Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk
menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan kontrak dengan oran lain karena komunikasi dilakukan
oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir bawa komunikasi adalah sesuatu yang mudah.
Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta
memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu
merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan ditransmisikan.
Untuk memperbaiki interpretasi pasien terhadap pesan, perawat harus tidak terburu-buru dan mengurangi
kebisingan dan distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk menyampaikan pesan
karena arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan dalam mengorganisasi dan
mengekspresikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan sederhana dapat dipakai untuk mengingatkan
pasien dan sering sangat membantu. (Bruner & Suddart, 2001 : 188)

Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan non verbal dari
informasi dan ide. Kominikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada perasaan dan emosi dimana
individu menyampaikan hubungan ( Potter-Perry, 301 ). Komunikasi pada lansia membutuhkan peratian
khusus. Perawat harus waspada terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang
memperngaruhi pola komunikasi. Perubahan yang berhubungan dengan umur dalam sistem auditoris
dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran. Perubahan pada telinga bagian dalam dan telinga
mengalangi proses pendengaran pada lansia sehingga tidak toleran teradap suara. Berdasarkan hal – hal
tersebut kami menulis makalah ini yang berjudul “ komunikasi pada lansia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang akan diangkat dalam makalah
ini adalah :

1. Pengertian komunikasi dan Pengertian lansia ?


2. Komunikasi pada lansia?
3. Teknik pendekatan dalam Perawatan lansia pada konteks komunikasi dan pada reaksi penolakan?
4. Fase-fase komunikasi pada lansia?

C. Tujuan Penulisan

1. Pengertian komunikasi dan Pengertian lansia


2. Komunikasi pada lansia
3. Teknik pendekatan dalam Perawatan lansia pada konteks komunikasi dan pada reaksi penolakan
4. Fase-fase komunikasi pada lansia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi komunikasi dan Lansia

Komunikasi merupakan suatau hubungan atau kegiatankegiatan yang berkaitan dengan masalah
hubungan atau dapat diartikan sebaagai saling tukar-menukar pendapat serta dapat diartikan hubungan
kontak antara manusia baik individu maupun kelompok. (Widjaja, 1986 : 13) Komunikasi adalah elemen
dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan
meningkatkan kontak dengan orang lain. (Potter & Perry, 2005 : 301) komunikasi yang biasa dilakukan
pada lansia bukan hanya sebatas tukar-menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dan
hubungan intim yang terapeutik.

Para ahli telah merumuskan beberapa definisi atau pengertian komunikasi, diantaranya adalah :

1. Harold Koontz dan Cyrill O’Donell yang mendefinisikan komunikasi sebagai pengiriman
informasi dari satu individu ke individu lainnya,
2. Judy Pearson dan Paul Nelson (2011) mendefinisikan komunikasi sebagai sebuah proses yang
menggunakan pesan-pesan untuk mencapai kesamaan makna. Komunikasi adalah sebuah proses
karena komunikasi adalah sebuah aktivitas atau kegiatan, pertukaran, atau sekumpulan perilaku.
Komunikasi bukanlah sebuah obyek melainkan kegiatan dimana kita dapat berpartisipasi
didalamnya.
3. David Berlo (1960) menyatakan dengan jelas bahwa komunikasi adalah sebuah proses melalui
pernyataannya yaitu : “Jika kita menerima konsep proses, maka kita memandang berbagai
kejadian dan hubungan sebagai sebuah dinamika yang berkelanjutan, terus mengalami perubahan,
dan berlangsung terus menerus. Ketika kita memberikan nama sesuatu sebagai sebuah proses,
maka kita juga memaknainya sebagai sesuatu yang tidak berawal dan tidak berakhir, atau sebagai
sesuatu kejadian yang pasti. Hal tersebut tidaklah bersifat statis melainkan terus berjalan.
Berbagai komponen yang ada didalamnya saling berinteraksi dan masing-masing mempengaruhi
satu sama lain”.

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan
menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65
tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan
yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta
peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).
Penetapan usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut usia (lansia) dimulai pada abad ke-19 di
negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia
yang masih menganggap dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia kronologis biasanya tidak
memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang menua dengan cara yang
berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya. Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu
perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Potter &
Perry, 2009)
Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi
dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia
kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia
(WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara
nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia.

Kelompok lanjut usia ( LANSIA ) adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-
lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi
(Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan
struktural disebut penyakit degenerasi.

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan umur yang mencakup batasan
umur lansia adalah sebagai berikut:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut
usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.

2. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia
pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua
(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu : pertama (fase inventus) ialah 25-
40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat
(fase senium) ialah 65 hingga tutup usia.

4. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70
tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old
(70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
neratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan
Martono, 1999;4).

B. Komunikasi pada lansia

Dalam komunikasi dengan lansia harus diperhatikan faktor fisik, psikologi, (lingkungan dalam
situasi individu harus mengaplikasikan ketrampilan komunikasi yang tepat. disamping itu juga
memerlukan pemikiran penuh serta memperhatikan waktu yang tepat.

a. Tahap Proses Komunikasi


Menurut Cutlip dan Center, komunikasi yang efektif harus dilaksanakan dengan melalui 4 tahap, yaitu:
1. Fact Finding
Mengumpulkan fakta dan data sebelum seseorang melakukan kegiatan komunikasi.
2. Planning
Berdasarkan fakta dan data itu dibuatkan rencana tentang apa yang akan dikemukakan dan bagaimana
mengemukakannya.
3. Komunikasi
Dalam melakukan komunikasi pada lansia sebaiknya menggunakan bahasa sehari-hari dan mudah
dipahami serta dimengerti.
4. Evaluation
Penilaian dan analisis kembali diperlukan untuk melihat bagaimana hasil komunikasi tersebut dan
kemudian menjadi bahan perencanaan untuk melakukan komunikasi selanjutnya.
b. Keterampilan komunikasi
Listening/Pendengaran yang baik yaitu :

1) Mendengarkan dengan perhatian telinga kita.

2) Memahami dengan sepenuh hati, keikhlasan dengan hati yang jernih.

3) Memikirkan secara menyeluruh dengan pikiran jernih kita.

c. Teknik komunikasi dengan lansia


1. Teknik komunikasi dengan penggunaan bahasa yang baik

Kecepatan dan tekanan suara yang tepat dengan menyesuaikan pada topik pembicaraan dan
kebutuhan lansia,berbicara dengan lansia yang dimensia dengan pelan.tetapi berbicara dengan lansia
demensia yang kurang mendengar dengan lebih keras hati-hati karena tekanan suara yang tidak tepat akan
merubah arti pembicaraan,pertanyaan yang tepat kurang pertanyaan yang lansia menjawab ya atau tidak.

Berikan kesempatan orang lan untuk berbicara hindari untuk mendominasi ,pembicara sebaiknya
mendorontg lansia untuk berperan aktif ,Merubah topik pembicaaraan dengan jitu menggunakan objek
sekitar untuk topik pembicaraan bila lansia tidak interest lagi

Contoh : siapa yang membelikan pakaian bapak/ibu yang bagus ini?

Gunakan kata-kata yang sederhana dan konkrit gunakan makan satu buah setelah makan dari
pada menggunakan makanan yang berserat. Gunakan kalimat yang simple dan pendek satu pesan untuk
satu kalimat.

a. Teknik nonverbal komunikasi


1. Perilaku : ramah tamah, sopan dan menghormati, cegah supaya tidak acuh tak acuh, perbedaan
2. Kontak mata : jaga tetap kontak mata
3. Expresi wajah : mereflexsikan peraaan yang sebenarnya
4. Postur dan tubuh : mengangguk, gerakan tubuh yang tepat, meletakan kursi dengan tepat.
Sentuhan : memegang tangan, menjbat tangan.
b. Teknik untuk meningkatkan komunikasi dengan lansia
1. Memulai kontak saling memperkenalkan nama dan berjabat tangan.
2. Bila hanya menyentuh tangannya hanya untuk mengucapaka pesan-pesan verbal dan merupak
metode primer yang non verbal.
3. Jelaskan tujuan dari wawancara dan hubungan dengan intervensi keperawatan yang akan
diberikan.
4. Muali pertanyaan tentang topik-topik yang tidak mengancam.
5. Gunakan pertanyaan terbuka dan belajar mendengar yang efektif.
6. Secara periodic mengklarifikasi pesan
7. Mempertahankan kontak mata dan mendengar yang baik dan mendorong untuk berfokus pada
informasi.
8. Jangan berespon yang menonjolkan rasa simpati.
9. Bertanya tentang keadaan mental merupakan pertanyaan yang mengancam dan akan mengakiri
interview.
10. Minta ijin bila ingin bertanya secara formal.
c. Lingkungan wawancara
1. Posisi duduk berhadapan
2. Jaga privasi
3. Penerangan yang cukup dan cegah latar belakang yang silam
4. Kurangi keramaian dan berisik
5. Komunikasi dengan lansia kita mencoba untuk mengerti dan menjaga kita mengekspresikan diri
kita sendiri efek dari kmunikasi adalah pengaruh timbal balik seperti cermin.

C. Teknik pendekatan dalam Perawatan lansia pada konteks komunikasi dan pada reaksi
penolakan.
1. Teknik pendekatan dalam perawatan lansia pada konteks komunikasi
a. Pendekatan fisik

Mencari kesehatan tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian yang di alami, perubahan
fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa di capai dan di kembangkan serta penyakit yang
dapat di cegah progresifitasnya.

b. Pendekatan psikologis

Pendekatan ini bersifat abstrak dan mengarah pada perubahan perilaku, maka umumnya
membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini, perawat sebagai konselor,
advokat terhadap segala sesuatu yang asing atau sebagai pena,pung masalah pribadi dan sebagai sahabat
yang akrab bagi klien.

c. Pendekatan sosial

Pendekatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dengan lingkungan.


Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok
merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan sesama lansia
maupun dengan petugas kesehatan.

d. Pendekatan Spiritual

Perawat harus bisa memberikan kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama
yang dianutnya terutama bagi klien dalam keadaan sakit atau mendekati kematian. Pendekatan spiritual
ini cukup efektif terutapa bagi klien yang mempunyai kesadaran yang tinggi dan latar belakang
keagamaan yang baik.

2. Teknik pendekatan dalam perawatan lansia pada reaksi penolakan

Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan sesorang untuk mengakui secara sadar terhadap
pikiran, keiinginan, perasaan atau kebutuhan pada kejadian – kejadian nyata sesuatu yang merupakan
reaksi ketidaksiapan lansia menerima perubahan yang terjadi pada dirinya. Beberapa tehnik komunikasi
dapat diterapkan anatara lain:

1. Tehnik Asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara dengan menunjukkan sikap
peduli, sabar mendengarkan dan memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau
pembicaraan dapat dimengerti. Asertif merupakan pelaksanaan etika berkomunikasi. Sikap ini akan
sangat membantu petugas kesehatan untuk menjaga hubungan yang terapeutik dengan klien lansia.
2. Responsif
Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien merupakan bentuk perhatian
petugas kepada klien. Ketika perawat mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil
apapun hendaknya segera menanyakan atau klarifikasi tentang perubahan tersebut, misalnya dengan
mengajukan pertanyaan, "Apa yang sedang Bapak/Ibu pikirkan saat ini ? Apa yang bisa saya bantu ?".
Berespon berarti bersikap aktif, tidak menunggu bantuan dari klien. Sikap aktif dari petugas kesehatan ini
akan menciptakan perasaan tenang bagi klien.
3. Fokus
Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi komunikasi yang
diinginkan. Ketika klien mengungkapkan pernyataan-pernyataan diluar materi yang diinginkan, maka
perawat hendaknya mengarahkan maksud pembicaraan. Upaya ini perlu diperhatikan karena umumnya
klien lansia senang menceritakan yang mungkin tidak relevan untuk kepentingan petugas kesehatan
4. Supportif
Perubahan yang terjadi pada lansia baik pada aspek fisik maupun psikis secara bertahap menyebabkan
emosi klien relatif menjadi labil. Perubahan ini perlu disikapi dengan menjaga kestabilan emosi klien
lansia, misalnya dengan mengiyakan, senyum dan menganggung kepala ketika lansia mengungkapkan
perasaannya sebagai sikap hormat dan menghargai sesama lansia berbicara. Sikap ini dapat
menumbuhkan kepercayaan diri klien lansia sehingga lansia tidak merasa menjadi beban bagi
keluarganya, dengan demikian diharapkan klien termotivasi untuk mandiri dan berkarya sesuai
kemampuannya. Selama memberi dukungan baik secara moril maupun materil, petugas kesehatan jangan
sampai terkesan menggurui atau mengajari klien karena ini dapat merendahkan kepercayaan klien kepada
perawat atau petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi motivasi, meningkatkan
kepercayaan diri klien tanpa terkesan menggurui atau mengajari misalnya : "Saya yakin Bapak/Ibu lebih
berpengalaman dari saya, untuk itu kami yakin Bapak/Ibu mampu melaksanakan....dan bila diperlukan
kami siap membantu".
5. Klarifikasi
Dengan berbagai perubahan yang terjadi dengan lansia, sering proses komunikasi tidak berlangsung
dengan lancar. Klarifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan lebih dari
satu kali perlu dilakukan oleh perawat agar maksud pembicaraan kita dapat diterima dan dipersepsikan
sama oleh klien. "Bapak/Ibu bisa menerima apa yang saya sampaikan tadi ? bisa minta tolong Bapak/Ibu
untuk menjelaskan kembali apa yang saya sampaikan tadi?"
6. Sabar dan ikhlas
Seperti diketahui sebelumnya bahwa klien lansia umunya mengalami perubahan-perubahan yang
terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan. Perubahan ini bila tidak disikapi dengan sabar dan ikhlas
dapat menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga komunikasi yang dilakukan tidak terpeutik,
solutif, namun dapat berakibat komunikasi berlangsung emosional dan menimbulkan kerusakan hubungan
antara klien dengan petugas kesehatan.

3. Hambatan Komunikasi Dengan Lansia


Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan terganggu apabila ada sikap
agresif dan sikap non asertif
1. Agresif
Sikap agresif dalam berkomunikasi biasanya ditandai dengan perilaku-perilaku dibawah ini :
- berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain (lawanbicara)
- meremehkan orang lain
- mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain
- menonjolkan diri sendiri
- mempermalukan orang lain di depan umum, baik dengan perkataan maupun tindakan
2. Non Asertif
Tanda-tanda dari sikap non asertif ini adalah :
- menarik diri bila diajak berbicara
- merasa tidak sebaik orang lain atau rendah diri
- merasa tidak berdaya
- tidak berani mengungkapkan keyakinan
- membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya
- tampil diam atau pasif
- mengikuti kehendak orang lain
- mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga ghubungan baik dengan orang lain

Adanya hambatan komunikasi kepada lansia merupakan hal yang wajar seiring dengan
menurunnya fungsi fisik dan psikologis klien. Namun sebagai tenaga profesional kesehatan, perawat
dituntut mampu mengatasi keadaan tersebut, untuk itu perlu adanya tehnik atai tips-tips tertentu yang
perlu diperhatikan agar komunikasi dapat berlangsung efektif, antara lain :
1. selalu mulai komunikasi dengan mengecek fungsi pendengaran klien
2. keraskan suara anda jika perlu
3. dapatkan perhatian klien sebelum berbicara. Pandanglah dia sehingga dia dapat melihat mulut
anda
4. atur lingkungan sehingga menjadi kondusif untuk komunikasi yang baik. Kurangi gangguan
visual dan auditori. Pastikan adanya pencahayaan yang cukup.
5. ketika merawat orang tua dengan gangguan komunikasi, ingat kelemahannya. Jangan
menganggap kemacetan komunikasi merupakan hasil bahwa klien tidak kooperatif.
6. jangan berharap untuk berkomunikasi dengan cara yang sama dengan orang yang tidak
mengalami gangguan. Sebaliknya bertindaklah sebagai partner yang tugasnya memfasilitasi
klien untuk mengungkapkan perasaan dan pemahamannya.
7. berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya, gunakan kalimat pendek dengan
bahasa yang sederhana.
8. bantulah kata-kata anda dengan isyarat visual
9. serasikan bahasa tubuh anda dengan pembicaraan anda, misalnya ketika melaporkan hasil tes
yang diingingkan, pesan yang menyatakan bahwa berita tersebut adalah bagus seharusnya
dibuktikan dengan ekspresi, postur dan nada suara anda yang menggembirakan ( misalnya
dengan senyum, ceria atau tertawa secukupnya )
10. ringkaslah hal-hal yang paling penting dari pembicaraan tersebut
11. berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan menjawab pertanyaan anda.
12. biarkan dia membuat kesalahan, jangan menegurnya secara langsung, tahan keinginan anda
untuk menyelesaikan kalimat
13. jadilah pendengar yang baik walaupun keinginan sulit mendengarkannya
14. arahkan kesuatu topik pada suatu saat
15. jika mungkin ikutkan keluarga atau yang merawat dalam ruangan bersama anda. Orang ini
biasanya paling akrab dengan pola komunikasi klien dan dapat membantu proses komunikasi.

Penolakan adalah ungkapan ketidakmampuan seseorang untuk mengakui secara sadar terhadap
pikiran, keinginan, perasaan atau kebutuhan pada kejadian-kejadian nyata atau sesuatu yang merupakan
ancaman. Yaitu membiarkan lansia bertingkah laku dalam tenggang waktu tertentu. Langkah – langkah
yang dapat di lakukan.
Ada beberapa langkah yang bisa dilaksanakan untuk menghadapi klien lansia dengan reaksi
penolakkan, antara lain:

1. Kenali segera reaksi penolakan klien. Membiarkan klien lansia bertingkah laku dalam tenggang
waktu tertentu.
2. Orientasi klien lansia pada pelaksaan perawatan diri sendiri. Langkah tersebut bertujuan untuk
mempermudah proses penerimaan klien terhadap perawatan yang akan dilakukan serta upaya
untuk memandirikan klien.
3. Libatkan keluarga atau pihak terdekat yang tepat. Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat
atau petugas kesehatan memperoleh sumber informasi atau data klien dan mengefektifkan
rencana/tindakan dapat terealisasi dengan baik dan cepat.
4. Identifikasi pikiran yang paling membahayakan dengan cara observasi klien bila sedang
mengalami puncak reaksinya
5. Ungkapakan kenyataan yang di alami klien secara perlahan di mulai dari kenyataan yang
merisaukan.
6. Jangan menyongkong penolakan klien, akan tetapi berikan perawatan yang cocok bagi klien dan
bicarakan sesering mungkin jangan sampai menolak.
7. Orientasikan klien lansia pada pelaksanaan perawatan sendiri.

Langkah ini bertujuan mempermudah proses penerimaan klien terhadap perawatan yang akan di
lakukan serta upaya untuk memandikan klien, antara lain:

1. Libatkan klien dalam perawatan dirinya, misalnya dalam perencanaan waktu, tempat dan macam,
perawatan.
2. Puji klien lansia karena usahanya untuk merawat dirinya atau mulai mengenal kenyataan.
3. Membantu klien lansia untuk mengungkapkan keresahaan atau perasaan sedihnya dengan
mempergunakan pertanyaan terbuka, mendengarkan dan menluangkan waktu bersamanya.
4. Libatkan keluarga atau pihak terdekat dengan tepat.

Langkah ini bertujuan untuk membantu perawat atau petugas kesehatan memperolah sumber
informasi atau data klien dan mengefektifkan rencana atau tindakan dapat terealisasi dengan baik dan
cepat. Upaya ini dapat di laksanakan dengan cara – cara sebagai berikut :

1. Melibatkan keluarga atau pihak terkait dalam membantu klien lansia menentukan perasaannya.
2. Meliangkan waktu untuk menerangkan kepada mereka yang bersangkutan tentang apa yang
sedang terjadi pada klien lansia serta hal – hal yang dapat di lakukan dalam rangka membantu.
3. Hendaknya pihak – pihak lain memuji usaha klien lansia untuk menerima kenyataan.
4. Menyadarkan pihak lain akan pentingnya hukuman (bukan hukuman fisik) apabila klien lansia
mempergunakan penolakan atau denial.

D. Fase Komunikasi pada Lansia


1. Fase Pra Interaksi

Tahap pertama ini merupakan tahap dimana perawat belum bertemu dengan pasien. Tugas
perawat dalam tahap ini adalah menggali perasaan, fantasi dan rasa takut dalam diri sendiri; menganalisis
kekuatan dan keterbatasan profesional diri sendiri; mengumpulkan data tentang klien jika memungkinkan;
dan merencanakan untuk pertemuan pertama dengan klien.

Contoh :

Dua orang oerawatvakan melakukan pemeriksaan dan melihat perkembangan kondisinpada


pasien lansia yang bernama Tn. N. Tn N menerita penyakit hipertensi yang dirawat di RSUD Loweleba.

2. Fase Orientasi

Yakni tahap dimana perawat pertama kali bertemu dengan klien. Tugas perawat dalam tahap ini
meliputi: menetapkan alasan klien untuk mencari bantuan; membina rasa percaya, penerimaan dan
komunikasi terbuka; menggali pikiran, perasaan dan tindakan-tindakan klien; mengidentifikasi masalah
klien; menetapkan tujuan dengan klien; dan, merumuskan bersama kontrak yang bersifat saling
menguntungkan dengan mencakupkan nama, peran, tanggung jawab, harapan, tujuan, tepat pertemuan,
waktu pertemuan, kondisi untuk terminasi dan kerahasiaan.

Catatan medic dan catatan keperawatan merupakan sumber informasi tidak langsung bagi perawat
sehingga perawat dapat menggunakannya untuk merencanakan dan mengarahkan diskusi yang akan
dilakukan. Selama fase ini mereka saling memperhatikan antara satu dengan yang lainnya (perawat-
klien). Perawat dan klien saling bertukar pikiran dan membuat penilaian tentang prilaku masing-masing.
Komunikasi pada fase ini dicirikan oleh lima kegiatan pokok yaitu testing, building trust, identification of
problems and goals, clarification of roles dan contract formation.

Komunikasi terapeutik menjadi sesuatu yang sangat membantu “Proses saling percaya” dengan
catatan bila komunikasi dilakukan secara ikhlas, empati, dan penuh dengan kehangatan. Pada fase ini pula
perawat dan klien bertemu dan saling mengidentifikasi nama masing-masing. Sangat baik dengan
memaggilnya menggunakan nama pasien, misalnya, “Selamat pagi, Pak Gino, nama saya Murni, dan saya
adalah perawat di sini yang ditugaskan untuk merawat bapak.” Dan jangan merasa sungkan jikas setelah
terbentuk “Trust”, pasien akan berbincang adan akan menanyakan sesuatu dengan cara yang lebih
informal. Misalnya, memanggil perawat dengan sebutan “Mbak” dan lagi “Ibu”. Kegagalan perawat
untuk mengidentifikasi dirinya sendiri akan menghasilkan ketidakpastian pada pasien.
Contoh :

Perawat 1 dan Perawat 2 mendatangi pasien Tn. N di ruang perawatan.

P1 : Selamat pagi bapak, ibu (sambil tersenyum)

Keluarga :Pagi juga pak....!!

(Kakek sedikit kebingungan melihat kedatangan perawat)

P1 : Pagi ke...!! Gimana kabar nek hari ini,, sehat ??

Tn. N : Pagi...!! Alhamdulillah sudah agak lumayan. Ini siapa ya...??

(Kakek masih tampak kebingungan dan tampak berfikir.)

P1 : Kakek... perkenalkan saya perawat Sebas

(Perawat Sebas mencoba melakukan pendekatan kepada kakek dan juga juga
keluarganya)

P1 : Saya yang bertugas untuk merawat kakek pada hari ini.

Kake sudah makan belum pagi ini....??

Tn. N : Sudah...!!
P1 : Makan nya banyak atau sedikit kek...??

Tn. N : Cuma sedikit karena saya kurang selera makan pak.

Saya masih merasa agak mual...!!

P1 : Pagi ini obat nya sudah diminum kek...??

Tn. N : Iya sudah...!!

3. Fase Kerja

yang ketiga ini adalah tahap fase kerja dimana perawat memulai kegiatan komunikasi. Tugas perawat
pada tahap ini adalah menggali stresor yang relevan; meningkatkan pengembanganpenghayatan dan
penggunaan mekanisme koping klien yang konstruktif; serta membahas dan atasi perilaku resisten.

Fase kerja terbagi dalam dua kegiatan pokok: menyatukan proses komunikasi dengan tindakan
keperawatan (integrating communication with nursing action) dan membangun suasan yang mendukung
untuk proses perubahan (establishing a climate for change).

Integrating communication with nursing. Perlu digarisbawahi bahwa tindakan keperawatan secara
umum terbagi menjadi 3 kelompok: fisiologis, psikologis, dan sosio-ekonomis. Bradley dan Edinburgh
(1982) mengategorikan tiga kelompok tersebut didasarkan atas tingkat kemudahannya untuk dilihat (level
of visibility).
Tindakan fisiologis yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan fisik pasien seperti nutrisi, eliminasi,
dan rasa nyaman mempunyai tingakt daya lihat yang tinggi.Sehingga perawat cenderung lebih memilih
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis.Perawat yang mempunyai kemampuan melihat secara baik yang
dihadapi pasien dikategorikan sebagai perawt yang terampil (an adept practitioner nurse). Sebaliknya,
tindakan psikologis dan sosio-ekonomis mempunyai tingakt daya lihat yang rendah.
Tindakan psikologis biasanya ditunjukan secara nonverbal.Tindakan psikologis diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan emosi pasien.Tindakan sosio-ekonomi seperti merujuk pasien ke tempat pelayan
kesehatan tertentu membantu klien dalam beradatasi dengan lingkungan baru yang dihadapi. Tingkat
visibilitas yang rendah tidak dapat diobservasi atau diukur secara cepat oleh orang lain. Tindakan
psikologis dan sosio-ekonomi membtuhkan pengetahuan dan keterampilan afektif yang cukup dari
perawat.

Contoh :
(Lima menit kemudian, perawat kembali ke kamar pasien)

P1 : Permisi kek..!! maaf ya kek.. kakek tiduran saja ya...

biar kakek lebih santai..

Tn. N : (langsung tiduran)

(Setelah itu perawat langsung memberikan tindakan kepada kakek)

P1 : Kek.. tolong tangan kirinya sedikit diangkat ya kek...!!

(perawat 1 memasang manset tensi, kemudian mengukur tekanan darah).

P1 : cucu kakek sudah berapa kini? (perawat mencoba mengajak komunikasi pada kakek)

Tn. N : eeehm,, sudah 3 pak, sudah besar-besar semua.

P1 : ooh sudah berkeluarga semua??

Tn. N : yang 1 orang sudah, terus yang duanya lagi masih kuliah dan masih kuliah. Mereka
cantik dan ganteng-ganteng pak.

P1 : ya iya dong. Kayak kakeknya.. (perawat dan kakek ketawa)

4. Fase terminasi

Tahap terminasi adalah tahap dimana perawat akan menghentikan interaksi dengan klien, tahap
ini bisa merupakan tahap perpisahan atau terminasi sementara ataupun perpisahan atau terminasi akhir.
Tugas perawat pada tahap ini adalah: membina realitas tentang perpisahan; meninjau kemampuan terapi
dan pencapaian tujuan-tujuan; serta menggali secara timbal balik perasaan penolakan, kesedihan dan
kemarahan serta perilaku yang terkait lainnya.

Contoh :

Setelah semua pemeriksaan sudah dilakukan, hasil pemeriksaan dicatat oleh perawat dan semua peralatan
dirapikan

Bapak : Bagaimana pak...??

P1 : keadaannya sudah membaik dari kemaren, tapi orang tua bapak harus banyak minum air putih
dan juga makan sayur-sayuran. Orang tua bapak dan ibu harus banyak istirahat dan juga jangan
dulu banyak pikiran, biar kakek cepat sembuh..!! (dokter datang ke ruangan kamar pasien untuk
melihat keadaan pasien)

P1 : Kalau begitu saya permisi dulu ya pak buk...!!

Kakek kami permisi dulu ya kek...

Nenek cepat sembuh ya kek...


Nanti kalau ada perlu bantuan panggil kami di ruang perawat...!!

Ibu : Ya pak.. terima kasih...!!

Akhirnya setelah perawat berpamitan, perawat langsung pergi meninggalkan ruangan kamar Ny.N.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk
menetapkan, mempertaankan dan meningkatkan kontrak dengan oran lain karena komunikasi dilakukan
oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir bawa komunikasi adalah sesuatu yang mudah.
Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingka laku dan hubungan serta
memungkinkan individu berasosiasi denan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu
merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis yan maknanya dipacu dan ditransmisikan.

B. Saran

Komunikasi pada lansia baiknya dilakukan secara bertahap supaya mudah dalam pemahamannya.
Lansia merupakan kelompok yang sensitive dalam perasaannya oleh sebab itu, saat komunikasi harus
berhati-hati agar tidak menyinggung perasaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Arwani.(2002).Komunikasi Dalam keperawatan.Jakarta: EGC.


Ellis,B.Rogger.(2000).Komunikasi Interpersonal dalam keperawatan.Jakarta:
http//komunikasi pada lansia.com
http//konsep komunikasi .co.id
Dalami,Ermawati.2009.Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Jakarta : Trans

Anda mungkin juga menyukai