.
(14) Ajudikasi khusus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak
undang-undang ini diundangkan.
(15) Dalam melaksanakan ajudikasi khusus, mekanisme dan tata caranya
diatur lebih lanjut oleh peraturan ombudsman.
(16) Mekanisme dan ketentuan pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut
dalam peraturan presiden.
(17) Penyelenggara berkewajiban memberikan ternbusan keputusan kepada
pengadu mengenai penyelesaian perkara yang diadukan.

7.5. Etika Mengadu Bagi Penghuni Rusunawa


Etika berbicara
(1) Mengucapkan Salam
(2) Sebisa munkin disertai dengan senyuman
(3) Hendaknya pembicaran dengan suara yang dapat didengar
(4) Menghindari nada suara yang tinggi
(5) Hendaknya Fokus pada lawan bicara
(6) Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna.
(7) Menghindari perdebatan dan saling membantah
(8) Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
(9) Menhindari sikap berbicara sambil menunjuk-nunjuk lawan bicara
(10) Menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam
berbicara.
(11) Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba
(12) Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak
memotongnya
(13) Jangan memonopoli dalam berbicara

102
(14) Menghindari perkataan kasar, keras dan ucapan yang menyakitkan
perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain
(15) Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah
orang yang berbicara

Etika Menelpon
(1) Ceklah dengan baik nomor telepon yang akan anda hubungi
(2) Pilihlah waktu yang tepat untuk berhubungan via telepon
(3) Jangan memperpanjang pembicaraan tanpa alasan
(4) Hendaknya penelpon memulai pembicaraannya dengan ucapan salam
(5) Tidak memakai telpon orang lain kecuali seizin pemilik-nya, dan itupun
bila terpaksa.
(6) Tidak merekam pembicaraan lawan bicara kecuali seizin darinya
(7) Berbicara sesuai permasalahan tidak bertele-tele

Etika Berpakaian
(1) Berpakaian yang bersih
(2) Berpakaian yang rapi dan santun
(3) Mengenakan pakaian sederhana
(4) Tidak mengenakan pakaian syuhrah (sensasional)
(5) Tidak memakai pakaian dan perhiasan berlebihan
(6) Menghindari memakai jeans, kaos oblong dan sandal jepit pada area
kantor
(7) Tidak memakai make up berlebihan dan mencolok

103
BAGIAN 8
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

8.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan Hasil Penelitian di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut : bahwa Rusunawa belum terdapat Manajemen
Pengaduan Penghuni. Oleh karena itu manajemen pengaduan harus diadakan,
dimana penghuni juga dilatih tentang Etika Pengaduan, begitu pula pengelola
dilatih menerima dengan sabar pengaduan yang diterima dari para penghuni.
Intinya kedua belah pihak baik penghuni maupun pengelola rusunawa
menyampaikan dan menerima pengaduan dengan sepenuh hati.

8.2. Rekomendasi
Hendaknya Pengelola Rusunawa segera membuat bagan alur
manajemen pengaduan penghuni sehingga penghuni dapat dengan cepat
memahami pengaduan yang beretika.

104
DAFTAR REFERENSI

Adams, Lewis M. 1965, New Masters Pictorial Encyclopaedia, III, A Subsidiary


of Fublishers Co. Inc., New York
al-Nawawi, Muhammad bin Syarf. t.t Riyâdh al-Shâlihîn. Juz I.

al-Naisâbûrî, Ahmad bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Tsa’labi, Bayrut: Dâr Ihyâ,
2002M/1422H, Cet I, h. 114

al-Sajistani, Abu Daud Sulaimân. Sunan Abi Daud Juz IV, Bayrût: Dâr al-
Kitâb al-‘Arabiy

Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B., 2003, The New Public Service: Serving, Not
Steering, New York: M.E. Sharpe
Dwiyanto, Agus (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada
Gorton, Michael, dkk. 2005. Health Service Review Council:Guide to Complaint
Handling in Health Care Services. Australia
Ibn al-Atsir, Jāmi al-Uṣūl fī Ahādiṭ al-Rasūl, Juz IV , 1390H/ 1971M

Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak. 2009, Yogjakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Mc Nabb, David. 2002. Research Methods in Public Administration & Nonprofit

Moleong, L.J. 2008. Qualitative Research Methodology. Bandung: PT Young


Rosdakarya

Ma’luf, Louis. 1989. Al Munjid fi al-Lughahwa al-I’lâm, Bayrût: Dâr al-Masyriq.

Parasuraman, Berry and Zeithmal. 1994 Reassessment of Expectations as a


Comparison Standard in Measuring Service Quality: Implications for
futher Research, Journal of Marketing, Vol. 58 (January), pp 111-
124

Rahmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.

105
Retnowati WD Tuti. 2014. Textbook of Public Service. Jakarta. UMJ Press.

Roth.G, 1987. The Private Provision of Public Services in Developping Countries.


EDI Series in Economyc Development Published for the World
Bank. New York: Oxford University Press.

Shihab, M Quraish. 2011. Membumikan Al-Quran Jilid 2. Ciputat: Lentera Hati.


Cet I.

Disertasi

Retnowati WD Tuti, 2013. Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kabupaten


Bogor. Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya
Malang.

Research Result

Retnowati WD Tuti and Izzatusholeha. 2013. Analysis of the Urban Transport


Service Quality in Bogor District. First Year.

............,2014. Analysis of the Urban Transport Service Quality in Bogor. Second


Year.

…………., 2015. Analisis Pelayanan Publik Izin Mendirikan Bangunan di Kota


Depok Jabar. Hibah DIKTI- Penelitian Hibah Bersaing

Abdul Fattaah Mustafa, Slamet Trisutomo, Baharuddin Hamzah. 2010.


Komparasi Perilaku Penghuni Rumah Susun dengan Penghuni
Permukiman Kumuh (Studi Kasus: Rusunawa Mariso Kota
Makassar). (Jurnal Ilmiah Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik,
Universitas Hasanuddin, Makassar,

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/c543580107c8d67a2
a6ba2f7149bbb32.pdf)

106
Ariesta Amanda dan Puji Lestari, 2013. Interaksi Sosial Masyarakat Rumah
Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Di Sleman Yogyakarta. E-
Societas Volume 2, Number 3, Tahun 2013 (
http://journal.student.uny.ac. id/ jurnal/artikel/2775/34/337)
Dian Pramana, Eka Dwi Murdiyanti, Tauran, 2011. Evaluasi Pengelolaan
Rumah Susun Sederhana Sewa Gunungsari Di Surabaya.
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-
akuntansi/article/view/6718
Hariani, Dyah. 2008. Manajemen Komplain dan Penanganan Keluhan Dalam
Pelayanan Publik. “DIALOGUE” Jurnal Ilmu Administrasi dan
Kebijakan Publik. Volum 5. Nomor 2 Mei 2008: 239- 253.

Publikasi Elektronik

Queensland Ombudsman. 2006. Effective Complaints Management. Brisbane:


Queensland Ombudsman. (www.ombudsman.qld.gov.au)

Dokumen

UUD Negara RI Tahun 1945

UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 37 tahun 2007 tentang Ombudsman

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pelayanan


Pengaduan Publik

Permenpera No 14 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Rusunawa

Kepmenpan dan RB Nomor 15 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Publik

Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan


Pelayanan Terpadu Satu Pintu (= PPTSP)

107

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai