Anda di halaman 1dari 7

STATUS PASIEN

TRIMESTER III

Digunakan Sebagai Persyaratan Dalam Mengikuti Kepanitraan Klinik Senior SMF


Obstetri & Ginekologi RSUD DR. RM. DJOELHAM BINJAI

DISUSUN OLEH :

RANDY SUTANTO
(102118192)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KANDUNGAN & KEBIDANAN


RSUD DR. RM. DJOELHAM KOTA BINJAI SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
TAHUN 2019
PENDAHULUAN

Apendisitis akut merupakan kedaruratan pembedahan ekstra uterine yang paling


sering ditemukan selama kehamilan. Etiologi dan pathogenesisnya tidak diketahui
meskipun banyak teori telah diajukan, termasuk obstruksi mekanik lumen apendisiel,
rusaknya barrier mucosal apendiks akibat invasi langsung pathogen, dan respon
inflamasi yang dipicu oleh pathogen atau stimuli lain.1

Diagnosis dan penatalaksanaan apendisitis akut dalam kehamilan dapat menjadi


sebuah tantangan karena gambaran klinis tidak klasik dan komplikasi apendisitis
perforasi yang mengakibatkan tingginya angka kematian maternal dan janin. Dengan
demikian mencapai diagnosis yang akurat dan memulai pengobatan dini penting
untuk mencegah komplikasi.

EPIDEMIOLOGI

Apendisitis akut dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, meski penyakit ini terjadi
paling sering selama trimester kedua (45%) dan 30% selama trimester pertama dan
sisanya 25% pada trimester ketiga. Keseluruhan insiden 0,15 hingga 2,10 per 1000
kehamilan.2

Kematian maternal jarang dalam kasus apendisitis sederhana, tetapi meningkat


hingga 2% dengan perkembangan kehamilan dan apendisitis terperforasi sementara
mortalitas janin berentang dari 0-1,5% dalam kasus kasus apendisitis sederana hingga
20-35% dalam apendisitis terperforasi.

DIAGNOSIS KLINIS

Umumnya, diagnosis apendisitis akut dapat dilakukan secara klinis berdasarkan


riwayat menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Namun, mungkin sulit untuk
mendiagnosisnya pada wanita hamil karena perubahan fisiologi dan anatomi yang
terjadi selama kehamilan. Hal ini karena gejala gejala seperti mual, muntah,
anoreksia, dan ketidaknyamanan abdomen sama dengan pada kehamilan itu sendiri.

Selain itu, apendiks berpindah ke superior dan lateral dengan adanya perbesaran
uterus, dengan demikian menekan apendiks menjauh dari titik Mc Burneys.
Penelitian klinis telah menunjukan bahwa 84% wanita hamil yang mengalami
apendisitis mengalami nyeri pada kuadran kanan bawah tetapi dilaporkan bahwa
apendiks dapat pula berpinah ke kuadran kanan atas.3

Selain hal ini, nyeri tekan rebound dan tahanan pada dinding abdomen jarang tampak
selama pemeriksaan karena kelemahan otot dinding abdomen selama kehamilan;
dimana tanda tanda klasik seperti obturator, psoas, dan rovsing ditemukan positif
tetapi pada kurang dari sepertiga pasien. Demam, hipotensi, dan takikardia juga tidak
dapat diandalkan dan mungkin hadir selama kehamilan.

DIAGNOSIS BANDING

Baik itu kondisi obstetrical atau ginekologis dan kondisi non obstetrical atau non
ginekologis mungkin hadir dengan nyeri abdomen dan dapat menyerupai apendisitis.
Berikut merupakan diagnosis banding yang mungkin:3

Obstetrikal dan ginekologis

• kehamilan Ectopic

• keguguran (usia gestasi awal)

• Twisted ovarian cyst atau kista ovarium yang pecah

• Pelvic infammatory disease

• kelahiran preterm (usia gestasi yang lebih berkembang)

• abruption Placenta
• Degenerating uterine leiomyoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah, khususnya hitung sel darah putih (WBC) biasanya dilakukan
untuk mengkonfirmasi atau mengeksklusi suspek apendisitis pada pasien dengan
nyeri kuadran kanan bawah. Namun, mungkin tidak membantu dan tidak dapat
diandalkan pada wanita hamil karena leukositosis (hitung WBS setinggi 16000/µL)
dan bandemia (WBC yang tidak matur) merupakan gangguan fisiologis normal
selama kehamilan. Selanjutnya, tidak semua wanita hamil dengan apendisitis
mengalami leukositosis. C reaktif protein (CRP) juga dapat digunakan tetapi tidak
dapat diandalkan.1

Pencitraan diagnosis dapat dipertimbangkan dalam kasus kasus yang meragukan.


Ultrasonography (USG) telah digunakan untuk investigasi nyeri kuadran kanan
bawah pada pasien ginekologi selama beberapa decade. Juga dapat
memvisualisasikan apendiks yang inflamasi.

Beberapa gambaran yang ditemukan selama ultrasonografi antara lain: ukuran


diameter apendiks lebih dari 6 mm atau lebih, penebalan dinding apendiseal, dan
adanya cairan periependiseal atau faecolith. USG dengan demikian merupakan alat
yang sangat berguna untuk mendiagnosis apendisitis dalam kehamilan karena
sensitivitasnya (75-90%) dan spesifisitasnya (75-100%) yang tinggi, relatif murah,
cepat dan non invasif.1 Namun, ketika kehamilan berkembang, diagnosis menjadi
makin sulit karena perpindahan posisi apendiks.

Alat pencitraan lainnya yang berguna untuk mendiagnosis apendisitis adalah


magnetic resonance (MRI). Suatu laporan di Amerika serikan membuktikan diagnosis
definitif apendisitis perforata pada wanita hamil yang memasuki trimester kedua
tetapi efek jangka panjang ruang magnetic statis terhadap janin masih tidak diketahui.

KOMPLIKASI
Dalam apendisitis akut, komplikasi yang paling parah adalah perforasi apendisitis.
Dalam kehamilan, persentase apendiks perforata bisa jadi setinggi 43%, dibandingkan
dengan 19% dalam populasi umum. Resiko perforasi juga meningkat dengan usia
gestasional, dimana insiden apendiks perforata lebih tinggi selama trimester ketiga.
Perforasi apendiks menyebabkan keluarnya isi apendiks ke dalam rongga abdomen.
Hal ini dapat mengakibatkan peritonitis, keguguran, persalinan preterm dan kematian
janin atau maternal. Berdasarkan berbagai penelitian apendiks perforata
meningkatkan angka kontraksi preterm dan persalinan preterm.

Namun, resiko persalinan preterm tertinggi pada minggu pertama setelah


pembedahan dan menunjukkan bahwa kontraksi preterm dapat diakibatkan oleh baik
itu apendisitis sendiri dan komplikasi pembedahan.2

PENATALAKSANAAN

Segera setelah apendisitis akut terdiagnosis, intervensi pembedahan dini


direkomendasikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa pembedahan dalam 24 jam
secara relatif memiliki angka perforasi apendiks yang lebih rendah. Setelah 36 jam
onset gejala angka perforasi antara 16% dan 36%. Juga diketahui bahwa resiko
perforasi meningkat 5% untuk setiap periode 12 jam berikutnya.2,3

Dengan demikian, setelah diagnosis apendisitis akut dibuat, apendektomi seharusnya


dilakukan segera. Kebanyakan pasien diberikan antibiotik spectrum luas sebelum
operasi, yang mana terbukti menurunkan infeksi luka dan pembentukan abses pasca
operasi.

Karena resiko potensial teratogenesisnya, sepalosporin generasi kedua biasanya


digunakan sebelum operasi. Selain sebagai profilaksis, juga dipergunakan dalam
pengobatan perforasi, peritonitis, dan apendiks ganggren.2,3
Sepalosporin digunakan dalam kombinasi dengan metronidazole pada apendisitis
perforata terkomplikasi. Untuk melegakan gejala, analgesic dan agen tokolitik
biasanya digunakan. Seperti antibiotik, kekhawatiran dalam penggunaan analgesic
adalah resiko teratogenesis. Lebih jauh lagi, hal ini juga dapat menyamarkan
gambaran klinis dan mengakibatkan diagnosis yang salah. Agen tokolitik digunakan
untuk mencegah iritasi uterus. Namun efektifitasnya masih belum dibuktikan.2,3

PEMBEDAHAN

Operasi terbuka dan laparoskopi merupakan teknik pembedahan yang digunakan


dalam mengobati apendisitis. Apendiks diakses melalui insisi Lanz terbuka, dimana
biasanya dibuat melalui titik McBurneys. Metode ini memiliki keuntungan utama
yakni visualisasi peritoneum yang lebih baik, waktu operasi yang lebih pendek,
paparan janin terhadap karbon dioksida yang lebih sedikit, resiko pneumoperitoneum
yang lebih rendah dan biaya yang lebih rendah. Karena paparan karbondioksida lebih
rendah pada operasi terbuka dibandingkan pada laparoskopi dan efek jangka panjang
paparan terhadap gas tidak pasti, operasi terbuka dipercaya lebih baik dan umumnya
lebih dipilih daripada metode laparoskopi pada trimester kedua akhir dan ketiga.

Meskipun laparoskop awalnya dikontraindikasikan pada kehamilan, penelitian terkini


menunjukkan bahwa metode ini ditoleransi oleh ibu dan janin selama periode
kehamilan.

Pertimbangan utama metode laparoskopi adalah penggunaan karbon dioksida untuk


membentuk pneumoperitoneum. Hal ini mempaparkan janin terhadap karbon
dioksida, meningkatkan tekanan intraabdomen, yang mana dapat mengakibatkan
kelahiran preterm, penurunan aliran darah uterus, dan mengakibatkan asidosis janin.

Penempatan masukan port primer atau jarum Veress dapat juga menciderai janin dan
menyebabkan pneumoamnion. Namun, karena kemajuan terkini teknik laparoskopik,
terdapat beberapa keuntungan laparoskopi dibandingkan operasi terbuka. Diantaranya
adalah penurunan insiden infeksi luka, nyeri pasca operasi yang berkurang,
penggunaan narkotik yang rendah dan resiko ileus yang lebih rendah.2

KESIMPULAN

Apendisitis akut merupakan penyebab umum abdomen akut pada pasien hamil.
Akibat dari bahaya potensial terhadap janin dan ibu, apendisitis harus dieksklusi pada
wanita hamil yang muncul dengan episode nyeri abdomen. Diagnosis apendisitis
pada kehamilan terutama dilakukan secara klinis.

Dengan demikian, dibutuhkan kecurigaan, kemampuan dan kemampuan yang tinggi.


Beberapa investigasi dapat membantu diagnosis. Diagnosis dan penatalaksanaan dini
seharusnya dibuat untuk menghindari komplikasi. Pembedahan masih merupakan
pengobatan utama pada apendisitis akut apapun pilihan teknik pembedahannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Diunduh dari http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/122559-S09008fk-


Karakteristik%20pasien-Literatur.pdf oleh Universitas Indonesia pada tanggal 4
September 2019.

2. Cunningham, F Gary dkk. Obstetri Wiliams. Penerbit Buku EGC. Jakarta 2005. Ed 21.

3. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


Jakarta 2010. Ed 4.

Anda mungkin juga menyukai