Anda di halaman 1dari 39

A.

Kegawatan Medis karena Gangguan Jalan Nafas Bawah


1. Bronchospasm
a. Definisi Bronchospasm
Bronkospasme atau kejang bronkial adalah penyempitan tiba-tiba otot-otot
di dinding bronkiolus . Hal ini disebabkan oleh pelepasan ( degranulasi ) zat
dari sel mast atau basofil di bawah pengaruh anaphylatoxins . Hal ini
menyebabkan kesulitan bernapas yang bisa sangat ringan sampai berat.
Bronkospasme merupakan karakteristik utama dari asma dan bronkitis.
Bronchospasms muncul sebagai fitur asma kronis, bronkitis, anafilaksis, sebagai
efek samping yang mungkin timbul dari obat pilocarpine (yang digunakan untuk
mengobati penyakit akibat konsumsi nightshade yang mematikan serta hal-hal
lainnya) dan juga sebagai efek samping untuk beta blockers (digunakan untuk
mengobati hipertensi) dan obat-obatan lainnya. Hal ini dapat hadir sebagai tanda
giardiasis.

b. Etiologi Bronchospasm
Bronkospasme disebabkan oleh sejumlah alasan. Penyakit saluran napas
bawah seperti pneumonia, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dan emfisema dapat menyebabkan kontraksi dari saluran udara. Penyebab lainnya
adalah efek samping dari dekongestan topikal
seperti oxymetazoline dan Fenilefrin . Kedua obat ini mengaktifkan reseptor
adrenergik Alpha 1 yang mengakibatkan penyempitan otot polos. Non-
selektif Beta blockers diketahui menyebabkan bronkospasme juga. Beta blockers
mengikat ke reseptor β2 dan menghalangi aksi Epinefrin dan Norepinefrin dari
mengikat ke reseptor, menyebabkan sesak napas.
Beberapa hal lain yang dapat menyebabkan bronchospasms adalah
mengkonsumsi makanan, obat-obatan, gigitan serangga atau sengatan ketika
seseorang alergi, dan kadar hormon berfluktuasi, terutama pada wanita. Beberapa
alergen yang lebih umum adalah makanan seperti telur, susu, kacang tanah,
walnut, dan kacang-kacangan pohon lainnya, ikan, terutama kerang, kedelai dan
gandum, gigitan serangga dan sengatan, terutama sengatan lebah, dan obat-obatan
lainnya, terutama penisilin.

c. Patofisiologi
Bronkospasme dapat terjadi setelah stimulus mekanik (intubasi) atau
stimulus kimiawi (anafilaktosin) mengaktifkan sel mast, eosinofil, limfosit, sel
epitel dan makrofag untuk melepaskan berbagai mediator, yaitu histamin, untuk
menyempitkan otot polos bronkus. Saluran napas yang mengalami hiper-iritasi
sering mengalami edema dan menghasilkan lendir, yang selanjutnya
meningkatkan resistensi saluran napas.
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel
yang merupakan salah satu penyebab bronkospasme. Inflamasi kronis
mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat
mengaktivasi sel target di saluran napas dan mengakibatkan bronkokontriksi,
kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mucus, dan stimulasi refleks
saraf. Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi,
kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekenisme saraf.
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat
berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan
respon bronkus biasanya mengikuti paparan allergen, infeksi virus pada saluran
napas atas atau paparan bahan kimia. Hiperresponsif bronkus dihubungkan
dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaaan histopatologi pada penderita
asma didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi
secret yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk
terjadinya respon inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel
eosinofil dan limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid (Caggiano, 2017).

d. Gejala Klinis
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase
inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi
mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada
beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan
sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat
atau tiba-tiba menjadi lebih berat.
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing
tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila
dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan
terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama sekali. Batuk hampir selalu ada,
bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental
dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini
didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung
yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat
(takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada
fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2,
tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan
memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta
meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut
nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam
darah akibat respons hipoksemia.
e. Tatalaksana
Non farmaka
1) Pengendalian lingkungan
2) Menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara hewan berbulu,
memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk
anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
3) Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
4) Menghindari makanan berpotensi alergen
5) Edukasi
Terapi Suportif
1) Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
2) Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi
karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
3) Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada
asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi
pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah
cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Terapi farmaka
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu (Aggarwal et al, 2018).

2. Aspirasi Benda Asing Trakeobronkial


a. Definisi
Aspirasi benda asing di traktus trakeobronkial adalah masuknya benda yang
berasal dari luar tubuh ke dalam saluran traktus trakeobronkial. Penyebab
terjadinya aspirasi benda asing di traktus trakeobronkial dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke
dalam saluran napas antara lain: faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kondisi sosial, tempat tinggal), faktor kegagalan mekanisme proteksi yang normal
(keadaan tidur, kesadaran menurun alkoholisme dan epilepsi), faktor fisik, faktor
dental, faktor kejiwaan (emosi, gangguan psikis,) faktor ukuran, bentuk dan sifat
dari benda asing, yaitu organik (kacang-kacangan, tulang) dan anorganik (pluit
mainan, jarum, peniti, manik-manik, kancing, mainan, kerikil), dan faktor
kecerobohan (Soepardi et al., 2014).

