Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

MOVEMENT DISORDER dan

LOSS OF CONSIOUSNESS

Pembimbing :

Dr. Desi Nuraini Justika, Sp.S

Disusun oleh :

Fadli Ardiansyah 030.11.093

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

PERIODE 19 AGUSTUS 2018 – 21 SEPTEMBER 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

“Movement Disorder” dan

“Loss of Consiousness”

Penyusun:

Fadli Ardiansyah 030.11. 093

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Radiologi di Fakultas Kedokteran Trisakti

Periode 19 Agustus – 21 September 2019

Tegal, September 2019

Dr.Desi Nuraini Justika, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Movement Disorder” Adapun
penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu
Radiologi di Fakultas Kedokteran Trisakti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr.Desi Nuraini Justika, Sp.S, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan
bimbingan dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-
rekan sesama koasisten radiologi di Fakultas Kedokteran Trisakti dan semua pihak yang turut serta
berperan memberikan doa, semangat dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Pada kesempatan ini, penulis memohon maaf kepada para pembaca. Masukan, kritik, dan
saran akan penulis jadikan bahan pertimbangan agar penelitian kedepannya menjadi lebih baik. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Tegal, September 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii

HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................................. iii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 2

2.1 Sistem Piramidal ............................................................................................... 2

2.2 Patofisiologi ..................................................................................................... 3

2.3 Definisi Parkinson ............................................................................................ 4

2.4 Etiologi ............................................................................................................. 4

2.5 Patofisiologi ..................................................................................................... 5

2.6 Klasifikasi ........................................................................................................ 6

2.7 Gejala Klinis .................................................................................................... 7

2.8 Diagnosis ........................................................................................................ 10

2.9 Penatalaksanaan ............................................................................................. 11

2.10 Prognosis ...................................................................................................... 16

BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 19

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Movement Disorder merupakan sekelompok penyakit sistem saraf pusat atau sindrom
neurologis yang menyebabkan adanya kelebihan atau kekurangan gerakan yang tidak dapat
terkontrol oleh tubuh. Contoh gangguan gerak adalah penyakit Parkinson, tremor esensial,
ataksia, dan distonia. Gangguan gerak sebagian besar terkait dengan perubahan patologis di
basal ganglia atau koneksi mereka. Basal ganglia adalah kelompok inti materi abu-abu
tergeletak jauh di dalam yang otak belahan otak (inti berekor, putamen dan globus pallidus),
yang diencephalon (subthalamic inti), dan mesencephalon (substantia nigra). Patologi otak
kecil atau jalur yang biasanya menyebabkan gangguan koordinasi (asynergy, ataksia), salah
pikiran jarak (dysmetria), dan tremor niat. Myoclonus dan banyak bentuk tremor tidak
tampaknya terkait terutama untuk patologi ganglia basal dan sering muncul di tempat lain di
sistem saraf pusat, termasuk korteks serebral (myoclonus refleks kortikal), batang otak
(retikuler refleks mioklonus, hiperekplexia dan gangguan mioklonus ritmis batang otak
seperti mioklonus palatal dan okular mioklonus), dan sumsum tulang belakang (mioklonus
segmental ritmis dan propriospinal nonrhythmic mioklonus). Sebuah bukti yang semakin kuat
mendukung gagasan bahwa beberapa gangguan gerak adalah induksi di perifer.1

Meskipun gangguan gerak kebanyakan tidak mengancam nyawa, mereka tentu menjadi
ancaman bagi pasien kualitas hidup. Dampaknya bisa sangat besar, dengan kehilangan
pekerjaan, ketidakmampuan untuk menggerakkan sebuah mobil, dan penurunan aktivitas
hidup sehari-hari termasuk kebersihan pribadi. Karena sebagian besar gangguan gerak lain
selain penyakit Parkinson mempengaruhi orang di bawah usia lima puluh, kondisi ini
bertanggung jawab atas beban biaya besar bagi masyarakat. Selain itu, dokter dan pasien
sering menghadapi tantangan dalam mendapatkan cakupan asuransi untuk pengobatan
kondisi ini, karena modalitas pengobatan, baik farmakologis dan bedah, adalah relatif baru.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SISTEM EKSTRAPIRAMIDAL

Gangguan pada ekstrapiramidal dapat timbul gerakan otot involunter, yaitu gerakan otot
secara spontan dan tidak dapat dikendalikan dengan kemauan dan gerak otot tersebut tidak
mempunyai tujuan. Efek dari gangguan sistem ini dapat memberikan efek defisit fungsional
primer yang merupakan gejala negatif dan efek sekunder yaitu gejala positif.

Pada ganguan dalam fungsi traktus ekstrapiramidal gejala positif dan negatif itu
menimbulkan dua jenis sindrom yaitu :

1. Sindrom hiperkinetik-hipotonik : asetilkolin menurun, dopamine meningkat


• Tonus otot menurun
• Gerak involunter/ireguler Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus
2. Sindrom hipokinetik-hipertonik : asetilkolin meningkat, dopamine menurun
• Tonus otot meningkat
• Gerak spontan/asosiatif menurun
• Gerak involunter spontan
Pada : Parkinson

Gejala negative dapat berupa :

1. Bradikinesia, Gerakan volunter yang bertambah lambat atau menghilang sama sekali.
Gejala ini merupakan gejala utama yang didapatkan pada penyakit Parkinson.

2. Ganguan sikap postural, merupakan hilangnya reflex postural normal. Paling sering
ditemukan pada penyakit Parkinson. Terjadi fleksi pada tungkai dan badan karena penderita
tidak dapat mempertahankan keseimbangan secara tepat. Penderita akan terjatuh bila berputar
dan didorong.

Gejala positif dapat berupa :

1) Gerakan involunter seperti : Tremor, Athetosis, Chorea, Distonia, Hemiballismus

2) Rigiditas, Kekakuan yang dirasakan oleh pemeriksa ketika menggerakkan ekstremitas


secara pasif. Tahanan ini timbul di sepanjang gerakan pasif tersebut dan mengenai gerakan

2
fleksi maupun ekstensi sering disebut sebagai plastic atau lead pipe rigidity. Bila disertai
dengan tremor maka disebut dengan tanda cogwheel. Pada penyakit Parkinson terdapat gejala
positif dan gejala negative seperti tremor dan bradikinesia. Sedangkan pada chorea
Huntington lebih didominasi oleh gejala positif, yaitu : chorea.3

2.2. PATOFISIOLOGI

Pada keadaan normal terdapat arus rangsang kortiko-kortikal yang melalui inti-inti
basal (basal ganglia) yang mengatur kendali korteks atas gerakan volunteer dengan proses
inhibisi secara bertingkat. Inti-inti basal juga berperan mengatur dan mengendalikan
keseimbangan antara kegiatan neuron motorik alfa dan gamma. Di antara inti-inti basal, maka
globus pallidus merupakan stasiun neuroaferen terakhir dan yang kegiatannay diatur oleh
asupan dari korteks, nucleus kaudatus, putamen, substansia nigra dan inti subtalamik.
Gerakan involunter yang timbul akibat lesi difus pada putamen dan globus pallidus
disebabkan oleh terganggunya kendali atas reflex-refleks dan rangsangan yang masuk, yang
dalam keadaan normal turut mempengaruhi putamen dan globus pallidus. Keadaan tersebut
dinamakan Release phenomenon, yang berarti hilangnya aktivitas inhibisi yang normal.
Adapun lesi di substansia nigra (penyakit Parkinson), di inti dari luys (hemiballismus), bagian
luar dari putamen (atetosis), di nucleus kaudatus terutama dan nucleus lentiformis sebagian
kecil (korea) dan di korteks serebri piramidalis berikut putamen dan thalamus (distonia).2

Berbagai neurotransmitter turut berperan dalam fungsi dan peran system neurotransmitter,
meliputi :

A. Dopamine, bekerja pada jalur nigostriatal (hubungan substansia nigra dan korpus striatum)
dan pada system mesolimbik dan mesokortikal tertentu.

B. GABA (Gama Aminobutiric Acid), berperan pada jalur / neuron-neiron striatonigral.

C. Glutamate, bekerja pada jalur kortikostriatal

D. Zat-zat neurotransmitter kolinergik, digunakan untuk neuron-neruon talamostriatal.

E. Substansia P dan metenfekalin, terdapat pada jalur striatopalidal dan striatonigral.

F. Kolesistokinin, dapat ditemukan bersama dopamine dalam sistem neural yang sama

3
2.3. DEFINISI PARKINSON

Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat


dengan usia. Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh degenerasi neuron-neuron
berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta substansia nigra yang disertai inklusi
sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau disebut juga parkinsonisme idiopatik atau primer.
Sedangkan Parkinonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat,
rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar dopamine
dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini sering disebut sebagai Sindrom Parkinson.4

2.4. ETIOLOGI

Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa dugaan, di


antaranya ialah : infeksi oleh virus yang non-konvensional (belum diketahui), reaksi
abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum
diketahui, terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat. Parkinson disebabkan oleh
rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu kelompok sel yang mengatur
gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary). Akibatnya, penderita tidak bisa
mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya.Mekanisme bagaimana
kerusakan itu belum jelas benar, akan tetapi ada beberapa faktor resiko ( multifaktorial ) yang
telah diidentifikasikan, yaitu :5

 Usia : Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari
10.000 penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang
mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra pada penyakit
parkinson.
 Genetik : Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada penyakit
parkinson. Yaitu mutasi pada gen a-sinuklein pada lengan panjang kromosom 4
(PARK1) pada pasien dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan
autosomal resesif parkinson, ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin
(PARK2) di kromosom 6. Selain itu juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria.
Adanya riwayat penyakit parkinson pada keluarga meningakatkan faktor resiko
menderita penyakit parkinson sebesar 8,8 kali pada usia kurang dari 70 tahun dan 2,8
kali pada usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat jarang, jika disebabkan oleh
keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia relatif muda. Kasus-kasus genetika
di USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus genetika pada 100 penderita yang

4
diperiksa. Di Eropa pun demikian. Penelitian di Jerman menemukan hasil nol pada 70
penderita. Contoh klasik dari penyebab genetika ditemukan pada keluarga-keluarga di
Italia karena kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.
 Faktor Lingkungan a) Xenobiotik : Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang
dapat menimbulkan kerusakan mitokondria. b) Pekerjaan : Lebih banyak pada orang
dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama. c) Infeksi : Paparan virus influenza
intrautero diduga turut menjadi faktor predesposisi penyakit parkinson melalui
kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan menunjukkan adanya kerusakan
substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides. d) Diet : Konsumsi lemak dan kalori
tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu mekanisme kerusakan neuronal pada
penyakit parkinson. Sebaliknya,kopi merupakan neuroprotektif.
 Ras : angka kejadian Parkinson lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit
berwarna.
 Trauma kepala : Cedera kranio serebral bisa menyebabkan penyakit parkinson, meski
peranannya masih belum jelas benar.
 Stress dan depresi : Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului
gejala motorik. Depresi dan stress dihubungkan dengan penyakit parkinson karena
pada stress dan depresi terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stress
oksidatif.

2.5. Patofisiologi

Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan
kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-
50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab
multifaktor. Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region kecil di
otak (brain stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi pusat
control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmitter yang
disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh gerakan otot dan keseimbangan
tubuh yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk komunikasi
elektrokimia antara sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakan,
keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran komunikasi (bicara).

Pada penyakit Parkinson sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga


produksi dopamine menurun dan akibatnya semua fungsi neuron di system saraf pusat (SSP)

5
menurun dan menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), kelambatan bicara dan berpikir
(bradifrenia), tremor dan kekauan (rigiditas). Hipotesis terbaru proses patologi yang
mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah stress oksidatif. Stress oksidatif
menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamine quinon yang dapat bereaksi
dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini menumpuk, tidak dapat di gradasi
oleh ubiquitinproteasomal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel-sel SNc.

Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain :

• Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan
nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.
• Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin trifosfat
(ATP) dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres oksidatif,
akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.
• Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu
apoptosis sel-sel SNc.6

2.6. Klasifikasi

Penyakit parkinson dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu :7

1) Parkinson primer/idiopatik/paralysis agitans. Sering dijumpai dalam praktek sehari-


hari dan kronis, tetapi penyebabnya belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson
termasuk jenis ini.
2) Parkinson sekunder atau simtomatik Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca
infeksi lain : tuberkulosis, sifilis meningovaskuler. Toksin seperti 1-methyl-4-phenyl-
1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP), Mn, CO, sianida. Obat-obatan yang menghambat
reseptor dopamin dan menurunkan cadangan dopamin misalnya golongan fenotiazin,
reserpin, tetrabenazin dan lain-lain, misalnya perdarahan serebral pasca trauma yang
berulang-ulang pada petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan
kalsifikasi.
3) Sindrom Parkinson Plus (Multiple System Degeneration) Pada kelompok ini
gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit keseluruhan. Jenis ini
bisa didapat pada Progressive supranuclear palsy, Multiple system atrophy (sindrom
Shy-drager, degenerasi striatonigral, olivo-pontocerebellar degeneration,
parkinsonism-amyotrophy syndrome), Degenerasi kortikobasal ganglionik, Sindrom

6
demensia, Hidrosefalus normotensif, dan Kelainan herediter (Penyakit Wilson,
penyakit Huntington, Parkinsonisme familial dengan neuropati peripheral).

2.7. Gejala Klinis

Onset biasanya insidious dan bertahap, serta penjalaran penyakitnya lambat. Gejalagejala
pertama biasanya berupa perasaan lemas yang cenderung untuk gemetar, terutama pada
lengan dan jari-jari tangan. Terdapat trias Parkinson, yaitu : tremor, rigiditas, dan bradikinesia.

1. Tremor
Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan awam, dan
dianggap sebagai suatu hal yang lumrah terjadi pada orang tua. Salah satu ciri
khas dari penyakit parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika sedang
beristirahat. Namun, jika orang itu diminta melakukan sesuatu, getaran
tersebut tidak terlihat lagi. Itu yang disebut resting tremor, yang hilang juga
sewaktu tidur. Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi
metakarpofalangis, kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam
atau memulung-mulung (pill rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau
pronasi-supinasi pada kaki fleksi-ekstensi, kepala fleksiekstensi atau
menggeleng, mulut membuka menutup, lidah terjulur-tertarik. Tremor ini
menghilang waktu istirahat dan menghebat waktu emosi terangsang (resting/
alternating tremor).
Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga
terjadi pada kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti
orang menghitung uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar.
Bahkan, kepala penderita bisa bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan
aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika disadari, tremor tersebut bisa berhenti.
Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu sisi, namun semakin berat
penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi.
2. Rigiditas
Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan tangan yang
tremor tersebut digerakkan (oleh orang lain) secara perlahan ke atas bertumpu
pada pergelangan tangan, terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang
bergigi sehingga gerakannya menjadi terpatahpatah/putus-putus. Selain di
tangan maupun di kaki, kekakuan itu bisa juga terjadi di leher. Akibat

7
kekakuan itu, gerakannya menjadi tidak halus lagi seperti break-dance.
Gerakan yang kaku membuat penderita akan berjalan dengan postur yang
membungkuk. Untuk mempertahankan pusat gravitasinya agar tidak jatuh,
langkahnya menjadi cepat tetapi pendek - pendek.
Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan hipertoni seluruh
gerakan, hal ini oleh karena meningkatnya aktifitas motorneuron alfa, adanya
fenomena roda bergigi (cogwheel phenomenon).
3. Akinesia / Bradikinesia
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian
sehingga tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba
lambat. Dalam pekerjaan seharihari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan
yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju langkah menjadi pendek dan
diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan
(stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan
mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga
sering keluar air liur.
Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak
asosiatif, misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan,
lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi
lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik
dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan
mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka
keluar dari mulut.
4. Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah
Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat mau mulai
melangkah, sedang berjalan, atau berputar balik; dan start hesitation, yaitu
ragu-ragu untuk mulai melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan
sembelit. Penderita menjadi lambat berpikir dan depresi. Hilangnya refleks
postural disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan
sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia basalis yang
akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan
penderita mudah jatuh.
5. Mikrografia

8
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa
kasus hal ini merupakan gejala dini.
6. Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson)
Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat
(marche a petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu
membengkok ke depan, punggung melengkung bila berjalan.
7. Bicara monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara,
otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton
dengan volume suara halus (suara bisikan) yang lambat.
8. Dimensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya
dengan defisit kognitif.
9. Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang lain), mudah
takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap
pertanyaan lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban
yang betul, asal diberi waktu yang cukup.
10. Gejala Lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas
pangkal hidungnya (tanda Myerson positif). Kesukaran dalam usaha
pengosongan kandung kencing dan juga sering mengalami obstipasi kronik.
Rasa nyeri pada otot terutama otot betis pada malam hari. Juga terdapat
kesukaran bila hendak berlari dari kursi atau tempat tidur yang rendah. Gejala-
gejala pelengkap yang lain disesuaikan dengan kausa parkinsonisme atau
sindrom Parkinson. Misalnya hipotensi orthostatic, takikardi, hiperhidrosis,
sekresi kelenjar lemak kulit yang tinggi, emosi yang labil, impotensia,
intelegensia tetap utuh, atau mengalami kemunduran sampai kelumpuhan
neuron motorik sentral, oftalmoplegi, krisis okulogirik, gangguan serebellum
dan lain-lain.

Gejala Non Motorik

A. Disfungsi otonom

9
• Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia
dan hipotensi ortostatik
• Kulit berminyak dan infeksi kulit seboroik
• Pengeluaran urin yang banyak
• Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual,
perilaku, orgasme.

B. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi

C. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat

D. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)

E. Gangguan sensasi

• kepekaan kontras visual lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna


• penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension
orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian
tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan
• berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia atau anosmia).

2.8. Diagnosis

Diagnosis penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan kriteria :7

1) Secara klinis
• Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik : tremor, rigiditas,
bradikinesia atau 3 dari 4 tanda motorik : tremor, rigiditas, bradikinesia dan
ketidakstabilan postural.

2) Kriteria Koller

• Didapati 2 dari 3 tanda cardinal gangguan motorik : tremor saat istirahat atau
gangguan refleks postural, rigiditas, bradikinesia yang berlangsung 1 tahun atau lebih.
• Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang (minimal
1.000 mg/hari selama 1 bulan) dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih.

3) Kriteria Gelb & Gilman

• Gejala kelompok A (khas untuk penyakit Parkinson) terdiri dari :


a) Resting tremor

10
b) Bradikinesi
c) Rigiditas
d) Permulaan asimetris
• Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa alternatif, terdiri dari :
a) Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
b) Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada 3 tahun pertama
c) Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan) dalam 3 tahun pertama
d) Demensia sebelum gejala motorik pada tahun pertama.
• Diagnosis “possible” : terdapat paling sedikit 2 dari gejala kelompok A dimana salah
satu diantaranya adalah tremor atau bradikinesia dan tak terdapat gejala kelompok B,
lama gejala kurang dari 3 tahun disertai respon jelas terhadap levodopa atau dopamine
agonis.
• Diagnosis “probable” : terdapat paling sedikit 3 dari 4 gejala kelompok A, dan tidak
terdapat gejala dari kelompok B, lama penyakit paling sedikit 3 tahun dan respon jelas
terhadap levodopa atau dopamine agonis.
• Diagnosis “pasti” : memenuhi semua kriteria probable dan pemeriksaan
histopatologis yang positif.
Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya
penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr (1967)
yaitu :
• Stadium 1 : gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala ringan, terdapat gejala
yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada
satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat (teman)
• Stadium 2 : terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara
berjalan terganggu.
• Stadium 3 : gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang
• Stadium 4 : terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berjalan sendiri, tremor dapat
berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
• Stadium 5 : stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu
berdiri dan berjalan walaupun dibantu

2.9. Penatalaksanaan

11
Penyakit Parkinson adalah suatu penyakit degeneratif yang berkembang progresif dan
penyebabnya tidak diketahui, oleh karena itu strategi penatalaksanaannya adalah 1) terapi
simtomatik, untuk mempertahankan independensi pasien, 2) neuroproteksi dan 3)
neurorestorasi, keduanya untuk menghambat progresivitas penyakit Parkinson. Strategi ini
ditujukan untuk mempertahankan kualitas hidup penderitanya.8

1. Terapi farmakologik

a) Obat pengganti dopamine (Levodopa, Carbidopa)

Levodopa merupakan pengobatan utama untuk penyakit parkinson. Di dalam otak


levodopa dirubah menjadi dopamine. L-dopa akan diubah menjadi dopamine pada neuron
dopaminergik oleh L-aromatik asam amino dekarboksilase (dopa dekarboksilase). Walaupun
demikian, hanya 1-5% dari L-Dopa memasuki neuron dopaminergik, sisanya dimetabolisme
di sembarang tempat, mengakibatkan efek samping yang luas. Karena mekanisme feedback,
akan terjadi inhibisi pembentukan L-Dopa endogen. Carbidopa dan benserazide adalah dopa
dekarboksilase inhibitor, membantu mencegah metabolisme L-Dopa sebelum mencapai
neuron dopaminergik. Levodopa mengurangi tremor, kekakuan otot dan memperbaiki
gerakan. Penderita penyakit parkinson ringan bisa kembali menjalani aktivitasnya secara
normal. Obat ini diberikan bersama carbidopa untuk meningkatkan efektivitasnya dan
mengurangi efek sampingnya.

Banyak dokter menunda pengobatan simtomatis dengan levodopa sampai memang


dibutuhkan. Bila gejala pasien masih ringan dan tidak mengganggu, sebaiknya terapi dengan
levodopa jangan dilakukan. Hal ini mengingat bahwa efektifitas levodopa berkaitan dengan
lama waktu pemakaiannya. Levodopa melintasi sawar-darah-otak dan memasuki susunan
saraf pusat dan mengalami perubahan ensimatik menjadi dopamin. Dopamin menghambat
aktifitas neuron di ganglia basal. Efek samping levodopa dapat berupa:

1) Neusea, muntah, distress abdominal


2) Hipotensi postural
3) Sesekali akan didapatkan aritmia jantung, terutama pada penderita yang berusia
lanjut. Efek ini diakibatkan oleh efek beta-adrenergik dopamine pada system
konduksi jantung. Ini bisa diatasi dengan obat beta blocker seperti propanolol.
4) Diskinesia yang paling sering ditemukan melibatkan anggota gerak, leher atau
muka. Diskinesia sering terjadi pada penderita yang berespon baik terhadap terapi
levodopa. Beberapa penderita menunjukkan gejala on-off yang sangat

12
mengganggu karena penderita tidak tahu kapan gerakannya mendadak menjadi
terhenti, membeku, sulit. Jadi gerakannya terinterupsi sejenak.
5) Abnormalitas laboratorium. Granulositopenia, fungsi hati abnormal dan ureum
darah yang meningkat merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada terapi
levodopa.

Efek samping levodopa pada pemakaian bertahun-tahun adalah diskinesia yaitu


gerakan motorik tidak terkontrol pada anggota gerak maupun tubuh. Respon penderita yang
mengkonsumsi levodopa juga semakin lama semakin berkurang. Untuk menghilangkan efek
samping levodopa, jadwal pemberian diatur dan ditingkatkan dosisnya, juga dengan
memberikan tambahan obat-obat yang memiliki mekanisme kerja berbeda seperti dopamin
agonis, COMT inhibitor atau MAO-B inhibitor.9

b) Agonis Dopamin

Agonis dopamin seperti Bromokriptin (Parlodel), Pergolid (Permax), Pramipexol


(Mirapex), Ropinirol, Kabergolin, Apomorfin dan lisurid dianggap cukup efektif untuk
mengobati gejala Parkinson. Obat ini bekerja dengan merangsang reseptor dopamin, akan
tetapi obat ini juga menyebabkan penurunan reseptor dopamin secara progresif yang
selanjutnya akan menimbulkan peningkatan gejala Parkinson.

Obat ini dapat berguna untuk mengobati pasien yang pernah mengalami serangan yang
berfluktuasi dan diskinesia sebagai akibat dari levodopa dosis tinggi. Apomorfin dapat
diinjeksikan subkutan. Dosis rendah yang diberikan setiap hari dapat mengurangi fluktuasi
gejala motorik. Efek samping obat ini adalah halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki,
mual dan muntah.

c) Antikolinergik

Obat ini menghambat sistem kolinergik di ganglia basal dan menghambat aksi
neurotransmitter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini mampu membantu mengoreksi
keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor.
Ada dua preparat antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit parkinson , yaitu
thrihexyphenidyl (artane) dan benztropin (congentin). Preparat lainnya yang juga termasuk
golongan ini adalah biperidon (akineton), orphenadrine (disipal) dan procyclidine (kamadrin).
Efek samping obat ini adalah mulut kering dan pandangan kabur. Sebaiknya obat jenis ini

13
tidak diberikan pada penderita penyakit Parkinson usia diatas 70 tahun, karena dapat
menyebabkan penurunan daya ingat.

d) Penghambat Monoamin oxidase (MAO Inhibitor)

