Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan kognitif adalah gangguan yang berkaitan dengan peningkatan usia.
Gangguan ini menyebabkan penurunan fungsi otak yang berhubungan dengan
kemampuan atensi, konsentrasi, kalkulasi, mengambil keputusan, reasoning, berpikir
abstrak (Shiang Wu, 2011). Salah satu gangguan kognitif yang menjadi masalah besar
dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju dan mulai muncul di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia adalah dementia (Rohmah et al, 2006). Pada orang
lanjut usia terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada tingkat
seluler maupun pada tingkat organ sejalan dengan terjadinya proses menua (Kaplan et
al, 2010). Proses penuaan yang disertai proses degenerasi pada seluruh organ tubuh
termasuk otak, akan menimbulkan berbagai gangguan neuropsikologis, dan masalah
yang paling besar adalah demensia, diperkirakan mempunyai prevalensi 15% pada
penduduk usia lebih dari 65 tahun (Fields RB, 1999).
Salah satu tahapan penurunan fungsi kognitif adalah Mild Cognitive Impairment
yang merupakan gejala perantara antara gangguan memori atau kognitif terkait usia
(Age Associated Memori Impairment/AAMI) dan demensia. Penelitian menunjukkan
bahwa lebih dari separuh (50-80%) orang yang mengalami MCI akan menderita
demensia dalam waktu 5-7 tahun mendatang (Purwadi T, 2002).
Pada tahun 2020 di negara maju orang berusia di atas 80 tahun akan meningkat
sebesar 65% dan mencapai 138% di negara berkembang. Pada keadaan tersebut insiden
seseorang menjadi pikun atau demensia adalah 1% pada usia 75 tahun dan meningkat
menjadi 10% pada usia di atas 85 tahun. Sementara populasi saat ini menunjukkan 5-
7% dari penduduk di atas 65 tahun menderita kepikunan atau demensia. Di Indonesia
jumlah lansia di tahun 2000 mencapai 15,3 juta (7,4%) dan pada tahun 2005-2010
diperkirakan meningkat menjadi 19 juta (8,5%) (Lumbantobing, 1995).
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya
menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer
(Alzheimer’s disease) (Sadock, 2007).
Selain demensia tipe Alzheimer jenis demensia terbanyak berikutnya adalah
demensia vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler.
Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia.
Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia.
Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60 hingga
70 tahun dan lebih sering pada laki-laki dari pada wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen
pasien menderita kedua jenis demensia tersebut (Maslim. R, 2001).
Hilangnya fungsi kognisi pada penderita demensia sedemikian beratnya
sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari maka tingkat ketergantungan
penderita demensia terhadap orang-orang di sekitarnya menjadi tinggi. Karena alasan
tersebut maka biaya yang dikeluarkan untuk merawat penderita dengan gangguan
kognitif menjadi sangat tinggi diperkirakan biaya sekitar US$ 83,9 milyar samapi US$
100 milyar pertahun (data di Amerika Serikat tahun 1996)(Rochmah et al, 2006).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep tentang gangguan kognitif ?
2. Bagaimana konsep tentang asuhan keperawatan pada lansia ?
3. Bagaimana asuhan keperawatan lansia dengan gangguan kognitif ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep tentang gangguan kognitif
2. Untuk mengetahui konsep tentang asuhan keperawatan pada lansia
3. Untuk mengetahui asuhan keperawatan lansia dengan gangguan kognitif
BAB II
TINJUAN TEORI

2.1 Konsep Kognitif


2.1.1 Definisi
Gangguan kognitif merupakan gangguan dan kondisi yang mempengaruhi
kemampuan berfikir seseorang. Individu dengan masalah seperti itu akan memiliki
kesulitan dengan ingatan, persepsi, dan belajar. Meskipun berbeda dari pengetahuan
yang sebenarnya, kognisi memainkan peran penting dalam kemampuan seseorang
untuk belajar dan akhirnya hidup sehat dan normal ketidakmampuan mengingat
beberapa informasi atau keterampilan sikap aktivitas mental secara sadar seperti
berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga
merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta
kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan
evaluasi (Strub &Black, 2012); Rizzo et al, 2012).
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif
Faktor – faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi kognitif pada lansia yaitu
proses penuaan pada otak dan pertambahan usia. Sebagian besar bagian otak termasuk
lobus frontal mempunyai peranan penting dalam penyimpanan ingatan di otak (Lucas,
2013). Faktor pertambahan usia yaitu bertambahnya usia seseorang maka akan semakin
banyak terjadi perubahan pada berbagai sistem dalam tubuh yang cenderung mengarah
pada penurunan fungsi. Pada fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan fungsi
intelektual, berkurangnya kemampuan transmisi saraf di otak yang menyebabkan
proses informasi menjadi lambat, banyak informasi hilang selama transmisi,
berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi
dari memori (Pranarka, 2014).
2.1.3 Aspek-Aspek Kognitif
1. Orientasi
Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu. Orientasi
terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri ketika ditanya).
Kegagalan dalam menyebutkan namanya sendiri sering merefleksikan negatifism,
distraksi, gangguan pendengaran atau gangguan penerimaan bahasa. Orientasi
tempat dinilai dengan menanyakan negara, provinsi, kota, gedung dan lokasi dalam
gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan menanyakan tahun, musim,
bulan, hari dan tanggal. Karena perubahan waktu lebih sering daripada tempat,
maka waktu dijadikan indeks yang paling sensitif untuk disorientasi (Tambunan,
2013).
2. Atensi

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus


dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi
merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas
korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan
stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk
mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan
konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan
fungsi eksekutif (Tambunan, 2013).
3. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang


membangun kemampuan fungsi kognitif. Jika terdapat gangguan bahasa,
pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami
kesulitan atau tidak dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter, yaitu
(Tambunan, 2013) :
a. Kelancaran
Kelancaran mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan
panjang, ritme dan melodi yang normal. Metode yang dapat membantu
menilai kelancaran klien adalah dengan meminta klien menulis atau
berbicara secara spontan.
b. Pemahaman
Pemahaman mengacu pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan
atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
perintah tersebut.
c. Pengulangan
Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat
yang diucapkan seseorang.
d. Penamaan
Merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta
bagian-bagiannya.Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak fokal
maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak.
Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan
yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi.
4. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses
penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga
proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam
tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan
recall, yaitu :
1) Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dengan
recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian
untuk mengingat (attention)
2) Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa
menit, jam, bulan bahkan tahun.
3) Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun bahkan
seusia hidup.Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan klien. Istilah amnesiasecara umum merupakan efek fungsi
memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah brain insult
disebut amnesia anterograd. Sedangkan amnesia retrograd merujuk pada
amnesia pada yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua klien
demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya.
Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Klien depresi
dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Istilah amnesia psikogenik
jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak
dijumpai defek pada recent memori (Tambunan, 2013).
5. Visuospasial

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti


menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan
menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan
lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan. Menggambar jam
sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif
dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal (Tambunan, 2013).
6. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses kompleks
seseorang dalam memecahkan masalah / persoalan baru. Proses ini meliputi
kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta
memecahkan / mencari jalan keluar suatu persoalan (Tambunan, 2013).
7. Fungsi konstruksi

Kemampuan seseorang untuk membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat


dinilai dengan meminta orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi
balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang telah dirusak
sebelumnya.
8. Kalkulasi: kemampuan seseorang untuk menghitung angka.
9. Penalaran: kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruknya suatu hal,
serta berpikir abstrak.
2.1.4 Penyebab Gangguan Kognitif
1. Faktor Predisposisi
Pada umumnya gangguan kognitif disebabkan oleh gangguan pada fungsi
sususnan saraf pusat. Susunan saraf pusat memerlukan untuk nutrisi sebagai fungsi,
jika ada gangguan dalam pengiriman nutrisi maka hal ini akan mengakibatkan
gangguan pada fungsi susunan saraf pusat.salah satu faktor yang dapat
menyebabkan yaitu adalah suatu keadaan penyakit seperti infeksi sistematik,
gangguan peredaran darah, keracunan zat-zat (Namun demikain banyak juga faktor
lain yang menurut beberapa ahli dapat menimbulkan gangguan kognitif, misalnya
kekurangan vitamin, malnutrisi, dan gangguan jiwa fungsional beck, Rawlins dan
Williams, 2014).
2. Faktor Presipitasi

Ganggauan kognitif yang berdampak di otak. Hipoksia dapat juga berupa


anemia Hipoksia, Hitoksi Hiposia, Hipoksemia Hipoksia, atau Iskemik Hipoksia.
Semua kondisi ini menimbulkan distribusi aliran nutrisi ke otak berkurang.
Gangguan metabolisme sering menganggu fungsi mental, hipotiroidisme,
hipoglikemia. Racun, virus lain yang menyerang otak mengakibatkan ganggaun
pada fungsi otak beck, Rawlins dan Williams, 2014).
2.1.5 Penatalaksanaan Gangguan Kognitif
Karena tidak ada penyebab secara yang pasti dari gangguan kognitif dan
gejalanya pun berbeda – beda dari setiap penderitanya, maka tak ada obat penyembuh
utama. Perawatan yang dilkuakan bervariasi dan sering disesuaikan tergantung pada
kondisi dan gejalanya. Pengelolaan masalah kognitif dilakukan oleh penyedia layanan
kesehatan yang berbed a, mulai dari dokter sampai pekerja social (Elias FM, 2013).
1. Dengan cara terapi, termasuk terapi perilaku dan okupasi untuk memungkinkan
klien tersebut berfungsi senormal dan semandiri mungkin.
2. Obat-obatan seperti penguat suasana hati dan obat yang menghalangi atau
memperkuat neurotransmitter tertentu yang terkait dengan gangguan tertentu.
3. Penggunaan teknologi untuk meningkatkan penyimpanan informasi dan ingatan.
4. Dengan Konseling untuk klien maupun keluarganya.

