b. Etiologi Bronchospasm
Bronkospasme disebabkan oleh sejumlah alasan. Penyakit saluran napas
bawah seperti pneumonia, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dan emfisema dapat menyebabkan kontraksi dari saluran udara. Penyebab lainnya
adalah efek samping dari dekongestan topikal
seperti oxymetazoline dan Fenilefrin . Kedua obat ini mengaktifkan reseptor
adrenergik Alpha 1 yang mengakibatkan penyempitan otot polos. Non-
selektif Beta blockers diketahui menyebabkan bronkospasme juga. Beta blockers
mengikat ke reseptor β2 dan menghalangi aksi Epinefrin dan Norepinefrin dari
mengikat ke reseptor, menyebabkan sesak napas.
Beberapa hal lain yang dapat menyebabkan bronchospasms adalah
mengkonsumsi makanan, obat-obatan, gigitan serangga atau sengatan ketika
seseorang alergi, dan kadar hormon berfluktuasi, terutama pada wanita. Beberapa
alergen yang lebih umum adalah makanan seperti telur, susu, kacang tanah,
walnut, dan kacang-kacangan pohon lainnya, ikan, terutama kerang, kedelai dan
gandum, gigitan serangga dan sengatan, terutama sengatan lebah, dan obat-obatan
lainnya, terutama penisilin.
c. Patofisiologi
Bronkospasme dapat terjadi setelah stimulus mekanik (intubasi) atau
stimulus kimiawi (anafilaktosin) mengaktifkan sel mast, eosinofil, limfosit, sel
epitel dan makrofag untuk melepaskan berbagai mediator, yaitu histamin, untuk
menyempitkan otot polos bronkus. Saluran napas yang mengalami hiper-iritasi
sering mengalami edema dan menghasilkan lendir, yang selanjutnya
meningkatkan resistensi saluran napas.
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel
yang merupakan salah satu penyebab bronkospasme. Inflamasi kronis
mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat
mengaktivasi sel target di saluran napas dan mengakibatkan bronkokontriksi,
kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mucus, dan stimulasi refleks
saraf. Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi,
kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekenisme saraf.
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat
berbagai rangsangan dan menyebabkan penyempitan bronkus. Peningkatan
respon bronkus biasanya mengikuti paparan allergen, infeksi virus pada saluran
napas atas atau paparan bahan kimia. Hiperresponsif bronkus dihubungkan
dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaaan histopatologi pada penderita
asma didapatkan infiltrasi sel radang, kerusakan epitel bronkus, dan produksi
secret yang sangat kental. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk
terjadinya respon inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel
eosinofil dan limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus.
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting
pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama
pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak
sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid (Caggiano, 2017).
d. Gejala Klinis
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase
inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi
mengi (wheezing), batuk yang disertai serangn napas yang kumat-kumatan. Pada
beberapa penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan
sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat
atau tiba-tiba menjadi lebih berat.
Wheezing terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing
tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila
dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, wheezing akan
terdengar lebih lemah atau tidak terdengar sama sekali. Batuk hampir selalu ada,
bahkan seringkali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain itu, makin kental
dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Posisi ini
didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping hidung
yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat
(takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada
fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2,
tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan
memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta
meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut
nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam
darah akibat respons hipoksemia.
e. Tatalaksana
Non farmaka
1) Pengendalian lingkungan
2) Menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara hewan berbulu,
memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk
anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
3) Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
4) Menghindari makanan berpotensi alergen
5) Edukasi
Terapi Suportif
1) Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
2) Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi
karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
3) Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea
serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada
asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi
pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah
cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Terapi farmaka
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu (Aggarwal et al, 2018).
b. Etiologi
Benda asing di trakea yang paling sering adalah makanan (terutama kacang
dan biji-bijian), gigi, peralatan dental, dan instrumen medis. Anak sering
memasukkan mainan kecil, permen atau kacang ke dalam mulutnya. Anak usia 1-
3 tahun belum memiliki gigi yang sempurna sehingga makanan yang dikunyah
tidak sempurna dan dapat teraspirasi ke saluran napas trakea. Pada dewasa,
aspirasi benda asing di trakea dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada
refleks menelan, gangguan refleks batuk, kondisi retardasi mental, pengaruh
alkohol atau sedatif, dan lain sebagainya (Flint, 2010).
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan mempunyai sifat
higroskopik, mudah menjadi lunak dan mengembang oleh air, serta menyebabkan
iritasi pada mukosa. Mukosa bronkus menjadi edema, dan meradang, serta dapat
pula terjadi jaringan granulasi di sekitar benda asing, sehingga gejala sumbatan
bronkus makin menghebat. Akibatnya timbul gejala karingotrakeobronkitis,
toksemia, batuk dan demam yang tidak terus-menerus (irreguler). Benda asing
anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih ringan, dan lebih mudah
didiagnosis dengan pemeriksaan radiologik, karena umumnya benda asing
anorganik bersifat radioopak. Benda asing yang terbuat dari metal dan tipis,
seperti peniti, jarum, dapat masuk ke dalam bronkus yang lebih distal dengan
gejala batuk spasmodik. Benda asing yang lama berada dibronkus dapat
menyebabkan perubahan patologik jaringan sehingga menimbulkan komplikasi,
antara lain penyakit paru kronik supuratif, bronkiektasis, abses paru dan
jaringan granulasi yang menutupi benda asing (Clarke, 2014).
c. Gejala Klinis
Benda asing di trakea memiliki gejala yang serupa dengan benda asing di
laring namun tanpa suara parau dan afonia, di samping gejala batuk tiba-tiba yang
berulang disertai rasa tercekik dan rasa tersumbat di tenggorok, terdapat triad
klinis yaitu audible slap, palpatory thud, dan asthmatoid wheeze . Benda asing
trakea yang masih dapat bergerak, pada saat benda itu sampai di karina, dengan
timbulnya batuk, benda asing itu akan terlempar ke laring. Sentuhan benda asing
itu pada pita suara dapat terasa merupakan getaran di daerah tiroid, yang disebut
oleh Jackson sebagai palpatory thud, atau dapat didengar dengan stetoskop di
daerah tiroid, yang disebut audible slap, yang terjadi akibat kontak benda asing
dengan trakea. Selain itu, terdapat juga gejala suara serak, dispneu dan sianosis,
tergantung pada besar benda asing serta lokasinya. Gejala palpatory thud serta
audible slap lebih jelas teraba atau terdengar bila pasien tidur telentang dengan
mulut terbuka saat batuk, sedangkan gejala mengi (asthmatoid wheeze) dapat
didengar pada saat pasien membuka mulut (Soepardi et al., 2014).
Benda asing di bronkus pada umumnya lebih banyak masuk ke dalam
bronkus kanan karena hampir merupakan garis lurus dengan trakea, sedangkan
bronkus kiri membuat sudut dengan trakea. Pada fase pulmonum, benda asing di
bronkus dapat bergerak ke perifer. Pada fase ini udara yang masuk ke segmen paru
terganggu secara progresif dan terdengar ekspirasi memanjang dan disertai
dengan mengi pada auskultasi. Derajat sumbatan bronkus dan gejala yang
ditimbulkannya bervariasi, tergantung pada bentuk, ukuran, dan sifat benda asing
dan dapat timbul emfisema, atelektasis, drowned lung, serta abses paru.
Berdasarkan klasifikasi Jackson, sumbatan bronkus dibagi menjadi 4 tingkat,
yaitu:
1) Sumbatan sebagian dari bronkus (by-pass valve obstruction = katup bebas)
Pada sumbatan ini, inspirasi dan ekspirasi masih dapat terjadi tetapi
salurannya sempit sehingga terdengar bunyi napas mengi seperti pada pasien
asma bronkial.
2) Sumbatan seperti pentil. Ekspirasi terhambat atau katup satu arah (expiratory
check-valve obstruction = katup penghambat ekspirasi)
Pada waktu inspirasi, udara napas masih dapat lewat tetapi pada ekspirasi
terhambat karena kontraksi otot bronkus. Bentuk sumbatan ini menahan udara
di bagian distal sumbatan dan proses yang berulang pada tiap pernapasan
mengakibatkan terjadinya emfisema paru obstruktif.
3) Sumbatan seperti pentil yang lain ialah inspirasi yang terhambat (inspiratory
check-valve obstruction = katup penghambat inspirasi)
Pada keadaan ini, inspirasi terhambat sedangkan ekspirasi masih dapat
terlaksana. Udara yang terdapat di bagian distal sumbatan akan diabsorpsi
sehingga terjadi atelektasis paru.
4) Sumbatan total (stop valve obstruction = katup tertutup)
Pada keadaan ini, tidak terdapat sama sekali celah untuk masuk/keluar udara,
sehingga inspirasi dan ekspirasi tidak dapat terlaksana. Akibatnya terjadi
atelektasis paru.
Gambar 7. Sumbatan benda asing di dalam bronkus. (A) Sumbatan sebagian; (B) Sumbatan
seperti pentil, dimana pada inspirasi udara inspirasi dapat melalui benda asing, tetapi pada
ekspirasi lumen menyempit sebagian sehingga udara ekspirasi tidak dapat keluar; (C) Sumbatan
total, udara inspirasi dan ekspirasi tidak dapat masuk/keluar.
d. Tatalaksana
Prinsip penanganan benda asing di saluran napas adalah mengeluarkan
benda asing tersebut dengan segera dalam kondisi paling maksimal dan trauma
paling minimal. Penentuan cara pengambilan benda asing dipengaruhi oleh faktor
misalnya umur penderita, keadaan umum, lokasi, dan jenis benda asing, tajam atau
tidaknya benda asing, dan lamanya benda asing berada di saluran napas.
Sebenarnya tidak ada kontraindikasi absolut untuk tindakan bronkoskopi, selama
hal itu merupakan tindakan untuk menyelamatkan nyawa (life saving). Pada
keadaan tertentu dimana telah terjadi komplikasi radang saluran napas akut,
tindakan dapat ditunda sementara dilakukan pengobatan medikamentosa untuk
mengatasi infeksi. Pada aspirasi benda asing organik yang dalam waktu singkat
dapat menyebabkan sumbatan total, maka harus segera dilakukan bronkoskopi,
bahkan jika perlu tanpa anestesi umum (Jackson, 1950).
Benda asing di trakea dikeluarkan dengan bronkoskopi. Tindakan ini
dilakukan segera dengan pasien tidur telentang dalam posisi Trendelenburg,
supaya benda asing tidak lebih turun ke dalam bronkus. Pada waktu bronkoskopi,
benda asing dipegang dengan cunam yang sesuai dengan benda asing itu dan
ketika dikeluarkan melalui laring, diusahakan sumbu panjang benda asing segaris
dengan sumbu panjang trakea jadi pada sumbu vertikal, untuk memudahkan
pengeluaran benda asing melalui rima glotis. Jika tidak terdapat bronkoskopi,
dapat dilakukan trakeostomi dan benda asing dikeluarkan dengan cunam atau alat
pengisap melalui trakeostomi jika mungkin (Soepardi et al., 2014).
Pada kasus benda asing di bronkus, dapat dikeluarkan melalui bronkoskopi
dengan menggunakan bronkoskop kaku atau serat optik dengan memakai cunam
yang sesuai dengan benda asing itu. Tindakan bronkoskopi harus segera dilakukan
terutama benda asing organik. Benda asing yang tidak dapat dikeluarkan dengan
bronkoskopi seperti benda asing tajam, tidak rata dan tersangkut pada jaringan,
dapat dilakukan servikotomi atau torakotomi untuk mengeluarkan benda asing
tersebut. Pemberian antibiotika dan kortikosteroid tidak rutin diberikan setelah
tindakan endoskopi pada ekstraksi benda asing. Pada kasus pneumonia, bronkitis
purulenta, dan atelektasis, dapat dilakukan fisioterapi dada. Pasien dipulangkan
24 jam setelah tindakan jika paru bersih dan tidak demam. Foto toraks pasca
bronkoskopi dibuat hanya bila gejala pulmonum tidak menghilang. Gejala
persisten seperti batuk, demam, kongesti paru, obstruksi jalan napas atau
odinofagia perlu ditelaah lebih lanjut (Soepardi et al., 2014).
3. Bronchopneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme,
namun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk.6 Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga
meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau
pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di
bronkiolus dengan pola bercak – bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut
bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang sering
dijumpai pada anak – anak (Price dan Wilson, 2006).
b. Etiologi
Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan
penelitian pada pneumonia anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak
32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang
terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial Virus
( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma
pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi
bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun.
Namun, secara klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan
pneumonia virus. Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok
usia yang bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negar
maju (Raharjoe, 2010).
USIA ETIOLOGI YANG ETIOLOGI YANG
SERING JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus
pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Sitomegalo
Virus
4 bulan – 5 tahun BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial
virus
5 tahun – remaja BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
Virus
Virus Varisela-Zoster
c. Patogenesis
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme
pertahanan awal yang berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier
aparatus dan mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme
untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi
mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol
yang infeksius, dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulomonal. Dari
ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi agen – agen infeksius adalah dua cara
tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara
hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan
ukuran 0,5 – 2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol
dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas ( hidung, orofaring ) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret orofaring terjadi pada
orang normal waktu tidur ( 50% ) juga pada keadaan penurunan kesadaran. Sekret
8 – 10
dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 /mL,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret ( 0,001 – 1,1 mL ) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan saluran
napas bagian bawah, tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis
mikroorganisme yang sama (Priyanti et al., 2002).
d. Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan
mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gambaran infeksi umum :
o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o sakit kepala
o gelisah
o malaise
o penurunan nafsu makan
o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
Gambaran gangguan respiratori:
o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o napas cuping hidung
o penggunaan otat pernafasan tambahan
o air hunger
o merintih
o sianosis
e. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis,
distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang
lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar
tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah pengobatan kasual dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat
merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera
diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan
antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada
kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan
klinis pasien serta faktor epidiemiologis (WHO, 2009).
B. Kegawatan Medis Karena Gangguan Pernafasan
1. Gagal Nafas
a. Definisi
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh
yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal Pada gagal nafas, terjadi kegegalan
sistem pulmoner untuk memenuhi kebutuhan eliminasi CO2 dan oksigenasi
darah.
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2
arterial (PaCO2) > 45 mmHg , kecuali apabila peningkatan PCO2 disebabkan
oleh kompensasi dari alkalosis metabolik. Secara umum gagal nafas dibedakan
menjadi gagal nafas tipe hiperkapnia dan gagal nafas tipe hipoksemia.
Pasien dengan gagal nafas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial
(PaCO2) yang abnormal tinggi. (PaCO2 > 45 mmHg). Sedangkan pada gagal
nafas hipoksemia didapatkan PO2 arterial (PaO2) yang rendah (PaO2 < 60
mmHg) dengan PaCO2 yang normal atau rendah (Setiati, 2014).
b. Etiologi
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan
komponen sistem pernapasan. Gagal nafas dapat diakibatkan kelainan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau mekanisme pengendalian sentral
ventilasi di medula oblongata.
Pasien dengan gagal nafas tipe hipoksemia sering disebabkan oleh kelainan
yang mempengaruhi parenkim paru meliputi jalan nafas, ruang alveolar,
intersisiel, dan sirkulasi pulmoner. Perubahan hubungan anatomis dan fisiologis
antara udara di alveolus dan darah di kapiler paru dapat menyebabkan gagal
nafas tipe hipoksemia. Contoh penyakitnya antara lain : Penumonia bakterial,
pneumonia viral, aspirasi isi lambung, ARDS, emboli paru, asma, dan penyakit
paru intersisial.
Sedangkan pada gagal nafas tipe hiperkapnia sering disebabkan oleh
kelainan yang mempengaruhi komponen non-paru dari sistem pernafasan yaitu
dinding dada, otot pernafasan, atau batang otak. Penyebabnya antara lain
kelemahan otot pernafasan, penyakit SSP yang menganggu sistem ventilasi, atau
kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada seperti
kifoskloiosis (Guyton, 2013).
c. Patofisiologi
1) Patofisiologi Gagal Nafas Hipoksemia
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama,
yaitu berkurangnya PO2 alveolar dan meningkatnya pengaruh campuran darah
vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke
paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru,
maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan
parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah vena sistemik
(PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi
rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga
alveolar, maka PO2 = PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas
PO2 arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.
a) Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O,
dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap
peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2.
Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang
menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
e. Penatalaksanaan
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas
tersebut (Latief et al., 2009).
1) Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi
kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih
belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple
airway maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift),
biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil
menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi
apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus,
dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring,
pipa nasofaring atau pipa trakea.
2) Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang
diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen
tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping
oksigen, dan ventilasi semenit pasien.
Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu
tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan
wasapada terhadap efek samping.
3) Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to
nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan
ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi
IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan
ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang
ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas
sebanyak sesuai yang diatur.
4) Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya
diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar
pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama
ventilator.
5) Terapi farmakologi
- Bronkodilator
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
- Antikolinergik
- Teofilin
- Kortikosteroid
6) Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Tindakan terapi
untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat
saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik
c. Patofisiologi
a. Exsudative Phase
Fase ini terjadi dalam 72 jam pertama setelah gangguan awal.
Mediator kimia akibat injury dilepaskan kedalam kapiler paru yang hasilnya
akan meningkatkan permeabilitas membran kapiler, yang mengakibatkan
terjadinya shift cairan ke interstitial. Kerusakan kapiler paru juga
menyebabkan perkembangan mikrotrombi dan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis. Cairan yang terus masuk ke dalam interstitial mengakibatkan
limfatik tidak mampu untuk memindahkan cairan tersebut yang akibatnya
akan semakin meningkatnya edema interstitial. Selanjutnya edema akan
menyebabkan penekanan pada alveolus yang cairan akan masuk pula
kedalam alveolus, dan terjadilah edema pada alveolus.
Edema alveolus menyebabkan pembengkakan pada sel epitel
alveolus dan semakin terjadi peningkatan cairan di alveolus. Selanjutnya sel
epitel akan mengalami kerusakan dan kemudian akan mengganggu produksi
surfaktan. Kerusakan sel epitel dan penurunan produksi surfaktan
selanjutnya akan mengakibatkan alveolus kolaps dan terjadi hipoksemia.
Peningkatan kerja pernapasan terjadi karena adanya peningkatan resistensi
jalan napas, menurunnya FRC (Functional Residual Capacity) dan
menurunnya compliance paru akibat atelektasis dan penekanan pada jalan
napas yang selanjutnya membuat pasien kelelahan. Hipertensi pulmonalis
dapat terjadi karena kerusakan pada kapiler pulmonalis dan terbentuknya
mikrotrombi yang semakin meningkatkan “dead space” pada alveolus yang
semakin memperburuk kondisi hipoksemia serta meningkatkan afterload
pada ventrikel kanan yang dapat menurunkan cardiac output (CO)
b. Fibropoliferative Phase
Fase ini dimulai sebagai gangguan penyembuhan di paru-paru. Pada
alveolus akan terbentuk jaringan fibrosa. Alveolus akan membesar dan
mempunyai bentuk yang tidak teratur karena terbentuknya jaringan parut
yang selanjutkan akan menjadi kaku sehinggasemakin meningkatkan
hipertensi pulmonalis dan memperparah hipoksemia.
c. Resolution Phase
Fase akhir ALI ini merupakan fase pemulihan yang terjadi selama
beberapa minggu. Pada fase ini terjadi perbaikan baik struktur maupun
pembuluh darah dalam membentuk kembali fungsi membran kapiler dan
alveolus. Struktur fibrotik yang kaku dapat dilihat pada pemeriksaan X-Ray
seperti sarang madu (temuan klasik). Struktur ini merupakan bukti bahwa
tubuh berusaha melakukan kompensasi. Kondisi patologis ini masih dapat
kembali jika kondisi pasien membaik dan penyebabnya teratasi. Pasien pada
kondisi ini membutuhkan support ventilasi jangka panjang sampai
kerusakan paru teratasi (Urden, Critical Care Nursing: Diagnosis and
Management., 2010). Pada fase ini baru ditemukan adanya peningkatan
PCO2 yang memperlihatkan kondisi asidosis (Laycock, 2010; Urden, 2014;
Urden, 2010).
d. Manifestasi Klinis
Tanda awal (early) : terjadinya hiperventilasi sehingga pada fase awal
menunjukkan kondisi alkalosis, hal tersebut karena CO2 yang larut dalam
plasma sehingga belum ditemukan kondisi asidosis dan hasil pemeriksaan
X-Ray paru normal, hal ini disebabkan karena perubahan pada paru belum
terjadi dalam 24 jam pertama . Fase lanjut X-Ray ditemukan bilateral
infiltrate yang menutupi lapang paru.
Hipoksemia : dyspnea, nafas pendek dan takipnea dengan penggunaan otot-
otot pernafasan
Kulit sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen
Respirasi cepat dengan retraksi intercostal dan suprasternal hanya pada
inspirasi saja.
Auskultasi :
- Bilateral crackles
- Ronchi kasar dan wheezing tergantung banyaknya cairan yang masuk
ke dalam alveoli
- Pada beberapa kasus pink frothy sputum atau sputum berwarna
kemerahan yang merupakan tanda klasik adanya edema paru
AGD : respiratori alkalosis pada fase awal & asidosis pada fase lanjut
Fase lanjut ditemukan adanya hipotensi dan penurunan cardiac output (CO)
(Laycock, 2010; Urden, 2014; Urden, 2010).
e. Penatalaksanaan
1) Terapi Non Farmakologis
Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal rendah
(4-6 mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini dimaksudkan
untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat
FiO2 aman, menghindari barotrauma (tekanan saluran napas <35cmH2O
atau di bawah titik refleksi dari kurva pressure-volume) dan menyesuaikan
(I:E) rasio inspirasi: ekspirasi (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu
inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnea yang diperbolehkan) (Haro C,
2013).
b. Patogenesis
Mekanisme yang tepat dari TRALI tidak sepenuhnya dipahami, tetapi
mungkin multifaktorial dan dapat bervariasi dari pasien ke pasien lain. Immune
antibody-mediated mechanism lebih sering terlibat, yaitu sampai 85% kasus.
Pada sebagian kecil kasus antibodi tidak ditemukan, sehingga timbullah
hipotesis two hit mechanism. Data dari hewan uji dan data klinis terbaru
menunjukkan bahwa kedua mekanisme tersebut dapat terjadi. TRALI mungkin
merupakan hasil akhir dari priming neutrofil, aktivasi neutrofil, cedera endotel,
serta kebocoran kapiler, yang dapat dipicu oleh antibodi dan atau faktor biologis
lain pada pasien dengan atau tanpa faktor yang mendasarinya (Triulzi, 2009).
1) Antibody-Mediated TRALI
Antibody-mediated mechanism menyatakan bahwa transfer pasif
dari leukoagglutinating antibody melalui plasma yang berisi komponen
darah menyebabkan terjadinya ikatan antigen-antibodi pada neutrofil
resipien. Ikatan antigen-antibodi tersebut mengakibatkan agregasi
neutrofil di kapiler paru. Hal ini menyebabkan aktivasi neutrofil yang
selanjutnya menyebabkan pelepasan produk bioaktif neutrofil, yang terdiri
dari Reactive Oxygen Species (ROS) dan protease yang dapat merusak
endotelium vaskular paru dan mengakibatkan kebocoran kapiler, edema
paru, dan TRALI.
Pada 65-90% kejadian TRALI, antibodi leukosit dapat ditemukan
pada darah donor. Cognate antigen dapat ditemukan pada neutrofil
resipien pada sebagian besar kasus. Antibodi yang terlibat dalam TRALI
umumnya adalah HLA class I, HLA class II, dan neutrofil-specific
antibody. Sebagian besar antibodi tersebut berasal dari wanita multipara
yang mengalami alloimunisasi selama kehamilannya. Antibodi HLA class
I dan HLA class II pada wanita akan meningkat sebanding dengan jumlah
paritas. Sedangkan alloimunisasi pada neutrophil-specific antigen lebih
jarang terjadi. HLA class II antigen juga didapatkan pada monosit dan ikut
menyebabkan terjadinya TRALI.
2) Two Hit Mechanism
Meskipun ada bukti eksperimental maupun klinis yang mendukung
antibody mediated TRALI, tetapi ada beberapa hal yang tidak sesuai
dengan teori tersebut, yaitu :
- Antibodi tidak ditemukan pada sekitar 15 % kasus.
- Meskipun HLA antibody biasa ditemukan pada pendonor wanita,
tetapi hanya sebagian kecil yang menyebabkan timbulnya TRALI.
- Tidak semua pasien yang mendapat transfusi dari donor dengan
antibodi HLA mengalami TRALI.
- Pasien yang mengalami TRALI tidak selalu memiliki cognate antigen
terhadap antibodi leukosit yang ditemukan pada donor.
Untuk menjawab ketidaksesuaian tersebut, muncullah teori two hit
mechanism.
Hipotesis two hit mechanism yang diusulkan oleh Silliman et al,
menyebutkan bahwa TRALI terjadi karena dua proses yang saling
berurutan. Proses pertama adalah kondisi klinis yang menjadi faktor
predisposisi, misalnya infeksi berat, operasi, atau trauma. Kondisi tersebut
akan menyebabkan aktivasi pada endotel vaskular paru, yang selanjutnya
menyebabkan pelepasan sitokin dan peningkatan jumlah molekul adhesi
pada permukaan endotel. Hasilnya adalah terbentuknya primed neutrofil
yang berikatan dengan endotel. Sedangkan proses kedua adalah transfusi
lipid biologis aktif, sitokin, maupun leukoagglutinating antibody. Proses
tersebut akan mengakibatkan aktivasi neutrofil yang terdapat pada endotel
dan menyebabkan pelepasan ROS serta protease yang selanjutnya dapat
menyebabkan kebocoran kapiler paru, edema paru, dan TRALI (Fung and
Silliman, 2009).
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TRALI terjadi selama 6 jam setelah transfusi. Pada
sebagian besar kasus gejala mulai timbul pada 1-2 jam pertama setelah transfusi.
Gejala yang sering timbul adalah dispnea, takipnea, sianosis, hipotensi dan
demam. Dari auskultasi paru didapatkan suara nafas vesikuler yang menurun dan
ronkhi basah. Yang perlu diperhatikan adalah tidak terdapatnya tanda circulatory
overload, misalnya peningkatan JVP dan gallop S3. Gambaran radiologis
umumnya menunjukkan adanya edema paru dengan infiltrat difus (Voelker and
Spieth, 2019).
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan TRALI pada umumnya berupa terapi suportif. Jika
dicurigai terjadi TRALI, maka transfusi harus segera dihentikan. Pada kasus-
kasus yang parah mungkin memerlukan pemberian cairan intravena,
vasopressor, dan ventilasi mekanik. Pemberian diuretik justru dapat
menyebabkan hipovolemia dan harus dihindari karena edema paru pada TRALI
bukan disebabkan oleh kelebihan volume cairan. Namun, pemberian diuretik
dapat dipertimbangkan apabila TRALI terjadi bersamaan dengan TACO.
Pemberian steroid juga sering dilakukan karena asumsi adanya penyebab
imunologi TRALI, tetapi tidak terdapat bukti adanya manfaat setelah pemberian
(Thachil et al., 2009).
4. Efusi Pleura
a. Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama
dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih
rendah yaitu < 1,5 gr/dl.
b. Etiologi
1) Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Penyebab efusi pleura jenis transudatif adalah : gangguan kardiovaskuler,
hipoalbuminemia, hidrothorax hepatik, Meig’s syndrome, dialysis
peritoneal.
2) Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura.
Penyebab efusi pleura jenis eksudatif adalah : pleuritis, infeksi TBC,
neoplasma, penyakit kolagen, efusi parapneumonik.
3) Hemothoraks, di mana adanya darah dalam carian rongga pleura. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya
diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga
kriteria berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu
pun dari tiga kriteria ini :
a) Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
b) LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
c) LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH
yang normal didalam serum.
c. Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga
pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis
yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu
terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis
dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan
yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya .
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya
kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan
cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan
dengan terjadinya efusi pleura yaitu :
1) Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2) Penurunan tekanan kavum pleura
3) Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.
d. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak , berupa rasa
penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak,
berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit
penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia),
panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak
riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
Pemeriksaan Fisik.
1) Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
2) Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
3) Perkusi : Pekak pada perkusi
4) Auskultasi : Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi
atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas
bronkus.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak
dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati
daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit
terdengar krepitasi pleura.
A Mackay, M. A. (2009). Acute Lung Injury And Acute Respiratory Distress Syndrome.
Continuing Education In Anesthesia, Critical Pain and Care , 152.
Bakowitz, M. B. (2012). Acute lung injury and the acute respiratory distress syndrome in the
injured patient. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine .
Caggiano, S. (2017) ‘Exercise-Induced Bronchospasm and Allergy’, 5(June), pp. 1–8. doi:
10.3389/fped.2017.00131.
CHEST. (2016). Acute Respiratory Distress Syndrome. Indonesan Journal Of Critical And
Emergency Medicine , 54.
Clarke R. (2014). Diseases of the Ear, Nose, and Throat 11th ed. UK : Wiley Blackwell.
Danusantosos H. (2000). Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
Elizabeth R, J. B. (2010). Acute Lung Injury: Epidemiology, Pathogenesis, and Teeatmet. Journal
Of Aerosol Medicine And Pulmonary Drug Delivery .
Fung YL, Silliman CC. (2009) .The Role of Neutrophils in the Pathogenesis of Transfusion-
Related Acute Lung Injury (TRALI). Transfus Med Rev. 2009 October ; 23(4): 266–283.
Girard TD, B. G. (2007). Mechanical ventilation in ARDS. A state-of-the-art review. Chest .
Haro C, M.-L. I. (2013). Acute respiratory distress syndromeprevention and early recognition.
Annals of Intensive Care .
Holinger LD, Sheri A, Poznanovic. (2010). Foreign Bodies of the Airway and Esophagus. Dalam:
Flint PW. Cummings Otolaryngology - Head and Neck Surgery E-Book 5th Ed. Philadelphia
: Mosby.
Kim, J. and Na, S. (2015) ‘Transfusion-related acute lung injury; clinical perspectives’, 68(2), pp.
101–105.
Latief SA, Kartini AS, M Ruswan D. (2009). Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Laycock, H. R. (2010). Acute Lung Injury And Acute Respiratory Distress Syndrome. British
Journal of Medical Practitioners .
Light RW. 2007. Pleural Diseases 5th ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins : 27:
257:355-368
Price S, Wilson LM. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Vol 2. 6th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. (2002). Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.
Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. (2010). Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. (2014). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. VI. Jakarta: InternaPublishing.
Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. (2014). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Tim Adaptasi Indonesia. (2009). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta: World
Health Organization.
Triulzi DJ. (2009). Transfusion-Related Acute Lung Injury: Current Concepts for the Clinician.
Anesth Analg 2009;108:770 –6.
Urden, L. D. (2010). Critical Care Nursing: Diagnosis and Management. Elsevier .
Urden, L. D. (2014). Critical Care Nursing: Diagnosis and Management. Elsevier .
Voelker, M. T. and Spieth, P. (2019) ‘Blood transfusion associated lung injury’, 11(8), pp. 3609
Ware LB, M. M. (2000). The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med. 3615. doi:
10.21037/jtd.2019.06.61.