Anda di halaman 1dari 5

SI SANI (PSIKOEDUKASI SEKS USIA DINI) SEBAGAI

UPAYA PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL PADA


ANAK

ABSTRAK

Perilaku kekerasasn seksual pada anak sangat memprihatinkan sehingga


membuat orang tua harus lebih waspada akan keselamatan anaknya. Kasus
kekerasan pada anak dinilai masih tinggi di lingkungan sekitar kita. Pada kasus ini
terdapat perilaku yang menyimpang terhadap norma dan asusila sehingga perlu
dilakukan antisipasi serta solusi untuk mengatasi kekerasan seksual pada anak.
Tindakan kekerasan seksual pada anak seharusnya dapat dicegah sedini mungkin
supaya perlindungan terhadap anak meningkat.

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi saat ini menyebabkan banyak informasi mudah
untuk kita dapatkan. Maraknya penggunaan gadget bukan hanya pada orang dewasa
saja, tetapi juga pada anak-anak. Berbagai informasi didapatkan anak-anak,
termasuk pula tayangan-tayangan yang mengandung unsur vulgar dan pornografi.
Pada masa anak- anak mereka banyak menyerap informasi dan mereka berada pada
tahap perkembangan dimana masa kritisisasi ini berlangsung. Mereka akan
mencoba untuk mengetahui berbagai hal yang mereka tidak tahu.
Situasi yang terjadi pada saat ini adalah, dimana banyak anak-anak yang
sangat kritis mengenai hal yang mereka lihat terutama mengenai permasalahan
seksualitas. Namun disamping itu, keengganan dari orang tua untuk menjawab hal
tersebut yang menyebabkan anak mencari tahu sendiri berbagai hal yang mereka
ingin ketahui. Perilaku tersebut dikarenakan adanya kepercayaan bahwa
membicarakan mengenai pendidikan seksual adalah hal yang tabu (Zakiyah,
Prabandari, & Triratnawati, 2016). Contohnya saja seperti yang sering di tanyakan
oleh anak “bu, adik itu bisa lahir dikarenakan apa ya?”. Maka terkadang orang tua
menjawabnya dengan “hus. Gak boleh bicara sembarangan”.
Beberapa kasus pelecehan seksual saat ini sering terjadi di lingkungah kita.
Pada tahun 2014 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan
bahwa terdapat 2.509 kasus kekerasan seksual pada tahun 2011, tahun 2012
terdapat 2.637 kasus, 2013 terdapat 3.339 kasus, hal ini bisa kita lihat bahwa setiap
tahunnya terdapat peningkatan kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan
terdapat 218 kasus kekerasan seksual pada anak pada 2015. Sementara itu, pada
2016 dan 2017 KPAI mencacat terdapat 120 dan 116 kasus kekerasan seksual
terhadap anak-anak.
KPAI telah memberikan referensi dan rekomendasi terkait pengasuhan dan
solusi jangka panjang tentang kasus-kasus tersebut. KPAI juga mendorong
pemerintah untuk menegakkan hal ini dan KPAI juga bekerjasama dengan
Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), dan kepolisian, serta pemerintah daerah agar bersama-sama membantu
dan melindungi anak-anak.
Presiden Republik Indonesia telah memberikan Instruksi Presiden ( Inpres)
dengan dibentuknya Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Anak (GNAKSA).
Gerakan ini diharapkan dapat bertranformasi dan menuntaskan kasus kekerasan
seksual terhadap anak-anak di Indonesia.
Namun, itu merupakan data yang didapatkan dari pelaporan yang dilakukan
oleh korban. Selain itu terdapat banyak juga kasus kekerasan seksual yang dialami
oleh masyarakat, namun tidak dilaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) karena berbagai alasan.
Beberapa waktu lalu penulis membaca sebuah tulisan di salah satu media
sosial dari seorang korban kekerasan seksual di akun media sosialnya, yang
menyatakan bahwa saat dia berusia 9 tahun alat kelaminnya di sentuh oleh teman
lelakinya dan dia hanya diam saja. Dia juga sering diintip celana dalamnya saat Ia
sedang dikamar mandi. Bukan hanya hal itu, tetapi juga Ia sempat akan diberikan
obat perangsang untung saja ada temannya yang baik dan memberitahukan hal ini
kepada korban. Hal ini begitu mengejutkan, karena kejadian ini terjadi saat Ia masih
duduk di bangku sekolah dasar dan baru bisa Ia ungkapkan kepada khalayak saat ia
berusia 22 tahun. 13 tahun Ia memendam hal ini dari orang lain, dan ternyata
dampak dari kejadian tersebut adalah Ia mengalami trauma yang sampai sekarang
masih bisa Ia rasakan. Dimana Ia bisa menangis sampai meraung- raung dan tidak
bisa berdekatan dengan seorang lelaki sendirian.(Sumber yang valid?)
Kejadian ini merupakan salah satu kasus yang bisa kita jadikan contoh, bahwa
karena kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai pemahaman mengenai
perilaku seksual yang baik dan benar dapat menyebabkan efek yang
berkepanjangan. Disini, pendidikan seksual sangat dibutuhkan. Pendidikan seksual
sendiri diartikan sebagai upaya pengajaran, penyajian, penyadaran, dan pemberian
informasi tentang masalah seksual. Dimana masalah seksual yang termasuk di
dalamnya adalah pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan
menanamkan moral, etika, komitmen, agama, agar tidak terjadi penyalahgunaan
organ reproduksi (Ratnasari, 2016).
Pendidikan seksual yang dilakukan mulai pada usia dini, kita harapkan
mampu untuk mengubah paradigma yang ada di masyarakat bahwa membicarakan
mengenai pentingnya organ reproduksi atau mengenai organ-organ reproduksi baik
fungsi maupun kegunaannya bukanlah hal yang tabu. Namun, hal ini adalah hal
yang sangat penting dan diperlukan oleh semua kalangan agar kasus-kasus
kekerasan yang ada di masyarakat berkurang. Karena mereka telah mengetahui hal
yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh lawan jenis terhadap tubuhnya.
Pendidikan seksual ini dilakukan berdasarkan golongan usianya. Usia 3-5
tahun anak diajarkan mengenai organ tubuh dan fungsinya. Usia 6- 9 tahun, anak
diajarkan bagaimana menjaga atau melindungi organ- organ vitalnya dari sentuhan
orang lain atau lawan jenis yang bukan orang tuanya. Usia 9- 12 tahun, anak akan
diajarkan mengenai perubahan organ apa saja yang terjadi selama masa puber. Usia
12 – 14 tahun, dimana pada masa ini, anak mengalami masa puber dan dorongan
seksual sangat besar, maka anak perlu diberitahu mengenai bagaimana sistem
reproduksi itu terjadi dan bagaimana fungsinya bekerja (Ratnasari, 2016).