2.1.6 Pemeriksaan Gangguan Kognitif


Ada berbagai cara untuk menentukan apakah seorang lansia tersebut mengalami
gangguan kognitif atau seberapa berat gangguan kognitif yang dialaminya,
permeriksaan terseut antara lain :
1. Cognitive Performance Scale (CPS)

Pemeriksaan Cognitive Performace Scale ini pertama sekali diperkenalkan oleh


Morris pada tahun 1994, dengan 5 bentuk pengukuran. Dimana bentuk – bentuk
pengukuran tersebut meliputi status koma (comatose status), kemampuan dalam
membuat keputusan (decision making), kemampuan memori (short – term
memory), tingkat pengertian (making self understood) dan makan (eating). Tiap
kategori dibagi dalam 7 grup, dimana pada skala nol (0) dinyatakan intact sampai
skala enam (6) dinyatakan sebagai gangguan fungsi kognitif yang sangat berat
(very severe impairment). Penelitian yang ada menunjukkan bahwa CPS
memberikan penilaian fungsi kognitif yang akurat dan penuh arti pada populasi
dalam suatu institusi (Hartmaier dkk.2015 ). Skor CPSdidasarkan pada :
a) Apakah seseorang itu koma
b) Kemampuannya dalam membuat keputusan
c) Kemampuannya untuk membuat dirinya sendiri mengerti
d) Apakah terdapat gangguan pada short-term memory atau delayed recall
e) Apakah terdapat ketergantungan dalam self performance dalam hal makan
(eating)
2. Mini Mental State Examination (MMSE)
Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya
dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan secara luas
untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum. Pemeriksaan MMSE kini adalah
instrumen skriningyang paling luas digunakan untuk menilai status kognitif dan
status mentalpada usia lanjut (Kochhann dkk. 2013). Sebagai satu penilaian awal,
pemeriksaan MMSE adalah tes yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status
mental MMSE Folstein adalah tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian
dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif,
menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu
tertentu, skor MMSE.

2.2 Konsep Demensia


2.2.1 Definisi Demensia
Definisi demensia menurut WHO adalah sindrom neurodegeneratif yang
timbul karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progesifitas disertai
dengan gangguan fungsi luhur multiple seperti kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan
mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak terganggu. Gangguan fungsi
kognitif biasanya disertai dengan perburukan kontrol emosi, perilaku, dan motivasi.
(WHO, 2014).
Demensia adalah penurunan memori yang paling jelas terjadi pada saat belajar
informasi baru, meskipun dalam. Pada kasus yang lebih parah memori tentang
informasi yang pernah dipelajari juga mengalami penurun. Penurunan terjadi pada
materi verbal dan non verbal. Penurunan ini juga harus didapatkan secara objektif
dengan mendapatkan informasi dari orang – orang yang sering bersamanya, atau pun
dari tes neuropsikologi atau pengukuran status kognitif. (International Classification of
Diseases 10 ( ICD 10 ), 2013).
Demensia adalah sindroma klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual
dan memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Demensia merupakan keadaan ketika seseorang mengalami penurunan daya ingat dan
daya pikir lain yang secara nyata mengganggu aktivitas kehidupan sehari – hari.
(Nugroho, 2015).
Jadi, demensia sendiri merupakan penurunan fungsi kognitif seseorang yang
dapat menyebabkan penurunan daya ingat sehingga dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari, sosial, emosional.
2.2.2 Klasifikasi
1. Menurut Kerusakan Struktur Otak
a. Tipe Alzheimer
Alzheimer adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mengalami
kematian sehingga membuat signal dari otak tidak
dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2013). Penderita
Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan
juga penurunan proses berpikir. Sekitar 50-60% penderita demensia disebabkan
karena penyakit Alzheimer.
Demensia ini ditandai dengan gejala :
1) Penurunan fungsi kognitif
2) Daya ingat terganggu, ditemkanya adanya : afasia,
apraksia, agnosia, gangguan fungsi eksekutif
3) Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru
4) Perubahan kepribadian (depresi, obsestive, kecurigaan)
5) Kehilangan inisiatif.
Penyakit Alzheimer dibagi menjadi 3 stadium berdasarkan beratnya deteorisasi
intelektual :
a) Stadium I (amnesia)
1) Berlangsung 2-4 tahun
2) Amnesia menonjol
3) Perubahan emosi ringan
4. Memori jangka panjang baik
5. Keluarga biasanya tidak terganggu
b) Stadium II (bingung)
1. Berlangsung 2-10 tahun
2. Episode psikotik
3. Agresif
4. Salah mengenali keluarga

c) Stadium III (akhir)


1. Setelah 6-12 tahun
2. Memori dan intelektual lebih terganggu
3. Membisu dan gangguan berjalan
4. Inkontinensia urin
b. Demensia Vascular

Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak


dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya
demensia. Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat gangguan
sirkulasi darah otak, sehingga depresi dapat diduga sebagai demensia vaskular.
Tanda-tanda neurologis fokal seperti :
1. Peningkatan reflek tendon dalam
2. Kelainan gaya berjalan
3. Kelemahan anggota gerak.
c. Penyakit Lewy body (Lewy body disease)

Penyakit Lewy body (Lewy body disease) ditandai oleh adanya Lewy body
di dalam otak. Lewy body adalah gumpalan gumpalan protein alpha-synuclein
yang abnormal yang berkembang di dalam sel-sel syaraf. Abnormalitas ini
terdapat di tempat-tempat tertentu di otak, yang menyebabkan perubahan-
perubahan dalam bergerak, berpikir dan berkelakuan. Orang yang menderita
penyakit Lewy body dapat merasakan sangat naik-turunnya perhatian dan
pemikiran. Mereka dapat berlaku hampir normal dan kemudian menjadi sangat
kebingungan dalam waktu yang pendek saja. Halusinasi visual (melihat hal-hal
yang tidak ada) juga merupakan gejala yang umum.
d. Demensia Frontotemporal (Frontotemporal dementia)

Demensia front temporal (Frontotemporal dementia) menyangkut


kerusakan yang berangsur-angsur pada bagian depan (frontal) dan/atau
temporal dari lobus (cuping) otak. Gejala-gejalanya sering muncul ketika orang
berusia 50-an, 60-an dan kadang-kadang lebih awal dari itu. Ada dua
penampakan utama dari demensia front temporal– frontal (menyangkut gejala-
gejala dalam kelakuan dan perubahan kepribadian) dan temporal (menyangkut
gangguan pada kemampuan berbahasa).
2. Menurut usia
a. Demensia senilis (usia > 65 tahun)
Demensia Senilis merupakan demensia yang muncul setelah umur 65
tahun. Biasanya terjadi akibat perubahan dan degenerasi jaringan otak yang
diikuti dengan adanya gambaran deteriorasi mental.
b. Demensia prasenilis (usia < 65 tahun)

Demensia Pre Senilis merupakan demensia yang dapat terjadi pada


golongan umur lebih muda (onset dini) yaitu umur 40-59 tahun dan dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi medis yang dapat mempengaruhi fungsi
jaringan otak (penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat, penyebab intra
kranial, penyebab vaskular, gangguan metabolik dan endokrin, gangguan
nutrisi, penyebab trauma, infeksi dan kondisi lain yang berhubungan, penyebab
toksik (keracunan)).
Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya :
a. Anterior : Frontal premotor cortex
Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat.
b. Posterior: lobus parietal dan temporal
Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik.
c. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.
d. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
Kriteria derajat demensia :
a. Ringan : Walaupun terdapat gangguan berat daya kerja dan
aktivitas sosial, kapasitas untuk hidup mandiri tetap dengan higiene personal cukup dan
penilaian umum yang baik.
b. Sedang :Hidup mandiri berbahaya diperlukan berbagai tingkat
suportivitas.
c. Berat :Aktivitas kehidupan sehari-hari terganggu sehingga
tidak berkesinambungan, inkoheren.
Demensia dibagai menjadi beberapa tingkat keparahan yang dapat dinilai dinilai
sebagai berikut:
1. Mild
Tingkat kehilangan memori yang cukup mengganggu aktivitas sehari-
hari, meskipun tidak begitu parah, tapi tidak dapat hidup mandiri.Fungsi utama
yang terkena adalah sulit untuk mempelajari hal baru.Penurunan kemampuan
kognitif menyebabkan penurunan kinerja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi
tidak pada tingkat ketergantungan individu tersebut pada orang lain. Tidak
dapat melakukan tugas sehari-hari yang lebih rumit atau kegiatan rekreasi.
2. Moderat

Derajat kehilangan memori merupakan hambatan serius untuk hidup


mandiri.Hanya hal – hal yang sangat penting yang masih dapat
diingat.Informasi baru disimpan hanya sesekali dan sangat singkat. Individu
tidak dapat mengingat informasi dasar tentang di mana dia tinggal, apa telah
dilakukan belakangan ini, atau nama-nama orang yang akrab., penurunan
kemampuan kognitif membuat individu tidak dapat melakukan aktivitasnya
tanpa bantuan orang lain dalam kehidupan sehari-hari, termasuk belanja dan
penanganan kebutuhan sehari - hari. Dalam rumah, hanya tugas – tugas
sederhana yang dipertahankan.Kegiatan semakin terbatas dan keadaan buruk
dipertahankan.
3. Severe
Derajat kehilangan memori ditandai oleh ketidakmampuan lengkap
untuk menyimpan informasi baru.Hanya beberapa informasi yang dipelajari
sebelumnya yang menetetap.Individu tersebut gagal untuk mengenali bahkan
kerabat dekatnya.Penurunan kemampuan kognitif lain ditandai dengan
penurunan penilaian dan berpikir, seperti perencanaan dan pengorganisasian,
dan dalam pengolahan informasi secara umum. Tingkat keparahan penurunan,
harus dinilai sebagai berikut., penurunan ini ditandai dengan ada atau tidak
adanya pemikiran yang dapat dimenerti.Hal – hal tersebut tadi ada minimal 6
bulan baru dapat dikatakan demensia.
2.2.3 Etiologi
1. Penyakit alzaimer

Penyebab utama dari penyakit demensia adalah penyakit alzaimer, yang


penyebabnya sendiri belum diketahui secara pasti. Penyakit Alzaimer disebabkan
karena adanya kelainan faktor genetik atau adanya kelainan gen tertentu. Bagian
otak mengalami kemunduran sehingga terjadi kerusakan sel dan berkurangnya
respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak. Jaringan
abnormal ditemukan di dalam otak (disebut plak senilitis dan serabut saraf yang
tidak teratur) dan protein abnormal. (Nugroho, 2014)
2. Serangan stroke yang berturut-turut.

Stroke tunggal yang ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan
atau kelemahan yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap
menyebabkan kerusakan jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan
akibat tersumbatnya aliran darah yang disebut dengan infark. Demensia yang
disebabkan oleh stroke kecil disebut juga demensia multi-infark. Sebagian
penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya
menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak. (Nugroho, 2014)
3. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak
dikenal kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi
pada sistem enzim, atau pada metabolisme. (Nugroho, 2014)

4. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum


dapat diobati, penyebab utama dalam golongan : Penyakit degenerasi spino serebral.
(Nugroho, 2014)
5. Sindroma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat
diobati : gangguan nutrisi, akibat intoksikasi menahun, penyakit – penyakit
metabolisme. (Nugroho, 2014)
6. Neurotransmitter
Neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia adalah
asetikolin dan norepineprin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif, beberapa
penelitian melaporkan pada penyakit demensia ditemukanya suatu degenerasi
spesifik pada neuron kolinergik pada nucleus, data lain yang mendukung adanya
defisit kolinergik pada demensia adalah ditemukan konsentrasi asetikolin dan
asetikolintransferase menurun (Watson, 2013)
7. Penyakit Jisim lewy (Lewy body diseases)
Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan
penyakit Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran
Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah
korteks serebri. Insiden yang sesungguhnya tidak diketahui. Klien dengan penyakit
Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse effect) ketika diberi
pengobatan dengan antipsikotik (Watson, 2013).
2.2.4 Manifestasi Klinis
Demensia merupakan kondisi yang lama-kelamaan semakin memburuk.
Penurunan fungsi dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama sebelum gejala demensia
muncul dan ditemukan. Berikut adalah tanda-tanda demensia:
1. Demensia adalah kondisi yang lama-kelamaan semakin memburuk.
Penurunan fungsi dapat terjadi dalam kurun waktu yang lama sebelum gejala demensia
muncul dan ditemukan. Berikut adalah tanda-tanda demensia: Menurunnya daya ingat
yang terus terjadi. Pada penderita demensia, ”lupa” menjadi bagian keseharian yang
tidak bisa lepas (Hurley, 2012).
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu,
bulan, tahun, tempat penderita demensia berada (Hurley, 2012).
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat
yang benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mangulang kata
atau cerita yang sama berkali- kali (Hurley, 2012).
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis yang berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang di lakukan orang lain,
rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensiakadang tidak mengerti
mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul (Hurley, 2012).
5. Adanya perubahan tingkah laku seperti : acuh tak acuh, menarik diri
dan gelisah sampai susah mengatur pola tidur (Hurley, 2012).
2.2.5 Patofisiologi
Demensia sering terjadi pada usia >65 tahun , gejala yang mucul yaitu
perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari– hari.
Lansia penderita demensia tidak memeperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap
awal, mereka sebagaimana lansia pada umumnya mengalami proses penuanaan dan
degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit
mengingat dan sering lupa jika meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup –
nutupi hal tersebut dan meyakinkan bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka.
Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orang– orang terdekat yang tinggal
bersama mereka, mereka merasa kawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin
menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu
banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik
penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada lansia.
Mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat
saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi
lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai
berhalusinasi. Disinilah keluarga membawa lansia penderita demensia ke rumah sakit,
dimana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia
luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga
kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia.
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Demensia
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya
pada demensia reversibel, walaupun 50% penyandang demensia adalah
demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan
laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan : pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium
darah, ureum, fungsi hati, hormon tiroid, kadar asam folat.
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia
walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG (Electroencephalogram)
Pada pemeriksaan EEG tidak memberikan gambaran spesifik dan pada
sebagian besar hasilnya normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi
gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
4. Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas,
tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan neuropsikologis
Meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari – hari / fungsional
dan aspek kognitif lainnya. Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai
penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi
kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat
berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses
ketuaan atau proses depresi. (Nugroho, 2013)
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan demensia ada berbagai cara antara lain sebagai
berikut (Turana, 2013) :
1. Farmakoterapi
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat-obatan
antikoliesterase seperti Donepezil, Rivastigmine, Galantamine, Memantine
b. Dementia vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti Aspirin ,
Ticlopidine , Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah ke otak sehingga
memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan
mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan
dengan stroke.
d. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-depresi
seperti Sertraline dan Citalopram.
e. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa
menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakan obat anti-psikotik
(misalnya Haloperidol , Quetiapine dan Risperidone)
2. Dukungan atau Peran Keluarga (Harrisons,2014).
Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap
memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding dengan
angka-angka yang besar.
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi yang bersifat
simtomatik, terapi tersebut meliputi :
a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi rekreasional dan aktifitas.
d. Penanganan terhadap masalah-masalah
3. Pencegahan dan perawatan demensia Hal yang dapat kita lakukan untuk
menurunkan resiko terjadinya demensia diantaranya adalah menjaga ketajaman
daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak,seperti
(Harrisons,2014):
a. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol
dan zat adiktif yang berlebihan.
b. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya
dilakukan setiap hari.

c. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan


aktif seperti kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.

d. Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul


dengan teman yang memiliki persamaan minat atau hobi.
e. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha
untuk tetap relaks dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita
tetap sehat.
2.2 Konsep Keperawatan
2.3.1 Pengkajian
1. Aktifitas istirahat
Gejala: Merasa lelah
Tanda: Siang/malam gelisah, tidak berdaya, gangguan pola tidur,
penurunan minat atau perhatian pada aktivitas yang biasa, hobi,
ketidakmampuan untuk menyebutkan kembali apa yang dibaca/
mengikuti acara program televisi.Gangguan keterampilan motorik,
ketidakmampuan untuk melakukan hal yang telah biasa yang
dilakukannya, gerakan yang sangat bermanfaat.
Pada pengkajian aktivitas ada beberapa indeks :
a. Indeks Kemandirian Katz
b. Barthel ADL (Activities of Daily Living) Indeks

c. BBS (Berg Balance Scale) Indeks


2. Sirkulasi
Gejala: Riwayat penyakit vaskuler serebral/sistemik. hipertensi, episode
emboli (merupakan faktor predisposisi).
3. Integritas ego
Gejala : Curiga atau takut terhadap situasi/orang khayalan, kesalahan persepsi
terhadap lingkungan, kesalahan identifikasi terhadap objek dan
orang, penimbunan objek : meyakini bahwa objek yang salah
penempatannya telah dicuri. kehilangan multiple, perubahan citra
tubuh dan harga diri yang dirasakan.
Tanda : Menyembunyikan ketidakmampuan (banyak alasan tidak mampu
untuk melakukan kewajiban, mungkin juga tangan membuka buku
namun tanpa membacanya) , duduk dan menonton yang lain,
aktivitas pertama mungkin menumpuk benda tidak bergerak dan
emosi stabil, gerakan berulang (melipat membuka lipatan melipat
kembali kain), menyembunyikan barang, atau berjalan-jalan.
4. Eliminasi
Gejala: Dorongan berkemih.
Tanda: Inkontinensia urine/feses, cenderung konstipasi/ imfaksi dengan
diare.
5. Hygene
Gejala : Perlu bantuan /tergantung orang lain
Tanda : tidak mampu mempertahankan penampilan, kebiasaan personal
yang kurang, kebiasaan pembersihan buruk, lupa untuk pergi
kekamar mandi, lupa langkah-langkah untuk buang air, tidak
dapat menemukan kamar mandi dan kurang berminat pada atau
lupa pada waktu makan: tergantung pada orang lain untuk
memasak makanan dan menyiapkannya dimeja, makan,
menggunakan alat makan.
6. Neurosensori
Gejala : Pengingkaran terhadap gejala yang ada terutama perubahan
kognitif,dan atau gambaran yang kabur, keluhan hipokondria
tentang kelelahan, pusing atau kadang-kadang sakit kepala.
adanya keluhan dalam kemampuan kognitif, mengambil
keputusan, mengingat yang berlalu, penurunan tingkah laku
(diobservasi oleh orang terdekat). Kehilangan sensasi
propriosepsi (posisi tubuh atau bagian tubuh dalam ruang
tertentu). dan adanya riwayat penyakit serebral
vaskuler/sistemik, emboli atau hipoksia yang berlangsung secara
periodik (sebagai factor predisposisi) serta aktifitas kejang
(merupakan akibat sekunder pada kerusakan otak).
Tanda : Kerusakan komunikasi : afasia dan disfasia; kesulitan dalam
menemukan kata- kata yang benar (terutama kata benda);
bertanya berulang-ulang atau percakapan dengan substansi kata
yang tidak memiliki arti; terpenggal-penggal, atau bicaranya
tidak terdengar. Kehilangan kemampuan untuk membaca dan
menulis bertahap (kehilangan keterampilan motorik halus).
7. Kenyamanan
Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius ( mungkin menjadi
factor predisposisi atau factor akselerasinya), trauma kecelakaan
( jatuh, luka bakar dan sebagainya).
Tanda : Ekimosis, laserasi dan rasa bermusuhan/menyerang orang lain.
8. Interaksi social
Gejala : Merasa kehilangan kekuatan. faktor psikososial sebelumnya;
pengaruh personal dan individu yang muncul mengubah pola
tingkah laku yang muncul.
Tanda : Kehilangan control sosial,perilaku tidak tepat.
9. Riwayat tidur
Pengkajian riwayat tidur antara lain: kuantitas (lama tidur) dan kualitas
tidur di siang maupun malam hari, aktivitas dan rekreasi yang dilakukan
sebelumnya, kebiasaan sebelum ataupun pada saat tidur, lingkungan tidur,
dengan siapa klien tidur, obat yang dikonsumsi sebelum tidur, asupan dan
stimulan, perasaan klien mengenai tidurnya, apakah ada kesulitan tidur,
dan apakah ada perubahan pola tidur.
Gejala klinis : Gejala klinis ditandai dengan perasaan lelah, gelisah, emosi,
apatis, adanya kehitaman di daerah sekitar mata, kelopak
mata bengkak, konjungtiva merah, dan mata perih,
perhatian tidak fokus, serta sakit kepala.
Penyimpangan tidur : Penyimpangan tidur meliputi perubahan tingkah
laku dan auditorik, meningkatnya kegelisahan,
gangguan persepsi, halusinasi visual dan auditorik,
bingung, dan disorientasi tempat dan waktu,
ganguan koordinasi, serta bicara rancu, tidak
sesuai, dan intonasinya tidak teratur.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Jatuh
2. Kerusakan memori
3. Defisit perawatan diri
4. Ketidakefektifan koping
5. Gangguan pola tidur

