Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

WEIL’S DISEASE

Oleh:

Nadia Madina Rahma, S.Ked 04084821921053


Rahma Nur Islami, S.Ked 04084821921056

Pembimbing:
dr. Masdianto Musai, SpPD-KAI, FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Weil’s Disease

Oleh:

Nadia Madina Rahma, S.Ked 04084821921053


Rahma Nur Islami, S.Ked 04084821921056

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Junior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUD
Bari Palembang, Periode 9 Desember 2019 – 3 Januari 2020.

Palembang, Desember 2019


Pembimbing

dr. Masdianto Musai, SpPD-KAI, FINASIM

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
berkat-Nya laporan kasus yang berjudul “Weil’s Disease” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya dan RS Bari.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Masdianto Musai,
SpPD-KAI, FINASIM atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, Desember 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. 1


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 4
BAB II. STATUS PASIEN ................................................................................... 6
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 17
BAB IV. ANALISIS KASUS ............................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 45

3
BAB I
PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme patogen yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans.
Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit
yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus. 1 Weil’s disease
adalah bentuk leptospirosis yang berat ditandai dengan ikterus yang biasanya
disertai dengan azotemia, perdarahan, anemia, gangguan kesadaran dan demam.
Sindrom ini biasanya disebabkan oleh Leptospira interrogans serovar
icterohaemorrhagiae tetapi dapat disebabkan oleh serovar-serovar lain. Spektrum
penyakit yang disebabkan oleh leptospira sangat luas, mulai dari infeksi subklinis
hingga sindrom infeksi multiorgan yang berat dengan tingkat kematian yang tinggi.
Sindrom ikterik leptospirosis dengan gagal ginjal, pertama kali dilaporkan lebih
dari 100 tahun yang lalu oleh Adolf Weil di Heidelberg.1,2,3
Leptospirosis tersebar di seleruh dunia, di semua benua kecuali benua
Amerika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada
binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut dan binatang
pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam
tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal atau air kemihnya. Tikus
merupakan vektor utama dari L.interohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada
manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta
berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus-menerus dan
ikut mengalir dalam filtrate urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim
sedang masa puncak insiden dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena
tempratur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira,
sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.4
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara
dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.
Di Indonesia, Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,

4
Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Barat. 5

5
BAB II
STATUS PASIEN

2.1.IDENTIFIKASI PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 35 tahun
Alamat : Talang Betutu, Sukarami, Palembang
Suku : Sumatera
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
No. RM : 58.53.58
MRS : 16 Desember 2019

2.2.ANAMNESIS
(dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien pada 18
Desember 2019, pukul 9.30 WIB).

Keluhan Utama
Badan tampak kuning yang semakin bertambah sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 1 minggu SMRS pasien mengeluh kuning pada seluruh badan yang
semakin bertambah, kuning awalnya tampak pada kedua mata pasien kemudian
badan menjadi kuning. Demam (+) hilang timbul, mual (+), muntah (+) isi apa yang
dimakan, penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan (+), nyeri otot (+).
BAK normal, warna kuning jernih, frekuensi ± 4 kali sehari, volume ± 1 1/2 gelas
belimbing. BAB pasien berwarna agak kehijauan, frekuensi 2 hari sekali. Pasien
dibawa ke bidan dan diberi obat demam.
1 hari SMRS, pasien mengeluh kuning makin bertambah, demam tidak
kunjung hilang, nyeri perut (+), mual (+), muntah (+) isi apa yang dimakan, dan
pasien mengalami kejang selama 5-15 menit sebanyak satu kali, setelah kejang
pasien nampak bingung dan sulit untuk berinteraksi serta sulit untuk melakukan

6
aktivitas sehari-hari sepeti minum dan duduk. Pasien kemudian berobat ke IGD RS
Bari untuk tatalaksana selanjutnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat kencing manis (-)
 Riwayat sakit kuning (-)

Riwayat Kebiasaan:
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat minum alkohol (-)
 Riwayat menggunakan narkoba suntik (-)
 Riwayat kontak dengan urin hewan (-)
 Riwayat kontak dengan genangan air (+)

Riwayat pengobatan:
diberi obat demam di bidan ±1 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat kanker darah (+) pada ayah pasien

2.3. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada tanggal 18 Desember 2019)


Pemeriksaan Fisik Umum
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis (E4 V5 M5)
c. Tekanan Darah : 120/70 mmHg
d. Nadi : 90 x/ menit, isi/kualitas cukup, reguler
e. Respirasi : 36x/menit, reguler
f. SpO2 : 98%
g. Suhu : 38oC

7
h. VAS score : sulit dinilai
i. BB/TB : 50 kg/160cm
j. IMT : 19,53 (normal)

Pemeriksaan Khusus
Kepala: normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia(-).
Mata : edema palpebra (-), konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (+/+),
pupil bulat isokor, RC (+/+).
Hidung: tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang,
sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-).
Telinga: tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
serumen (+), nyeri tekan mastoid (-).
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : statis dinamis: simetris kanan=kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : stem fremitus normal kanan = kiri, nyeri tekan sela iga (-).
Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru, peranjakan hati ICS IV-V Linea
midclavicularis dekstra.
Auskultasi : vesikuler paru (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas jantung atas ICS II linea parasternalis
batas jantung kanan linea sternalis dextra
batas jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular normal, murmur (-), gallop (-)

8
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (+), spider nevi (-), benjolan (-).
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : tegang, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani (+)

Ekstremitas
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), palmar eritem (-), flapping tremor (-),
akral hangat (+/+), Edema (-/-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), plantar eritem (-), akral hangat (+/+),
Edema pretibial (-/-)

Genitalia: tidak diperiksa

9
2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium tanggal 16/12/2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 13,8 14-16 g/dL
Eritrosit 4,7 4,5-5,5 x 106/mm3
Leukosit 18.400 5000-10.000/mm3
Hematokrit 40 37 - 43%
Trombosit 468.000 150.000-400.000/µL
Diff count 0/0/2/88/6/4 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40
BSS 116 <180 g/dL
Na 139 135-155 mg/dL
K 4,64 3,6-6,5 mg/dL
SGOT 538 0-31 U/L
SGPT 440 0-31 U/L
Ureum 226 20-40 mg/dL
Kreatinin 4,10 0,5 -0,9 mg/dL
Widal Test O
-Thypus O 1/80 Negatif
-Parathypus A O Negatif Negatif
-Parathypus B O Negatif Negatif
-Parathypus C O 1/80 Negatif

Widal Test H
-Thypus H 1/80 Negatif
-Parathypus A H 1/160 Negatif
-Parathypus B H 1/80 Negatif
-Parathypus C H 1/80 Negatif

Hasil laboratorium tanggal 17/12/2019


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Bilirubin Total 1,2 <1,1 mg/dL
Bilirubin Direk 0,8 <35 mg/dL
Bilirubin Indirek 0,4 <75 mg/dL
Protein Total 7,9 6,7-8,7 g/dL
Albumin 5,2 3,8-5,1 g/dL
Globulin 2,7 1,5-3 g/L

10
Hasil laboratorium tanggal 18/12/2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
CRP Kualitatif Positif Negatif
HBsAG (RPHA) Negatif Negatif
Anti HCV Negatif Negatif
Bilirubin Total 1,2 <1,1 mg/dL
Protein Total 5,81 6,7-8,7 g/dL
Albumin 4,91 3,8-5,1 g/dL
Globulin 1,1 1,5-3 g/L
Ureum 205 20-40 mg/dL
Kreatinin 2,61 0,5 -0,9 mg/dL

Hasil USG abdomen tanggal 19/12/2019

Kesan: tidak tampak kelainan USG abdomen

11
Hasil laboratorium tanggal 20/12/2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Bilirubin Total 0,6 <1,1 mg/dL
Bilirubin Direct 0,4 <35 mg/dL
Bilirubin Indirect 0,2 <75 mg/dL
SGOT 116 <37 U/L
SGPT 232 <41 U/L
Natrium 139 135-155 mmol/L
Kalium 3,4 3,6-6,5 mmol/L
Ureum 82 20-40 mg/dL
Kreatinin 1,3 0,5 -0,9 mg/dL

2.5. Diagnosis Sementara


Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Weil’s Disease

2.6. Diagnosis Banding


a. Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Weil’s Disease
b. Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Malaria falciparum
berat
c. Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Haemorrhagic fever

2.7. Terapi awal


Non-Farmakologis
- Istirahat
- Edukasi mengenai kondisi pasien saat ini
- O2 3-4L/menit
- Rencana hemodialisa
Farmakologis
 IVFD NaCl:RL 2:1 gtt xx
 Inj Ceftriaxone 2x1 gr
 Inj. Omeprazole 1x40 mg
 Folavit 1x1
 Aminoferon 3xII
 Direma tab

12
2.8. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

2.9. Follow Up
Tanggal: 17 Desember 2019
S: kuning pada seluruh tubuh
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 120/70mmHg
Nadi : 84x/ menit
RR : 22x/menit,
Suhu : 36,6oC
Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normosefali, simetris, rambut berwarna hitam beruban.
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-).
Pulmo : Statis dinamis: simetris kanan dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), stem fremitus normal
kanan=kiri,sonor pada kedua paru, vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak teraba, batas jantung dbn, HR: 84x/menit,
regular, BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : cembung, lemas, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba, timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
A: Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Weil’s Disease
P: - IVFD NaCl:RL 2:1 gtt xx
- Inj Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Folavit 1x1
- Aminoferon 3xII
- Direma tab

13
Tanggal: 18 Desember 2019
S: kuning pada seluruh tubuh
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 120/80mmHg
Nadi : 88x/ menit
RR : 20x/menit,
Suhu : 36,9oC
Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normosefali, simetris, rambut berwarna hitam beruban.
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-).
Pulmo : Statis dinamis: simetris kanan dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), stem fremitus normal
kanan=kiri,sonor pada kedua paru, vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak teraba, batas jantung dbn, HR: 84x/menit,
regular, BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : cembung, lemas, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba, timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
A: Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Weil’s Disease
P: - IVFD NaCl:RL 2:1 gtt xx
- Inj Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Folavit 1x1
- Aminoferon 3xII
- Direma tab

Tanggal: 19 Desember 2019


S: kuning pada seluruh tubuh berkurang
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 120/70mmHg
Nadi : 75x/ menit
RR : 21x/menit,
Suhu : 37,2oC
Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normosefali, simetris, rambut berwarna hitam beruban.

14
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-).
Pulmo : Statis dinamis: simetris kanan dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), stem fremitus normal
kanan=kiri,sonor pada kedua paru, vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak teraba, batas jantung dbn, HR: 84x/menit,
regular, BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : cembung, lemas, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba, timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
A: Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Weil’s Disease
P: - IVFD NaCl:RL 2:1 gtt xx
- Inj Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Folavit 1x1
- Aminoferon 3xII
- Direma tab

Tanggal: 20 Desember 2019


S: kuning pada seluruh tubuh berkurang
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 120/70mmHg
Nadi : 80x/ menit
RR : 22x/menit,
Suhu : 37,0oC
Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normosefali, simetris, rambut berwarna hitam beruban.
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran KGB (-).
Pulmo : Statis dinamis: simetris kanan dan kiri, retraksi dinding dada (-/-), stem fremitus normal
kanan=kiri,sonor pada kedua paru, vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Cor : Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis tidak teraba, batas jantung dbn, HR: 84x/menit,
regular, BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : cembung, lemas, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba, timpani, bising usus (+) normal.
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
A: Hepatorenal Syndrome +Sepsis + Acute on CKD ec. Susp. Weil’s Disease
P: - IVFD NaCl:RL 2:1 gtt xx

15
- Inj Ceftriaxone 2x1 gr
- Inj. Omeprazole 1x40 mg
- Folavit 1x1
- Aminoferon 3xII
- Direma tab

16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Weil’s Disease
3.1.1. Definisi
Weil’s disease adalah bentuk leptospirosis yang berat ditandai dengan ikterus
yang biasanya disertai dengan azotemia, perdarahan, anemia, gangguan kesadaran
dan demam. Sindrom ini biasanya disebabkan oleh Leptospira interrogans serovar
icterohaemorrhagiae tetapi dapat disebabkan oleh serovar-serovar lain. Spektrum
penyakit yang disebabkan oleh leptospira sangat luas, mulai dari infeksi subklinis
hingga sindrom infeksi multiorgan yang berat dengan tingkat kematian yang tinggi.
Sindrom ikterik leptospirosis dengan gagal ginjal, pertama kali dilaporkan lebih
dari 100 tahun yang lalu oleh Adolf Weil di Heidelberg. (1, 2, 3)
Leptospira acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan
sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa
leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan
leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk emerging infectious
disease.4,7

3.1.2. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponemataceae,
suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis,
flekibel, panjangnya 5 – 15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2
um.(2, 5)
Leptospira dibagi menjadi dua spesies, L. interrogans, yang merupakan strain
patogen, dan L. biflexa strain saprofit yang dapat diisolasi dari lingkungan.
Karakteristik L. biflexa yang berbeda dari L. interrogans yaitu pertumbuhan pada
suhu 13° C, dapat tumbuh di medium yang mengandung 8-azaguanine (225 mg/ml),
dan ketidakmampuan L. biflexa untuk tumbuh dalam 1 M NaCl.(2)

17
Hasil scan mikrograf elektron dari L. interrogans serovar icterohaemorrhagiae strain RGA pada
membran filter 0,2 mm.(2)
Menurut West Indian med. j. vol.54 no.1 Mona Jan. 2005. Serogrup
leptospira yang sering menyebabkan leptospirosis adalah:

Tabel 1. Serogrup leptospira


http://caribbean.scielo.org/img/revistas/wimj/v54n1/a09tab3.gif
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing
anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak
cepat dengan kait di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat menembus ke
jaringan. Panjangnya 6-20 µm dan lebar 0,1 µm (lihat gambar 1). Kuman ini sangat
halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap dan pewarnaan perak. 9,10

18
Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan.
Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati.
Kuman leptospira hidup dan berkembang biak di tubuh hewan. Semua hewan bisa
terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan pengerat lainnya, selain hewan ternak.
Hewan piaraan, dan hewan liar pun dapat terjangkit.11

3.1.3. Epidemiologi3
Leptopspirosis dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit
yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada
tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita
yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan
gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada
tahun 1916. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia
antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan,
mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar
kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau
awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis. Angka kejadian penyakit
Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus leptospirosis pada
umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa
laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah
diagnosis dan nonfatal.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus
leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di
Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah
seperti Klaten, Demak atau Boyolali. Pada beberapa negara berkembang,
leptospirosis tidak dianggap sebagai masalah. Pada tahun 1999, lebih dari 500.000
kasus dilaporkan dari Cina, dengan nilai case fatality rates dari 0,9 sampai 7,9%.
Di Brazil, lebih dari 28.000 kasus dilaporkan pada tahun yang sama.
Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga
dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak
di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan. Angka kematian

19
akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi
fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut
usia dan penderita immunocompromised mempunyai resiko tinggi terjadinya
kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa
mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang
ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok
yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan,
bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer,
tukang susu, dan tukang jahit. Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi
antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini
terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena
pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan
antibodi positif pada rentang 8-29%.
Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan
peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi
perjalanan rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing,
selancar air, berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan kegiatan
olahraga lain yang berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah dan
bepergian ke daerah endemik juga menambahkan resiko.

3.1.4. Faktor Resiko3


Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
leptospirosis antara lain:
a. Kegiatan yang mengharuskan seseorang terkena air, terutama pada daerah tropis,
seperti berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, memancing,
selancar air, berperahu kano, bersawah, mendaki
b. Adanya air yang tercemar, seperti saat banjir atau pada pemukiman yang dekat
dengan area rawa-rawa
c. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik leptospirosis

20
3.1.5. Patogenesis5,8,9
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.8
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen
gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah
setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi
didarah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga
menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman
leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas
selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas
endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya
yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi
agregasi trombosit disertai trombositopenia.5,9
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen
tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler
salah satu penyebab gagal ginjal.
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin
darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik
sampai berkurangya sekresi bilirubin.

21
Gambar 2. Penularan dan manifestasi leptosirosis
(https://regitajune97.wordpress.com/2013/05/18/bakter-leptospira-
penyebab-leptospirosis/)

Dapat juga leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,
memasuki akiran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan
tubuh. Kemudian terjadi respon immunologi baik secara selular maupun humoral
sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Walaupun
demikian beberapa organism ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara
immunologi seperti di dalam ginjal dimana bagian mikro organism akan mencapai
convoluted tubulus. Bertahan disana dan dilepaskan melaliu urin. Leptospira dapat
dijumpai dalam urin sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan
sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat
dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat
lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7
hari, mikro organism hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.
Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.
Tiga mekanisme yang terlibat pada pathogenese leptospirosis : invasi bakteri
langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi immunologi.

22
Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva,
selaput mukosa utuh

Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil :
ekstravasasi Sel dan perdarahan

Perubahan patologi di organ/jaringan
- Ginjal : nefritis interstitial sampai nekrosis tubulus, perdarahan.
- Hati : gambaran non spesifik sampai nekrosis sentrilobular disertai
hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer.
- Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
- Otot lurik : nekrosis fokal
- Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
- Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.

Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang


bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ. Lesi yang
muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis
terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara
histologik. Pada leptospirosis lesi histology yang ringan ditemukan pada ginjal dan
hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan
ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi
menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada
kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat
bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan
cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis yang
merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi
leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot
dan pembuluh darah.3,4,12

23
Kelainan spesifik pada organ:4
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi
pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal
terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi
immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikro organism
juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi,
sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat
diantara sel-sel parenkim.
Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel
mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat
terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.
Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada leptospira
disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira
pada otot.
Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat terjadinya
vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau
petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan
bawah kulit.
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal
(CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu
terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen
dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi
adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.
Weil Desease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam
tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan
leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotype icterohaemorragica pernah

24
juga dilaporkan oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis
bervariasi berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.4,8

3.1.6. Manifestasi Klinis


Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari
dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas (bifasik)
yaitu fase leptospiremia/septikemia dan fase imun.
 Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah dan css,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal,
rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai
nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi yang disertai mengigil, juga didapati mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia.
Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau
urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di tangani pasien akan
membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat
dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit
yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-
3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau
fase imun.
 Fase Imun (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat terdeteksi
dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat
ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu
30 hari atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada fase
pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa hari,

25
namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai
beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak begitu
menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan mengalami
nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik.
Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik paling utama
yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan meningeal ditemukan
pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis
ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal umumnya menghilang
dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai beberapa minggu.
Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan
dengan kasus dewasa.
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi dari darah
selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan
adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada 2-10
% kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari penyakit. Gejala
iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat yang dapat menetap
selama beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula
muncul beberapa bulan setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia
subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous.
Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria,
proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru
ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan dan
nyeri otot juga dapat ditemukan.
 Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)
Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian berangsur-angsur
hilang.

a. Leptospirosis anikterik 1,10


- 90% dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat.

26
- Perjalanan penyakit leptospirosis anikterik maupun ikterik umumnya bifasik
karena mempunyai 2 fase, yaitu: 3
 Fase leptospiremia/fase septikemia
- Organisme bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal
dan sebagian besar jaringan tubuh.
- Selama fase ini terjadi sekitar 4-7 hari, penderita mengalami gejala
nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya.
- Karakteristik manifestasi klinis: demam, menggigil kedinginan, lemah
dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut.
- Gejala lain: sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam,
sakit kepala regio frontal, fotofobia, gangguan mental, dan gejala lain
dari meningitis.
 Fase imun atau leptospirurik
- Sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine dan
mungkin tidak dapat didapatkan lagi pada darah atau cairan
serebrospinalis.
- Fase ini terjadi karena akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi
dan terjadi pada 0-30 hari atau lebih.
- Gangguan dapat timbul tergantung manifestasi pada organ tubuh yang
timbul seperti gangguan pada selaput otak, hati, mata atau ginjal.3
- Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik: meningitis aseptik
yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis.
- Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya
ringan, gejala klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu.
- Merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara
Asia seperti Thailand dan Malaysia.
- Adanya conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis,
limfadenopati, splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular
dapat ditemukan meskipun jarang.
- Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien
leptospirosis anikterik maupun ikterik.

27
b. Leptospirosis ikterik (weil disease) 1,10
- Demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak
tumpang tindih dengan fase septikemia.
- Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman
leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan
kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
- Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar
enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali
normal setelah pasien sembuh.
- Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi
perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
- Azotemia, oliguria atau anuria umumnya terjadi dalam minggu kedua tetapi
dapat ditemukan pada hari ketiga perjalanan penyakit.
- Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai
meskipun pada pemeriksaan fisik belum ditemukan kelainan.
- Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang
berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura.
Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian
bawah.
- Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa
organ, perdarahan masif dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS)
merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada
pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik.
- Penyebab kematian leptospirosis berat: koma uremia, syok septikemia, gagal
kardiorespirasi dan syok hemoragik.
- Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien
leptospirosis hádala oliguria terutama oliguria renal, hiperkalemia, hipotensi,
ronkhi basah paru, sesak nafas, leukositosis (leukosit > 12.900/mm3),
kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, infiltrat pada
foto pencitraan paru.

28
- Kelainan paru pada leptospirosis berkisar antara 20-70% pada umumnya
ringan berupa batuk, nyeri dada, hemoptisis, meskipun dapat juga terjadi
Adult Respiratory Distress Síndromes (ARDS) dan fatal.
- Manifestasi klinik sistem kardiovaskular pada leptospirosis dapat berupa
miokarditis, gagal jantung kongestif, gangguan irama jantung.

Tabel 2: Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik


Sindroma, Fase Gambaran klinik Spesimen laboratorium
Leptospirosis anikterik * Demam tinggi, nyeri kepala, Darah, cairan
Fase leptospiremia (3-7 mialgia, nyeri perut, mual, serebrospinal
hari) muntah, conjunctival
suffusion.
Fase imun (3-30 hari) Demam ringan, nyeri kepala, urin
muntah, meningitis aseptik
Leptospirosis ikterik Demam, nyeri kepala, Darah, cairan
Fase leptospiremia dan mialgia, ikterik, gagal ginjal, serebrospinal (minggu I)
fase imun (sering menjadi hipotensi, manifestasi Urin (minggu II)
satu atau tumpang tindih) perdarahan, pneumonitis
hemoragik, leukositosis.
* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3 hari)

3.1.7. Diagnosis
Anamnesis1,8,9
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien.
Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis
pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di
lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.
Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena kelompok ini lebih
banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat dapat diketahui apakah
tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk, banyak pejamu reservoar,
lingkungan yang sering tergenang air maupun lingkungan kumuh.

29
Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada musim pengujan lebih-
lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluahan khas yang dapat ditemukan, yaitu :
demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu
makan menurun dan merasa mata makin lama bertambah kuning dan sakit otot
hebat terutama daerah betis dan paha.

Pemeriksaan Fisik 8,9


- Gejala klinik menonjol : ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival
suffusion.
- Gejala klinik yang paling sering ditemukan : conjungtival suffusion dan mialgia.
- Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3
selambatnya hari ke-7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva
unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring
terlihat merah dan bercak-bercak.
- Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat
dan hiperestesi kulit.
- Kelainan fisik lain: hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang
meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis hemoragik.
- Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat
terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan konjungtiva dan ruam kulit.
- Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria
generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.

Gambar 3. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera


http://www.kalbe.co.id/files/dod/images/leptospirosis.jpg

30
Pemeriksaan Penunjang1
a. Pemeriksaan laboratorium umum
 Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan darah rutin: leukositosis normal atau menurun.
- Hitung jenis leukosit: peningkatan netrofil.
- Trombositopenia ringan.
- LED meninggi.
- Pada kasus berat ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan
yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit.
 Pemeriksaan fungsi hati
- Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.
- Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.
- Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat 
peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata
mencapai 5 kali nilai normal.

b. Pemeriksaan laboratorium khusus9,10,11


Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi
keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi
hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak
langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira (MAT, ELISA,
tes penyaring). Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan
serologis. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan bahan biakan/kultur
leptospira dengan medium kultur Stuart, Fletcher, dan Korthof. Diagnosa pasti
dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat leptospira dalam kultur.
Baku emas pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik Aglutination
Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer
antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan serologis
ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-12). Dugaan diagnosis leptospirosis
didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala klinis yang mendukung. Ig M
ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara dini, tes akan

31
positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin tidak khas. Tes ini
sangat sensitif dan efektif (93%). Tes penyaring yang sering dilakukan di Indonesia
adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.

Gambar 4. IgM ELISA


http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira

Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan bilirubin.


Pada 50% kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK) pada fase awal
sampai mencapai 5x normal. Hal ini tidak terjadi pada hepatitis viral. Jadi jika
terdapat peninggian transaminase dan CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih
mungkin daripada hepatitis viral.
Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine (leukosituria,
eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada leptospirosis ringan
bisa terdapat proteinuria dan pada leptospirosis berat dapat terjadi azotemia.
Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan gelap
sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak digunakan.
Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka pemeriksaan CSS didapatkan
peningkatan sel-sel PMN (pada awal) tapi kemudian digantikan oleh sel-sel
monosit, protein pada CSS normal atau meningkat, sedangkan glukosanya normal.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa riwayat pekerjaan
pasien, apakah termasuk kelompok orang dengan resiko tinggi seperti pekerja-

32
pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, tentara,
pembersih selokan, dan gejala klinis berupa demam yang muncul mendadak, nyeri
kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot, mata merah / fotophobia, mual atau
muntah, dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, bradikardi, nyeri
tekan otot , hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin
didapat leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan
LED yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukositouria, dan sdimen sel
torak. Bila terdapat hepatomegali maka bilirubin darah dan transaminase
meningkat. BUN, ureum, dan kreatinin bisa meningkat bila terdapat komplikasi
pada ginjal. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan
serologis. 2.3

Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan


laboratorium, dapat dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu:
 Suspek
 bila ada gejala klinis tapi tanpa dukungan tes laboratorium.
 Probable
bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring, yaitu
dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
 Definitif
 bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positif, atau gejala klinis
sesuai dengan leptospirosis dan hasil MAT / ELISA serial menunjukkan adanya
serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih

33
Tabel 3: Approach to diagnosis of leptospirosis
Southeast Asean J Trop Med Public Health

Table 4 : Endemicity and titer


Southeast Asean J Trop Med Public Health

Diagnosa leptospirosis berdasarkan WHO Guidelines, yaitu kriteria Faine

dengan melihat manifestasi klinis yang ada, serta faktor epidemologi dan data

34
laboratorium. Diagnosa dapat ditegakkan jika skor A+B = 26 atau lebih; atau

A+B+C = 25 atau lebih. Skor 20-25 yaitu ragu-ragu, belum dapat dikonfirmasikan

sebagai leptospirosis3

Tabel 5 Diagnosa WHO guideline

3.1.8. Komplikasi
a. Hepatorenal Syndrome17,18
Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa
kelainan organik ginjal, yang ditemukan pada SH tahap lanjut. Sindroma ini sering
dijumpai pada penderita SH dengan asites refrakter. Sindroma hepatorenal tipe 1
diandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens kreatinin

35
secara bermakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurnan filtrasi
glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin. Tipe ini lebih baik prognosisnya
daripada tipe 1. Penanganan SHR yang terbaik adalah dengan transplantasi hati.
Belum banyak dengan pemberian preparat somatostatin, terlipressin. Untuk
prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya hipovolemia pada penderita SH,
dengan menghentikan pemberian diuretik, rehidrasi dan infus albumin.2

Kriteria Mayor
 Penyakit hati kronis dengan asites
 Rendahnya glomerular fitration rate (GFR)
 Kreatinin serum > 1,5 mg/dl
 Creatine clearance (24 hour) < 4,0ml/menit
 Absence of shock, severe infection, fluid losses and Nephrotoxic drugs
Proteinuria < 500 mg/day
 No improvement following plasma volume expansion

Kriteria Minor
 Volume urin< 1liter / hari
 Sodium urin < 10 mmol/liter
 Osmolaritas urin>osmolaritas plasma
 Konsentrasi serum sodium < 13 mmol / liter

b. Gagal Ginjal Akut14,15,16


Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut sangat bervariasi dari insufisiensi
ginjal ringan sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut pada
leptospirosis disebut sindroma pseudohepatorenal. Selama periode demam
ditemukan albuminuria, piuria, hematuria, disusul dengan adanya azotemia,
bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik gagal ginjal akut pada leptospirosis
ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal akut non-oliguri dengan
tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari 60mg%/24jam. Disebut
gagal ginjal oliguri bila produksi urin <500ml/24jam, dan disebut anuri bila

36
produksi urin <100ml/24jam. Prognosis gagal ginjal akut non oliguri lebih baik
disbanding gagal ginjal non-oliguri. 27

c. Perdarahan Paru
Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak jelas
diduga akibat dari endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan kersakan
kapiler. Hemoptisis terjadi pada awal septicemia. Perdarahan terjadi pada leura,
alveoli, trakheobronkhial, kelainan berupa: kongesti septum paru, perdarahan
alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear. Manifestasi klinis: batuk, blood
tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga menyebabkan asfiksia. 13,20

d. Gangguan Hati20
Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari kedua atau
kesembilan. Pada hati terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel Kupfer.
Terjadi ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kerusakan sel hati.
2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin darah.
3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan
meningkatkan kadar bilirubin.
4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.
Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic flow dan
toksinyang dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik pada
leptospirosis, karena disosiasi sel hati, proliferasi histiositik dan perubahan peri
porta terlihat juga pada penyakit infeksi yang parah. 13,20

e. Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler. 1,13

f. Shock
Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh yang
mempunyai peran pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini adalah

37
hipovolemia, hiperviskositas koagulasi. Hipovolemia terjadi akibat intake cairan
yang kurang, meningkatnya permeabilitas kapiler oleh efek dari bahan-bahan
mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi. Koagulasi intravaskuler,
sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan mempengaruhi keadaan pada
mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler dan anoxia jaringan. Hiperviskositas,
akibat dari peleasan bahan-bahan mediator terjadi permeabilitas kapiler meningkat,
keadaan ini menyebabkan hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya
disfungsi organ. 1,13

g. Miokarditis
Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan
sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner.
Manifestasi klinis miokarditis sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk
yang berat berupa gagal jantung kongesif yang fatal. Keadaan ini diduga
sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang berbeda-beda pada setiap
penderita. 13,20
Manifestasi klinik miokarditis jarang didapatkan pada saat puncak infeksi
karena akan tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat
fase pemulihan. Sebagian akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati kongesif /
dilated. Juga akan menjadi penyebab aritmia, gangguan konduksi atau payah
jantung yang secara structural dianggap normal. 13,20

h. Ensefalopati
Didapatkan gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada
cairan cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit
10-100/mm3, sel terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear, glukosa
dapat normal atau rendah, protein meningkat (dapat mencapai 100mg%). Kadang-
kadang didapatkan tanda-tanda menngismus tanpa ada kelainan LCS, sindroma
Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi didapatkan: infiltrasi leukosit pada
selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip leptospira yang patologis
mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic, paling sering Conikola,
Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.12,20

38
3.1.9. Tatalaksana
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin
G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama
7 hari.
Tabel 7: Regimen Pengobatan (Ilmu Penyakit Dalam Ed.VI)
Tujuan Pemberian Obat Regimen
1. Treatment
a. Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
Amoxicillin 4 x 500 mg/oral

b. Leptospirosis sedang/berat Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau


Ampicillin 1 g/6jam i.v atau
Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau
Eritromycin 4 x 500 mg i.v

2. Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/oral/minggu

 Terapi untuk leptospirosis ringan


Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu biasa.
Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda yang
menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih belum
tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara konservatif.15
Penatalaksanaan konservatif
- Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C
- Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.
Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen,
dianjurkan sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita.
Karbohidrat dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein
diberikan 0,2 – 0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino
essensial.

39
- Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.
Paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada minggu
pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau setelah
terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta unit, bahkan
pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta unit
(sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan ada
yang memberikan selama 10 hari.
- Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan
terhadap fungsi ginjal sangat perlu.

 Terapi untuk leptospirosis berat (weil disease)16


- Antipiretik
- Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita biasanya
menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang seimbang
dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang berkurang.
Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena kemungkinan sudah
terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi sampai hanya 40mEq/hari.
Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase oligurik maksimal 0,5gram/hari.
Pada fase ologurik pemberian cairan harus dibatasi. Hindari pemberian cairan
yang terlalu banyak atau cairan yang justru membebani kerja hati maupun
ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan membebani kerja hati yang
sudah terganggu. Pemberian cairan yang berlebihan akan menambah beban
ginjal. Untuk dapat memberikan cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak
berlebihan secara sederhana dapat dikerjakan monitoring / balance cairan
secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan
secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan cukup
kandungan nutrisinya.
- Pemberian antibiotik
Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta
unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi, bahkan

40
ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir: AB gol.
fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding
antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan
keunggulannya secara in vivo.
- Penanganan kegagalan ginjal.
Gagal ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari leptospirosis.
Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN). Terjadinya ATN dapat
diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan plasma (normal bila ratio
<1). Juga dengan melihat perbandingankreatinin urine dan plasma, ”renal
failure index” dll.
- Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi
sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik, antara
lain: bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi
dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada leptospirosis
terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991). Pengelolaan sangat
tergantung dari jenis komplikasi yang terjadi. Pada penderita leptospirosis,
sepsis / syok septik mempunyai angka kematian yang tinggi.
- Penanganan khusus
o Hiperkalemia  diberikan kalsium glukonas 1 gram atau glukosa insulin
(10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%). Hiperkalemia
merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena menyebabkan
cardiac arrest.
o Asidosis metabolik  diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x
KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
o Hipertensi  diberikan antihipertensi
o Gagal jantung  pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
o Kejang, dapat terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi
ensefalopati dan uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya,
mempertahankan oksigenasi / sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat
anti konvulsi.

41
o Perdarahan  transfusi. Perdarahan merupakan komplikasi penting pada
leptospirosis, dan sering mnakutkan. Manifestasi perdarahan dapat dari
ringan sampai berat. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada waktu
mengerjakan dialisis peritoneal. Untuk menyampingkan enyebab lain perlu
dilakukan pemeriksaan faal koagulasi secara lengkap. Perdarahan terjadi
akibat timbunan bahan-bahan toksik dan akibat trombositopati.
o Gagal ginjal akut  hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik,
dialisis.17

42
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. M, laki-laki, 35 tahun, dating dengan keluhan badan bertambah kuning


sejak 1 hari SMRS. Sejak 1 minggu SMRS pasien mengeluh kuning pada seluruh
badan yang semakin bertambah, kuning awalnya tampak pada kedua mata pasien
kemudian badan menjadi kuning. Demam (+) hilang timbul, mual (+), muntah (+)
isi apa yang dimakan, penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan (+), nyeri
otot (+). BAK normal, warna kuning jernih, frekuensi ± 4 kali sehari, volume ± 1
1/2 gelas belimbing. BAB pasien berwarna agak kehijauan, frekuensi 2 hari sekali.
Pasien dibawa ke bidan dan diberi obat demam.
1 hari SMRS, pasien mengeluh kuning makin bertambah, demam tidak
kunjung hilang, nyeri perut (+), mual (+), muntah (+) isi apa yang dimakan, dan
pasien mengalami kejang selama 5-15 menit sebanyak satu kali, setelah kejang
pasien nampak bingung dan sulit untuk berinteraksi serta sulit untuk melakukan
aktivitas sehari-hari sepeti minum dan duduk. Pasien tidak ada riwayat sakit apapun
sebelumnya. Pasien kemudian berobat ke IGD RS Bari untuk tatalaksana
selanjutnya.
Pada anamnesis lebih lanjut, didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat
kontak dengan genangan air selama beberapa hari 2 minggu yang lalu. Kuman
leptospira masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada
kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir.8
Infeksi melalui selaput lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam
lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak firulen
gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah
setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi
didarah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan
serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan penyakit.

43
Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga
menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenesis kuman
leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas
selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas
endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya
yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi
agregasi trombosit disertai trombositopenia.
Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di
dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen
tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan
meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan
hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler
salah satu penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang
ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis
intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.
Pasien diberikan terapi ceftriaxon sebagai terapi antibiotik pada kasus
leptospirosis, pasien juga diberikan omeprazol untuk keluhan mual dan muntahnya.
Pasien juga diedukasi tentang kondisinya saat ini, apa penyebab dari penyakitnya,
bagaimana terapinya, apa saja pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosisnya, dan bagaimana prognosisnya.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Andreoli, Thomas et al. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Hartanto,


Huriawati et al (editors). Jakarta : EGC; 2002. p. 2155
2. Levett PN. Leptospirosis. Clin Microbiol Rev. 2001;14:296-326.
3. WHO. Human Leptospirosis: Guidance For Diagnosis, Surveillance And
Control. WHO World Health Organization Library. 2010:1-7.
4. Zein, Umar. Leptospirosis. Dalam buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III edisi
IV. Jakarta : pusat penerbitan Departemen ilmu penyakit dalam FKUI. 2006. Hal
1823-5.
5. Zein U. Leptospirosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing. p.
2807-11.
6. Burriel AR. Leptospirosis: An Important Zoonotic Disease. Applied
Microbiology and Microbial Biotechnology. 2010:687-93.
7. Anonim. Leptopsirosis,diunduh dari
http://medicastore.com/penyakit/190/Leptospirosis.html hari minggu, 20
Desember 2009.
8. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.
9. Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. (2003). Pedoman
Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah
Sakit. Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
10. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer
Obor : Jakarta. 2002.
11. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.
12. Setyawan Budiharta, 2002. Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional
Bahaya Dan Ancaman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.
13. Gasem MH, Redhono D, Suharti C. Anicteric leptospirosis can be
misdiagnosed as dengue infection. Buku Abstrak Konas VIII PETRI, Malang,
2002
14. Niwattayakul K, Homvijitkul J, Khow O, Sitprija V. Leptospirosis in
northeastern Thailand: hypotention and complications. Southeast Asean J Trop
Med Public Health 2002; 33: 155-60
15. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus
infection in an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13. 2002.
264-8
16. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with
leptospirosis and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo.
2000.42(6):327-32

45
17. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure;
(Brenners & Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83
18. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits : Serovars
of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to the hospitals
of Semarang. Konas PETRI, 2002.
19. Grenn-Mckenzie J, Shoff WH. Leptospirosis in humans. Emedicine.
November.13.2018. http://www.emedicine.com/ped/topic/1298.html
20. Chua ML, Alejandria MM, Bergantin RG,Destura RP, Panaligan MM,
Montalban CS, et al. Leptospirosis CPG, The Leptospirosis task force. 2010.

46

Anda mungkin juga menyukai