Anda di halaman 1dari 6

Eduard Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal


di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang
dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang
aku sudah derita"), adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max
Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah
terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.
Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan
nama Danudirja Setiabudi.

Masa kecil
Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup
besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan
berpendidikan.
Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan
jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan
lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun
lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat
ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor
dagang.

Menjadi pegawai kecil


Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan
dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan
ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil
perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan
berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun
dan meninggalkan kesan yang tidak terlupakan selama hidupnya. "Dari hidup di
kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat
membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki
pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van 't Veer dalam
biografi Multatuli.

Ke Hindia Belanda
Ketika ayahnya pulang dari perjalanan, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan
dalam diri Eduard. Hal ini memunculkan niat pada ayahnya untuk membawanya dalam
sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari
kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak
berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi
ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum
berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak
berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor
Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan
sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatra Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas
Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir.

Diberhentikan
Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan.
Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya
yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya
ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan
dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian
ia meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan
kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.
Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta
adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh Gubernur Sumatra Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal
di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin
untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan
"uang tunggu".

Menikah
Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van
Wijnbergen, gadis keturunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846,
Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten
residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.

Bekerja kembali
Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard
bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah, sehingga pada 1846 ia diangkat
menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor
residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto
Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat
sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat
ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan
kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan
pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada
Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya.
Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di
Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.
Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen
di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard
merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat
perhatian para pejabat di Bogor, di antaranya karena pendapatnya yang progresif
mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial.
Kariernya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling
tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda saat itu. Eduard menerima jabatan ini dan
ditugaskan di Ambon pada Februari 1851.

Benturan dengan Gubernur


Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di
kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur
Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-
ambtenaar bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya
mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke Belanda.
Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di
pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.

Pindah ke Lebak
Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan
baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di
meja judi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya
akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian,
Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah
selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856.
Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun
ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan
lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.

Pemerasan di Lebak
Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat
menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang
kekuasaan selama 30 tahun. Ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup
parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang
diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan
pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan
kebiasaan.
Eduard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada
rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan
yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan
ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang sangat
murah.
Belum satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat
kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-
kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta
situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard
tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya
meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya
terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang
ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil
kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.
Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard
sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, tetapi menolak permintaan Eduard.
Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur
Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun
maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras.
Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya
dikabulkan oleh atasannya.

Kembali ke Eropa
Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya
untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang
sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa dan
bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.
Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun
tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan
sebagai juru bahasa di Konsulat Prancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya
untuk menjadi kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.

Mulai menulis

Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.

Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya.
Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip diantaranya
sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai
asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk
mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan
menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.
Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa
sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat
khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks
hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang
berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.
Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'.
Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'"
atau "'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, "aku" dapat berarti Eduard Douwes
Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa,
terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan
menyebut penggambaran Dekker diberlebih-lebihkan.
Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya
berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat,
karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di
antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.
Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel
Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku
berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga
mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang
walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.

Akhir hayat
Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir
hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggap
seperti anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana
ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu
dramanya, Vorstenschool (diterbitkan di 1875 dalam volume Ideën keempat)
menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau
agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan
hanya menulis berbagai surat-surat.
Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai
Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

Pengaruh dalam sastra Hindia Belanda dan Indonesia


Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya
kelompok Angkatan Pujangga Baru, tetapi ia telah menggubah semangat kebangsaan di
Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap
sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa)
melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya
menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah
mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya
frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam
puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang
dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakikatnya; keduanya putus
asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.
TUGAS PPKN
EDUARD DOUWES DEKKER

DISUSUN OLEH:

PUTRI SUHARTI
CRIS ARDIANSYAH
ANGGI HAMZAH
LESTARI NINGSIH

KELAS VIII-B

MTs MASHALIHUL MURSALAT


2020

Anda mungkin juga menyukai