2.3.3 Intervensi Keperawatan


NI
NO Diagnosa NOC C
Keperawata
n
Kerusaka Tujuan : Setelah dilakukan Manajeme
1. n tindakan n
keperawatan selama 3 x demensi
Memori kunjungan , a
kesadara klie terhada
Definisi: n n p identitas Perkenalkan
ketidakmampu personal, waktu dan tempat 1) diri
an lebih baik. melakuka
menginga NOC : Manajemen saat n
t Demensia
Indikato kontak dengan
informasi N r 1 2 3 4 5
klien
( Nanda, 2015) o
2) Monitor daya
Batasan 1 Kesulitan
menginga ingat klien
Karakteristik : . t
1. Ketidakma dan 3) Panggil klien
mpua mempros
n es dengan jelas,
melakukan informasi dengan lama
ketik
keterampil yang baru a
terja
di
an yang melakukan
2 Kesulitan interaks
telah melakuka i dan
n berbicar
dipelajari kebutuha a secara
sebelumny n perlaha
n
dasa
r
sehari-
a hari 4) Berikan alat
untuk
2. Ketidakma mengingat
mpua
n Keterangan : suatu informasi
Beri tanda (X) sesuai dengan Ingatka
mempelaja nilai 5) n klien
ri skoring klien sebelum untu
informasi intervensi k jadwal
Beri tanda (√) sesuai dengan
baru nilai yang harus
skoring klien setelah dilakuka
3. Ketidakma intervensi n oleh
mpua Sangat
n 1) terganggu klien
dapa
mempelaja a) Tidak t memproses 6) Berikan waktu
informas
ri i atau bahkan istirahat untuk
tidak informa
keterampil ada si yang mengurangi
diinga kelelaha
an baru dapat t atau n dan
stres
4. Ketidakma diproses. s
mpua ketergantunga
n b) Sangat n 7) Pilih aktifitas
denga oran sesua
mengingat n g lain. Tidak i
melakuka
informasi dapat n sama kemampuan
actua sekali kegiatan sehari-
l hari. pengelolaan
Tergangg
5. Keidakma 2) u kognitif dan
mpua Kehilanga memor
n a) n i yang minat klien
mengingat parah.Hanya informasi 8) Beri latihan
yang sangat sederhana orientas
perilaku yang i
dapat diterima oleh misalny
tertentu klien. a klien
yang b) Dapat pemenuhan berlatih
perna kebutuha mengen
h n sehari-hari ai
dibutuhka bantua informasi
dilakukan n n dari pribadi
orang lain secara
6. Ketidakma maksimal. dan tanggal
mpuan 3) Cukup terganggu secara tepat
mengingat a) susah menerima dan 9) Memberikan
memproses informasi kegiata
peristiwa yang n yang
sederhan tetapi dapa
7. Ketidakma a terkadang t mengasah
masi ad informasi kerja
mpuan h a yang otak
Sediaka
menyimpa dapat diterima. 10) n
Dapa melakuka penginga
n informasi b) t n kegiatan t
sehar har
8. Lupa i i dengan antuan dengan
oran lai
melakukan g n secara minimal menggunakan
menggunak
perilaku dan an alat gambar dengan
bantu
pada waktu . cara yang tepat(
yang telah 4) Sedikit terganggu mengunakan
Dapa
dijadwalka a) t menerima dan simbol, gambar,
memproses informasi tulisan
n yang )
bersifat Kolabora
9. Mudah sederhana. 11) si
b) melakuka
lupa Dapat n kegiatan dengan perawat
sehari hari dengan yan
bantuan g lain agar
oran selalu
g lain atau hanya memantau
dengan alat klie
bau. n dan
5) Normal mengingtkan
Dapa menerim klie
a) t a da n
Kolabora
memproses informasi 12) si
dengan baik dengan tim
Dapa melakuka
b) t n kegiatan medis lainnya.
sehari-har secara
mandiri.
NO Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
2.3.4 Implementasi

Implementasi adalah tahap ke empat dalam tahap proses keperawatan


dalam melaksanakan tindakan perawatan sesuai dengan rencana (Hidayat, 2013).
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses dokumentasi
keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan.
Dengan rencana keperawatan yang diberikan dibuat berdasrkan diagnosa yang
tepat, intervensi diharapkan dapat mencapai tujuan yang diharapkan untuk
meningkatkan status kesehatan. Implementasi meliputi klien, perawat dan staf
lainnya yang akan melaksanakan rencana keperawatan. Komponen lain dari
proses keperawatan, seperti pengkajian dan peencanaan berlajut selama komponen
ini. Didalam konsep konsep asuhan keperawatan ini klien melakukan intervensi
atau perencanaan yang sudah disusun kepaa para klien lansia seperti melakukan
terapi aktivitas dan lain-lain.
Menurut Debora tahun 2013 Implementasi merupakan suatu tahapan
keempat dari proses keperawatan. Tahap ini muncul jika perencanaan yang dibuat
diaplikasikan pada klien. Tindakan yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga
berbeda dengan urutan yang telah dibuat pada perencanaan. Aplikasi yang
dilakukan pada klien akan berbeda, disesuaikan dengan kondisi klien saat itu dan
kebutuhan yang paling dirasakan oleh klien. Implementasi keperawatan
membutuhkan fleksibilitas dan kreatifitas perawat. Sebelum melakukan suatu
tindakan, perawat harus mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan.
Perawat harus yakin bahwa:
1. Tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan tindakan yang sudah
direncanakan.
2. Dilakukan dengan cara yang tepat, aman, serta sesuai dengan kondisi klien
3. Selalu dievaluasi apakah sudah efektif.
4. Aktivitas yang dilakukan pada tahap implementasi
Jenis – jenis Implementasi :
Menurut Asmadi (2013) dalam melakukan implementasi
keperawatan terdapat tiga jenis implementasi keperawatan, yaitu :
1. Independent implementations adalah suatu tindakan yang dilakukan
secara mandiri oleh perawat tanpa petunjuk dari tenaga kesehatan
lainnya. Independent implementations ini bertujuan untuk
membantu klien dalam mengatasi masalahnya sesuai dengan
kebutuhan klien itu sendiri, seperti contoh : membantu klien dalam
memenuhi activity daily living (ADL), memberikan perawatan diri,
menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan bersih untuk
klien, memberikan dorongan motivasi, membantu dalam
pemenuhan psiko-sosio-spiritual klien, membuat dokumentasi, dan
lain-lain.
2. Interdependent/collaborative implementations adalah tindakan
perawat yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan tim
kesehatan yang lain. Contohnya dalam pemberian obat, harus
berkolaborasi dengan dokter dan apoteker untuk dosis, waktu, jenis
obat, ketepatan cara, ketepatan klien, efek samping dan respon
klien setelah diberikan obat.
3. Dependen implementations adalah pelaksanaan rencana tindakan
medis/instruksi dari tenaga medis seperti ahli gizi, psikolog,
psikoterapi, dan lain-lain dalam hal pemberian nutrisi kepada klien
sesuai dengan diet yang telah dibuat oleh ahli gizi dan latihan fisik
sesuai dengan anjuran bagian fisioterapi.
2.3.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah proses yang memungkinkan perawat untuk


menetukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi
klien atau tidak. Kriteria proses yaitu menilai pelaksanaan proses keperawatan
sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan klien. Evaluasi proses harus dilaksanakan
untuk membantu keefektifan terhadap tindakan. Kriteria keberhasilan yaitu
menilai hasil asuhan keperawatan yang ditujukan dengan perubahan tingkah laku
klien. Disini peneliti melakukan evaluasi apakah intervensi yang telah dilakukan
sudah berhasil dalam meningkatkan memori klin, mengurangi defisit perawatan
diri klien, membantu klien dalam keefektifan koping dan mencegah resiko jatuh
pada klien.
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini
perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil
yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasi
seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya. Evaluasi
adalah proses yang berkelanjutan yaitu suatu proses yang digunakan mengukur
dan memonitor kondisi klien untuk mengetahui kesesuaian tindakan keperawatan,
perbaikan tindakan keperawatan, kebutuhan kliet saat ini, perlunya dirujuk pada
tempat kesehatan lainnya dan apakah perlu menyusun ulang prioritas diagnosis
supaya kebutuhan klien bisa terpenuhi (Debora, 2011).

Anda mungkin juga menyukai