b. Etiologi
Benda asing di trakea yang paling sering adalah makanan (terutama kacang
dan biji-bijian), gigi, peralatan dental, dan instrumen medis. Anak sering
memasukkan mainan kecil, permen atau kacang ke dalam mulutnya. Anak usia 1-
3 tahun belum memiliki gigi yang sempurna sehingga makanan yang dikunyah
tidak sempurna dan dapat teraspirasi ke saluran napas trakea. Pada dewasa,
aspirasi benda asing di trakea dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada
refleks menelan, gangguan refleks batuk, kondisi retardasi mental, pengaruh
alkohol atau sedatif, dan lain sebagainya (Flint, 2010).
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan mempunyai sifat
higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengembang oleh air, serta menyebabkan
iritasi pada mukosa. Mukosa bronkus menjadi edema, dan meradang, serta dapat
pula terjadi jaringan granulasi di sekitar benda asing, sehingga gejala sumbatan
bronkus makin menghebat. Akibatnya timbul gejala karingotrakeobronkitis,
toksemia, batuk dan demam yang tidak terus-menerus (irreguler). Benda asing
anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih ringan, dan lebih mudah
didiagnosis dengan pemeriksaan radiologik, karena umumnya benda asing
anorganik bersifat radioopak. Benda asing yang terbuat dari metal dan tipis,
seperti peniti, jarum, dapat masuk ke dalam bronkus yang lebih distal dengan
gejala batuk spasmodik. Benda asing yang lama berada dibronkus dapat
menyebabkan perubahan patologik jaringan sehingga menimbulkan komplikasi,
antara lain penyakit paru kronik supuratif, bronkiektasis, abses paru dan
jaringan granulasi yang menutupi benda asing (Clarke, 2014).

c. Gejala Klinis
Benda asing di trakea memiliki gejala yang serupa dengan benda asing di
laring namun tanpa suara parau dan afonia, di samping gejala batuk tiba-tiba yang
berulang disertai rasa tercekik dan rasa tersumbat di tenggorok, terdapat triad
klinis yaitu audible slap, palpatory thud, dan asthmatoid wheeze . Benda asing
trakea yang masih dapat bergerak, pada saat benda itu sampai di karina, dengan
timbulnya batuk, benda asing itu akan terlempar ke laring. Sentuhan benda asing
itu pada pita suara dapat terasa merupakan getaran di daerah tiroid, yang disebut
oleh Jackson sebagai palpatory thud, atau dapat didengar dengan stetoskop di
daerah tiroid, yang disebut audible slap, yang terjadi akibat kontak benda asing
dengan trakea. Selain itu, terdapat juga gejala suara serak, dispneu dan sianosis,
tergantung pada besar benda asing serta lokasinya. Gejala palpatory thud serta
audible slap lebih jelas teraba atau terdengar bila pasien tidur telentang dengan
mulut terbuka saat batuk, sedangkan gejala mengi (asthmatoid wheeze) dapat
didengar pada saat pasien membuka mulut (Soepardi et al., 2014).
Benda asing di bronkus pada umumnya lebih banyak masuk ke dalam
bronkus kanan karena hampir merupakan garis lurus dengan trakea, sedangkan
bronkus kiri membuat sudut dengan trakea. Pada fase pulmonum, benda asing di
bronkus dapat bergerak ke perifer. Pada fase ini udara yang masuk ke segmen paru
terganggu secara progresif dan terdengar ekspirasi memanjang dan disertai
dengan mengi pada auskultasi. Derajat sumbatan bronkus dan gejala yang
ditimbulkannya bervariasi, tergantung pada bentuk, ukuran, dan sifat benda asing
dan dapat timbul emfisema, atelektasis, drowned lung, serta abses paru.
Berdasarkan klasifikasi Jackson, sumbatan bronkus dibagi menjadi 4 tingkat,
yaitu:
1) Sumbatan sebagian dari bronkus (by-pass valve obstruction = katup bebas)
Pada sumbatan ini, inspirasi dan ekspirasi masih dapat terjadi tetapi
salurannya sempit sehingga terdengar bunyi napas mengi seperti pada pasien
asma bronkial.
2) Sumbatan seperti pentil. Ekspirasi terhambat atau katup satu arah (expiratory
check-valve obstruction = katup penghambat ekspirasi)
Pada waktu inspirasi, udara napas masih dapat lewat tetapi pada ekspirasi
terhambat karena kontraksi otot bronkus. Bentuk sumbatan ini menahan udara
di bagian distal sumbatan dan proses yang berulang pada tiap pernapasan
mengakibatkan terjadinya emfisema paru obstruktif.
3) Sumbatan seperti pentil yang lain ialah inspirasi yang terhambat (inspiratory
check-valve obstruction = katup penghambat inspirasi)
Pada keadaan ini, inspirasi terhambat sedangkan ekspirasi masih dapat
terlaksana. Udara yang terdapat di bagian distal sumbatan akan diabsorpsi
sehingga terjadi atelektasis paru.
4) Sumbatan total (stop valve obstruction = katup tertutup)
Pada keadaan ini, tidak terdapat sama sekali celah untuk masuk/keluar udara,
sehingga inspirasi dan ekspirasi tidak dapat terlaksana. Akibatnya terjadi
atelektasis paru.

Gambar 7. Sumbatan benda asing di dalam bronkus. (A) Sumbatan sebagian; (B) Sumbatan
seperti pentil, dimana pada inspirasi udara inspirasi dapat melalui benda asing, tetapi pada
ekspirasi lumen menyempit sebagian sehingga udara ekspirasi tidak dapat keluar; (C) Sumbatan
total, udara inspirasi dan ekspirasi tidak dapat masuk/keluar.

d. Tatalaksana
Prinsip penanganan benda asing di saluran napas adalah mengeluarkan
benda asing tersebut dengan segera dalam kondisi paling maksimal dan trauma
paling minimal. Penentuan cara pengambilan benda asing dipengaruhi oleh faktor
misalnya umur penderita, keadaan umum, lokasi, dan jenis benda asing, tajam atau
tidaknya benda asing, dan lamanya benda asing berada di saluran napas.
Sebenarnya tidak ada kontraindikasi absolut untuk tindakan bronkoskopi, selama
hal itu merupakan tindakan untuk menyelamatkan nyawa (life saving). Pada
keadaan tertentu dimana telah terjadi komplikasi radang saluran napas akut,
tindakan dapat ditunda sementara dilakukan pengobatan medikamentosa untuk
mengatasi infeksi. Pada aspirasi benda asing organik yang dalam waktu singkat
dapat menyebabkan sumbatan total, maka harus segera dilakukan bronkoskopi,
bahkan jika perlu tanpa anestesi umum (Jackson, 1950).
Benda asing di trakea dikeluarkan dengan bronkoskopi. Tindakan ini
dilakukan segera dengan pasien tidur telentang dalam posisi Trendelenburg,
supaya benda asing tidak lebih turun ke dalam bronkus. Pada waktu bronkoskopi,
benda asing dipegang dengan cunam yang sesuai dengan benda asing itu dan
ketika dikeluarkan melalui laring, diusahakan sumbu panjang benda asing segaris
dengan sumbu panjang trakea jadi pada sumbu vertikal, untuk memudahkan
pengeluaran benda asing melalui rima glotis. Jika tidak terdapat bronkoskopi,
dapat dilakukan trakeostomi dan benda asing dikeluarkan dengan cunam atau alat
pengisap melalui trakeostomi jika mungkin (Soepardi et al., 2014).
Pada kasus benda asing di bronkus, dapat dikeluarkan melalui bronkoskopi
dengan menggunakan bronkoskop kaku atau serat optik dengan memakai cunam
yang sesuai dengan benda asing itu. Tindakan bronkoskopi harus segera dilakukan
terutama benda asing organik. Benda asing yang tidak dapat dikeluarkan dengan
bronkoskopi seperti benda asing tajam, tidak rata dan tersangkut pada jaringan,
dapat dilakukan servikotomi atau torakotomi untuk mengeluarkan benda asing
tersebut. Pemberian antibiotika dan kortikosteroid tidak rutin diberikan setelah
tindakan endoskopi pada ekstraksi benda asing. Pada kasus pneumonia, bronkitis
purulenta, dan atelektasis, dapat dilakukan fisioterapi dada. Pasien dipulangkan
24 jam setelah tindakan jika paru bersih dan tidak demam. Foto toraks pasca
bronkoskopi dibuat hanya bila gejala pulmonum tidak menghilang. Gejala
persisten seperti batuk, demam, kongesti paru, obstruksi jalan napas atau
odinofagia perlu ditelaah lebih lanjut (Soepardi et al., 2014).

3. Bronchopneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme,
namun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk.6 Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga
meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau
pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di
bronkiolus dengan pola bercak – bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut
bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang sering
dijumpai pada anak – anak (Price dan Wilson, 2006).
b. Etiologi
Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan
penelitian pada pneumonia anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak
32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang
terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial Virus
( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma
pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi
bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun.
Namun, secara klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan
pneumonia virus. Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok
usia yang bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negar
maju (Raharjoe, 2010).
USIA ETIOLOGI YANG ETIOLOGI YANG
SERING JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus
pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Sitomegalo
Virus
4 bulan – 5 tahun BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial
virus
5 tahun – remaja BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
Virus
Virus Varisela-Zoster

c. Patogenesis
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme
pertahanan awal yang berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier
aparatus dan mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi
mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol
yang infeksius, dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulomonal. Dari
ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi agen – agen infeksius adalah dua cara
tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara
hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan
ukuran 0,5 – 2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol
dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas ( hidung, orofaring ) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret orofaring terjadi pada
orang normal waktu tidur ( 50% ) juga pada keadaan penurunan kesadaran. Sekret
8 – 10
dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 /mL,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret ( 0,001 – 1,1 mL ) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan saluran
napas bagian bawah, tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis
mikroorganisme yang sama (Priyanti et al., 2002).

d. Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan
mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
 Gambaran infeksi umum :
o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o sakit kepala
o gelisah
o malaise
o penurunan nafsu makan
o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
 Gambaran gangguan respiratori:
o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o napas cuping hidung
o penggunaan otat pernafasan tambahan
o air hunger
o merintih
o sianosis

Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian


atas selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila
terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah
terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara
napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan
bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat
jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan
(Danusantosos, 2000).

e. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis,
distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang
lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar
tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah pengobatan kasual dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat
merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera
diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan
antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada
kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan
klinis pasien serta faktor epidiemiologis (WHO, 2009).
B. Kegawatan Medis Karena Gangguan Pernafasan
1. Gagal Nafas
a. Definisi
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh
yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal Pada gagal nafas, terjadi kegegalan
sistem pulmoner untuk memenuhi kebutuhan eliminasi CO2 dan oksigenasi
darah.
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2
arterial (PaCO2) > 45 mmHg , kecuali apabila peningkatan PCO2 disebabkan
oleh kompensasi dari alkalosis metabolik. Secara umum gagal nafas dibedakan
menjadi gagal nafas tipe hiperkapnia dan gagal nafas tipe hipoksemia.
Pasien dengan gagal nafas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial
(PaCO2) yang abnormal tinggi. (PaCO2 > 45 mmHg). Sedangkan pada gagal
nafas hipoksemia didapatkan PO2 arterial (PaO2) yang rendah (PaO2 < 60
mmHg) dengan PaCO2 yang normal atau rendah (Setiati, 2014).

