Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

GANGGUAN PANIK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Jiwa

Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:

ADITYA RIFQI WICAKSONO

012116307

Pembimbing:

dr. Ahmadi NH, Sp.KJ

BAGIAN ILMU PENYAKIT JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Pembimbing : dr. Ahmadi NH, Sp.KJ


Judul : Gangguan Panik
Nama : ADITYA RIFQI WICAKSONO
NIM : 012116307

Program Studi Pendidikan Profesi Dokter


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung
Semarang

Telah disetujui dan disahkan pada:


Hari , tanggal bulan tahun 2020

Dosen Pembimbing,

(dr. Ahmadi NH, Sp.KJ)


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. 1

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4

Latar Belakang ....................................................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 5

2.1. Definisi ........................................................................................................................ 5

2.3. Etiologi ........................................................................................................................ 6

2.4. Gambaran Klinis ......................................................................................................... 7

2.5. Diagnosis ..................................................................................................................... 9

2.6. Diagnosis Banding .................................................................................................... 11

2.7. Penatalaksanaan ........................................................................................................ 12

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 27

INSTRUMEN .......................................................................................................................... 28

LAMPIRAN ............................................................................................................................. 29
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Istilah “panik” berasal dari kata Pan, dewa Yunani yang setengah hantu, tinggal
dipegunungan dan hutan, dan perilakunya sangat sulit diduga. Di tahun 1895 deskripsi
gangguan panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam kasus agorafobia.
Serangan panik merupakan ketakutan akan timbulnya serangan serta diyakini akan segera
terjadi. Individu yang mengalami serangan panik berusaha untuk melarikan diri dari keadaan
yang tidak pernah diprediksi.
Studi epidemiologis di negara barat melaporkan angka prevalensi seumur hidup
gangguan panik adalah 1.5 – 5 %, sedangkan serangan panik sebanyak 3-5.6 %. Di Indonesia
belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat menggambarkan jumlah pasien dengan
serangan panik, namun para ahli merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang
berdatangan.1,2
Gangguan panik pada perempuan 2/3 lebih banyak daripada laki-laki. Pada umumnya
terjadi pada usia dewasa muda, sekitar 25 tahun, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
terjadi pada usia berapapun. Sembilan puluh satu persen pasien dengan gangguan panik dan 84
% dengan agorafobia berpontensi mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya.
Salah satu faktor yang diduga turut berperan dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat
perceraian atau perpisahan yang baru terjadi. Lima belas sampai 30 % mengalami fobia sosial,
2-20 % mengalami fobia spesifik, dan 15-30 % mengalami kecemasan, hingga 30 %
mengalami gangguan obsesif kompulsif. Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan
mood, dengan gejala mood secara potensial meningkatkan onset serangan panik. Gangguan
panik juga bisa didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia.. Seringkali komorbiditas yang
terjadi juga adalah hipokondriasis, gangguan kepribadian dan gangguan terkait zat, serta
penyakit somatik seperti PPOK, IBS, migraine, dan meningkatkan frekuensi serangan
jantung.1,2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi

Gangguan panik adalah jenis gangguan kecemasan yang ditandai,oleh 'serangan panik'

berulang-ulang, yaitu periode terpisah dariperasaanketakutan yang intens dan berhubungan

dengan gejala fisik seperti jantung berdebar-debar, sesak napas, berkeringat, gemetar,

ketidaknyamanan di dada, pusing dan sebagainya. Penderita gangguan panik sering merasa

cemas bahwa gejala ini adalah indikasi adanya penyakit parah seperti sakit jantung atau

kehilangan kontrol, dan dengan demikian ia akan mencegah terjadinya serangan panik dengan

menghindari tempat atau situasi tertentu. Penghindaran seperti itu bisa meningkatkan perasaan

ketakutan dan kecemasan yang mengakibatkan lingkaran setan kepanikan dan kecemasan.

2.2.Epidemiologi

Penelitian epidemiologi telah melaporkan prevalensi seumur hidup untuk gangguan

panik adalah 1,5-5 % dan untuk serangan panik adalah 3 – 5.6 %. Sebagai contohnya, satu

penelitian terakhir pada lebih dari 1.600 orang dewasa yang dipilih secara acak di Texas

menemukan bahwa angka prevalensi seumur hidup adalah 3,8 % untuk gangguan panik, 5,6 %

untuk serangan panik, dan 2,2 % untuk serangan panik dengan gejala yang terbatas yang tidak

memenuhi kriteria diagnostik lengkap.

Jenis Kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dari pada laki-laki, walaupun

kurangnya diagnosis gangguan panik pada laki-laki mungkin berperan dalam distribusi yang

tidak sama tersebut. Perbedaan antara kelompok Hispanik, kulit putih non-Hispanik, dan kulit

hitam adalah sangat kecil. Faktor sosial satu-satunya yang dikenali berperan dalam

perkembangan gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan yang belum lama.

Gangguan paling sering berkembang pada dewasa muda - usia rata-rata timbulnya adalah kira-
kira 25 tahun, tetapi baik gangguan panik maupun agorafobia dapat berkembang pada setiap

usia. Sebagai contohnya. gangguan panik telah dilaporkan terjadi pada anak-anak dan remaja.

dan kemungkinan kurang diagnosis pada mereka.

2.3.Etiologi

Etiologi pada gangguan panik terdiri dari beberapa faktor, yaitu faktor biologis, faktor

genetik dan faktor psikososial.

1. Faktor Biologis

Riset mengenai dasar biologis gangguan panik adalah ditemukannya suatu interpretasi

bahwa gejala gangguan panik terkait dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Diperoleh

data bahwa pada otak pasien dengan gangguan panik, beberapa neurotransmiter mengalami

gangguan fungsi, yaitu serotonin, GABA (Gama Amino Butyric Acid), dan norepinefrin.

Berdasarkan hipotesis patofisiologi, terjadi disregulasi baik pada sistem perifer maupun

sistem saraf pusat (SSP). Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan tonus simpatetik dalam

sistem otonom. Serangan panik merupakan respon terhadap rasa takut yang ditampilkan oleh

fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal, dan hipokampus.

Terdapat bukti praklinis bahwa melemahnya tranmisi inhibisi lokal GABA di amigdala

basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat mencetuskan respon fisiologis mirip ansietas.

Faktor biologik lain yang berhubungan adalah zat panikogen yang digunakan terbatas

pada penelitian, misalnya karbon dioksida, natrium laktat, dan bikarbonat. Zat penginduksi

panik neurokimia terutama memengaruhi reseptor adrenergik, serotonergik, GABA di SSP

secara langsung.

Pada studi pencitraan struktur otak, perubahan pada tampilan MRI juga dilaporkan,

yaitu adanya abnormalitas terutama atrofi korteks di lobus temporalis kanan dan kiri pasien.

Pada positron emission tomography (PET), terlihat adanya disregulasi aliran darah otak.
Khususnya gangguan ansietas dan serangan panik disertai vasokonstriksi serebral, yang dapat

menimbulkan gejala SSP seperti pusing, yang dicetuskan oleh hiperventilasi dan hipokapnia.
1,2

2. Faktor Genetik

Pada keturunan pertama pasien dengan gangguan panik dengan agorafobia mempunyai

risiko 4-8 kali mengalami serangan yang sama. Studi kembar yang telah dilakukan saat ini

umumnya melaporkan bahwa kedua kembar monozigot lebih mudah terkena bersamaan

daripada kembar dizigot.2

3. Faktor Psikososial

Jika ditinjau dari teori psikodinamik, analisis penelitian menyatakan bahwa pola

ansietas saat sosialisasi saat masa kanak, hubungan dengan orang tua yang tidak mendukung,

serta perasaan terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan pasien, rasa marah dan agresivitas

sulit dikendalikan. Pada pasien-pasien dengan gangguan panik, terdapat kesulitan

mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi yang terkait. Misalnya, pasien mempunyai

harapan untuk balas dendam terhadap orang tertentu.

Menurut teori kelekatan (attachment), pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki

gaya kelekatan yang salah. Perpisahan atau kelekatan sering dipandang sebagai hal yang

menakutkan, antara lain kehilangan kebebasan maupun kehilangan rasa aman dan

perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam keseharian pasien yang cenderung menghindari

perpisahan, dan pada saat yang bersamaan juga menghindari kelekatan yang terlalu intens.1,2

2.4.Gambaran Klinis

Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang. Serangan

panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai dengan gejala otonomik, terutama
sistem kardiovaskular dan pernapasan. Serangan sering dimulai selama 10 menit, kemudian

gejala meningkat dengan cepat. Serangan cemasnya disertai dengan gejala-gejala yang mirip

dengan gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga

merasa seperti tercekik.

Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya menjadi

sangat khawatir bahwa ia akan mengalami hal tersebut lagi (anticipatory anxiety). Hal in sering

membuat pasien mencari pertolongan ke RS terdekat.

Pernapasan yang cepat dan pendek merupakan salah satu gejala yang sangat jelas

diraskan pasien. Seringkali gejala sistem pernapasan yang tidak stabil adalah spesifik pada

gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi dan peningkatan variasi pernapasan.

Peningkatan denyut nadi dan pernapasan yang tidak stabil bisa timbul tanpa terjadi serangan

panik. Sebaliknya serangan panik tidak selalu disertai pengukuran objektif dari hiperventilasi

atau disfungsi kardiovaskuler.

Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat, ancaman kematian atau

bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang menyertai

adalah takikardia, palpitasi, dispnoe, dan berkeringat. Serangan dapat berlangsung 20-30

menit, jarang lebih dari 1 jam.

Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi, kesulitan bicara

(gagap), dan gangguan memori. Depresi, derealisasi, dan depersonalisasi dapat dialami saat

serangan. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan takut mati karena masalah jantung

atau pernapasan. Pasien sering merasa hampir-hampir menjadi gila.

Apabila disertai dengan agorafobia, maka pasien akan menolak untuk meninggalkan

rumah ke tempat ramai yang sulit untuk keluar. Pemeriksa harus waspada terhadap tendensi
bunuh diri. Gejala penyerta lainnya adalah depresi, obsesi kompulsif, dan pemeriksa harus

waspada terhadap tendensi bunuh diri.1,2

2.5.Diagnosis

Kriteria Diagnosis Gangguan Panik menurut PPDGJ III baru ditegakkan sebagai

diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik.

PPDGJ IIIF41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)4

Terjadinya beberapa serangan berat ansietas otonomik, yang terjadi dalam periode kira-kira

satu bulan.

a. Pada keadaan-keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya;

b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga

sebelumnya;

c. Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara serangan-serangan

panik (meskipun lazim terjadi ansietas antipatorik).

DSM IV TR memasukkan 2 kriteria diagnostik gangguan panik, satu diagnosis tanpa

agoraphobia dan diagnosis yang lain dengan agoraphobia, tetapi keduanya memerlukan adanya

serangan panik seperti yang digambarkan tabel berikut ini.

DSM-IV-TR Gangguan Panik Tanpa Agorafobia

a. Mengalami (1) dan (2)

(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;

(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah satu

atau lebih hal berikut:

i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;


ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth., hilang kendali,

serangan jantung, menjadi gila);

iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.

b. Tidak ada agorafobia;

c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,

penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth., hipertiroidisme);

d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain, seperti fobia

sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma, atau

gangguan cemas perpisahan.

DSM-IV-TR Gangguan Panik dengan Agorafobia5

a. Mengalami (1) dan (2)

(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;

(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah satu

atau lebih hal berikut:

i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;

ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth., hilang kendali,

serangan jantung, menjadi gila);

iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.

b. Adanya agorafobia;

c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat (cth.,

penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth., hipertiroidisme);

d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain, seperti fobia

sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca trauma, atau

gangguan cemas perpisahan.


2.6.Diagnosis Banding

Diagnosis banding gangguan panik mencakup gangguan medis dan beberapa gangguan

jiwa lain.

2.6.1. Gangguan medis.

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 91 % pasien dengan gangguan

panik melaporkan adanya nyeri dada pada psikiater. 6,7Bahkan seringkali datang ke unit gawat

darurat dengan gejala mirip keadaan berpotensi fatal, misalnya dokter berpikir tentang infark

miokard. Anamnesis medik lengkap dan pemeriksaan fisik harus dilakukan. Prosedur

laboratorium yang dilakukan mencakup hitung darah lengkap, urinalisis, uji tapis obat, dan

EKG. Ketika adanya keadaan yang mengancam jiwa telah disingkirkan, kecurigaan klinisnya

adalah gangguan panik.1Seringkali pasien dengan gangguan panik tidak mempercayai hasil

pemeriksaan jantung yang adalah normal. Ada suatu kecenderungan untuk ‘doctor shopping’

atau yang dikenal dengan sebutan gangguan somatoform, seringkali pasien mulai melakukan

pemeriksaan berulang sampai merasa yakin bahwa tidak terjadi apa-apa pada jantungnya.

Seringkali hal ini tidak dapat teratasi jika gangguan panik yang mendasari belum teratasi. 1,6, 7

2.6.2. Gangguan jiwa lainnya

Sedangkan untuk diagnosis banding non-organik untuk gangguan panik meliputi

gangguan somatisasi, gangguan obsesif kompulsif, fobia dan gangguan stress pasca trauma.

Pada gangguan somatisasi, pasien merasa cemas terhadap penyakit serius ataupun gejala fisik

yang dirasakan dan akan berusaha meminta pertolongan dokter, sedangkan pada gangguan

panic pasien merasakan gejala-gejala hiperaktivitas otonomik sebagai akibat dari kecemasan

yang dirasakannya. Pada gangguan obsesif kompulsif, pasien melakukan kegiatan berulang

(kompulsi) untuk menghilangkan panic. Pada fobia harus ditemukan objek tertentu yang

dihindari atau menimbulkan panic. Pada gangguan stress pasca trauma, kecemasan
berhubungan dengan trauma yang terjadi pada pasien, sedangkan pada gangguan panic

biasanya berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.1

2.7.Penatalaksanaan

 Tatalaksana Serangan Panik

Serangan panik merupakan salah satu jenis kegawatdaruratan psikiatri. Adapun beberapa

langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi pasien serangan panik yang datang dengan

keluhan nyeri dada, sesak napas, palpitasi, atau nyaris pingsan antara lain:

1. Terapi oksigen

2. Membaringkan pasien dalam posisi Fowler

3. Memonitor tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan EKG

4. Memeriksa ada tidaknya kelainan lain yang dialami pasien seperti kelainan

kardiopulmoner dan memastikan kalau pasien memang sedang mengalami serangan

panik.

5. Memberikan penjelasan dan motivasi pada pasien kalau semua keluhan yang

dialaminya dapat berkurang jika dia menenangkan diri. Komponen utama dari terapi

pasien serangan panik adalah menjelaskan pada pasien kalau kondisi yang dialaminya

bukanlah disebabkan oleh kondisi medis yang serius dan bukan pula dikarenakan oleh

gangguan mental yang parah, tapi lebih diakibatkan oleh ketidakseimbangan kimiawi

dalam tubuh karena respon sistem simpatik atau fight or flight response. Memberi

keyakinan seperti ini terbukti menjadi plasebo yang signifikan dalam memperbaiki

kondisi pasien.

Dokter dan staf IRD harus mendengarkan keluhan pasien secara efektif namun tetap

menunjukkan empati terhadap kondisi pasien. Harus hati-hati dalam menggunakan

frasa seperti “Penyakit Anda tidak serius” atau “Anda akan baik-baik saja” karena itu

dapat di-misinterpretasi oleh pasien sebagai ketiadaan empati.


6. Memberikan injeksi lorazepam 0.5 mg IV untuk menenangkan dan mengurangi impuls

tak terkontrol pasien.

Bila keadaan pasien membaik, lorazepam injeksi dapat diganti dengan lorazepam oral atau

golongan benzodiazepin lain. Terapi ini tidak boleh lebih dari 1 minggu untuk mencegah

ketergantungan. Benzodiazepin digunakan hanya untuk meningkatkan kepercayaan diri pasien.

Setelah serangan panik berlalu, pasien harus dijelaskan mengenai pentingnya terapi jangka

panjang seperti CBT dan penggunaan obat jenis SSRI.3

 Tatalaksana Gangguan Panik

Tatalaksana gangguan panik terdiri atas pemberian farmakoterapi dan psikoterapi. Dari

penelitian didapatkan bahwa bila hanya farmakoterapi saja atau psikoterapi saja, maka angka

kekambuhan akan lebih tinggi dibandingkan dengan bila mendapat gabungan antara

farmakoterapi dan psikoterapi.1,2

Farmakoterapi1,2,3,8

Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan panik, yakni

golongan SSRI (Serotonin Selective Reuptake Inhibitor), trisiklik, dan MAOI (Monoamine

oxidase inhibitor). Sedangkan golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap

kontoversial dalam terapi gangguan panik.

1. SSRI

Penggunaan SSRI dan follow up keberhasilannya sebaiknya dimulai dalam rentang 2 minggu

sejak serangan panik terjadi karena SSRI dapat memicu serangan panik pada pemberian awal.
Oleh karena itu dosis SSRI dimulai dari yang terkecil lalu ditingkatkan secara perlahan di setiap

kesempatan follow up berikutnya.

Mekanisme Kerja SSRI

SSRI dipercaya dapat meningkatkan kadar serotonin di ekstraselular dengan cara

menghambat pengambilan kembali serotonin ke dalam sel presinaptik sehingga ada lebih

banyak serotonin di celah sinaptik yang dapat berikatan dengan reseptor sel post-sinaptik. SSRI

memiliki tingkat selektivitas yang cukup baik terhadap transporter monoamin yang lain, seperti

pada transporter noradrenaline dan dopamine, SSRI memiliki afinitas yang lemah terhadap

kedua reseptor tersebut sehingga efek sampingnya lebih sedikit.

SSRI merupakan obat psikotropik pertama yang dianggap memiliki desain obat

rasional, karena cara kerjanya benar-benar spesifik pada suatu target biologi tertentu dan

memberikan efek berdasarkan target tersebut. Oleh karena itu SSRI digunakan secara luas di

hampir semua negara sebagai lini pertama pengobatan antipanik.

SSRI dapat diberikan selama 2-4 minggu, dan dosisnya dapat ditingkatkan secara

bertahap tergantung pada kebutuhan. Semua jenis SSRI yang dikenal saat ini memiliki

efektifitas yang baik dalam menangani gangguan panik. Salah satunya, fluoksetin dalam salut

memiliki masa paruh waktu yang panjang sehingga cocok digunakan untuk pasien yang kurang

patuh minum obat. Selain itu waktu paruh yang panjang dapat meminimalisir efek withdrawal

yang dapat terjadi ketika pasien lelah atau tiba-tiba menghentikan penggunaan SSRI.

Contoh Obat Golongan SSRI

Fluoksetin.

Fluoksetin secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan efek

minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinefrin atau dopamine. Sediaan

capsule 20 mg dengan dosis anjuran 20-40 mg per hari


Paroksetin.

Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya berupakan

inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan memiliki efek yang lemah

terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine. Sediaan tablet 20 mg dengan dosis anjuran

20-40 mg per hari.

Sertralin.

Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah pada reuptake

norephinephrine dan dopamine neuronal. Sediaan tablet 50 mg dengan dosis anjuran 50-100

mg per hari.

Fluvoksamin.

Fluvoksamin merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake serotonin

neuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik, histamine atau reseptor

kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding obat-obatan jenis trisiklik.

Sediaan 50 mg dengan dosis anjuran 50-100 mg per hari.

Citalopram.

Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif reuptake

serotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini lebih sedikit. Sediaan

20 mg dengan dosis anjuran 20-40 mg per hari

Escitalopram.

Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip dengan

citalopram.

Efek Samping SSRI

Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketika tubuh mulai

mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yang timbul pada fase akhir
pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8 minggu ketika obat mulai mendekat

potensi terapi yang menyeluruh. Adapun beberapa efek samping SSRI antara lain: anhedonia,

insomnia, nyeri kepala, tinitus, apati, retensi urin, perubahan pada perilaku seksual, penurunan

berat badan, mual, muntah dan yang ditakutkan adalah efek sampinng keinginan bunuh diri

dan meningkatkan perasaan depresi pada awal pengobatan.

2. Trisiklik/Tricyclic

Golongan trisiklikzat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan untuk mengatasi

depersi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan pilihan pertama untuk terapi

depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang tinggi, namun saat ini

penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan antidepresan lain yang terbaru.1,2

Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di antaranya, dosisnya cukup 1x/hari,

rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada pantangan makanan. Namun 35%

penggunanya langsung menghentikan pengobatan karena efek samping yang tidak

menyenangkan. Golongan trisiklik harus dimulai dengan dosis kecil untuk menghindari

amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan dengan menggunakan trisiklik

membtuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai respon terapi.

Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau panik yang

resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik tidak menyebabkan

ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Hanya saja

kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya biasanya mendahului efek terapi sehingga

banyak pasien yang justru segera menghentikan pengobatan meskipun efek terapinya belum

tercapai.

Mekanisme Kerja Trisiklik


Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI (serotonin-

norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter serotonin dan

norepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang dapat

bereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi terhadap transporter

dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin seperti halusinasi dapat

berkurang.1,3

Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan serotonin, trisiklik juga bereaksi

sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT2 (5-HT2A and 5-HT2C), 5-HT6, 5-HT7, α1-

adrenergic, and NMDAreceptors, dan sebagai agonists pada sigma receptors (σ1 and σ2), yang

memberikan kontribusi pada efek terapi dan efek sampingnya. Trisiklik juga dikenal sebagai

antihistamin dan antikolinergik kuat karena dapat bereaksi dengan reseptor histamine dan

asetilkolin muskarinik.

Kebanyak trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium, sehingga dapat

bekerja seperti obat-obatan sodium channel blocker dan calcium channel blocker. Karena itu

penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan kardiotoksik.

Contoh Obat Trisiklik

Imipramin (tofranil, tofranil-PM). Imipramine menghambat reuptake norepinefrin

dan serotonin pada neuron presinaptik. Sediaan 25 mg dengan anjuran 75-150 mg per hari

Clomipramine (Anafranil). Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin

sedangakan pada efeknya uptake norepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi

metabolitnya, desmethylclomipramine. Sediaan 25 mg dengan dosis anjuran 75-150 mg per

hari.

Efek Samping Trisiklik


Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yang berkaitan dengan

antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering, hidung kering, pandangan

kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori dan peningkatan temperatur tubuh.

Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit tidur, akathisia,

hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis.

3. MAO Inhibitor

Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenis antidepresi

yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa lalu golongan ini

digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudah resisten terhadap golongan

trisiklik.

MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang disertai agoraphobia. Selain

itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine dan penyakit parkinson karena target

dari obat ini adalah MAO-B yang berperan dalam timbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson.

Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah dan efek

antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik.

Cara Kerja MAOI

MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase, sehingga ini

dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitter dan meningkatkan avaibilitasnya.

Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A dan MAO-B. MAO-A berkaitan dengan

deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine and norepinephrine. Sedangkan MAO-B

mendeaminasi phenylethylamine dan sisa amina. Dopamine dideaminasi oleh keduanya.

Contoh Obat MAOI

Phenelzine (Nardil). Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering

digunakan dalam mengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan melalui superioritas yang

jelas terhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatasi gangguan panik. Obat
ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap obat golongan trisklik atau

obat antidepresi golongan kedua.

Tranylcypromine (Parnate). Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena

berikatan secara ireversibel pada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan

meningkatkan avaibilitas sinaptik.

Efek Samping MAOI

Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine. Sehingga ketika

makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapat menderita krisis hipertensi.

Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga, maka hal ini dapat menyebabkan

hiperserotonemia. Jumlah makanan yang dibutuhkan hingga menimbulkan reaksi berbeda-

beda pada tiap individu.

Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin dapat menyebabkan krisis hipertensi

pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi diperkirakan tiramin menggantikan

norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam hal ini norepinefrin terdepak oleh tiramin.

Hal ini dapat memicu aliran pengeluaran norepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis

hipertensi. Teori lain menyatakan bahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang

menyebabkan krisis hipertensi.

Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan yang

difermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-kacangan. Makanan-

makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.

4. Golongan Benzodiazepin

Golongan benzodiazepin merupakan salah satu obat pilihan yang digunakan untuk

mengatasi serangan panik akut. Benzodiazepin digunakan hanya pada 4-6 minggu pertama.
Cara Kerja Benzodiazepin

Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter GABA

(gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga dapat

menimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan dapat

mengakibatkan amnesia.

Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting dan long acting.

Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk mengatasi insomnia sedangkan

yang golongan long-acting digunakan untuk mengatasi gangguan panik.1,3

Contoh Obat Benzodiazepin

Lorazepam (Ativan).

Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek onset singkat dan

paruh waktunya tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi GABA, yang merupakan

inhibitor utama di otak, lorazepam dapat menekan semua kerja SSP, termasuk sistem limbik

dan formasi retikuler.

Clonazepam (Klonopin).

Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik lainnya. Selain itu, obat

ini memiliki waktu paru yang relatif panjang sekitar 36 jam.


Alprazolam (Xanax, Xanax XR). Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk

manajemen serangan panik. Obat ini dapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa bagian

otak, termauk sistem limbik dan RES. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan

penggunaan alprazolam dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya sangat tinggi.

Sediaan 0,25-0,5-1 mg dengan dosis anjuran 2-4 mg per hari.

Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol). Diazepam meruapakan salah satu

jenis benzodiazepin yang potensinya rendah. Namun dapat digunakan untuk mengatasi

serangan panik.

Efek Samping Benzodiazepin

Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin biasanya berkaitan

dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di antaranya adalah mengantuk, pusing, dan

penurunan konsentrasi dan kewaspadaan. Kurangnya koordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan

kecelakaan, terutama pada orang tua. Akibat lain dari benzodiazepin adalah penurunan

kemampuan menyetir sehingga dapat berakibat pada tingginya angka kecelakaan.

Efek samping lainnya adalah hipotensi dan penekanan pusat pernapasan terutama

pada penggunaan intravena. Beberapa efek samping lain yang dapat timbul pada penggunaan

benzodiazepin adalah mual, muntah, perubahan selera makan, pandangan kabur, bingung,

euforia, depersonalisasi dan mimpi buruk. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa

benzodiazepin bersifat liver toksik.1,2, 3


5. Serotonine-Norepinephrine Reuptake Inhibitors

Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini adalah mencegah reuptake

inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat mengatasi kepanikan.

Venlafaxine (Effexor, Effexor XR). Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat

inhibitor reuptake serotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah menurunkan

regulasi reseptor beta.

No Nama Generik Golongan Sediaan Dosis Anjuran


1. Imipramine Trisiklik Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
2. Clomipramine Tab. 25 mg 75-150 mg/hari
3. Alprazolam Tab. 0,25-0,5-1 3x 0,25-0,5 mg/hari
mg
4. Diazepam Tab. 25 mg Peroral 10-30
Benzodiazepin mg/hari, 2-3x/hari,
Parental IV/IM 2-
10 mg/kali, setiap
3-4 jam
5. Klordiazepoksoid Tab. 5 mg 15-30 mg/hari
Caps. 5 mg 2-3 x/hari
6. Lorazepam Tab. 0,5-2 mg 2-3x 1 mg/hari
7. Clobazam Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
8. Brumazepin Tab. 1,5-3-6 mg 3x 1,5 mg/hari
9. Oksazolom Tab. 10 mg 2-3x 10 mg/hari
10. Klorazepat Caps. 5-10 mg 2-3x 5 mg/hari
11. Prazepam Tab. 5 mg 2-3x 5 mg/hari
12. Moclobemide RIMA (Reversible Inhibitor Tab. 150 mg 300-600 mg/hari
of Monoamine Oxydase-A)
13. Sertraline Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
14. Fluoxetine SSRI (Selective Serotonine Caps. 10-20 mg 20-40 mg/hari
15. Parocetine Reuptake Inhibitor) Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
16. Fluvoxamine Tab. 50 mg 50-100 mg/hari
17. Citalopram Tab. 20 mg 20-40 mg/hari
18. Buspiron Obat lain Tab. 10 mg 15-30 mg/hari

Psikoterapi

 Terapi Relaksasi

Diberikan terhadap hampir semua individu yang mengalami gangguan panik, kecuali yang

bersangkutan menolak. Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik

dan menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih setiap hari.

Prinsipnya adalah melatih pernapasan; dengan cara menarik napas dalam dan lambat, lalu

mengeluarkannya dengan lambat; mengendurkan seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke

arah konstruktif yang diinginkan akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing

individu melakukan ini secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung selama 20-30 menit atau

lebih lama lagi. Setelah itu individu diminta untuk melakukannya sendiri di rumah setiap hari,

sehingga apabila serangan panik muncul kembali, tubuh sudah siap relaksasi.

Selain itu diberikan pula salah satu terapi kognitif perilaku atau psikoterapi dinamik.

Pemilihan jenis ini berdasarkan kondisi pasien saat itu, motivasi individu, kepribadiannya, serta

pertimbangan dokter yang melakukan. Keberhasilan kedua jenis terapi ini bergantung atas

motivasi pasien dan kesediaan bekerja sama dengan terapis.1

 Terapi Kognitif Perilaku/Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)

Pasien diajak untuk merekstrukturisasi kognitif, yaitu membentuk kembali pola perilaku dan

pikiran yang lebih rasional. Terapi biasanya berlangsung 30-45 menit. Pasien kemudian diberi

pekerjaan rumah yang harus dibuat setiap hari, antara lain membuat daftar pengalaman harian

dalam menyikapi berbagai peristiwa yang dialami baik mengecewakan, menyedihkan, atau

menyenangkan. Pekerjaan rumah ini akan dibahas pada kunjungan berikutnya. Biasanya terapi
ini memerlukan 10-15 kali pertemuan, bisa kurang namun dapat pula lebih, bergantung pada

kondisi pasien yang mengalaminya.1, 2

 Psikoterapi Dinamik

Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan hanya dengan tujuan

penghilangan gejala. Pada psikoterapi dinamik, biasanya pasien akan lebih banyak berbicara

dan dokter lebih banyak mendengarkan, kecuali pada individu yang pendiam maka dokter yang

lebih aktif. Terapi ini memerlukan waktu panjang dapat berbulan-bulan bahkan bertahun-

tahun. Diperlukan kesabaran keduabelah pihak dan kerja sama yang baik.2

 Aplikasi Relaksasi

Tujuan aplikasi relaksasi (misalnya Herbert Benson) adalah memberikan pasien rasa kendali

mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Melalui penggunaan teknik standar relaksasi otot dan

membayangkan situasi yang membuat santai, pasien memperlajari teknik yang dapat

membantu mereka melewati serangan panik.1, 2, 8

 Terapi Keluarga

Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga mungkin telah dipengaruhi oleh

gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan dukungan sering

bermanfaat.1, 2

 Psikoterapi Berorientasi Tilikan

Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas, situasi yang dihindari, serta

kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan apabila berhasil.1,2

 Psikoterapi Kombinasi dan Farmakologi


Ketika farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer gangguan panik, psikoterapi

dibutuhkan untuk mengurangi gejala sekunder. Intervensi psikoterapeutik membantu pasien

menghadapi rasa takut keluar rumah. Di samping itu, intervensi terapeutik dibutuhkan untuk

beberapa pasien yang menolak obat dikarenakan stigma ‘sakit jiwa’, sehingga pasien dapat

mengerti dan menghilangkan resistensi terhadap farmakoterapi.1, 2

Prognosis

Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita dengan fungsi

premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih

baik.

Untuk agorafobia, dimana sebagian besar kasusnya dianggap diakibatkan oleh

gangguan panik, sering membaik seiring waktu ketika gangguan paniknya diobati. Untuk

perbaikan agorafobia yang cepat dan sempurna, kadang-kadang diindikasikan terapi perilaku.

Gangguan depresif dan ketergantungan alkohol mempersulit perjalanan gangguan.1, 2


BAB III

KESIMPULAN

Gangguan panik adalah salah satu jenis gangguan cemas yang sering terjadi, lebih

banyak pada perempuan daripada laki-laki. Penyebabnya sendiri dapat multifaktorial baik dari

organobiologik, psikososial, bahkan genetik. Gejala fisik yang dapat muncul adalah gejala

yang menyerupai gangguan pada sistem kardiovaskular dan pernapasan, yaitu nyeri dada,

berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik, nafas cepat dan pendek.

Sementara gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat dan ancaman kematian.

Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan mood, dengan gejala mood secara potensial

meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga bisa didiagnosis dengan atau tanpa

agoraphobia.

Pada beberapa kasus didapati pasien sangat meyakini dirinya sakit secara medis dan

memaksa dokter untuk melakukan pemeriksaan penunjang lain, misalnya rekam jantung

(EKG), pemeriksaan lab, dll. Oleh karena itu skrining dan pemeriksaan yang tepat terhadap

gangguan panik sangat dibutuhkan untuk efikasi terapi, efisiensi biaya dan waktu pengobatan.

Tatalaksana yang dapat diberikan adalah kombinasi psikofarmaka dan psikoterapi,

untuk jangka panjang. Kombinasi dua terapi ini memberikan prognosis yang lebih baik dan

tingkat kekambuhan yang lebih rendah dibandingkan hanya dengan salah satu terapi.

Mengingat terdapatnya faktor psikososial, maka sangat penting untuk melakukan edukasi dan

pengarahan terhadap pihak keluarga. Prognosisnya bergantung dari awitan, fungsi premorbid

yang baik, dan durasi serangan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Saddock BJ & Saddock VA. Panic disorder and agoraphobia. In: Kaplan & Sadock's

Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Ed. USA:

Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Sec.16.2. p. 588-97.

2. Kusumadewi I, Elvira S. Gangguan panik. Dalam: Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2.

Jakarta: FKUI; 2013. h. 258-63.

3. Memon MA. Panic disorder. Updated on March 2011. [Cited on June 2011].

Available from: http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview.

4. Departemen Kesehatan RI. PPDGJ III. Cetakan Pertama. 1993.h. 173-4, 178-9.

5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorder. 4th ed. Text rev. Washington DC: APA; copyright 2000.

6. Katerndahl D. Chest Pain and Its Importance in Patients with Panic Disorder:

AnUpdated Literature Review. Primary Care Companion. J Clinical Psychiatry

2008:10(5). Available fromhttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2629063/.

7. Katherndahl D. Panic & plaques: Panic disorder and coronary artery disease in

patients with chest pain. Medscape Multispeciality. J Am Board Fam Med.

2004:17(2). Available from http://www.medscape.com/viewarticle/474286_4.

8. Cloos JM. Treatment of panic disorder. Updated on January 2005. [Cited on June

2011]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1.


INSTRUMEN
LAMPIRAN

1. Seorang pria 36 tahun mengeluh merasa was was dan khawatir yang sangat

mengganggu. Ia takut akan terulang kejadian tadi pagi dimana ia secara tiba tiba

merasa takut yang amat sangat saat mengendarai mobil saat kemacetan. Saat itu ia

merasa tercekik, nafas cepat, dada berdebar kencang. Pusing mendadak dan merasa

akan meninggal ditempat itu. Gangguan tersebut sudah satu bulan yang lalu.

Kemungkinan apa gangguannya?

A. Gangguan cemas menyeluruh

B. Fobia social

C. Agorafobia

D. Gangguan panik

E. Gangguan somatoform

2. Obat anti-panik yang tepat diberikan pada pasien diatas adalah?

A. Alprazolam

B. Imipramine

C. Fluoxetine

D. Paracetine

E. Imipramine

Anda mungkin juga menyukai