METODE PELAKSANAAN
Metode pelaksanaan yang digunakan menggunakan metode psikoedukasi
seks yang merupakan salah satu bentuk intervensi psikologis yang dapat
dilakakukan secara individu maupun kelompok. Dalam metode ini menggunakan
media gambar, video dan materi yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
anak mengenai lawan jenis, bagian mana yang boleh disentuh dan bagian mana
yang tidak boleh disentuh oleh orang lain selain diri sendiri, orang tua, dan dokter
serta bagaimana caranya mencegah kekerasan seksual pada anak.
Pelaksanaan psikoedukasi dilakukan satu kali dengan metode presentasi
materi menggunakan video dan gambar untuk menjelaskan perbedaan lawan jenis,
bagian-bagian mana yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh. Psikoedukasi
juga tidak hanya diberikan kepada anak namun juga diberikan kepada orang tua
anak sehingga orang tua tahu dan dapat menerapkannya di lingkungan rumah./////////

HASIL DAN PEMBAHASAAN


Pelaksanaan kegiatan dilakukan dalam satu tahap yang melibatkan anak-
anak dan orang tua. Anak-anak yang dimaksud adalah siswa kelas IV SD.
Keputusan memilih siswa kelas IV SD berdasarkan usia anak yaitu usia 9-12 tahun.
Pada usia ini anak diajarkan bagaimana menjaga atau melindungi bagian-bagian
tubuh tertentu dari sentuhan orang lain atau lawan jenis yang bukan orang tuanya
serta kesanggupan siswa dalam menerima materi yang diberikan. Hal ini perlu
dilakukan untuk memberikan arahan serta pengetahuan kepada siswa tersebut.
Keputusan ini juga berdasarkan kesepakatan antara kepala sekolah dan tim
mahasiswa KKN serta kesanggupan penerimaan materi yang dipersiapkan.
Selain itu, kegiatan ini juga melibatkan orang tua siswa agar pemahaman
mengenai pencegahan kekerasan seksual pada anak juga dapat diketahui dan
diterapkan oleh para orang tua. Hal ini diharapkan dapat menjadi salah satu wadah
pendekatan antara anak dan orang tua agar anak-anak dapat menceritakan segala
hal yang terjadi pada dirinya kepada orang tuanya, sehingga dapat mengurangi
kasus kekerasan seksual pada anak. Pemberian edukasi terhadap orang tua dan anak
juga bertujuan untuk menyelaraskan pengetahuan dan informasi antara pemberi
materi dengan audiens, karena isi dari materi yang diberikan dapat menimbulkan
berbagai macam persepsi.
Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 3 Agustus 2019 pada
pukul 08.30-10.00 WIB di ruang kelas IV SD N 1, 2, dan 3 Jatiseeng Kidul. Siswa
yang dimaksud adalah siswa kelas IV yang terdiri dari 32 siswa SD N 1 Jatiseeng
Kidul, 40 siswa SD N 2 Jatiseeng Kidul dan 34 siswa SD N 3 Jatiseeng Kidul.
Hasil dari kegiatan menunjukkan bahwa secara umum para siswa aktif dan
mengikuti seluruh rangkaian kegiatan ini, meskipun kondisi dan karakteristik siswa
kelas empat sekolah dasar membuat tim pemateri berupaya lebih untuk
mengkondisikan mereka agar acara berjalan dengan baik. Secara khusus,
keterlibatan para siswa ialah saat sesi menanyikan lagu “bagian yang boleh disentuh
dan tidak boleh disentuh oleh orang lain” yang disertai gerakan-gerakannya. Para
orang tua siswa juga berantusias agar anak-anaknya memerhatikan dan mengikuti
gerakannya dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai