Firlly Andriyani (XII IPS2)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH SEJARAH

“KONFLIK SUDAN UTARA DAN SUDAN SELATAN”

Disusun Oleh:

Firlly Andriyani / XII IPS 2 / 19

SMAN 2 KOTA MOJOKERTO

Jl Raya Ijen No. 09, Wates, Magersari, Kota Mojokerto, Jawa Timur 61317
Website : www.sman2mojokerto.com. E-mail : info@sman2mojokerto.com

TAHUN AJARAN 2019/2020

1|Page
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah melimpahkan
karunianya sehingga penulisan makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Dalam
kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih kepada Pak Suyono, S.Pd, M.M.Pd selaku kepala
sekolah SMA N 2 Mojokerto serta Bu Dety Purwantini, S.Pd, M.Pd selaku guru Sejarah
Peminatan kelas XII IPS 2 yang telah menginspirasi dan memberi ilmu yang bermanfaat serta
memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah dengan judul “Konflik Sudan
Utara dan Sudan Selatan” ini.

Diharap makalah ini dapat bermanfaat kepada para pembaca dan dapat menjadi bahan
rujukan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Penulisan makalah ini tidak terlepas dari berbagai
kekurangan. Untuk itu kami harapkan komentar, kritik, dan saran yang sifatnya membangun,
agar penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih sempurna. Semoga Allah Swt. memberikan
rahmat dan hidayahnya. Amin.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Mojokerto, 19 Januari 2019

Penyusun

2|Page
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................... 1

Kata Pengantar........................................................................................................... 2

Daftar Isi.................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 5
1.3 Tujuan....................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konflik Sudan Utara Dan Sudan Selatan................................................. 6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................................................... 9

3.2 Saran……………………………………………………………………. 9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 10

3|Page
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sudan adalah salah satu negara di Afrika. Sudan merupakan negara dengan penduduk
padat dan heterogen dalam agama,suku dan ras. Perbedaan agama dijadikan alasan bagi kaum
fanatik untuk berkonflik dengan agama lain. Dikarenakan perbedaan perlakuan dari pemerintah
terhadap salah satu agama, yaitu Islam. Hal ini ditentang oleh agama Kristen yang menuntut
diberlakukannya pemerintahan sekuler. Selain itu, adanya kesenjangan ekonomi dan sosial juga
merupakan pemicu adanya konflik. Hal ini diperparah dengan pembatalan perjanjian Addis
pada tahun 1983 yang mengatur tentang pemerataan otonomi dan kesetaraan antara wilayah
utara dan selatan di Sudan . Dimana wilayah utara mayoritas Islam dan wilayah selatan
mayoritas Kristen yang akhirnya menimbulkan perang sipil.

Wilayah selatan membentuk Sudan People’s Liberation Movement/Army (SPLM/A)


dan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Karena selain ketidaksaamaan
perlakuan, wilayah selatan juga bersitegang dengan pemerintah masalah ekonomi karena
perbedaan pendapat mengenai kepemilikan minyak dan mineral diwilayah selatan. Pemerintah
mengakui kepemilikan minyak dan mineral tersebut dengan memakai landasan UU tanah tahun
1970, dimana pemerintah menguasai dan memiliki hak penuh atas pengelolaan minyak di
wilayah negara. Namun SPLM/A menganggap UU tersebut tidak sah karena saat pembuatan
UU tersebut, tidak adanya perwakilan dari wilayah selatan yang hadir dan menyetujuinya
karena terlibat dalam perang sipil. Dengan bantuan AS, Kenya, Norwegia, Inggris dan PBB
yang membagi kekuasaan politik dan hasil minyak antara pemerintah pusat dan pemberontak
wilayah selatan, pada tanggal 5 Juni 2004 pemerintah Sudan dan SPLM/A menandatangani
kesepakatan damai untuk mengakhiri perang sipil selama 21 tahun di Naivasha, Kenya. Namun
hal ini tidak pernah berlanjut karena gencatan senjata tidak pernah terwujud.

Konflik di Sudan tidak hanya terjadi antara pemerintah dan SPLM/A, namun juga
terjadi antara pemerintah dan penduduk muslim di Darfur. Hal ini bermula karena penyerangan
dua pemberontak terhadap NIF ( National Islamic Front ) pada tahun 2003. Pemberontak itu
menamakan diri mereka JEM ( The Justice and Equality Movement ) dan SLA ( The Sudan
Liberation Army ). Pemberontak menganggap bahwa pemerintah melakukan diskriminasi

4|Page
terhadap kaum muslim afrika di Darfur, namun pemerintah malah menganggap mereka sebagai
teroris. Konflik ini akhirnya berkembang menjadi konflik ras yang melibatkan ras Afrika dan
Arab.

1.2. Rumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan
peneliti angkat adalah “ Mengapa Sudan Selatan Ingin Melepaskan Diri Dari Republik
Sudan?”. Untuk lebih mudah dan mengarahkan pembahasan, peneliti merumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana Kondisi Sudan Pada Awal Kemerdekaan?


2. Bagaimana Perjuangan Penduduk Sudan Selatan Untuk Merdeka?
3. Bagaimana Penyelesaian Konflik antara Sudan Selatan dan Sudan Utara?
3.2 Tujuan

1. Mendeskripsikan kondisi Sudan pada awal kemerdekaan dengan kondisi geografis,


demografis serta kondisi politik Sudan Pasca Awal kemerdekaan.

2. Menjelaskan penduduk Sudan Selatan untuk merdeka dengan munculnya gerakan-


gerakan perjuangan Sudan Selatan dengan perjuangan senjata penduduk Sudan Selatan
melawan Sudan Utara dan perjuangann diplomasi Sudan Selatan melawan
pemerintahan Sudan Utara.

3. Menjelaskan penyelesaian konflik antara Sudan Selatan dan Sudan Utara sehingga
mengakibatkan dampak bagi Sudan Utara dan Sudan Selatan seta adanya keterlibatan
Asing dalam penyelesaian konflik.

5|Page
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konflik Sudan Utara Dan Sudan Selatan

Kemerdekaan, referendum digelar dalam rangka kesepakatan damai, dan 95% memilih
untuk merdeka. Wartawan BBC di Juba Will Ross melaporkan perayaan kemerdekaan
berlangsung di jalanan, orang-orang berkumpul dan melambaikan bendera Sudan Selatan,
memukul drum dan meneriakan nama Presiden Salva Kiir Mayardit.

Namun, perselisihan masih mewarnai hasil kemerdekaan tersebut, terutama terkait


pembagian pendapatan minyak karena 75 persen seluruh cadangan minyak Sudan ada di Sudan
Selatan. Wilayah Abyei kala itu juga masih diperebutkan dan diadakan referendum lagi secara
terpisah. Meski merdeka, Sudan Selatan tidak bisa lepas dari perang sipil antar-etnis yang
terjadi di beberapa wilayah negara bagiannya. Menurut laporan Al Jazeera, pada April 2011
Sudan Selatan harus menghadapi 9 dari 10 kelompok bersenjata di berbagai wilayah negara
bagiannya. Rebutan ladang minyak juga terjadi, seperti telah dilansir BBC. Memasuki Maret
2012, pasukan Sudan Selatan berhasil merebut ladang minyak di Heglig, Provinsi Kordofan,
yang wilayah tanahnya menjadi sengketa antara Sudan dan Sudan Selatan.
Bayang-bayang perang saudara besar layaknya di Sudan benar-benar terjadi pada Desember
2013, ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Presiden Sudan Selatan Salva Kiir Mayardit
dengan wakilnya Riek Machar. Kiir menuduh Machar dan sepuluh orang lainnya melakukan
percobaan kudeta. Pertarungan pecah lantaran keduanya memiliki kekuatan pasukan bersenjata.
Konflik itu secara resmi menjadi Perang Saudara Sudan Selatan antara Gerakan Pembebasan
Sudan Selatan di pihak Kiir melawan Gerakan Pembebasan Sudan Selatan Perjuangan di pihak
Machar. Guna meredam dan upaya mengakhiri perang saudara, Presiden Kiir yang telah
menjabat sejak wilayah otonom Sudan Selatan sebelum referendum ini mengangkat kembali
Machar sebagai wakil presiden mendampinginya pada Februari 2016. Namun, upaya meredam
konflik tak sepenuhnya berhasil ketika pada Juli 2016 bentrokan pecah antara Tentara
Pembebasan Rakyat Sudan yang setia kepada Presiden Kiir dan tentara pendukung wapres Machar.
Lebih dari 150 orang tewas di ibukota Juba. Tak lama berselang, pada 23 Juli 2016 Presiden Kiir kembali
melepas jabatan Machar sebagai wakilnya untuk kedua kali. Digantikan Taban Deng Gai yang
sebelumnya menjabat kepala penasihat dari Machar.

6|Page
Februari 2017 kemarin, PBB mengumumkan bencana kelaparan di beberapa negara bagian
Sudan Selatan. 100 ribu orang berada di ambang kelaparan dan 4,9 juta atau 40 persen
penduduk Sudan Selatan membutuhkan bantuan segera

Rakyat sudan selatan meraih kemerdekaan setelah berjuang dengan melakukan


referendum. Referendum merupakan pemungutan suara untuk mengambil sebuah keputusan
politik. Kasus Referendum di Sudan memiliih antara kemerdekaan (Secession) atau persatuan
(Unity). Keputusan untuk mengadakan sebuah referendum, merupakan salah satu perjanjian
yang telah disetujui oleh kedua pihak (SPLA/M dan pemerintahan pusat Khartoum) dalam
perjanjian perdamaian komprehensif tahun 2005. Referendum dilaksanakan 6 tahun pasca
pengaplikasian perjanjian Naivasha, agar warga Sudan Selatan (subjek pemilih dalam
referendum Sudan 2011) dapat memiliki gambaran apakah integrasi antar kedua pihak itu akan
berjalan dengan lancar di masa yang akan mendatang ataupun konflik kembali bergejolak

Dan partisipasi rakyat memberikan suara sangat tinggi. Kepala Komisi Referendum Sudan
Selatan mengatakan 83% pemilih terdaftar datang ke tempat pemilihan suara. Sebagian besar
pemilih datang pada hari-hari pertama referendum yang mengakibatkan antrean panjang hingga
beberapa ratus meter dari TPS. Referendum kemerdekaan Sudan Selatan 2011 diadakan
di Sudan Selatan pada tanggal 9 Januari 2011 untuk menentukan apakah wilayah tersebut akan
tetap menjadi bagian dari Sudan atau tidak. Referendum ini merupakan salah satu
hasil Persetujuan Naivasha tahun 2005 antara pemerintah pusat di Khartoum dan Tentara
Pembebasan Rakyat Sudan. Referendum juga akan diadakan di Abyei untuk menentukan
apakah wilayah tersebut akan menjadi bagian dari Sudan Selatan atau tidak, tetapi referendum
tersebut ditunda akibat konflik mengenai demarkasi dan hak-hak kependudukan. Komisi
referendum mencatat, empat juta orang sudah terdaftar untuk ambil bagian dalam jajak
pendapat tersebut.

Latar belakang mayoritas penduduk Sudan Selatan yang memilih untuk berpisah dapat
dianalisa oleh beberapa sebab. Salah satunya adalah konflik yang terus berlanjut antar kedua
pihak, pasca perjanjian Naivasha di tahun 2005. Perjanjian yang ditandatangani oleh
pemerintahan pusat Khartoum dengan SPLA/M ternyata tidak menjangkau semua kelompok
pemberontak yang ada. Konflik berlanjut di tahun 2006, antara kelompok pemberontak (yang
quantitasnya relative kecil dibandingkan SPLA/M). Salah satu kasus yang belum diselesaikan
adalah nasib Abyei, kota yang terletak di pertengahan Sudan Utara dan Sudan Selatan, yang
dianggap sebagai kota emas. Sebagai penghasil minyak

7|Page
Referendum Sudan Selatan ini memperoleh perhatian khalayak internasional. Sudan
Selatan masih dalam proses pemulihan akibat perang berkepanjangan dengan Sudan Utara,
yang diperkirakan memakan korban sekitar dua juta orang, akibat konflik yang dipicu masalah
agama, etnis, ideologi dan sumber daya alam termasuk minyak. paling besar di Sudan, Abyei
menjadi target konflik bersenjata di tahun 2008, untuk memperebutkan daerah tersebut.

8|Page
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sudan merupakan sebuah wilayah yang memiliki berbagai keberagaman. Salah satu
keberagaman yang ternyata menjadi sumber konflik yang terjadi di Sudan selama adalah
antara Arab (Sudan Utara) dan warga kulit hitam (Sudan Selatan). Konflik ini bahkan dapat
dikaitkan dengan perang antar agama Islam dan Kristen. Kebijakan pemerintahan pusat di
Khartoum, Sudan Utara yang melakukan diskriminasi, opresi, pengabaian, bahkan sampai
kepada implementasi hukum dari agama Islam, untuk diterapkan di seluruh negara menjadi
beberapa alasan mengapa peperangan sipil pecah dari awal.

Seiring dengan waktu, bermunculan-lah berbagai gerakan pemberontak yang berusaha


memberi tekanan pada pemerintahan pusat, agar memberikan keadilan dalam pemutusan
kebijakan terutama yang sensitive dengan masalah agama. Ketidakinginan pemerintahan pusat
untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak pemberontakan telah membawa negara dengan
wilayah paling luas di Afrika ke dalam perang yang berlangsung hampir 50 tahun lamanya.
Berbagai macam perjanjian perdamaian telah disepakati oleh kedua pihak, namun tidak
pernah mampu terealisasi. Adanya akses terhadap minyak bumi, serta adanya dukungan dari
masyarakat local ikut serta berkontribusi dalam perpanjangan konflik sampai waktu yang begitu
lama. Sebuah perdamaian tahun 2005 menghasilkan gencatan senjata, dan memberikan hak
kepada rakyat Sudan Selatan untuk referendum, memilih apakah mereka masih ingin menjadi
bagian dari Sudan, atau ingin separasi (kemerdekaan). Referendum telah menghasilkan
kemerdekaan untuk Sudan Selatan, yaitu Republik Sudan Selatan.

3.2 Saran
Dari pembahasan di atas diharapkan dapat memberi konstribusi pada pembelajaran sejarah
di lembaga persekolahan khususnya Pda tingkat SMA. Sejarah Negara Sudan merupakan hal
yang mutakhir karena jika melihat proses terjadinya Negara Sudan Selatan sangatlah sulit
karena harus melewati berbagai macam konflik yang ada di Sudan. Oleh sebab itu melalui
pembelajaran dari faktta ssejarah tentang terjandinya konflik di Sudan, pembaca bisa
memperoleh pendidikan karakter bahwa perlakuan diskriminatif dalam kehidupan mendatang
konflik yang berkepanjangan dan merugikan objek yang dijadikan perlakuan diskriminatif.
Pembaca juga mengetahui kalau adanya diskriminatif bisa menghancurkan integrasi bangsa.

9|Page
DAFTAR PUSTAKA

Humaeniah. 2013. “Krisis di Sudan : Perjuangan Rakyat Sudan Selatan Menuntun


Kemerdekaan Tahun 1956-2011” . Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung

10 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai