Anda di halaman 1dari 50

IGD RSUD BUOL

Senin, 27 Agustus 2012

KUMPULAN ASKEP GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN YANG


MENGALAMI PENURUNAN KESADARAN
A. PENGERTIAN
Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. ( Corwin, 2001 )
Penurunan kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga / tidak
terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap
stimulus.
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal /
mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya. ( Padmosantjojo, 2000 )
Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu :
1. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indra dan
bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dalam.
2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat
menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya
menurun.
3. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu dua
kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.
4. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti,
motorik hanya gerakan primitif.
5. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara
maupun reaksi motorik. ( Harsono , 1996 )
B. ETIOLOGI
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan penyebab
penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “ yaitu :
1. S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung
2. E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang mungkin
melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
3. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
4. E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.
5. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
6. I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan penurunan kesadaran
7. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan subdural, dapat
pula trauma abdomen dan dada.
8. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.( Harsono , 1996 )
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :
1. Penurunan kesadaran secara kwalitatif
2. GCS kurang dari 13
3. Sakit kepala hebat
4. Muntah proyektil
5. Papil edema
6. Asimetris pupil
7. Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif
8. Demam
9. Gelisah
10. Kejang
11. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
12. Retensi atau inkontinensia urin
13. Hipertensi atau hipotensi
14. Takikardi atau bradikardi
15. Takipnu atau dispnea
16. Edema lokal atau anasarka
17. Sianosis, pucat dan sebagainya
D. PATHWAYS ( terlampir )
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab penurunan kesadaran yaitu
:
1. Laboratorium darah
Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea darah ( BUN ), osmolalitas,
kalsium, masa pembekuan, kandungan keton serum, alcohol, obat-obatan dan analisa gas darah (
BGA ).
2. CT Scan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
3. PET ( Positron Emission Tomography )
Untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak
4. SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography )
Untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke.
5. MRI
Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.
6. Angiografi serebral
Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi arteriovena.
7. Ekoensefalography
Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang disebabkan hematoma
subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral yang luas dan neoplasma.
8. EEG ( elektroensefalography )
Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses, jaringan parut otak,
infeksi otak
9. EMG ( Elektromiography )
Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit lain.
F. PENGKAJIAN PRIMER
1. Airway
a. Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas
b. Terjadi penurunan kesadaran
c. Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
d. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
e. Gelisah
f. Sianosis
g. Kejang
h. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
i. Suara serak
j. Batuk
2. Breathing
a. Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
b. Sianosis
c. Takipnu
d. Dispnea
e. Hipoksia
f. Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi
3. Circulation
a. Hipotensi / hipertensi
b. Takipnu
c. Hipotermi
d. Pucat
e. Ekstremitas dingin
f. Penurunan capillary refill
g. Produksi urin menurun
h. Nyeri
i. Pembesaran kelenjar getah bening
G. PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Riwayat penyakit sebelumnya
Apakah klien pernah menderita :
a. Penyakit stroke
b. Infeksi otak
c. DM
d. Diare dan muntah yang berlebihan
e. Tumor otak
f. Intoksiaksi insektisida
g. Trauma kepala
h. Epilepsi dll.
2. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas dan istirahat
 Data Subyektif:
 kesulitan dalam beraktivitas
 kelemahan
 kehilangan sensasi atau paralysis.
 mudah lelah
 kesulitan istirahat
 nyeri atau kejang otot
 Data obyektif:
 Perubahan tingkat kesadaran
 Perubahan tonus otot ( flasid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ) , kelemahan umum.
 gangguan penglihatan
b. Sirkulasi
 Data Subyektif:
 Riwayat penyakit stroke
 Riwayat penyakit jantung
Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung , endokarditis bacterial.
 Polisitemia.
 Data obyektif:
 Hipertensi arterial
 Disritmia
 Perubahan EKG
 Pulsasi : kemungkinan bervariasi
 Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
c. Eliminasi
 Data Subyektif:
 Inkontinensia urin / alvi
 Anuria
 Data obyektif
 Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh )
 Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
d. Makan/ minum
 Data Subyektif:
 Nafsu makan hilang
 Nausea
 Vomitus menandakan adanya PTIK
 Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan
 Disfagia
 Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
 Data obyektif:
Obesitas ( faktor resiko )
e. Sensori neural
 Data Subyektif:
 Syncope
 Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
 Kelemahan
 Kesemutan/kebas
 Penglihatan berkurang
 Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada muka
 Gangguan rasa pengecapan
 Gangguan penciuman
 Data obyektif:
 Status mental
 Penurunan kesadaran
 Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis, menyerang)
 Gangguan fungsi kognitif
 Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek
tendon dalam
 Wajah: paralisis / parese
 Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata
kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya. )
 Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli taktil
 Kehilangan kemampuan mendengar
 Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
 Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya positif / negatif, ukuran pupil isokor /
anisokor, diameter pupil
f. Nyeri / kenyamanan
 Data Subyektif:
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
 Data obyektif:
 Tingkah laku yang tidak stabil
 Gelisah
 Ketegangan otot
g. Respirasi
Data Subyektif : perokok ( faktor resiko )
h. Keamanan
Data obyektif:
 Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
 Perubahan persepsi terhadap tubuh
 Kesulitan untuk melihat objek
 Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
 Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
 Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
 Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan
 Berkurang kesadaran diri
i. Interaksi sosial
Data obyektif:
 Problem berbicara
 Ketidakmampuan berkomunikasi
3. Menilai GCS
Ada 3 hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang menggunakan Skala Coma
Glasgow :
 Respon motorik
 Respon bicara
 Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan.
Penilaian pada Glasgow Coma Scale
Respon motorik
Nillai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan, menunjukkan jumlah jari-jari
dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa, melepaskan gangguan.
Nilai 5: Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan seperti tekanan pada sternum,
cubitan pada M. Trapezius
Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak mampu menunjuk lokasi atau
tempat rangsang dengan tangannya.
Nilai 3 : fleksi abnormal .
Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila
diberi rangsang nyeri ( decorticate rigidity )
Nilai 2 : ekstensi abnormal.
Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan bawah, fleksi pergelangan tangan dan tinju
mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity )
Nilai 1 : Sama sekali tidak ada respon
Catatan :
- Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat
- Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan selalu negatif
Respon verbal atau bicara
Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini tidak berlaku bila
pasien :
- Dispasia atau apasia
- Mengalami trauma mulut
- Dipasang intubasi trakhea (ETT)
Nilai 5 : pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara . orientasi waktu, tempat , orang, siapa
dirinya , berada dimana, tanggal hari.
Nilai 4 : pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
Nilai 3 : bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak menyambung dengan apa yang
sedang dibicarakan
Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya (“ngrenyem”), suara-suara tidak dapat
dikenali makna katanya
Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri
Respon membukanya mata :
Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau kedua matanya
Catatan:
Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.
Nilai 4 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
Nilai 3 : Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau diperintahkan membuka mata
Nilai 2 : Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
Nilai 1 : Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri
4. Menilai reflek-reflek patologis :
a. Reflek Babinsky
Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda yang runcing maka
timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar
b. Reflek Kremaster :
Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada bagian dalam (medial)
paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat
tertariknya atau mengerutnya testis. Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut berarti
adanya ganguan traktus corticulspinal
5. Uji syaraf kranial :
NI.N. Olfaktorius – penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau, wangi-wangian, yang
diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup
N.II. N. Opticus
Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata . digunakan optotipe snalen yang
dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus ditentukan dengan kemampuan membaca jelas
deretan huruf-huruf yang ada
N.III/ Okulomotoris.
N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala arah , diameter
pupil , reflek cahaya dan reflek akomodasi
N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,
Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang bawah serta
goresan kapas dan mata tertutup
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus muskulusmasketer saat
diperintahkan untuk gerak menggigit
N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis, mengerutkan dahi,
mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi depan )bersiul ,
menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang
dijulurkan (gula , garam , asam)
N.VIII/ Vestibulo - acusticus
Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber , Schwabach dengan garpu tala.
N.IX/ Glosofaringeus,
N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien
N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan ( kontraksi
M.trapezius) dan gerakan kepala
N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus , gerakan lidah
mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI


1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan, ditandai dengan peningkatan
TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan jaringan otak, depresi SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1 jam.
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK
- Tanda – tanda vital dalam batas normal
- Tidak adanya penurunan kesadaran
Intervensi :
Mandiri :
- Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan
penurunan perfusi dan potensial peningkatan TIK
- Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart
- Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
- Pantau tekanan darah
- Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman pnglihatan dan penglihatan kabur
- Pantau suhu lingkungan
- Pantau intake, output, turgor
- Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
- Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
- Tinggikan kepala 15-45 derajat
Kolaborasi :
- Berikan oksigen sesuai indikasi
- Berikan obat sesuai indikasi
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret
Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil:
- Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
- Ekspansi dada simetris
- Bunyi napas bersih saat auskultasi
- Tidak terdapat tanda distress pernapasan
- GDA dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri :
- Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
- Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan
pengeluaran sekresi yang optimal
- Penghisapan sekresi
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
Kolaborasi :
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan
Tujuan :
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
Kriteria hasil:
- RR 16-24 x permenit
- Ekspansi dada normal
- Sesak nafas hilang / berkurang
- Tidak suara nafas abnormal
Intervensi :
Mandiri :
- Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
- Auskultasi bunyi nafas.
- Pantau penurunan bunyi nafas.
- Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
- Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
Kolaborasi :
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Berikan obat sesuai indikasi
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap
hipoventilasi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat mempertahankan
pertukaran gas yang adekuat
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
-Bunyi paru bersih
-Warna kulit normal
-Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
Mandiri :
-Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
-Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat
kesadaran pada dokter.
-Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau
penurunan dalam PaO2
-Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
-Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
-Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan
-Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.
-Pantau irama jantung
Kolaboraasi :
-Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
-Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carolyn M. Hudak. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume II. Alih
Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997
2. Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998
3. Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2001
4. Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Volume 2.
Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun
1989)
5. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical – surgical nursing.
8thEdition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
6. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001
(Buku asli diterbitkan tahun 1996)
7. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition.
Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)
8. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning
and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli
diterbitkan tahun 1993)
9. Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University Press, 1996 )
10. Padmosantjojo, Keperawatan Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf FKUI, 2000
11. Markum, Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis, Jakarta, Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2000

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN DENGAN


NYERI DADA
A. PENGERTIAN
 Nyeri dada adalah perasaan nyeri / tidak enak yang mengganggu daerah dada dan seringkali
merupakan rasa nyeri yang diproyeksikan pada dinding dada (referred pain)
 Nyeri Coroner adalah rasa sakit akibat terjadinya iskemik miokard karena suplai aliran darah
koroner yang pada suatu saat tidak mencukupi untuk kebutuhan metabolisme miokard.
 Nyeri dada akibat penyakit paru misalnya radang pleura (pleuritis) karena lapisan paru saja yang
bisa merupakan sumber rasa sakit, sedang pleura viseralis dan parenkim paru tidak menimbulkan
rasa sakit (Himawan, 1996)
B. ETIOLOGI
Nyeri Dada:
a. Cardial
- Koroner
- Non Koroner
b. Non Cardial
- Pleural
- Gastrointestinal
- Neural
- Psikogenik (Abdurrahman N, 1999)
C. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala yang biasa menyertai nyeri dada adalah :
- Nyeri ulu hati
- Sakit kepala
- Nyeri yang diproyeksikan ke lengan, leher, punggung
- Diaforesis / keringat dingin
- Sesak nafas
- Takikardi
- Kulit pucat
- Sulit tidur (insomnia)
- Mual, Muntah, Anoreksia
- Cemas, gelisah, fokus pada diri sendiri
- Kelemahan
- Wajah tegang, m erintih, menangis
- Perubahan kesadaran
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. EKG 12 lead selama episode nyeri
- Takhikardi / disritmia
- Rekam EKG lengkap : T inverted, ST elevasi / depresi, Q Patologis
b. Laboratorium
- Kadar enzim jantung : CK, CKMB, LDH
- Fungsi hati : SGOT, SGPT
- Fungsi Ginjal : Ureum, Creatinin
- Profil Lipid : LDL, HDL
c. Foto Thorax
d. Echocardiografi
e. Kateterisasi jantung
E. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
a. Airway
- Bagaimana kepatenan jalan nafas
- Apakah ada sumbatan / penumpukan sekret di jalan nafas?
- Bagaimana bunyi nafasnya, apakah ada bunyi nafas tambahan?
b. Breathing
- Bagaimana pola nafasnya ? Frekuensinya? Kedalaman dan iramanya?
- Aapakah menggunakan otot bantu pernafasan?
- Apakah ada bunyi nafas tambahan?
c. Circulation
- Bagaimana dengan nadi perifer dan nadi karotis? Kualitas (isi dan tegangan)
- Bagaimana Capillary refillnya, apakah ada akral dingin, sianosis atau oliguri?
- Apakah ada penurunan kesadaran?
- Bagaimana tanda-tanda vitalnya ? T, S, N, RR, HR?
2. Pengkajian Sekunder
Hal-hal penting yang perlu dikaji lebih jauh pada nyeri dada (koroner) :
a. Lokasi nyeri
Dimana tempat mulainya, penjalarannya (nyeri dada koroner : mulai dari sternal menjalar ke
leher, dagu atau bahu sampai lengan kiri bagian ulna)
b. Sifat nyeri
Perasaan penuh, rasa berat seperti kejang, meremas, menusuk, mencekik/rasa terbakar, dll.
c. Ciri rasa nyeri
Derajat nyeri, lamanya, berapa kali timbul dalam jangka waktu tertentu.
d. Kronologis nyeri
Awal timbul nyeri serta perkembangannya secara berurutan
e. Keadaan pada waktu serangan
Apakah timbul pada saat-saat / kondisi tertentu
f. Faktor yang memperkuat / meringankan rasa nyeri misalnya sikap/posisi tubuh, pergerakan,
tekanan, dll.
g. Gejala lain yang mungkin ada atau tidaknya hubungan dengan nyeri dada.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan kenyamanan nyeri (nyeri akut) b.d iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan
arteri, inflamasi jaringan
2. Perubahan perfusi jaringan (otot jantung) b.d penurunan aliran darah
3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai O2 dan kebutuhan metabolisme
jaringan
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Prinsip-prinsip Tindakan :
1. Tirah baring (bedrest) dengan posisi fowler / semi fowler
2. Melakukan EKG 12 lead kalau perlu 24 lead
3. Mengobservasi tanda-tanda vital
4. Kolaborasi pemberian O2 dan pemberian obat-obat analgesik, penenang, nitrogliserin, Calcium
antagonis dan observasi efek samping obat.
5. Memasang infus dan memberi ketenangan pada klien
6. Mengambil sampel darah
7. Mengurangi rangsang lingkungan
8. Bersikap tenang dalam bekerja
9. Mengobservasi tanda-tanda komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurrahman, N, Anamnesa dan pemeriksaan Jasmani Sistem Kardiovaskuler dalam IPD Jilid
I, Jakarta: FKUI, 1999.
2. Doenges, Marilynn E,Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC, 2000.
3. Himawan, Buku Kuliah Gangguan Sistem Kardiovaskuler,1994.
4. Hudak&Gallo, Keperawatan Kritis cetakan I, Jakarta : EGC, 1995

ASKEP KEGAWATDARURATAN AKIBAT ASMA

A. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea dan
bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan dimanifestasikan
dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. (Brunner
& Suddarth, Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).
Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang mana peradangan ini
menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan napas dan menyebabkan
kekambuhan.(Lewis, 2000, hal. 660).
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons terhadap
terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Ini merupakan situasi
yang mengancam kehidupan dan memerlukan tindakan segera.
Jenis-jenis Asma :
a) Asma alergik
Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang, marah, makanan
dan jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen dan riwayat medis masa
lalu, iskemia dan rhinita alergik.
b) Asma idiopatik atau non alergik
Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti common cold,
infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan pencetus serangan. Serangan
menjadi lebih berat dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empisema.
c) Asma gabungan
Yaitu bentuk asma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
maupun bentuk idiopatik atau non alergik.
Klasifikasi Asma:
1. Mid Intermiten
Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek; tanpa gejala,
diantara serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-
paru FEV dan PEF diperkirakan lebih dari 80%.
2. Mid Persistent
Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu malam timbul
lebih dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan sebesar 80%.
3. Moderat Persistent
Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator serangan
timbul 2 kali atau lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul gejala berat setiap
minggu. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan 60-80%.
4. Severe Persistent
Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas, peningkatan frekuensi
serangan dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu malam.
Penyebab / Faktor resiko serangan asma
1. Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dan disebabkan oleh alergen yang diketahui
karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu
halus binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau
coklat, polusi.
2. Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non
spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma
instrinsik ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40
tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan
trakeobronchial.
Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari
faktor berikut ini.
1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.
2. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan
ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin
serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan
broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat
banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf
pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf
pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok,
emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga merangsang
pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan
hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan
pengeluaran CO2berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa
CO2) menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan
asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali
dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah
berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat
disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah
(Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan
gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi
jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke
pembuluh darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting
ini juga mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.
Tanda dan Gejala
- Batuk produktif
- Wheezing
- Dispnea
- Mengi
- Ekspirasi memanjang
- Barrel chest (dada tong)
- Orthopnea
- Berkeringat
- Tachypnea
- Tachycardia.
Pemeriksaan Diagnostik
a) Test Fungsi paru ( spirometri)
Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan
napas akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah (
respirasi asidosis) , mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan
membutuhkan ventilasi mekanis, adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan
perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi
mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada mereka
yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang kondisinya
tidak berespons terhadap pengobatan awal.
b) Pemeriksaan gas darah arteri
Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena
obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi
alkalosis ( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik.
Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis )
seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 <
60 mmHg serta nilai pH darah rendah.
c) Arus puncak ekspirasi
APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data yang
objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari
nilai dungaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak
diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.
d) Pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau
komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis, pneumonia,
dan pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis thoraks
memperlihatkan suatu hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang
menurun. Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan hilangnya serangan asma
tersebut.
e) Elektrokardiografi
Tanda – tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah
gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea
supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
Penanganan Asma
1. Agenis Beta : untuk mendilatasi otot-otot polos bronkial dan meningkatkan gerakan sililaris. Contoh
obat : epinefrin, albutenol, meta profenid, iso proterenoli isoetharine, dan terbutalin. Obat-obat ini
biasa digunakan secara parenteral dan inhalasi.
2. Metil salin untuk bronkodilatasi, merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan gerakan mukus
dalam jalan nafas. Contoh obat: aminophyllin, teophyllin, diberikan secara IV dan oral.
3. Antikolinergik, contoh obat : atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara inhalasi.
4. Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh obat: hidrokortison,
dexamethason, prednison, dapat diberikan secara oral dan IV.
5. Inhibitor sel mast, contoh obat: natrium kromalin, diberikan melalui inhalasi untuk bronkodilator
dan mengurangi inflamasi jalan nafas.
6. Oksigen, terapi diberikan untuk mempertahankan PO2 pada tingkat 55 mmHg.
7. Fisioterapi dada, teknik pernapasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan batuk efektif untuk
meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural drainage dilakukan hanya pada pasien
dengan produksi sputum yang banyak.
KAJIAN KEPERAWATAN KRITIS
Pengkajian
a. Keluhan :
– Sesak nafas tiba-tiba, biasanya ada faktor pencetus
– Terjadi kesulitan ekspirasi / ekspirasi diperpanjang
– Batuk dengan sekret lengket
– Berkeringat dingin
– Terdengar suara mengi / wheezing keras
– Terjadi berulang, setiap ada pencetus
– Sering ada faktor genetik/familier
AIRWAY
Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan
nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status asmatikus ini
memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit
yang dapat diperoleh.
Diagnosa keperawatan :
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :
a. Amankan pasien ke tempat yang aman
R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak untuk pasien
b. Kaji tingkat kesadaran pasien
R/ dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat kesadaran pasien
c. Segera minta pertolongan
R/ bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang lebih intensif
d. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien
R/ mengetahui tingkat pernapasan pasien dan mengetahui adanya penumpukan sekret
e. Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien setengah
telungkup dan membuka mulutnya
R/ memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas
BREATHING
Pengkajian :
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien
untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus
pasien mengalami nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan
bahwa usaha ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak
napas berat sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas,
atau kesulitan dalam bergerak. Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih
dari 25 x / menit. Pantau adanya mengi.
Diagnose keperawatan :
Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
Intervensi :
a. Kaji usaha dan frekuensi napas pasien
R/ mengetahui tingkat usaha napas pasien
b. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung pasien serta pipi ke
mulut pasien
R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien
c. Pantau ekspansi dada pasien
R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien
CIRCULATION
Pengkajian :
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka
jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan
adanya peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan
darah sistolik pada waktu inspirasi, arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai
dugaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya
kekurangan oksigen ini dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini.
Diagnosa Keperawatan :
Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
Intervensi :
- pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi jugularis
R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba
DAFTAR PUSTAKA
1. Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001
2. Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998
3. Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001
4. Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates ,
2000
5. Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta ,
EGC, 2002
6. Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama, Jakarta, Trans
Info Media, 2009.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR

A. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Guyton & Hall, 1997).
B. Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang
mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar
telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai
disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di
Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk
injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok
umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada
orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman Azzam, 2008).
C. Etiologi
Etiologi dari luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
D. Fase Luka Bakar
Fase – fase luka bakar (Guyton & Hall, 1997) yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan
circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat
setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada
fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan
jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel luas
dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi
organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
E. Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)
1. Dalamnya luka bakar

Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan


Ketebalan Jilatan api, Kering tidak ada Bertambah Nyeri
partial sinar ultraviolet gelembung, edema merah
superfisial (terbakar oleh minimal atau tidak ada,
(tingkat I) matahari) pucat bila ditekan
dengan ujung jari,
berisi kembali bila
tekanan dilepas
Lebih dalam Kontak dengan Blister besar dan Berbintik – Sangat
dari partial bahan air atau lembab yang bintik yang nyeri
(tingkat II) bahan padat. ukurannya bertambah kurang
- Superfisial Jilatan api besar. Pucat bila jelas, putih,
- Dalam kepada pakaian. ditekan dengan ujung coklat, pink,
Jilatan langsung jari, bila tekanan daerah
kimiawi, sinar dilepas berisi kembali merah
ultraviolet coklat
Ketebalan Kontak dengan Kering disertai kulit Putih, Tidak sakit,
sepenuhnya bahan cair atau yang mengelupas. kering, sedikit
padat. Nyala Pembuluh darah seperti hitam, sakit,
api, kimia, arang terlihat dibawah coklat rambut
kontak dengan kulit yang mengelupas. tua, hitam, mudah
arus listrik Gelembung jarang, merah lepas bila
dindingnya sangat tipis, dicabut
tidak membesar, tidak
pucat bila ditekan

2. Luas luka bakar


Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan
nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
3. Berat ringannya luka bakar
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1) Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
2) Kedalaman luka bakar.
3) Anatomi lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang menyertai atau bersamaan.
American college of surgeon membagi dalam:
A. Parah – critical:
a) Tingkat II : 30% atau lebih.
b) Tingkat III : 10% atau lebih.
c) Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
d) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang – moderate:
a) Tingkat II : 15 – 30%
b) Tingkat III : 1 – 10%
C. Ringan – minor:
a) Tingkat II : kurang 15%
b) Tingkat III : kurang 1%
F. Patofisilogi
WOC terlampir (http://www.artanto.com)
G. Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)

Tingkatan hipovolemik (s/d 48- Tingkatan diuretik (12 jam – 18/24


Perubahan 72 jam pertama) jam pertama
Mekanisme Dampak dari Interstitial ke Hemodilusi
vaskuler
Fungsi renal Aliran darah Oliguri Peningkatan Diuresis
renal berkurang aliran darah renal
karena desakan karena desakan
darah turun dan darah meningkat
CO berkurang
Kadar sodium / Na+ direabsorbsi Defisit sodium Kehilangan Defisit sodium
natrium oleh ginjal, tapi Na+melalui
kehilangan diuresis (normal
Na+melalui kembali setelah 1
eksudat dan minggu)
tertahan dalam
cairan edema
Kadar potassium K+ dilepas Hiperkalemi K+ bergerak Hipokalemi
sebagai akibat kembali dalam
cidera jaringan sel, K+ terbuang
sel – sel darah melalui diuresis
merah, (mulai 4-5 hari
K+berkurang setelah luka
ekskresi karena bakar)
fungsi renal
berkurang
Kadar protein Kehilangan
protein ke
dalam jaringan Hipoproteinemia
akibat kenaikan
permeabilitas
Keseimbangan Katabolisme Keseimbangan Katabolisme Keseimbangan
nitrogen jaringan, nitrogen negatif jaringan, nitrogen negatif
kehilangan kehilangan
protein dalam protein,
jaringan, lebih immobilitas
banyak
kehilangan dari
masukan
Keseimbangan Metabolisme Asidosis Kehilangan Asidosis
asam basa anaerob karena metabolik sodium metabolik
perfusi jaringan bicarbonas
berkurang, melalui diuresis,
peningkatan hipermetabolisme
asam dari disertai
produk akhir, peningkatan
fungsi renal produk akhir
berkurang metabolisme
(menyebabkan
retensi produk
akhir tertahan),
kehilangan
bikarbonas
serum
Terjadi karena Stres karena
sifat cidera luka
berlangsung
Aliran darah renal
berkurang lama dan
terancam
psikologi
pribadi
Eritrosit Terjadi karena Luka bakar Tidak terjadi Hemokonsentrasi
panas, pecah termal pada hari – hari
menjadi fragil pertama
Lambung Curling ulcer Rangsangan Akut dilatasi dan Peningkatan
(ulkus pada central di paralise usus jumlah cortison
gaster), hipotalamus dan
perdarahan peningkatan
lambung, nyeri jumlah cortison
Jantung MDF Disfungsi Peningkatan zat CO menurun
meningkat 2x jantung MDF (Miokard
lipat, Depresant
merupakan Factor) sampai
glikoprotein 26 unit,
yang toxic yang bertanggung
dihasilkan oleh jawab terhadap
kulit yang syok septic
terbakar
H. Indikasi Rawat Inap Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)
A. Luka bakar grade II :
1) Dewasa > 20%
2) Anak/orang tua > 15%
B. Luka bakar grade III
C. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.
I. Penatalaksanaan (Long, Barbara C, 1996)
A. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan
a) Udara panas mukosa rusak oedem obstruksi.
b) Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin iritasi Bronkhokontriksi obstruksi gagal nafas.
2) Sirkulasi:
Gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler hipovolemi
relatif syok ATN gagal ginjal.
B. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
C. Resusitasi cairan Baxter.
Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 – 3 tahun : BB x 75 cc
3 – 5 tahun : BB x 50 cc
½ à diberikan 8 jam pertama
½ à diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua:
Dewasa : Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin.

( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfadiazin tebal.
- Tutup kassa tebal.
- Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat – obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine)
o Antasida : kalau perlu
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. PT EGC.
Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran
EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Luka Bakar (Combustio). (Online) http://www.artanto.com.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN INTOKSIKASI INSEKTISIDA (IFO)

A. Pengertian
Intoksikasi (keracunan) adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk
membasmi hama yang merugikan manusia. Termasuk peptisida ini adalah insektisida. Ada dua
macam insektisida yang paling banyak digunakan dalam pertanian adalah :
1. insektisida hidrokarbo khlorin (IHK = chlorinated hydrocarbon)
2. insektisida fosfat organic (IFO = organo phosphate insecticide).
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus meningkat.
Sifat - sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian
dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini
menembus kulit yang normal (intact), juga dapat diserap di paru dan saluran makanan, namun
tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.
Macam – macam IFO adalah Malathion (Tolly), Paraathion, Diazinon, Basudin, Paraoxon
dan lain – lain. IFO sebenarnya dibagi 2 macam yaitu IFO murni dan golongan carbamate. Salah
satu contoh golongan carbamate adalah baygon.

B. Patogenesis
IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetilkolinesterase tubuh (KhE).
Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis Akh dengan jalan mengadakan
ikatan Akh- KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi ikatan IFO – KhE
lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi penumpukan AKh di tempat – tempat tertentu,
sehingga timbul gejala – gejala rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek
muscarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
Pada keracunan IFO, ikatan IFO –KhE bersifat menetap (irreversible), sedangkan pada
keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible). Secara farmakologis efek AKh
dapat dibagi dalan 3 bagian, yaitu :
1. Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus dan
jantung.
2. Nikotinik, terutama pada otot – otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot
pernapasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang – kejang (konvulsi) sampai koma.
C. Gambaran klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktivitas kelenjar ludah, keringat dan saluran
pencernaan, serta kesukaran bernapas.
Keracunan ringan : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah, kelopak mata,
pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah – muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis,
fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi – point, reaksi cahaya negatif, sesak napas, sianosis, edema
paru, inkontinensia urine dan feses, konvulsi, koma, blokade jantung, akhirnya meninggal.

D. Pemeriksaan .
1. Laboratorik.
Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan
diagosis keracunan IFO akut maupun kronik (menurun sekian % dari harga normal).
Keracunan akut : ringan : 40 – 70 %
sedang : 20 – 40 %
berat : < 20 %.
Keracunan kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 %, setiap individu yang
berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan baru diizinkan bekerja
kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.

2. Patologi Anatomi (PA)


Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. Sering hanya ditemukan
edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ – organ lain.

E. Penatalaksanaan
1. Resusitasi
Setelah jalan napas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernapasan dan nadi. Infus
dextrose 5 % kecepatan 15 – 20 tts/mnt, napas buatan + oksigen, hisap lendir dalam saluran
napas, hindari obat – obat depresan saluran napas, kalau perlu respirator pada kegagalan napas
berat. Hindar pernapasan buatan dari mulut ke mulut sebab racun organofosfat akan
meracuni lewat mulut penolong. Pernapasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask
atau menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan
pemberian sirup ipecac 15 –30 ml. Dapat diulan setelah 20 menit bila tidak berhasil. Katarsis
(intestinal lavage), dengan pemberian laksans bila diduga racun telah sampai di usus halus dan
tebal. Kumbah lambung (KL atau gastric lavage), pada penderita yang kesadaran yang
menurun, atau pada mereka yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam
4 jam setelah keracunan.
Keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan KL sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang daari 4 – 6
jam. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan KL sebaiknya dikerjakan dengan bantuan
pemasangan pipa endotrakeal berbalon, untuk mencegah aspirasi pneumonia.
3. Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKh pada tempat penumpukan.
a. Mula –mula diberikan bolus iv 1 – 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala – gejala
atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris, dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2 – 4 – 6 – 8 dan
12 jam
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 X 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat
menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernapasan akut yang sering
fatal.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian difokuskan pada masalah yang mendesak seperti jalan napas dan sirkulasi yang
mengancam jiwa, adaya gangguan asam basa, keadaan status jantung, status kesadaran. Riwayat
kesehatan : riwayat keracunan, bahan racun yang digunakan, berapa lama diketahui setelah
keracunan, ada masalah lain sebagai pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan
dan kapan terjadinya.

B. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang bisa timbul adalah tidak efektifnya pola napas, resiko tinggi
kekurangan cairan tubuh, gangguan kesadaran, tidak efektifnya koping indicidu.

C. Intervensi
Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan
hidup, mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum) yang meliputi resusitasi : air way,
breathing dan circulation, eliminasi untuk menghambat absorbsi melalui pencernaan dengan cara
kumbah lambung, emesis atau katartasis dan keramas rambut.
Berikan antidotum sesuai pesanan dokter minimal 2 X 24 jam yaitu Atropin sulfat (SA).
Perawatan suportif meliputi pertahankan agar pasien tidak sampai demam atau mengigil, monitor
perubahan – perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat, distress pernapasan, sianosis,
diaphoresis, dan tanda – tanda lain kolaps pembuluh darah dan kemungkinan fatal atau kematian.
Monitor tanda vital setiap 15 menit untuk beberapa jam dan laporkam perrubahannya segera
kepada dokter. Catat tanda – tanda seperti muntah, mual dan nyeri abdomen serta monitor semua
muntah akan adanya darah. Observasi feses dan urine serta pertahankan cairan intravenous
sesuai pesanan.
Jika pernapasan depresi, berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin bias
diperlukan. Jika keracunan sebagai suatu usaha untuk membunuh diri maka lakukan safety
precautions. Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatris klinis. Pertimbangkan juga masalah
kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis, neurosis, mental retardasi dan lain – lain.

SUMBER :
1. Lab./UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo, (1994), “Pedoman Diagnosis dan
Terapi”,Surabaya

2. Phipps, etc. (1991), ”Medical Surgical Nursing ; Cencept and Clinical Practice”, 4th, Mosby
Year Book, Toronto.

3. Departemen Kesehatan RI, (2000), “Resusistasi Jantung – Paru – Otak ; Bantuan Hidup Lanjut
(Advanced Life Support)”, Jakarta.

4. Emerton, D.M., (1989), “Principles and Practice of Nursing”, University of Queensland Press,
Australia

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWAT DARUTATAN PADA KLIEN


DENGAN EDEMA PARU

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang
selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui
saluran limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik.
Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor ,
dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan respiratory distress syndrome ?
2. Apa penyebab dari respiratory distress syndrome?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome?
4. Bagaimana patofisiologi dari respiratory distress syndrome?
5. Apa pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress syndrome?
6. Bagaimana komplikasi respiratory distress syndrome?
7. Bagaimana penatalaksanaan respiratory distress syndrome ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress syndrome?
C. Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang RDS dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan kasus RDS.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang respiratory distress syndrome.
2. Menjelaskan tentang penyebab dari respiratory distress syndrome.
3. Menjelaskan tentang manifestasi klinis dari respiratory distress syndrome.
4. Menjelaskan tentang patofisiologi dari respiratory distress syndrome.
5. Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang untuk respiratory distress syndrome.
6. Menjelaskan tentang komplikasi respiratory distress syndrome.
7. Menjelaskan tentang penatalaksanaan respiratory distress syndrome.
8. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien dengan respiratory distress syndrome.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan
intravaskular. (Elizabeth J Corwin, 2001)
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan ekstravaskular yang patologis
pada jaringan parenkim paru. (Titin Suprihatin, 2000)
B. ETIOLOGI
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
a. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
2) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis
(over perfusion pulmonary edema).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma.
Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, penyakit dermatologi atau
penyakit nutrisi.
c. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan
peningkatan end-expiratory volume (asma).
d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik :
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
a. High Altitude Pulmonary Edema.
b. Neurogenic Pulmonary Edema.
c. Narcotic overdose.
d. Pulmonary embolism.
e. Eclampsia
f. Post Cardioversion.
f. Post Anesthesia.
g. Post Cardiopulmonary Bypass.
C. PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian
dalam pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan
sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan
dalam pembuluh-pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk
menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung
diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara
yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah
yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk
dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan
pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini
kehilangan integritasnya.
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari
pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan
persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada
kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai
“air dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Pulmonary edema
dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal
jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk
sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto toraks).
Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.
1. Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran
gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
2. Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran
napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
3. Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan
hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and
Braunwald, 1988).
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab
gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan,
2. Laboratorium
a. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB,
Troponin T), angiografi koroner
3. Foto thoraks
Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang
normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah
utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang
menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan
putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru
dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili
pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan
informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
F. PENATALAKSANAAN
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika
tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5
ug/kgBB. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai
didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang
tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat
ke organ-organ vital.
5. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
6. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau
dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau
Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan
sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel / corda tendinae.
G. KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-
komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary
edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-
paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran
oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.
H. PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema,
beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung dan
serangan-serangan jantung, kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau
penghindaran dari overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain,
beberapa sebab-sebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS
yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Data umum:
1. Identitas :
Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda
2. Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai
dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba
pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin
menyertai klien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui
pada klien

Pemeriksaan fisik
1. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat ,
suhu kulit meningkat, kemerahan
2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum
banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru.
3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun,
Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris
pernafasan
6. Sistem genitourinaria
Subyektif :
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Hb : menurun/normal
2. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah
meningkat/normal.
3. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal.
B. PRIORITAS MASALAH
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan dan
kelelahan.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan ventilator tidak
tepat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal.
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan dan
kelelahan
Tujuan : Jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
Kriteria : Suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang paru
Rencana Tindakan
a. Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam
b. Lakukan hisap lendir bila ronchii terdengar
c. Monitor humidivier dan suhu ventilator
d. Monitor status hidrasi klien
e. Monitor ventilator tekanan dinamis
f. Beri Lavase cairan garam faali sesuai indikasi
g. Beri fisioterapi dada sesuai indikasi
h. Beri bronkodilator
i. Ubah posisi, lakukan postural drainage
Rasional
a. Monitor produksi secret
b. Tekanan penghisapan tidak lebih 100-200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5 kali pernafasn
dengan O2 100 % dan hiperinflasi dengan 1 ½ kali VT menggunakan resusitasi manual atau
ventilator. Auskultasi bunyi nafas setelah penghisapan
c. Oksigen lembab merangasang pengenceran sekret. Suhu ideal 35-37,8OC
d. Mencegah sekresi kental
e. Peningkatan tekanan tiba-tiba mungkin menunjukkan adanya perlengketan jalan nafas
f. Fasilitasi pembuangan sekret.
g. Fasilitasi pengenceran dan penge-luaran sekret menuju bronkus utama.
h. Fasilitasi pengeluaran sekret menuju bronkus utama.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan ventilator tidak
tepat
Tujuan : Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria : Gas Darah Arteri dalam keadaan normal
Rencana Tindakan
a. Periksa AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya perubahan
ventilator
b. Monitor AGD atau oksimetri selama periode penyapihan
c. Kaji apakah posisi tertentu menimbulkan ketidaknyamanan pernafasan
d. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea
Rasional
a. AGD diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan konsentrasi O2 & CO2
darah.
b. Periode penyapihan rawan terhadap perubahan status oksigenasi.
c. Dalam berbagai kondisi, ketidak-nyamanan dapat mempengaruhi klinis penderita.
d. Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan penurunan kesadaran, asidosis,
hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama pemasangan
selang endotrakeal
Kriteria : Klin dan perawat menentukan dan menggunakan metodayang tepat untuk
berkomunikasi, tidak terjadi hambatan komunikasi berarti, menggunakan metode yang tepat
Rencana Tindakan:
a. Jelaskan lingkungan, semua prosedur, tujuan dan alat yang berhubungan dengan klien
b. Berikan bel atau papan catatan serta alat tulis untuk momunikasi
c. Ajukan pertanyaan tertutup
d. Yakinkan pasien bahwa suara akan kembali bila endotrakela dilepas.
Rasional
a. Mengurangi kebingungan klien dan meminimalisasi adanya komunikasi yang sulit antara klien
dan perawat
b. Sebagai media komunikasi antara klien dan perawat
c. Menghindari komunikasi tidak efektif
d. Mengurangi kecemasan yang mungkin timbul akibat kehilangan suara
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria : tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial
Rencana Tindakan
a. Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bau sputum tiap kali penghisapan
b. Tampung spesimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
c. Pertahankan teknis steril selama penghisapan lender
d. Ganti selang ventilator tiap 24 – 72 jam
Rasional
a. Infeksi traktus respiratorius dapat mengakibatkan sputum bertambah banyak, bau lebih
menyengat, warna berubah lebih gelap
b. Memastikan adanya kuman dalam sputum/jalan nafas
c. Mengurangi resiko infeksi nosokomial
d. Mengurangai resiko infeksi nosokomial

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta

Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC, Jakarta
Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis, Philadelphia

Mansjoer Arif:1999: Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid I: Medi Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan I,
Universitas Airlangga, Surabaya
Diposkan oleh IAN di 18.34

AB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.D DENGAN CIDERA KEPALA BERAT

Ruangan : IGD
Tanggal masuk : 22 desember 2011
Tanggal pengkajian : 22 desember 2011
Dx : cidera kepala berat (CKB)

A. Pengkajian
1.Identitas pasien
Nama : Tn D
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : curup

1. Penamggung jawab
Nama : Tn A
Umur : 63 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Hubungan dengan pasien : ayah
Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Pasien datang ke RSUD M YUNUS bengkulu pada tanggal 22 desember 2011,dengan
kecelakaan motor ,pasien mengalami penurunan kesadaran. Terdapat hematome di kepala dan
krepitasi pada paha bagian kanan sepertiga medial dextra.

2. Riwayat kesehatan sekarang


Pasien datang ke IGD dibawa oleh keluarganya pada jam 20 .30 wib tanggal 22 desember 2011.
Pasien tabrakan dengan kendaraan bermotor dengan penurunan kesadaran,terdapat hematome
pada kepaladan krepitasi pada paha bagian kanan sepertiga meial dextra dan wajah
hematome,keluar darah dari mulut ,telinga dan hidung,pasien sesak.

3. Primary survey
a. Airway : terdapat sumbatan jalan nafas berupa darah dan lendir.
b. Breathing
Look : adanya pengembangan dinding dada .frekuensi 32 /menit
Listen : terdengar suara nafas stidor.
Feel : terasa hembusan nafas ,terlihat otot bantu pernafasan
c. Circulation : Akral dingin,kulit pucat,terdapat perdarahan di telinga,hidung,mulut, CRT > 3
detik, akral dingin
d. Disability : GCS 7 (E2,M3,V2) dan kesadaran sopor.
4. Secondary survey
Kesadaran : Sopor
Keadaan umum : Jelek
GCS : 7
TTV : TD: 100/60 mmhg
N : 102 X/m
P : 32 X/m
S : 37.8 c

5. Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Inspeksi : bentuk simetris ,rambut tampak kusam,terdapat hematome dibagian wajah dan kepala
Palpasi : tidak ada ketombe,benjolan ,terdapat nyeri tekan pada bagian oksipital.
b. Mata
Inspeksi : bentuk simetris,klien selalu memejamkan matanya karna mata terdapat hematom, blue
eyes dikedua mata.
Palpasi : ada nyeri tekan dikedua mata.
c .Hidung
Inspeksi : bentuk simetris,tidak ada polip, keluar darah dari hidung
Palpasi : ada nyeri tekan.
d .Telinga
Inspeksi : bentuk simetris, terdapat darah
Palpasi : ada nyeri tekan
e .Mulut
Inspeksi : keluarnya darah segar,dan lender
f .Leher
Inspeksi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,getah bening dan vena jugolaris, dicurigai
adanya fraktur servikal.
g .Thorak
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, terdapat otot bantu pernapasan ,bentuk dada simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan , dan tidak ada benjolan
Perkusi : resonan
Auskultasi : bunyi nafas stridor ,frekuensi 32 x/menit,tidak ada wheezing dan ronhci
h .Jantung
Perkusi : mur-mur(-) ,gallop (-),bj1 dan bj2 normal
i . Abdomen
Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat jejas
Auskultasi : bissing usus normal(10 x/menit)
Palpasi : turgor kulit elastis, ada nyeri tekan.
Perkusi : timpani (redup pada organ)
j .Genetalia
Inspeksi : Bersih, tidak ada kelainan, terpasang kateter
k . Kulit
Turgor kulit elastis, warna kulit sama dengan warna kulit lainnya
l .Ekstremitas
Atas: reflek bisep dan trisep normal ,tidak ada kelainan,ada bekas luka ditangan kanan ,terpasang
infus ditangan kanan,fleksi dan ekstensi(+)
Bawah : tidak ada kelainan,jari-jari lengkap ,

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratoorium
No Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
1 Haemoglobin 9,4
2. Hematokrit 33
3 Leukosit 21.200
4 Trombosit 198000

b. Pemeriksaan CT- Scan


Terdapat edema serebral pada daerah kepala

6. Therapi pengobatan
IVFD RL 30 tts/m
Dexa metahson 3x1,injeksi ampul (iv)
Citicolin 3x1 ampul,injeksi (iv)
Asam transamin 3x1 ampul,injeksi (iv)
Vit k 3x1 ampul ,injeksi (iv)
Keterolac 3x1 ampul, injeksi(iv)
Cefotaxime 2x1 gr,injeksi ST (-) / IV
Kateter polay
NGT
Suction
2.Analisa data
Nama : Tn D No registrasi : 532350
Umur : 23 tahun Ruangan : IGD

No Data senjang Interpretasi data Masalah


1. DO : Trauma kepala Pola nafas tidak
-suara nafas stridor efektif
-terdapat sumbatan berupa darah Kerusakan pada
dan lendir tulang tengkorak
-pasien terlihat sesak frekuensi
pernafasan 32 x / m Perdarahan

DS :
-keluarga mengatakan pasien belum
sadar proses desak
ruang pada area
otak

herniasiasi otak
/otak terdesak
kebawah melalui
tentorium

menekan pusat
vasomotor ,cerebral
posterior
,NIII,serabut RAS
D O:
-tingkat kesadaran sopor menekan untuk
2. -GCS 7(E 2,M3,V2) pertahankan: Gangguan perfusi
-akral dingin kesadaran,TD,HR jaringanserebral
-CRT > 3 detik
pusat nafas
DS: terganggu
-keluarga mengatakan pasien masih
belum sadar

pola nafas tidak


efektif

trauma kepala

kerusakan pada
tulang tengkorak

perdarahan

penambahan
volume intakranial
pada cavum
serebral

proses desak ruang


pada area otak

kompresi pada vena


sehingga terjadi
stagnasi aliran
darah

peningkatan TIK

penurunan aliran
darah ke otak
perubahan perfusi
jaringan serebral

3.Diagnosa Keperawatan
Nama : Tn. D No.Register : 532350
Umur : 23 tahun Ruangan :IGD

NO Diagnosa Keperawatan Tanggal Paraf Tanggal Paraf


masalah masalah teratasi
ditemukan
1. Pola nafas tidak efektif 22-12-2011 Kelompok 9
berhubungan dengan
adanya darah dan secret

Gangguan perfusi jaringan


serebral berhubungan Kelompok 9
2. dengan edema otak. 22-12-2011

4. Intervensi Keperawatan
Nama : Tn. D No.Register : 532350
Umur : 23 tahun Ruangan : IGD

NO Tanggal Tujuan dan Intervensi Rasional


kriteria hasil
1. 22-12- Setelah dilakukan1. Pertahankan kepala dan 1. Kepala yang tidak posisi
2011 tindakan leher tetap posisi datar atau netral dapat menekan
keperawatan tengah ( posisi supinasi). JVP aliran darah ke otak.
selama 1x24 jam
pola nafas dapat 2. Observasi fungsi
efektif dengan pernafasan, catat frekuensi 2. Distres pernafasan dan
kriteria hasil : pernafasan, dispnea atau perubahan pada tanda vital
1. Tidak ada perubahan tanda-tanda vital. dapat terjadi sebagai akibat
penggunaan otot stress fisiologis dan nyeri
bantu pernafasan. atau dapat menunjukkan
2. Tidak sianosis terjadinya syok sehubungan
3. CRT < 3 detik 3. Evaluasi pergerakan dengan hipoksia.
4. RR < 24x/menit dinding dada dan auskultasi3. Sebagai pedoman kelancaran
5. Tidak terpasang bunyinya. pola pernafasan
oksigen
6. Secret dan lender4. Berikan terapi O2 sebanyak4. Memberikan adekuat O2
berkurang 3 liter dalam darah dan aliran ke
otak

5. Sebagai alat bantu supaya


5. Pemasangan gudele dan jalan napas tidak tertutup
Setelah dilakukan lakukan penghisapan lendir
tindakan
keperawatan 1. Evaluasi nilai GCS klien 1. menentukan status neurologis
selama 1x24 jam
2. 22-12- gangguan perfusi2. Pantau TTV klien 2. perubahan TTV mendadak
2011 jaringan dapat dapat menentukan
teratasi dengan peningkatan TIK dan trauma
criteria hasil : batang otak
1. Nilai GCS
meningkat yaitu 3. Pertahankan kepala dan 3. kepala yang tidak posisi
12 leher tetap posisi netral dapat menekan JVP
2. Kesadaran datar (posisi supinasi) aliran darah keotak
membaik yaitu
compos mentis 4. untukmenentukan apakah
3. Tanda-tanda vital4. Evaluasi keadaan pupil, batangotak masih baik dan
normal ukuran, ketajaman, masih ada respons terhadap
TD :120/80 kesamaan antara kiri dan cahaya atau tidak.
Mmhg, kanan dan reaksi terhadap
N: 90 x/menit rangsangan cahaya
RR : 24 x/menit
S : 37 C 5. Kolaborasi dalam 5. Untuk membantu proses
pemberian obat sesuai penyembuhan
indikasi
6. Anjurkan pada keluarga 6. memberikan lingkungan
untuk batasi pengunjung nyaman untuk menghindari
ketegangan dapat
mempertahankan kita
terjadinya peningkatan TIK
7. Memberikan adekuat O2
7. Pemberian terapi O2 dan dalam darah dan aliran ke
penghisapan lendir otak
8. Untuk mengurangi adanya
8. Lakukan pemasang NGT tekanan TIK
9. Untuk memenuhi ADL dan
9. Lakukan pemasangan mengetahui keseimbangan
kateter cairan.

5. Implementasi Keperawatan
Nama : Tn. D No.Registe:532350
Umur : 23 tahun Ruangan: IGD
No Tanggal / Implementasi Respon hasil Paraf
DX jam
1,2 22-12- 1. Mempertahankan kepala dan leher1. Tidak terjadi peningkatan Kelompok
2011 tetap posisi datar atau tengah ( JVP pada aliran darah ke 9
Pukul posisi supinasi). otak
20.35 wib
2. Melakukan perikan terapi O2 2. O2 diberikan sebanyak 3
1 22-12- liter dengan menggunakan
2011 nasal kanul, CRT > 3detik
Pukul
20.35 wib 3. Daerah hidung dan telinga
3. Melakukan tampon pada daerah tertutup tampon dan tidak
hisdung dan telinga meneluarkan darah
1,2 22-12-
2011 4. Gudele
Pukul telah terpasang, jalan nafas
20.38 wib4. Melakukan pemasangan gudle dan tidak tertutup dan
penghisapan lendir lendirberkurang
1 22-12-
2011 5. Darah diambil sebanyak 3cc
Pukul 5. Melakukan pengambilan sample dan lansung dikirim
20.40 wib darah( hematologi) kelaboratorium

1,2 22-12- 6. frekuensi pernafasan 32


2011 x/menit
Pukul 6. Mengobservasi fungsi pernafasan,
20.45wib catat frekuensi pernafasan, dispnea
atau perubahan tanda-tanda vital. Kelompok
1 22-12- 7. Luka pasien bersih dan luka 9
2011 7. Membersihkan luka dan melakukan klien dijahit sehingga darah
Pukul Heacting tidak kelua
20.50 wib

2 22-12- 8. pergerakan dinding dada


2011 dalam pernapasan cepat dan
Pukul 8. Mengevaluasi pergerakan dinding dangkal
21.00 wib dada dan auskultasi bunyinya.
9. Klien tampak lemah
dan nilai GCS =7( E2 V2
2` 22-12- 9. Mengevaluasi nilai GCS klien dan M3)
2011 keadaan umum klien
Pukul
21.35 wib 10. NGT terpasang, cairan
10. Melakukan pemasangan NGT lambung keluar melalui
2 22-12- NGT berwarna kehitaman
2011
Pukul 11. kateter terpasang, urine
22.00 wib11. Melakukan pemasangan kateter keluar dengan jumlah urine
300 cc
2 22-12-
2011
Pukul 12. Memantau TTV klien 12. TD : 100/60 mmhg,
21.20 wib a. N : 102 x/menit
b. S : 37,8 C
2 22-12- c. RR : 32 x/menit
2011
Pukul 13. Pupil isokor dan miosis
21.30 wib
13. Evaluasi keadaan pupil, ukuran,
2 22-12- ketajaman, kesamaan antara kiri
2011 dan kanan dan reaksi terhadap
Pukul rangsangan cahaya 14. Obat telah masuk
22.50 wib melalui IV dan tidak ada
14. Kolaborasi dalam pemberian obat reaksi alergi.
yaitu
Dexa metahson 3x1 (IV)
2 22-12- Citicolin 3x1 amp (IV) Asam
2011 transamin 3x1 amp (IV)
pukul Vit k 3x1 amp (IV)
23.00 wib Keterolac 3x1 amp (IV)

15. Keluarga bisa menerima


2 22-12- 15. Menganjurkan keluarga unruk dan akan melakukannya
2011 membatasi pengunjung dan tidak
Pukul terlalu ribut dalam ruangan
23.30 wib 16. TD : 100/60 mmhg,
16. Memantau TTV klien a. N : 90 x/menit
b. S : 37 C
c. RR : 28 x/menit
17. erdapat Edema Serebral pada
bagian kepala

22-12- 17. Mengantar Pasien melakukan CT-


2011 Scan
Pukul
1,2 23.30 wib

22-12-
2011
Pukul
23.30 wib

22-12-
1,2 2012
Pukul
03.00 wib

1,2
6. Evaluasi Keperawatan

Nama : Tn. D No.Register : 532350


Umur : 23 tahun Ruangan: IGD

No Tanggal / Catatan perkembangan Paraf


Jam
1. 22-12- S :- Kelompok 9
2011
O : - Suara napas stridor
- Masih terdapat sumbatan berupa darah dan lendir
- pasien terlihat sesak napas

A : masalah teratasi sebagian ((nomor 5)


yaitu : pemasangan gudele)

P : intervensi di lanjutkan ( ( nomor 1, 2, 3, dan 4 ) yaitu :


1. Pertahankan kepala dan leher tetap posisi datar atau
tengah ( posisi supinasi) Kelompok 9
2. observasi fungsi pernafasan, catat frekuensi
pernafasan,dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
3. Evaluasi pergerakan dinding dada dan auskultasi
bunyinya.
4. Berikan terapi O2)

S : - keluarga mengatakan anaknya belum sadar


O : - tingkat kesadaran sopor
2. 22-12- - GCS = 7 ( E2 V2 M3)
2011 - TD: 100/60 mmhg , N: 90 x/menit, S : 37 C
RR : 28 x/menit

A : masalah teratasi sebagian (( nomor 5, 6, 8, dan 9 )


yaitu
5. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
6. Anjurkan pada keluarga batasi pengunjung
8. Lakukan pemasangan NGT
9. Lakukan pemasangan kateter)

P : intervensi di lanjutkan ( ( nomor 1, 2, 3, 4 dan 7 )


1. Evaluasi GCS klien
2. pantau TTV klien
3. Pertahankan kepala dan leher tetap posisi datar ( posisi
supinasi)
4. Evaluasi keadaan pupil, ukuran, ketajaman , kesamaan
antara kiri dan kanan dan reaksi terhadap
rangsangan cahaya
7. Pemberian terapi O2 dan penghisapan lender )
Diposkan oleh Aprinosi Iswahyudi Putra di 09.28

Anda mungkin juga menyukai