Selegiline (Eldepryl), Rasagaline (Azilect). Inhibitor MAO diduga berguna pada


penyakit Parkinson karena neurotransmisi dopamine dapat ditingkatkan dengan mencegah
perusakannya. Selegiline dapat pula memperlambat memburuknya sindrom Parkinson,
dengan demikian terapi levodopa dapat ditangguhkan selama beberapa waktu. Berguna untuk
mengendalikan gejala dari penyakit Parkinson yaitu untuk mengaluskan pergerakan. Selegilin
dan rasagilin mengurangi gejala dengan dengan menginhibisi monoamine oksidase B (MAO-
B), sehingga menghambat perusakan dopamine yang dikeluarkan oleh neuron dopaminergik.
Metabolitnya mengandung L-amphetamin and L-methamphetamin. Biasa dipakai sebagai
kombinasi dengan gabungan levodopa-carbidopa. Selain itu obat ini juga berfungsi sebagai
antidepresan ringan. Efek sampingnya adalah insomnia, penurunan tekanan darah dan aritmia.

e) Amantadin

Berperan sebagai pengganti dopamine, tetapi bekerja di bagian lain otak. Obat ini
dulu ditemukan sebagai obat antivirus, selanjutnya diketahui dapat menghilangkan gejala
penyakit Parkinson yaitu menurunkan gejala tremor, bradikinesia, dan fatigue pada awal
penyakit Parkinson dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik (fenomena on-off) dan
diskinesia pada penderita Parkinson lanjut. Dapat dipakai sendirian atau sebagai kombinasi
dengan levodopa atau agonis dopamine. Efek sampingnya dapat mengakibatkan mengantuk.

f) Penghambat Catechol 0-Methyl Transferase/COMT

Entacapone (Comtan), Tolcapone (Tasmar). Obat ini masih relatif baru, berfungsi
menghambat degradasi dopamine oleh enzim COMT dan memperbaiki transfer levodopa ke
otak. Mulai dipakai sebagai kombinasi levodopa saat efektivitas levodopa menurun.
Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini memperbaiki fenomena on-off,
memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Efek samping obat ini berupa
gangguan fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes fungsi hati secara serial. Obat ini juga
menyebabkan perubahan warna urin berwarna merah-oranye.

g) Neuroproteksi

14
Terapi neuroprotektif dapat melindungi neuron dari kematian sel yang diinduksi
progresifitas penyakit. Yang sedang dikembangkan sebagai agen neuroprotektif adalah
apoptotic drugs (CEP 1347 and CTCT346), lazaroids, bioenergetics, antiglutamatergic agents,
dan dopamine receptors. Adapun yang sering digunakan di klinik adalah monoamine oxidase
inhibitors (selegiline and rasagiline), dopamin agonis, dan complek I mitochondrial fortifier
coenzyme Q10.

2. Terapi pembedahan

Bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang
mendasari (neurorestorasi).

a. Terapi ablasi lesi di otak


Termasuk katergori ini adalah thalamotomy dan pallidotomy
Indikasi :
• fluktuasi motorik berat yang terus menerus
• diskinesia yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan medik Dilakukan
penghancuran di pusat lesi di otak dengan menggunakan kauterisasi. Efek operasi ini
bersifat permanen seumur hidup dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi
dikedua tempat tersebut.

b. Deep Brain Stimulation (DBS)


Ditempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di otak yang
dihubungkan dengan alat pemacunya yang dipasang di bawah kulit dada seperti alat
pemacu jantung. Pada prosedur ini tidak ada penghancuran lesi di otak, jadi relatif
aman. Manfaatnya adalah memperbaiki waktu off dari levodopa dan mengendalikan
diskinesia.
c. Transplantasi
Percobaan transplantasi pada penderita penyakit parkinson dimulai 1982 oleh
Lindvall dan kawannya, jaringan medula adrenalis (autologous adrenal) yang
menghasilkan dopamin. Jaringan transplan (graft) lain yang pernah digunakan antara
lain dari jaringan embrio ventral mesensefalon yang menggunakan jaringan
premordial steam atau progenitor cells, non neural cells (biasanya fibroblast atau
astrosytes), testis-derived sertoli cells dan carotid body epithelial glomus cells.

15
Untuk mencegah reaksi penolakan jaringan diberikan obat immunosupressant
cyclosporin A yang menghambat proliferasi T cells sehingga masa hidup graft jadi
lebih panjang. Transplantasi yang berhasil baik dapat mengurangi gejala penyakit
parkinson selama 4 tahun kemudian efeknya menurun 4 – 6 tahun sesudah
transplantasi. Teknik operasi ini sering terbentur bermacam hambatan seperti
ketiadaan donor, kesulitan prosedur baik teknis maupun perijinan.8

3. Non Farmakologik

a.Edukasi

Pasien serta keluarga diberikan pemahaman mengenai penyakitnya, misalnya pentingnya


meminum obat teratur dan menghindari jatuh. Menimbulkan rasa simpati dan empati dari
anggota keluarganya sehingga dukungan fisik dan psikik mereka menjadi maksimal.

b.Terapi rehabilitasi

Tujuan rehabilitasi medik adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita dan
menghambat bertambah beratnya gejala penyakit serta mengatasi masalah-masalah sebagai
berikut : Abnormalitas gerakan, Kecenderungan postur tubuh yang salah, Gejala otonom,
Gangguan perawatan diri (Activity of Daily Living – ADL), dan Perubahan psikologik.
Latihan yang diperlukan penderita parkinson meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan
psikoterapi. Latihan fisioterapi meliputi : latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi
trunkus, latihan frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai,
latihan isometrik untuk kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan
menaiki tangga dan bangkit dari kursi. Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian ADL
pasien, pengkajian lingkungan tenpat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan
dipakai bermacam strategi, yaitu :

• Strategi kognitif : untuk menarik perhatian penuh/konsentrasi, bicara jelas dan


tidak cepat, mampu menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual dan hanya
melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.
• Strategi gerak : seperti bila akan belok saat berjalan gunakan tikungan yang agak
lebar, jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dilantai.
• Strategi keseimbangan : melakukan ADL dengan duduk atau berdiri dengan kedua
kaki terbuka lebar dan dengan lengan berpegangan pada dinding. Hindari

16
eskalator atau pintu berputar. Saat bejalan di tempat ramai atau lantai tidak rata
harus konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat sekitar.

Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi kognitif, kepribadian, status


mental pasien dan keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi
kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.4

2.10. Prognosis

Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan


perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka
penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi
mengalami progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan
fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada
setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan
gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi.

Efek samping pengobatan terkadang dapat sangat parah. Penyakit Parkinson sendiri
tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang sejalan dengan waktu. Rata-
rata harapan hidup pada pasien Parkinson pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang
tidak menderita Parkinson. Pada tahap akhir, penyakit Parkinson dapat menyebabkan
komplikasi seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian.

Progresifitas gejala pada Parkinson dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun
demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk
memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan treatment yang
tepat, kebanyakan pasien Parkinson dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis.

17
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Parkinson adalah penyakit saraf yang memburuk secara bertahap dan
memengaruhi bagian otak yang berfungsi mengoordinasikan gerakan tubuh. Akibatnya, penderita
kesulitan mengatur gerakan tubuhnya, termasuk saat berbicara, berjalan, dan menulis.

Ada beberapa metode penanganan Penyakit Parkinson. Metode penanganan yang dilakukan
bertujuan untuk meredakan gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Metode
pengobatan yang dapat dilakukan berupa: Terapi suportif, seperti fisioterapi, Penggunaan
obat-obatan, seperti antikolinergik dan levodopa dan Prosedur bedah.

18
BAB IV

Referensi

1. Abdo, W. F. et al.The Clinical Approach to Movement Disorder.Nat Rev


Neurol.2010: 6; 29–37
2. Kurlan, R. et al. The behavioral spectrum of tic disorders: a community-based
study. Neurology.2002:59; 414–420
3. Albanese A. Extrapyramidal System, Motor Ganglia and Movement Disorder.
Rev Neurosciences. 1990:2(3);146-163
4. Benjamin L. Et al. Cognitive functional Abilities in Parkinson’s Disease:
Agreement Between Patients and Informants.Int Parkinson and Mov
Disorder.2019:6(6);440-445
5. de Lau L. M, Giesbergen PC, de Rijk MC, Hofman A, Koudstaal PJ, Breteler MM.
Incidence of parkinsonism and Parkinson disease in a general population: the
Rotterdam Study. Neurology 2004;63:1240-4
6. Zigmond M.J, Burkes R.E. Patophysiology of Parkinson’s Disease.
Neurophsycopharmacology .2017:123;1781-90
7. Shobha S. R, Laura A. H, Shakil A. Parkinson’s disease: Diagnosis and Treatment.
American Family Physician.2006:74(12);2046-53
8. Goetz CG, Poewe W, Rascol O, Sampaio C. Evidence-based medical review
update: pharmacological and surgical treatments of Parkinson’s disease: 2001 to
2004. Mov Disord 2005;20:523-39.
9. Ahlskog JE, Muenter MD. Frequency of levodopa-related dyskinesias and motor
fluctuations as estimated from the cumulative literature. Mov Disord 2001;16:448-
58.

19
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala nikmat
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Loss of Consiousness” Adapun
penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu
Radiologi di Fakultas Kedokteran Trisakti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr.Desi Nuraini Justika, Sp.S, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan
bimbingan dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-
rekan sesama koasisten radiologi di Fakultas Kedokteran Trisakti dan semua pihak yang turut serta
berperan memberikan doa, semangat dan membantu kelancaran dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata
sempurna. Pada kesempatan ini, penulis memohon maaf kepada para pembaca. Masukan, kritik, dan
saran akan penulis jadikan bahan pertimbangan agar penelitian kedepannya menjadi lebih baik. Akhir
kata, penulis mengucapkan terima kasih.

20
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................................ 20

DAFTAR ISI..................................................................................................................... 21

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 23

2.1 Definisi ........................................................................................................... 23

2.2 Etiologi ........................................................................................................... 25

2.3 Patofisiologi ................................................................................................... 26

2.4 Diagnosis ........................................................................................................ 30

2.5 Tatalaksana..................................................................................................... 34

2.6 Prognosis ........................................................................................................ 36

BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 39

21
BAB I
Pendahuluan

Kesadaran mempunyai arti yang luas sekali. Maka dari itu, tidak mungkin untuk
membuat definisi yang singkat dan tepat. Sebagai teori kerja dalam bidang ilmu kedokteran,
kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls
eferen dan aferen. Semua impuls aferen dapat disebut input dan semua impuls eferen dapat
dinamakan output susunan saraf pusat1.
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada dikedua hemisfer serebri dan
Ascending Reticular Activating System (ARAS) dibatang otak. Jika terjadi kelainan pada
kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending
Reticular Activating System rangkaian atau network system merupakan suatu yang dari kaudal
berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brainstem sehingga
kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons,
mesencephalon menuju ke subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan
penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain
neurotransmitter kolinergik, mono aminergik dan gamma amino butyric acid (GABA)2.
Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitive yang merupakan manifestasi
rangkaian inti – inti dibatangotak dan serabut – serabut saraf pada susunan saraf. Korteks
serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat dimana kedua korteks ini
berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau input – input rangsangan
sensoris, hal ini disebut juga sebagai awareness2. Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini,
baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya
penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan3.
Penurunan kesadaran merupakan suatu kegawatdaruratan neurologi akut dengan ciri
khas adanya gangguan otak yang bermakna yang memerlukan cara pendekatan diagnostik,
evaluasi serta penatalaksanaan yang cepat. Para klinisi yang menghadapi pasien seperti ini
harus segera melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan yang serentak, menyeluruh, tetapi
singkat yang dimulai dari penilaian ABC (airway, breathing, corculation), dilanjutkan dengan
penilaian tingkat kesadaran pasien. Pemeriksaan fisik umum berguna sebagai petunjuk
menemukan etiologi tambahan, menjadi dasar diagnosis dan penatalaksanaan2.

22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PENURUNAN KESADARAN

II.1 Definisi
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas dirinya sendiri
dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari suatu keadaan sadar yaitu
kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi kesadaran menggambarkan keseluruhan dari
fungsi cortex serebri, termasuk fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu rangsangan.
Pasien dengan gangguan isi kesadaran biasanya tampak sadar penuh, namun tidak dapat
merespon dengan baik beberapa rangsangan - rangsangan, seperti membedakan warna, raut
wajah, mengenali bahasa atau simbol, sehingga seringkali dikatakan bahwa penderita tampak
bingung4.
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan
sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan
sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi
penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan
kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa
istilah yang digunakan diklinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, koma
ringan dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan
kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow4.

1. Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif4,5


Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera
(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun
dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.
Somnolen atau keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen
disebut juga sebagai : latergi, obtudansi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya
penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Sopor atau stupor berarti kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti
suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita
tidak dapat dibangunkan sempurna.

23
Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal
dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan (semi-koma). Pada keadaan ini tidak ada respon terhadap rangsang verbal.
Reflex (kornea, pupil dan lain sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai
respons terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban “primitif”. Penderita
sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan tidak ada jawaban sama sekali
terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Delirium adalah suatu keadaan mental abnormal yang dicirikan oleh adanya disorientasi,
ketakutan, iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi sensorik, dan sering kali disertai
dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang demikian biasanya menempatkan penderita di
alam yang tak berhubungan dengan lingkungannya, bahkan kadang penderita sulit mengenali
dirinya sendiri. Keadaan ini dapat juga diselingi oleh suatu lucid interval. Biasanya delirium
menimbulkan delusi seperti alam mimpi yang kompleks sistematis serta berlanjut sehingga
tak ada kontak sama sekali dengan lingkungannya serta secara psikologis.
Penderita umumnya menjadi banyak bicara, bicaranya keras, menyerang, curiga, dan agitatif.
Keadaan ini timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebih dari 4-7 hari namun salah persepsi
dan halusinasinya dapat berlangsung sampai berminggu-minggu terutama pada penderita
alkoholik atau penderita yang berkaitan dengan penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delinum
biasanya tampil pada gangguan-gangguan toksik dan metabolik susunan saraf seperti
keracunan atropin yang akut, sindroma putus obat (alkohol-barbiturat), porfiria akut, uremia,
gagal hati akut, ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen. Bentuk status epileptikus yang
melibatkan sistem limbik sering kali juga menimbulkan sindrom yang sulit dibedakan dengan
keadaan delirium ini.

2. Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif5


Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma
Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap rangsang dan
memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan/respons penderita yang perlu
diperhatikan adalah:

Mata:
 E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
 E2 membuka mata dengan rangsang nyeri

24
 E3 membuka mata dengan rangsangsuara
 E4 membuka mata spontan

Motorik:
 M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
 M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
 M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
 M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
 M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
 M6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:
 V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
 V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
 V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
 V4 bicaradengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
 V5 bicaradengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Jika nilai GCS 14-13 menandakan somnolen, 12-9 sopor, dan kurang dari 8 menandakan
koma.
Dua skala yang lebih sederhana ACDU (alert, confused, drowsy, unresponsive), dan AVPU
(alert, respon to voice, respon to pain, unresponsive). Skala AVPU adalah cara mudah dan
cepat untuk menilai tingkat kesadaran. Pemeriksaan ini ideal sebagai penilaian awal dan
cepat, yaitu terdiri dari:2
 Alert
 Respon terhadap suara
 Respon terhadap nyeri
 Penurunan kesadaran
AVPU termasuk ke dalam beberapa sistem skor peringatan dini untuk pasien – pasien kritis,
sebagai cara yang lebih sederhana dibanding dengan GCS, tetapi tidak cocok untuk observasi
jangka panjang2.

II.2 Etiologi Penurunan Kesadaran

25
Etiologi penurunan kesadaran secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu: gangguan
metabolik/fungsional dan gangguan struktural.2

1. Gangguan metabolik/fungsional
Gangguan ini antara lain berupa keadaan hipoglikemik/hiperglikemik, gangguan fungsi hati,
gangguan fungsi ginjal, gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat-obatan,
intoksikasi makanan serta bahan-bahan kimia, infeksi susunan saraf pusat.

2. Gangguan struktural dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu:


a. Lesi supratentorial
i. Perdarahan intraserebral : ekstradural, subdural, intraserebral
ii. Infark : emboli, thrombosis
iii. Tumor otak : Tumor primer, tumor sekunder, abses,
tuberkuloma
b. Lesi infratentorial
i. Perdarahan : serebelum pons
ii. Infark : batang otak
iii. Tumor : serebelum
iv. Abses : serebelum

II.3 Patofisiologi Penurunan Kesadaran


Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang melibatkan hemisfer kiri
ataupun kanan atau struktur - struktur lain dari dalam otak
atau keduanya6. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan
ARAS dibatang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun
mesensefalon7. Mekanisme fisiologis kesadaran dan koma mulai memperoleh titik terang
sejak penelitian yang dilakukan oleh Berger (1928) dan kemudian Brcmcr (1937). Mereka
menyimpulkan bahwa salah satu pusat kesadaran berlokasi di daerah forebrain mengingat
bahwa koma merupakan akibat yang terjadi secara pasif bilamana rangsang sensorik spesifik
pada forebrain dihentikan atau diputus. Pada masa berikutnya Morrison dan Dempsey (1942)
menemukan adanya talamokortikal difus yang tak terpengaruh segala sistem sensorik primer
yang spesifik, atau dengan kata lain ternyata di samping hal di atas ada mekanisme
nonspesifik lain yang dapat mempengaruhi kesadaran. Hal ini diperjelas oleh penemuan

26
Moruni dan Mogoun pada tahun 1949 tentang suatu daerah tambahan pada formasio
rektikulatis yang terletak di bagian netral batang otak, yang bila dirangsang akan
menimbulkan aktivasi umum yang nonspesifik pada korteks serebri, yang disebut sebagai
Sistem Aktivasi Rektikuler Asendens (ARAS - Ascendence Retricular Activating System).
Sistem ini mencakup daerah-daerah di tengah batang otak, meluas mulai dari otak tengah
sampai hipotalamus dan ralamus, dan menjabarkan bahwa struktur-struktur tersebut
mengirimkan transmisi efek-efek fisiologis difus ke korteks baik secara langsung maupun
tidak langsung, dalam peranannya terhadap arousal kesadaran. Bilamana ARAS binatang
yang sedang tidur dirangsang secara langsung dengan elektrode maka akan menampilkan
desinkronlsasi gelombang EEG dan binatang ini segera akan menjadi bangun. Sebaliknya bila
ARAS digelombang EEG akan melambat dan terjadi koma (balikan walaupun diberikan
rangsangan yang kuat).
Secara anatomik, letak lesi yang menyebabkan penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi
dua, yaitu : supratentorial (15%), infratentorial (15%)., dan difus (70%) misalnya pada
intoksikasi obat dan gangguan metabolik7.
1. Koma diensefelik7
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis di daerah mesensefalon
dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran) disebut koma diensefalik. Secara anatomik,
koma diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan
lesi infratentorial.
a. Lesi supratentorial pada umumnya berbentuk proses desak ruang atau space
occupying process, misalnya gangguan peredaran darah otak (GPDO atau stroke) dalam
bentuk perdarahan, neoplasma, abses, edema otak, dan hidrosefalus obstruktif. Proses desak
ruang tadi menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dan kemudian menekan formasio
retikularis di mesensefalon dan diensefalon (herniasi otak).
b. Lesi infratentorial meliputi dua macam proses patologik dalam ruang infratentorial
(fossa kranii posterior).pertama, proses diluar batang otak atau serebelum yang mendesak
sistem retikularis, dan yang kedua merupakan proses di dalam batang otak yang secara
langsung mendesak dan merusak sistem retikularis batang otak. Proses yang timbul berupa:
i. penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formasio retikularis)
ii. herniasi serebelum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebeli yang
kemudian menekan formasio retikularis di mesensefalon, dan
iii. herniasi tonsilo-serebelum ke bawah melalui foramen magnum dan sekaligus
menekan medula oblongata.

27
2. Koma kortikal-bihemisferik7
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada terkecukupinya penyediaan oksigen.
Pada individu sehat dengan konsumsi okesigan otak kurang lebih 3,5ml/100gr otak/menit
maka aliran darah otak kurang lebih 50ml/100gr otak/menit. Bila aliran darah otak menurun
menjadi 25-50ml/gr menit/otak, mungkin akan terjadi kompensasi dengan menaikkan
ekstraksi oksigen dari aliran darah. Apabila aliran darah turun lebih rendah lagi maka akan
terjadi penurunan konsumsi oksigen secara proporsional.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan teroksidasi menjadi
karbondioksida dan air. Untuk memelihara integritas neuronal, diperlukan penyediaan ATP
yang konstan untuk mengeluarkan ion natrium dari dalam sel dan mempertahankan ion
kalium di dalam sel. Apabila tidak ada oksigen maka terjadilah glikolisis anaerob untuk
memproduksi ATP. Glukosa dapat berubah menjadi laktat dan ATP, tetapi energi yang
ditimbulkannya kecil.
Dengan demikian oksigen dan glukosa memegang peranan yang sangat penting dalam
memelihara keutuhan kesadaran. Namun demikian, walaupun penyediaan oksigen dan
glukosa tidak terganggu, kesadaran individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam
basa darah, elekrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin.

a. Hipoventilasi diperkirakan berhubungan dengan hipoksemia, hiperkapnea, gagal


jantung kongestif, infeksi sistemik, serta kemampuan respiratorik yang tidak efektif lagi.
Dasar mekanisme terjadinya gangguan kesadaran apda hipoventilasi belum diketahui secara
jelas. Hipoksia merupakan faktor potensial untuk terjadinya ensefalopati, tetapi bukan faktor
tunggal karena gagal jantung kongestif masih mempunyai toleransi terhadap hipoksemia dan
pada kenyataannya tidak menimbulkan ensefalopati. Retensi CO2 malahan berhubungan erat
dengan gejala neurologik. Sementara itu, munculnya gejala neurologiuk bergantung pula
pada lamanya kondisi hipoventilasi. Sebagai contoh, penderita dengan hiperkarbia kronis
tidak menunjukkan gejala neurologik kronis dan penderita yang mengalami hiperkarbia akut
akan segera mengalami gangguan kesadaran sampai koma.
b. Anoksia iskemik adalah suatu keadaan dimana darah masih cukup atau dapat pula
kurang cukup membwa oksigen tetapi aliran darah otak tak cukup untuk memberi darah ke
otak. Penyakit yang mendasari biasanya menurunkan curah jantung, misalnya: infark jantung,
aritmia, renjatan dan refleks vasofagal, atau penyakit yang meningkatkan resistensi vaskular
serebral misalnya oklusi arterial atau spasme. Iskemia pada umumnya lebih berbahaya
daripada hipoksia karena asam laktat tidak dapat dikeluarkan.

28
c. Anoksia anoksik merupakan gambaran tidak cukupnya oksigen masuk kedalam darah.
Dengan demikian baik isi maupun tekanan ioksigen dalam darah menurun. Keadaan
demikian ini terdapat pada tekanan oksigen lingkungan yang rendah (tempat yang tinggi atau
adanya gas nitrogen) atau oleh ketidakmampuan oksigen untuk mencapai dan menembus
membran kapiler alveoli.
d. Anoksia anemik disebabkan oleh jumlah hemoglobin yang mengikat dan membawa
oksigen dalam darah menurrun. Sementara oksigen yang m,asuk ke dalam darah cukup.
Keadaan ini terdapat pada anemia maupun keracunan karbonmonoksida.
e. Hipoksi atau iskemia difus akut disebabkan oleh dua keadaan, ialah kadar oksigen
dalam darah menurun cepat sekali atau aliran darah otak menurun secara mendadak.
Penyebab utamanya antara lain: obstruksi jalan napas, obstruksi serebral secara masif, dan
keadaan yang menyebabkan menurunnya curah jantung secara mendadak. Trombosis atau
emboli termasuk purpura trombositopeni trombotika, koagulasi intravaskularis diseminata,
endokarditis bakterial akut, malaria falsiparum, dan emboli lemak, semuanya mampu
menimbulkan iskemia multifokal yang luas dan secara klinis akan memberi gambaran
iskemia serebral difus akut.
f. Gangguan metabolisme karbohidrat meliputi hiperglikemia, hipoglikemia dan asidosis
laktat. Diabetes melitus tidak mengangggu otak secara langsung. Delirium, stupor dan koma
biasanya merupakan gejala DM pada tahap tertentu.
g. Gangguan keseimbangan asam basa meliputi asidosis metabolik dan respoiratorik
serta alkalosis respiratorik dan metabolik. Dari 4 jenis gangguan asam basa tadi, hanya
asidosis respiratorik yang bertindak sebagai penyebab langsung timbulnya stupor dan koma.
Asidosis metabolik lebih sering menimbulkan delirium dan obtundasi. Alkalosis respiratorik
hanya menimbulkan bingung dan perasaan tidak enak di kepala. Satu alasan mengapa
gangguan keseimbangan asam basa sistemik sering tidak mengganggu otak, ialah karena
adanya mekanisme fisiologik dan biokimiawi yang melindungi keseimbangan asam-basa di
otak terhadap perubahan pH serum yang cukup besar.
h. Uremia sering kali mengganggu kesadaran penderita. Namun demikian, walaupun
telah dilakukan penelitian yang cukup luas, penyebab pasti disfungsi otak pada uremia belum
diketahui. Urea itu sendiri bukan bahan toksik untuk otak, karena infus dengan urea tidak
menimbulkan gejala-gejala uremia; sementara itu hemodialisis mampu memperbaiki gejala
klinik uremia justru kedalam cairan dialisis ditembahkan urea.
i. Koma hepatik sering dijumpai di klinik. Defisiensi atau bahan-bahan toksik
diperkirakan sebagai penyebab potensial koma hepatik, tetapi tidak satupun yang memberi

29
kejelasan tentang patofisiologinya. Meningkatnya kadar amonia dalam darah di otak
dianggap sebagai faktor utama terjadinya koma hepatik. Amonia, dalam kadara yang tinggi
dapat bersifat toksik langsung terhadap otak.
j. Defisiensi vit. B sering kali mengakibatkan delirium, demensia dan mungkin pula
stupor. Defisiensi tiamin dianggap yang paling serius dalam diagnosis banding koma.
Defisiensi tiamin menimbulkan penyakit Wernicke, suatu kompleks gejala yang disebabkan
oleh kerusakan neuron dan vaskular di substanta grisea, daerah sekitar ventrikulus, dan
akuaduktus.

II. 4 Penegakan Diagnostik Penurunan Kesadaran


Untuk mendiagnosis penurunan kesadaran tidaklah sulit. Yang menjadi masalah apa
yang menjadi penyebab penurunan kesadaran tadi dan bagaimana siatuasi koma yang sedang
dihadapinya (tenang, herniasi otak). Pendekatan diagnostik tidak berbeda dengan kasus-kasus
yang lainnya, yaitu melalui urutan anamnesa, pemeriksaan fisik neurologik, dan pemeriksaan
penunjang. Perbedaannya terletak pada tuntutan kecepatan berpikir dan bertindak7.
1. Anamnesis (riwayat penyakit)2
Tanyakan pada pasien atau pada pengantar tentang lingkungan sekeliling saat awitan terjadi
serta perjalanan penyakitnya. Beberapa poin penting yang harus ditanyakan:
a. Awitan: waktu, lingkungan sekeliling.
Usia pasien merupakan bagian penting dari anamnesis. Pada pasien yang sebelumnya sehat,
usia muda, penurunan kesadarannya terjadi tida-tiba, kemungkinan penyebabnya bisa
keracunan obat, perdarahan subarachnoid, atau trauma kepala. Sedangkan pada usia tua,

30
penurunan kesadaran yang tiba-tiba lebih mungkin disebabkan oleh perdarahan serebral atau
infark.
b. Gejala-gejala yang mendahului secara terperinci (bingung, nyeri kepala, kelemahan,
pusing, muntah, atau kejang), gejala-gejala fokal seperti sulit bicara, tidak bisa membaca,
perubahan memori, disorientasi, baal atau nyeri, kelemahan motorik, berkurangnya
enciuman, perubahan penglihatan, sulit menelan, gangguan pendengaran, gangguan
melangkah atau keseimbangan, tremor.
c. Pemakaian obat-obatan atau alkohol.
d. Riwayat penyakit jantung, paru-paru, liver, ginjal, atau yang lainnya
.
2. Pemeriksaan fisik8
a. Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan tentang
sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada tidaknya aritmia.
b. Bau nafas dan pola pernapasan
Bau nafas dapat memberi petunjuk adanya proses patologik tertentu misalnya uremia,
ketoasidosis, intoksikasi obat, dan bahkan proses kematian yang sednag berlangsung.
Pemeriksaan pola pernafasan berupa:
 Cheyne-Stokes (pernapasan apnea, kemudian berangsur bertambah besar
amplitudonya)→gangguan hemisfer dan atau batang otak bagian atas
 Kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) →gangguan di tegmentum (antara
mesensephalon & pons)
 Apneustik (inspirasi dalam diikuti penghentian ekspirasi selama waktu yang
lama) → gangguan di pons
 Ataksik (pernapasan dangkal, cepat, tak teratur) →gangguan di
fomartioretikularis bagian dorsomedial & medula Oblongata
c. Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda – tanda trauma, stigmata kelainan hati dan
stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada penderita dengan trauma, kepala
pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan sangat berhati – hati atau tidak boleh
dilakukan jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka
lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya
bruit.

31
d. Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
e. Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur servikal (jejas,
kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
f. Toraks/abdomen dan ekstremitas.
Perhatikan ada tidaknya fraktur.

Pemeriksaan fisik neurologis8


Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara kualitatif dan
kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan neurologis meliputi derajat
kesadaran dan pemeriksaan motorik2.
1). Umum
• Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
• Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
• Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama (aktivitas
• seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).

2). Level kesadaran


• Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, soporo dan koma)
• Kuantitatif (menggunakanGCS)

3). Pupil
 Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
 Simetris/reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas mesensefalon
baik.Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik(-), dicurigai suatu koma
metabolik
 Midposisi(2-5mm),ƒixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
 Pupil reaktif point-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiate kolinergik.
 Dilatasi unilateral danƒixed,terjadi herniasi.
 Pupil bilateral ƒixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik – iskemi global, keracunan
barbiturat.

32
 Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopik perhatikanlah keadaan papil. apakah ada edema, perdarahan,
dan eksudasi, serta bagaimana keadaan pembuluh darah Tekanan intrakranlal yang meninggi
dapat menyebabkan terjadinya edema papli. Pada perdarahan subarakhnoid dapat dijumpai
perdarahan subhiaMd. Pada retinopati diabetik dapat dijumpai mikro-anerisma di pembuluh
darah retina

• Refleks okulovestibuler/okulosefalik (dolls eye manuevre)


Pergerakan bola mata untuk melirik dan memfokuskan pandangan diatur oleh nervus
okulomotorius. Nuclei nervus oculomotor mendapat impuls aferen dari cortical, tectal, dan
tegmental sistem oculomotor, serta impuls langsung dari sistem vestibular dan vestibule
cerebellum. Reflex okulovestibuler diperiksa dengan menolehkan kepala pasien, namun harus
hati-hati pada pasien trauma yang dicurigai adanya fraktur atau dislokasi dari tulang cervical.
Selain dengan menolehkan kepala pasien, dapat juga tes kalori. Respon normal dari gerakan
yang menimbulkan impuls pada vestibular menuju sistem okulomotor dan membuat mata
berputar berlawanan arah dengan gerakan yang diberikan pemeriksa. Pada pasien sadar,
refleks memfokuskan pandangan menutupi reflex tesebut, sehingga pemeriksaan doll’s eye
tidak dilakukan pada pasien sadar, namun pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Refleks okuloauditorik , bila dirangsang suara keras penderita akan menutup mata maka
gangguan di pons. Sedangkan pada refleks okulovestibular bila meatus autikus eksteernus
dirangsang air hangat akan timbul nistagmus ke arah rangsangan maka gangguan di pons.
Pemeriksaan pupil berupa:
• Lesi di hemisfer →kedua mata melihat ke samping ke arah hemisfer yang
terganggu.Besar dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya positif normal
• Lesi di talamus→kedua mata melihat ke hidung (medial bawah), pupil kecil,
reflekscahaya negatif.
• lesi di pons →kedua mata di tengah, gerakan bola mata tidak ada, pupil kecil,
reflekscahaya positif, kadang terdapat ocular bobing.
• lesi di serebellum→kedua mata ditengah, besar, bentuk pupil normal, refleks cahaya
positif normal
• gangguan N oculomotorius→pupil anisokor, refleks cahaya negatif pada pupil
yanglebar, ptosis

4). Pemeriksaan rangsang meningeal


33
5). Fungsi motorik
Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (ada paresis). Gerak mioklonik dapat
dijumpai pada ensefalopati metabolik (mininya pada gagal hepar, uremta. htpoksia).
demikian juga gerak astcriksis Kejang miofokal dapat dijumpai pada gangguan metaboik.
Sikap dekortikasi (lengan dalam keadaan fleksi dan aduksi. Sedangkan tungkai dalam
keadaan okstensi) menandakan lesi yang dalam pada hemisfer atau tepat di alas
mesensefalon. Sikap deserebrasl (lengan dalam keadaan ekstensi, aduksi dan endorotasl,
sedangkan tungkai dalam sikap ekstensi) dapat dijumpai pada lesi batang otak bagian atas. di
antara nukleus ruber dan nukleus vestibular
.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera, ada yang bersifat terencana.
Pemeriksaan laboratorium yang bersifat segera pada umumnya meliputi pemeriksaan glukosa
darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan analisis gas darah. Pada kasus
tertentu (meningitis, ensefalitis, perdarahan suabarahnoid) diperlukan tindakan pungsi lumbal
dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.
b. Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali pemeriksaan
EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat dikerjakan dengan mudah,
tetapi manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT scan maka pemeriksaan
ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan elektroensefalografi terutama
dikerjakan pada kasus mati otak (brain death).
c. Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya mutlak perlu.
CT scan akan sangat bermanfaat pada kasus-0kasus GPDO, neoplasma, abses, trauma kapitis,
dan hidrosefalus. Koma metabolik pada umumnya tidak memerlukan pemeriksaan CT scan
kepala.

34
II.5 Penatalaksanaan penurunan kesadaran
Langkah pertama yang harus diperhatikan saat melakukan penilaian pada pasien
dengan penurunan kesadaran baik etiologi yang mendasarinya seperti kelainan struktural
maupun metabolik kondisi medis utama yaitu kondisi jalan napas, pola pernafasan, dan
sirkulasi untuk reperfusi dan oksigenasi sistem saraf pusat. Prinsip tatalaksana pasien dengan
penurunan secara umum adalah:2
• Oksigenasi
• Mempertahankan sirkulasi
• Mengontrol glukosa
• Menurunkan tekanan tinggi intrakranial
• Menghentikan kejang
• Mengatasi infeksi
• Menoreksi keseimbangan asam-basa serta keseimbangan elektrolit
• Penilaian suhu tubuh
• Pemberian thiamin
• Pemberian antidotum (contoh: nalokson pada kasus keracunan morfin)
• Mengontrol agitasi

1. Mengontrol jalan napas (airway)2


Jalan napas yang baik dan suplementasi oksigen yang adekuat merupakan tindakan yang
sangat penting dalam mencegah terjadinya kerusakan otak lebih lanjut akibat kondisi
penurunan kesadaran terutama pada kasus-kasus yang akut.
Tindakan menjaga jalan napas tetap baik yang paling sederhana adalah dengan mencegah
jatuhnya lidah ke dinding faring posterior dengan jaw lift maneuver yaitu dengan
mengekstensinya kepala samapi menyentuh atlanto-occipital joint bersamaan dengan menarik
mandibula ke depan. Manuver ini dapat memperlebar jarak antara lidah dan dinding faring
sekitar 25%. Manuver ini tidak boleh dilakukan pada kecurigaan adanya fraj=ktur atau lesi
pada daerah cervical.
Pemasangan oropharingeal tube dapat juga dilakukan untuk menjaga patensi jalan napas pada
pasien dengan penurunan kesadaran. Oral airway device dapat digunakan untuk mencegah
tergigitnya lidah pada pasien dengan penurunan kesadaran disertai kejang. Sedangkan nasal
airway juga dapat digunakan dengan menempatkan selang oksigen ke lubang hidung maupun
nasofaring. Nasal airway dapat digunakan pada pasien dengan kecurigaan adanya lesi pada
cervical dan kontraindikasi untuk dilakukan maneuver jaw lift maupun head-tilt.

35
Tindakan intubasi merupakan indikasi untuk jalan napas tetap terjaga dengan baik pada
pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan fungsi bulber. Pasien dengan GCS yang
rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan pernafasan walaupun
masalah utamanya bukan pada sistem pernafasan. Pasien dengan nilai GCS 8 harus dilakukan
tindakan intubasi.

2. Pernafasan2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran perlu diperhatikan frekuensi pernafasan dan pola
pernafasan. Frekuansi pernafasan normal adalah 16-24 kali permenit dengan pola nafas
torakoabdominal. Pada psien dengan gangguan pernafasan seringkali disertai retraksi otot-
otot ekstrapulmonal, seperti rektarksi suprasternal, retraksi supraklavikula, dan retraksi otot
abdominal. Suara nafas tambahan juga perlu diperhatikan pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Suplai oksigen binasal dapat diberikan sesuai dengan oksigenasinya. Pada
keadaan tertentu seperti kecurigaan adanya penyakit paru yang berat dapat siperiksa analisis
gas darah dan digunakan ventilator bila terdapat kondisi gagal nafas.

3. Sirkulasi2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, untuk monitor dan evaluasi kondisi sirkulasi
sebaiknya dipasang kateterisasi vena sentral untuk memudahkan dalam monitoring cairan dan
pemberian nutrisi. Selain itu pula optimalkan tekanan darah dengan target Mean Arterial
Pressure di atas 70mmHg. Pada kondisi hipovolemia berikan cairan kristaloid isotonik seperti
cairan NaCl fisiologis dan ringer laktat. Kita harus menghindari pemberian cairan hipotonik
seperti cairan glukosa maupun dektrosa terutama pada kasus stroke kecuali penyebab
penurunan kesadarannya adalah kondisi hipoglikemi. Bila cairan infus sudah diberikan tetapi
MAP belum mencapoai target, maka diusahakan untuk pemberian obat-obatan vasopresor
seperti dopamine dan epinefrin/norepinefrin.

II.6 Prognosis
Prognosis penurunan kesadaran bersifat luas tergantung kepada penyebab, kecepatan
serta ketepatan dari pengobatan yang diberikan. Sehingga pemeriksaan dan penegakan
diagnosis pada kasus penurunan kesadaran harus dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah timbulnya kelainan yang sifatnya ireversible.

36
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala adanya gangguan fungsi batang otak,
seperti doll’s eye, refleks kornea yang negatif, refleks muntah yang negatif; Pupil lebar tanpa
adanya refleks cahaya; dan GCS yang rendah (1-1-1) yang terjadi selama lebih dari 3 hari2.

37
BAB III
KESIMPULAN

Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas dirinya sendiri
dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari suatu keadaan sadar yaitu
kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi kesadaran menggambarkan keseluruhan dari
fungsi cortex serebri, termasuk fungsi kognitif dan sikap dalam merespon suatu rangsangan.
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan
sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan
sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi, bila terjadi
penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan
kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa
istilah yang digunakan diklinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, koma
ringan dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan
kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow4

Etiologi penurunan kesadaran secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu: gangguan
metabolik/fungsional dan gangguan struktural2. Secara anatomik, letak lesi yang
menyebabkan penurunan kesadaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu : supratentorial (15%),
infratentorial (15%)., dan difus (70%) misalnya pada intoksikasi obat dan gangguan
metabolik7.

Untuk mendiagnosis penurunan kesadaran tidaklah sulit. Yang menjadi masalah apa
yang menjadi penyebab penurunan kesadaran tadi dan bagaimana siatuasi koma yang sedang
dihadapinya (tenang, herniasi otak). Pendekatan diagnostik tidak berbeda dengan kasus-kasus
yang lainnya, yaitu melalui urutan anamnesa, pemeriksaan fisik neurologik, dan pemeriksaan
penunjang. Perbedaannya terletak pada tuntutan kecepatan berpikir dan bertindak7.

Langkah pertama yang harus diperhatikan saat melakukan penilaian pada pasien
dengan penurunan kesadaran baik etiologi yang mendasarinya seperti kelainan struktural
maupun metabolik kondisi medis utama yaitu kondisi jalan napas, pola pernafasan, dan
sirkulasi untuk reperfusi dan oksigenasi sistem saraf pusat.2

38
Prognosis penurunan kesadaran bersifat luas tergantung kepada penyebab, kecepatan
serta ketepatan dari pengobatan yang diberikan. Sehingga pemeriksaan dan penegakan
diagnosis pada kasus penurunan kesadaran harus dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah timbulnya kelainan yang sifatnya ireversible.
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala adanya gangguan fungsi batang
otak, seperti doll’s eye, refleks kornea yang negatif, refleks muntah yang negatif; Pupil lebar
tanpa adanya refleks cahaya; dan GCS yang rendah (1-1-1) yang terjadi selama lebih dari 3
hari2

39
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. 2012. Kesadaran dan fungsi luhur dalam neurologi klinis
dasar. Dian rakyat. Jakarta.
2. Dian S, Basuki A, 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and management.
Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung.
3. Cavanna AE, Shah S, Eddy CM. 2011. Conscioussnes : A neurological perspective.
IOS press. UK
4. PlumF, PosnerJB, SaperCB, SchiffND. 2007. Plum and Posner’s Diagnosis of Stupor
and Coma. Ed. IV. Oxford University Press. NewYork.
5. Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Balai
penerbit FKUI. Jakarta.
6. Kelly JP. 2001. Loss of Consciousness: Pathophysiology and Implications in Grading
and Safe Return to Play. Journal of athletic training. Chicago
7. Harsono.2008.Koma dalam Buku Ajar Neurologi Klinis.GajahMada University Press.
Yogyakarta.
8. Wulandari DS. 2011. Penurunan kesadaran. Fakultas kedokteran universitas yarsi.
Serang

40

Anda mungkin juga menyukai