b. Etiologi
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan
komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral
ventilasi di medula oblongata.
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan
yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar,
intersisiel, dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis
antara udara di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal
nafas tipe hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial,
pneumonia viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit
paru intersisial.
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu
dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau
kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti
kifoskloiosis (Guyton, 2013).

c. Patofisiologi
1) Patofisiologi Gagal Nafas Hipoksemia
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama,
yaitu berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah
vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke
paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru,
maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan
parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik
(PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi
rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga
alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas
PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.

a) Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O,
dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap
peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2.
Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang
menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R

FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan


barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan,
menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan
ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai
perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2
meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia
akan terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada
ketinggian, atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap
campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini
juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena
penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal pada
hipoksemia karena hipoventilasi.

b) Pencampuran Vena (Venous Admixture)


Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi,
yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas
alveolar. Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan
hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam
pernapasan udara ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya
sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek
berada pada posisi tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya
pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-
left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,
bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah
percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi
karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus
sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit jantung congenital
dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang
berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau
kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat
dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2
jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk
mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat
O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka
dikatakan terjadi pirau kanan ke kiri.

c) Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion


mismatching = V/Q mismatching)
Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah
vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang
terjadi pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru
mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah
yang menuju ke area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang
lain mendapat ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional
yang relative sedikit.
Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif,
akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal
tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian
V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali
kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi
atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma
dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana variasi pada resistensi
jalan napas cenderung mendistribusikan ventilasi secara tidak rata.
Penyakit vascular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi
perfusi berubah. Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah
PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara mudah
dengan pemberian oksigen tambahan.
d) Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)
Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang
jarang. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan
normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang
melintasi kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan
alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir
terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk
mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus. Keterbatasan difusi
akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat rendah sehingga
difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler melambat atau jika
waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan
dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai
penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary
alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan
mengandung protein dan lipid.

2) Patofisiologi Gagal Nafas Hiperkapnia


Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk
mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi
yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea)
disertai dengan penurunan pH yang abnormal. Kegagalan ventilasi biasanya
disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmoner. Hiperkapnik
yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat disebabkan karena
penekanan dorongan pernapasan sentral atau gangguan pada respon
ventilasi.
Gagal nafas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi
elveolar. Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan pH
kurang dari 7,35. Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut ventilation”
berkurang secara tidak wajar atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha
memberikan kompensasi bagi peningkatan produksi CO2 atau pembentukan
rongga tidak berfungsi pada pertukaran gas (dead space).
d. Manifestasi Klinis
1) Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hipoksemia
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari
gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial
meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus,
diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi.
Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi
hipoksemia dan kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada
pasien yang fungsi glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon
ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di
ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar
membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi
hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke
jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan
pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam
laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang
ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental,
terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang
lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,
seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.
Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan
terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti
hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia,
vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark,
aritmia dan gagal jantung.

2) Manifestasi Klinis Gagal Nafas Hiperkapnia


Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.
Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang
terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas
dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat
karena hiperkapnia akut.
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama
sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai
kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah
lebih berkorelasi dengan perubahan status mental . Gejala hiperkapnia dapat
tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi
ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki
ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit
dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea,
bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas
hiperkapnea.

e. Penatalaksanaan
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas
tersebut (Latief et al., 2009).
1) Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi
kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih
belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple
airway maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift),
biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil
menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi
apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus,
dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring,
pipa nasofaring atau pipa trakea.

2) Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang
diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen
tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping
oksigen, dan ventilasi semenit pasien.
Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu
tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan
wasapada terhadap efek samping.

3) Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to
nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan
ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi
IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan
ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang
ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas
sebanyak sesuai yang diatur.

4) Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya
diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar
pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama
ventilator.
5) Terapi farmakologi
- Bronkodilator
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
- Antikolinergik
- Teofilin
- Kortikosteroid

6) Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Tindakan terapi
untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat
saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik

2. Acute Lung Injury dan Acute Respiratory Distress Syndrome


a. Definisi
ALI merupakan sindrom dengan dasar kriteria diagnostik hipoksemia dan
tampilan radiologi klasik (Laycock, 2010). ARDS merupakan derajat yang lebih
parah dari ALI. Kriteria diagnosa ARDS sama seperti pada ALI hanya saja
terdapat perbedaan pada rasio antara tekanan parsial oksigen (PaO2) dengan
fraksi inspirasi oksigen (FiO2 ) < 200 mmHg (Bakowitz, 2012; Urden, Critical
Care Nursing: Diagnosis and Management., 2010).
ALI dan ARDS merupakan suatu penyakit yang pada gambaran foto thorax
didapatkan infiltrat bilateral paru dan terjadi dengan onset akut, terdapat edema
paru, oksigenasi sistemik yang buruk, dan tidak terdapat hipertensi atrium kiri
(Keith Ruskin, 2010).
b. Etiologi
Terjadinya ALI dan ARDS disebabkan adanya cedera secara langsung
(direct) maupun tidak langsung (indircect). Secara langsung, cedera yang terjadi
langsung mengenai area paru-paru. Sedangkan secara tidak langsung, cedera
terjadi di tempat lain di tubuh dan mediator kimia yang dikeluarkan selama
cedera masuk melalui aliran darah ke paru-paru. Secara indirect sepsis
merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan produknya
(terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan
merupakan faktor risiko terbesar kejadian ALI dan ARDS, insiden sepsis
menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%. Secara direct, aspirasi dapat
menyebabkan teradinya ALI dan ARDS. Aspirasi cairan lambung menduduki
tempat kedua sebagai faktor risiko ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung
dengan pH yang tinggi dapat menyerang langsung epitel pada paru.

Faktor resiko terjadinya ALI & ARDS


Direct Injury Indirect Injury
Aspirasi Sepsis
Menghirup zat toksik Trauma non torak
Pneumonia Bypass jantung paru
Luka memar di paru Pankreatitis yang parah
Embolisme
Disseminated intravascular
coagulation (DIC)
(Bakowitz, 2012; Urden, 2010)

c. Patofisiologi
a. Exsudative Phase
Fase ini terjadi dalam 72 jam pertama setelah gangguan awal.
Mediator kimia akibat injury dilepaskan kedalam kapiler paru yang hasilnya
akan meningkatkan permeabilitas membran kapiler, yang mengakibatkan
terjadinya shift cairan ke interstitial. Kerusakan kapiler paru juga
menyebabkan perkembangan mikrotrombi dan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis. Cairan yang terus masuk ke dalam interstitial mengakibatkan
limfatik tidak mampu untuk memindahkan cairan tersebut yang akibatnya
akan semakin meningkatnya edema interstitial. Selanjutnya edema akan
menyebabkan penekanan pada alveolus yang cairan akan masuk pula
kedalam alveolus, dan terjadilah edema pada alveolus.
Edema alveolus menyebabkan pembengkakan pada sel epitel
alveolus dan semakin terjadi peningkatan cairan di alveolus. Selanjutnya sel
epitel akan mengalami kerusakan dan kemudian akan mengganggu produksi
surfaktan. Kerusakan sel epitel dan penurunan produksi surfaktan
selanjutnya akan mengakibatkan alveolus kolaps dan terjadi hipoksemia.
Peningkatan kerja pernapasan terjadi karena adanya peningkatan resistensi
jalan napas, menurunnya FRC (Functional Residual Capacity) dan
menurunnya compliance paru akibat atelektasis dan penekanan pada jalan
napas yang selanjutnya membuat pasien kelelahan. Hipertensi pulmonalis
dapat terjadi karena kerusakan pada kapiler pulmonalis dan terbentuknya
mikrotrombi yang semakin meningkatkan “dead space” pada alveolus yang
semakin memperburuk kondisi hipoksemia serta meningkatkan afterload
pada ventrikel kanan yang dapat menurunkan cardiac output (CO)
b. Fibropoliferative Phase
Fase ini dimulai sebagai gangguan penyembuhan di paru-paru. Pada
alveolus akan terbentuk jaringan fibrosa. Alveolus akan membesar dan
mempunyai bentuk yang tidak teratur karena terbentuknya jaringan parut
yang selanjutkan akan menjadi kaku sehinggasemakin meningkatkan
hipertensi pulmonalis dan memperparah hipoksemia.
c. Resolution Phase
Fase akhir ALI ini merupakan fase pemulihan yang terjadi selama
beberapa minggu. Pada fase ini terjadi perbaikan baik struktur maupun
pembuluh darah dalam membentuk kembali fungsi membran kapiler dan
alveolus. Struktur fibrotik yang kaku dapat dilihat pada pemeriksaan X-Ray
seperti sarang madu (temuan klasik). Struktur ini merupakan bukti bahwa
tubuh berusaha melakukan kompensasi. Kondisi patologis ini masih dapat
kembali jika kondisi pasien membaik dan penyebabnya teratasi. Pasien pada
kondisi ini membutuhkan support ventilasi jangka panjang sampai
kerusakan paru teratasi (Urden, Critical Care Nursing: Diagnosis and
Management., 2010). Pada fase ini baru ditemukan adanya peningkatan
PCO2 yang memperlihatkan kondisi asidosis (Laycock, 2010; Urden, 2014;
Urden, 2010).

d. Manifestasi Klinis
 Tanda awal (early) : terjadinya hiperventilasi sehingga pada fase awal
menunjukkan kondisi alkalosis, hal tersebut karena CO2 yang larut dalam
plasma sehingga belum ditemukan kondisi asidosis dan hasil pemeriksaan
X-Ray paru normal, hal ini disebabkan karena perubahan pada paru belum
terjadi dalam 24 jam pertama . Fase lanjut X-Ray ditemukan bilateral
infiltrate yang menutupi lapang paru.
 Hipoksemia : dyspnea, nafas pendek dan takipnea dengan penggunaan otot-
otot pernafasan
 Kulit sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen
 Respirasi cepat dengan retraksi intercostal dan suprasternal hanya pada
inspirasi saja.
 Auskultasi :
- Bilateral crackles
- Ronchi kasar dan wheezing tergantung banyaknya cairan yang masuk
ke dalam alveoli
- Pada beberapa kasus pink frothy sputum atau sputum berwarna
kemerahan yang merupakan tanda klasik adanya edema paru
 AGD : respiratori alkalosis pada fase awal & asidosis pada fase lanjut
 Fase lanjut ditemukan adanya hipotensi dan penurunan cardiac output (CO)
(Laycock, 2010; Urden, 2014; Urden, 2010).

Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit


predisposisi, derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungi organ lain selain
paru. Gejala yang dikeluhkan berupa sesak napas, membutuhkan usaha lebih
untuk menarik napas, dan hipoksemia. Infiltrat bilateral pada foto polos
toraks menggambarkan edema pulmonal. Multiple organ dysfunction
syndrome (MODS) dapat terjadi karena abnormalitas biokimia sistemik.
Adult respiratory distress syndrome terjadi dalam hitungan jam-hari setelah
onset kondisi predisposisi. Batasan waktu ARDS ini adalah satu minggu dari
munculnya onset baru atau dari memburuknya suatu gejala pernafasan
(CHEST, 2016).

e. Penatalaksanaan
1) Terapi Non Farmakologis
Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal rendah
(4-6 mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini dimaksudkan
untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat
FiO2 aman, menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O
atau di bawah titik refleksi dari kurva pressure-volume) dan menyesuaikan
(I:E) rasio inspirasi: ekspirasi (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu
inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnea yang diperbolehkan) (Haro C,
2013).

Ventilasi Volume Tidal Rendah


Volume tidal merupakan volume udara yang dihantarkan oleh
ventilasi mekanis setiap sekali bernapas. Umumnya diatur antara 5-15
ml/kgBB, tergantung compliance, resistensi dan jenis kelainan paru.
Pemakaian volume tidal rendah pada pasien ARDS mentoleransi terjadinya
hiperkapnea dengan membiarkan PaCO2 tinggi > 45 mmHg, tetapi PaO2
normal dengan caramenurunkan volume tidal yaitu 4-6 mL/kgBB yang ini
bertujuan menghindari terjadinya barotrauma (Haro C, 2013).
Positive End Expiratory Pressure (PEEP)
Merupakan komponen penting ventilasi mekanis pada ARDS yang
di setting pada 5-12 cm H2O. Positive end expiratory pressure dapat
menurunkan shunt intrapulmoner, meningkatkan oksigenasi arteri dan
meningkatkan bagian paru yang tidak terisi udara sehingga dapat
mengakibatkan perbaikan oksigenasi (Girard TD, 2007).
Ventilasi Dengan Posisi Prone
Ventilasi dengan posisi prone dapat dilakukan pada pasien ARDS
walaupun belum direkomendasikan secara rutin karena masih kurangnya
data yang mendukung hal ini. Namun pada 70% pasien ARDS, posisi prone
dapat memperbaiki oksigenasi, menghasilkan peningkatan Pa02 yang
signifikan, memperbaiki bersihan sekret dan dapat dipertimbangkan jika
pasien membutuhkan PEEP >12 cm H2O dan FiO2 >0,60 dan paling baik
dilakukan pada ARDS dengan onset kurang dari 36 jam. Mekanisme yang
terjadi pada posisi prone adalah terjadinya rekrutmen paru dorsal bersamaan
dengan kolapsnya paru ventral sehingga perfusi lebih mudah didistribusikan
(Amin Z, 2009).
2) Terapi Farmakologis
Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat
terbatas. Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak
memang bermanfaat, namun penggunaanya pada orang dewasa masih
kontroversi. Studi review yang dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan
manfaat penggunaan surfaktan pada ARDS dewasa.
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa
randomized controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan
kortikosteroid sedini mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat.
Kortikosteroid seperti methiprednisolon diberikan dengan dosis
1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu ditapering off. Penggunaan
kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator dalam
hitungan hari, walaupun penggunaan kortikosteroid tidak terbukti
menurunkan angka mortalitas.
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2)
mungkin dapat menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan
dengan menurunkan impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami
perbaikan oksigenasi dengan iNO. Penambahan almitrin intravena
mempunyai dampak aditif pada perbaikan oksigenasi. Sementara pemberian
PGI2 dengan dosis sampai 50 ng/kg.bb/menit ternyata memperbaiki
oksigenasi sama efektifnya dengan iNO pada pasien ARDS (Peter JV,
2008).

3. TRALI (Transfusion Related Acute Lung Injury)


a. Definisi
Istilah TRALI (Transfusion Related Acute Lung Injury) digunakan pertama
kali oleh Popovsky et al. yang merujuk pada edema paru sebagai komplikasi
transfusi darah . Kelompok kerja yang membahas SHOT (Serious Hazards of
Transfusion) mendefinisikan TRALI sebagai “dispnea akut dengan hipoksia dan
infiltrat paru bilateral yang terjadi selama atau 6 jam setelah transfusi, yang
bukan karena kelebihan beban sirkulasi (circulatory overload) atau penyebab
lain”. Definisi ini tidak termasuk pasien dengan cedera paru akut (ALI) yang
sudah ada sebelumnya serta kasus yang terjadi setelah 6 jam (Kim and Na, 2015).

b. Patogenesis
Mekanisme yang tepat dari TRALI tidak sepenuhnya dipahami, tetapi
mungkin multifaktorial dan dapat bervariasi dari pasien ke pasien lain. Immune
antibody-mediated mechanism lebih sering terlibat, yaitu sampai 85% kasus.
Pada sebagian kecil kasus antibodi tidak ditemukan, sehingga timbullah
hipotesis two hit mechanism. Data dari hewan uji dan data klinis terbaru
menunjukkan bahwa kedua mekanisme tersebut dapat terjadi. TRALI mungkin
merupakan hasil akhir dari priming neutrofil, aktivasi neutrofil, cedera endotel,
serta kebocoran kapiler, yang dapat dipicu oleh antibodi dan atau faktor biologis
lain pada pasien dengan atau tanpa faktor yang mendasarinya (Triulzi, 2009).
1) Antibody-Mediated TRALI
Antibody-mediated mechanism menyatakan bahwa transfer pasif
dari leukoagglutinating antibody melalui plasma yang berisi komponen
darah menyebabkan terjadinya ikatan antigen-antibodi pada neutrofil
resipien. Ikatan antigen-antibodi tersebut mengakibatkan agregasi
neutrofil di kapiler paru. Hal ini menyebabkan aktivasi neutrofil yang
selanjutnya menyebabkan pelepasan produk bioaktif neutrofil, yang terdiri
dari Reactive Oxygen Species (ROS) dan protease yang dapat merusak
endotelium vaskular paru dan mengakibatkan kebocoran kapiler, edema
paru, dan TRALI.
Pada 65-90% kejadian TRALI, antibodi leukosit dapat ditemukan
pada darah donor. Cognate antigen dapat ditemukan pada neutrofil
resipien pada sebagian besar kasus. Antibodi yang terlibat dalam TRALI
umumnya adalah HLA class I, HLA class II, dan neutrofil-specific
antibody. Sebagian besar antibodi tersebut berasal dari wanita multipara
yang mengalami alloimunisasi selama kehamilannya. Antibodi HLA class
I dan HLA class II pada wanita akan meningkat sebanding dengan jumlah
paritas. Sedangkan alloimunisasi pada neutrophil-specific antigen lebih
jarang terjadi. HLA class II antigen juga didapatkan pada monosit dan ikut
menyebabkan terjadinya TRALI.
2) Two Hit Mechanism
Meskipun ada bukti eksperimental maupun klinis yang mendukung
antibody mediated TRALI, tetapi ada beberapa hal yang tidak sesuai
dengan teori tersebut, yaitu :
- Antibodi tidak ditemukan pada sekitar 15 % kasus.
- Meskipun HLA antibody biasa ditemukan pada pendonor wanita,
tetapi hanya sebagian kecil yang menyebabkan timbulnya TRALI.
- Tidak semua pasien yang mendapat transfusi dari donor dengan
antibodi HLA mengalami TRALI.
- Pasien yang mengalami TRALI tidak selalu memiliki cognate antigen
terhadap antibodi leukosit yang ditemukan pada donor.
Untuk menjawab ketidaksesuaian tersebut, muncullah teori two hit
mechanism.
Hipotesis two hit mechanism yang diusulkan oleh Silliman et al,
menyebutkan bahwa TRALI terjadi karena dua proses yang saling
berurutan. Proses pertama adalah kondisi klinis yang menjadi faktor
predisposisi, misalnya infeksi berat, operasi, atau trauma. Kondisi tersebut
akan menyebabkan aktivasi pada endotel vaskular paru, yang selanjutnya
menyebabkan pelepasan sitokin dan peningkatan jumlah molekul adhesi
pada permukaan endotel. Hasilnya adalah terbentuknya primed neutrofil
yang berikatan dengan endotel. Sedangkan proses kedua adalah transfusi
lipid biologis aktif, sitokin, maupun leukoagglutinating antibody. Proses
tersebut akan mengakibatkan aktivasi neutrofil yang terdapat pada endotel
dan menyebabkan pelepasan ROS serta protease yang selanjutnya dapat
menyebabkan kebocoran kapiler paru, edema paru, dan TRALI (Fung and
Silliman, 2009).

c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TRALI terjadi selama 6 jam setelah transfusi. Pada
sebagian besar kasus gejala mulai timbul pada 1-2 jam pertama setelah transfusi.
Gejala yang sering timbul adalah dispnea, takipnea, sianosis, hipotensi dan
demam. Dari auskultasi paru didapatkan suara nafas vesikuler yang menurun dan
ronkhi basah. Yang perlu diperhatikan adalah tidak terdapatnya tanda circulatory
overload, misalnya peningkatan JVP dan gallop S3. Gambaran radiologis
umumnya menunjukkan adanya edema paru dengan infiltrat difus (Voelker and
Spieth, 2019).

d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TRALI pada umumnya berupa terapi suportif. Jika
dicurigai terjadi TRALI, maka transfusi harus segera dihentikan. Pada kasus-
kasus yang parah mungkin memerlukan pemberian cairan intravena,
vasopressor, dan ventilasi mekanik. Pemberian diuretik justru dapat
menyebabkan hipovolemia dan harus dihindari karena edema paru pada TRALI
bukan disebabkan oleh kelebihan volume cairan. Namun, pemberian diuretik
dapat dipertimbangkan apabila TRALI terjadi bersamaan dengan TACO.
Pemberian steroid juga sering dilakukan karena asumsi adanya penyebab
imunologi TRALI, tetapi tidak terdapat bukti adanya manfaat setelah pemberian
(Thachil et al., 2009).

4. Efusi Pleura
a. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama
dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih
rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

b. Etiologi
1) Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Penyebab efusi pleura jenis transudatif adalah : gangguan kardiovaskuler,
hipoalbuminemia, hidrothorax hepatik, Meig’s syndrome, dialysis
peritoneal.
2) Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura.
Penyebab efusi pleura jenis eksudatif adalah : pleuritis, infeksi TBC,
neoplasma, penyakit kolagen, efusi parapneumonik.
3) Hemothoraks, di mana adanya darah dalam carian rongga pleura. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya
diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga
kriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu
pun dari tiga kriteria ini :
a) Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
b) LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
c) LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH
yang normal didalam serum.

c. Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis
yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu
terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis
dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan
yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya .
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan
cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya efusi pleura yaitu :
1) Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2) Penurunan tekanan kavum pleura
3) Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh


peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk
pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh
darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya
pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan
masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada
atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien
emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain
bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom
nefrotik, dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan.
Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan
ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering
adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis
eksudativa tuberkulosa Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai
transudatif atau eksudatif .

d. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak , berupa rasa
penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak,
berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit
penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia),
panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak
riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Pemeriksaan Fisik.
1) Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
2) Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
3) Perkusi : Pekak pada perkusi
4) Auskultasi : Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak
dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit
terdengar krepitasi pleura.

Garis melengkung (garis Ellis Damoiseu)


e. Penatalaksanaan
Terapi penyakit dasarnya antibiotika dan terapi paliatif (Efusi pleura
haemorrhagic). Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan
pengobatan terhadap penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga
menyebabkan penekanan maupun sesak nafas, mak perlu dilakukan tindakan
drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul). Cairan bisa dialirkan melalui
prosedur torakosentesis, dimana sebuah jarum (atau selang) dimasukkan ke
dalam rongga pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5
liter. Jika jumlah cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan
sebuah selang melalui dinding dada. Pada empiema diberikan antibiotik dan
dilakukan pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul
di dalam bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan
sebagian dari tulang rusuk harus diangkat sehingga bias dipasang selang yang
lebih besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan
terluar dari pleura (dekortikasi). Pada tuberkulosis atau koksidioidomikosis
diberikan terapi antibiotik jangka panjang. Pengumpulan cairan karena tumor
pada pleura sulit untuk diobati karena cairan cenderung untuk terbentuk kembali
dengan cepat. Pengaliran cairan dan pemberian obat antitumor kadang
mencegah terjadinya pengumpulan cairan lebih lanjut. Jika pengumpulan cairan
terus berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga pleura. Seluruh cairan dibuang
melalui sebuah selang, lalu dimasukkan bahan iritan (misalnya larutan atau
serbuk doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan iritan ini akan menyatukan
kedua lapisan pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang tempat pengumpulan
cairan tambahan. Jika darah memasuki rongga pleura biasanya dikeluarkan
melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk
membantu memecahkan bekuan darah (misalnya streptokinase dan
streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat
dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

A Mackay, M. A. (2009). Acute Lung Injury And Acute Respiratory Distress Syndrome.
Continuing Education In Anesthesia, Critical Pain and Care , 152.

Aggarwal, B., Mulgirigama, A. and Berend, N. (2018) ‘Exercise-induced bronchoconstriction :


prevalence , pathophysiology , patient impact , diagnosis and management’, npj Primary Care
Respiratory Medicine. Springer US, (December 2017). doi: 10.1038/s41533-018-0098-2.
Amin Z, P. J. (2009). Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Balai Penerbit FK UI.

Bakowitz, M. B. (2012). Acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome in the
injured patient. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine .

Caggiano, S. (2017) ‘Exercise-Induced Bronchospasm and Allergy’, 5(June), pp. 1–8. doi:
10.3389/fped.2017.00131.

CHEST. (2016). Acute Respiratory Distress Syndrome. Indonesan Journal Of Critical And
Emergency Medicine , 54.
Clarke R. (2014). Diseases of the Ear, Nose, and Throat 11th ed. UK : Wiley Blackwell.
Danusantosos H. (2000). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates.

Elizabeth R, J. B. (2010). Acute Lung Injury: Epidemiology, Pathogenesis, and Teeatmet. Journal
Of Aerosol Medicine And Pulmonary Drug Delivery .

Fung YL, Silliman CC. (2009) .The Role of Neutrophils in the Pathogenesis of Transfusion-
Related Acute Lung Injury (TRALI). Transfus Med Rev. 2009 October ; 23(4): 266–283.
Girard TD, B. G. (2007). Mechanical ventilation in ARDS. A state-of-the-art review. Chest .

Guyton,A.C. , dan John E. Hall. (2013). Insufiensi Pernapasan-Patofisiologi, Diagnosis, Terapi


Oksigen. Dalam : Arthur C. Guyton dan John E. Hall (ed.) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 12. Jakarta : EGC. Pp. 556-559
Halim H. (2009). Penyakit – Penyakit Pleura Dalam : Aru W. Sundoyo, Bambang S., Idrus Alwi,
dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing: 2329-2338

Haro C, M.-L. I. (2013). Acute respiratory distress syndromeprevention and early recognition.
Annals of Intensive Care .

Holinger LD, Sheri A, Poznanovic. (2010). Foreign Bodies of the Airway and Esophagus. Dalam:
Flint PW. Cummings Otolaryngology - Head and Neck Surgery E-Book 5th Ed. Philadelphia
: Mosby.
Kim, J. and Na, S. (2015) ‘Transfusion-related acute lung injury; clinical perspectives’, 68(2), pp.
101–105.

Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. (2009). Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Laycock, H. R. (2010). Acute Lung Injury And Acute Respiratory Distress Syndrome. British
Journal of Medical Practitioners .

Light RW. 2007. Pleural Diseases 5th ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins : 27:
257:355-368

Price S, Wilson LM. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Vol 2. 6th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. (2002). Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.
Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. (2010). Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. VI. Jakarta: InternaPublishing.

Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. (2014). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.

Tim Adaptasi Indonesia. (2009). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta: World
Health Organization.

Triulzi DJ. (2009). Transfusion-Related Acute Lung Injury: Current Concepts for the Clinician.
Anesth Analg 2009;108:770 –6.
Urden, L. D. (2010). Critical Care Nursing: Diagnosis and Management. Elsevier .
Urden, L. D. (2014). Critical Care Nursing: Diagnosis and Management. Elsevier .
Voelker, M. T. and Spieth, P. (2019) ‘Blood transfusion associated lung injury’, 11(8), pp. 3609

Ware LB, M. M. (2000). The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med. 3615. doi:
10.21037/jtd.2019.06.61.

Anda mungkin juga menyukai