Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

“ TUMOR PARU ”

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal

di Ruang 27 RSSA

Oleh:

Nurfadila Rasyid

NIM: 150070300011092

PROGRAM PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
TUMOR PARU

A. DEFINISI
Tumor adalah neoplasma pada jaringan yaitu pertumbuhan jaringan baru
yang abnormal. Paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan
letaknya didalam rongga dada. Jenis tumor paru dibagi untuk tujuan
pengobatan, meliputi SCLC ( Small Cell Lung Cancer ) dan NSLC ( Non
Small Cell Lung Cancer / Karsinoma Skuamosa, adenokarsinoma, karsinoma
sel besar ). Pada umumnya tumor paru terbagi atas tumor jinak (5 %) antara
lain adenoma, hamartoma dan tumor ganas (90%) adalah karsinoma
bronkogenik. Karena pertimbangan klinis maka yang dibahas adalah kanker
paru atau karsinoma bronkogenik.
Menurut Hood Alsagaff, dkk. 1993, karsinoma bronkogenik adalah tumor
ganas paru primer yang berasal dari saluran napas. Sedangkan menurut
Susan Wilson dan June Thompson, 1990, kanker paru adalah suatu
pertumbuhan yang tidak terkontrol dari sel anaplastik dalam paru.
Tumor paru adalah neoplasma atau pertumbuhan jaringan baru yang
abnormal di organ paru-paru. Tumor ini diakibatkan oleh sel yang membelah
dan tumbuh tak terkendali pada organ paru. Tumor paru jika dibiarkan dapat
berkembang menjadi kanker paru. biasanya tumor ini berkembang di saluran
napas atau bagian alveolus. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan
tumor ini menyebar ke seluruh tubuh jika sudah menjadi kanker paru stadium
akut. (Price dan Wilson, 2006).

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan TNM : tumor, nodul dan metastase.
1. T : T0 : tidak tampak tumor primer

T1 : diameter tumor < 3 cm, tanpa invasi ke bronkus

T2 : diameter > 3 cm, dapat disertai atelektasis atau pneumonitis,


namun berjarak lebih dari 2 cm dari karina, serta belum ada
efusi pleura.
T3 : tumor ukuran besar dengan tanda invasi ke sekitar atau sudah
dekat karina dan atau disetai efusi pleura.

2. N : N0 : tidak didapatkan penjalaran ke kelenjar limfe regional


N1 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe hilus ipsilateral
N2 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe mediastinum atau
kontralateral
N3 : terdapat penjalaran ke kelenjar limfe ekstratorakal
3. M : M0 : tidak terdapat metastase jauh
M1 : sudah terdapat metastase jauh ke organ – organ lain.

C. ETIOLOGI
Seperti kanker pada umumnya, etiologi yang pasti dari tumor paru
belum diketahui, namun diperkirakan inhalasi jangka panjang bahan-bahan
karsinogen merupakan factor utama, tanpa mengesampingkan kemungkinan
peranan predisposisi hubungan keluarga ataupun suku bangsa, ras serta
status imunologis. Bahan inhalasi karsinogen yang banyak disorot adalah
rokok
1. Pengaruh Rokok
Diperkirakan terdapat metabolit dalam asap rokok yang bersifat
karsinogen terhadap organ tubuh tersebut. Zat-zat yang bersifat
karsinogen (C), kokarsinogenik (CC), tumor promoter (TP), mutagen (M)
yang telah dibuktikan terdapat dalam rokok. Kandungan zat yang bersifat
karsinogenik dalam rokok inilah yang dapat mengakibatkan perubahan
epitel bronkus termasuk metaplasia atau displasia.
Menurut Guidotti (2007) yang dikutip oleh Irawan (2008), rokok yang
dihirup juga mengandung komponen gas dan partikel yang berbahaya
Nikotin dalam rokok dapat mempercepat proses penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan dan penyempitan ini bisa
terjadi pada pembuluh darah koroner, yang bertugas membawa oksigen
ke jantung. Nikotin, merupakan alkaloid yang bersifat stimulant dan
beracun pada dosis tinggi. Zat yang terdapat dalam tembakau ini sangat
adiktif, dan mempengaruhi otak dan system saraf. Efek jangka panjang
penggunaan nikotin akan menekan kemampuan otak untuk mengalami
kenikmatan, sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin
yang semakin tinggi untuk mendapatkan tingkat kepuasan. Tar,
mengandung zat kimia sebagai penyebab terjadinya kanker dan
menganggu mekanisme alami pembersih paru-paru, sehingga banyak
polusi udara tertinggal menempel di paru-paru dan saluran bronchial. Tar
dapat membuat system pernapasan terganggu salah satu gejalanya
adalah pembengkakan selaput mucus.
2. Pengaruh paparan industri
Yang berhubungan dengan paparan zatkaninogen, seperti :
a. Asbestos, sering menimbulkan mesoteliom, dinyatakan bahwa asbestos
dapat meningkatkan risiko kanker 6-10 kali
b. Radiasi ion pada pekerja tambang uranium, para penambang uranium
mempunyai resiko menderita kanker paru 4 kali lebih besar daripada
populasi umum.
c. Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorid
d. Pengaruh Genetik dan status imunologis
Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan dalam
kanker paru, yakni: Protooncogen, Tumor supressor gene, Gene
encoding enzyme.Teori Onkogenesis. Terjadinya kanker paru didasari
dari tampilnya gen supresor tumor dalam genom (onkogen). Adanya
inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan
(delesi/del) atau penyisipan (insersi/inS) sebagian susunan pasangan
basanya, tampilnya gen erbB 1 dan atau neu/erbB2 berperan dalam anti
apoptosis (mekanisme sel untuk mati secara alamiahprogrammed cell
death) Pcrubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel sasaran
dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengansifat
pertumbuhan yang otonom.
Status imunologis penderita yang dipantau dari respon imun seluler
menunjukkkan adanya derajat diferensiasi sel, stadium penyakit,
tanggapan terhadap pengobatan, serta prognosis. Penderita yang anergi
umumnya tidak memberikan tanggapan yang baik terhadap pengobatan
lebih cepat meninggal.

3. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi
terhadap betakarotene, selenium dan vitamin A menyebabkan
tingginya risiko terkena kanker paru. Hipotesis ini didapatkan dari
penelitian yang menyimpulkan bahwa vitamin A dapat menurunkan
resiko peningkatan jumlah sel-sel kanker. Hal ini berkaitan dengan
fungsi utama vitamin A yang turut berperan dalam pengaturan
diferensiasi sel.

4. Pengaruh penyakit lain/predisposisi oleh karena penyakit lain


Tuberculosis paru banyak dikaitkan sebagai faktor predisposisi
tumor paru melalui mekanisme hiperplasia metaplasia. Karsinoma insitu
dari karsinoma bronkogenik diduga timbul sebagai akibat adanya jaringan
parut tuberkulosis. Data dari Aurbach (1979) menyatakan bahwa 6,9%
dari kasus karsinoma bronkogenik berasal dari jaringan parut. Dari 1186
karsinoma parut tersebut 23,2% berasal dari bekas tuberkulosis. Patut
dicatat bahwa data ini berasal dari Amerika serikat dimana insiden
tuberkulosis paru hanya 0,015% atau ±1/20 insiden tuberkulosis di
Indonesia.
Dalam sumber lain disebutkan bahwa etiologi yang pasti dari
tumor paru masih belum diketahui, namun diperkirakan bahwa inhalasi
jangka panjang dari bahan–bahan karsinogenik merupakan faktor utama,
tanpa mengesampingkan kemungkinan peranan predisposisi hubungan
keluarga ataupun suku bangsa atau ras serta status imunologis.
Beberapa factor yang telah diakitkan dengan terjadinya tumor
paru diantaranya:
a. Asap tembakau; perokok memiliki resiko 10 kali lebih umum terjadi
dari pada bukan perokok.
b. Perokok kedua
c. Polusi udara
d. Pemajanan okupasi
e. Radon; radon adalah gas tidak berwarna, tidak berbau yang
ditemukan dalam tanah dan bebatuan.
f. Vitamin A
g. Factor-faktor lain yang mempunyai kaitan dengan tumor paru
termasuk predisposisi genetic dan penyakit pernapasan lain yang
mendasari, seperti PPOM dan tuberkulosis.

D. MANIFESTASI KLINIS
Pada waktu masih dini gejala sangat tidak jelas utama seperti batuk
lama dan infeksi saluran pernapasan. Oleh karena itu pada pasien dengan
batuk lama 2 minggu sampai 1 bulan harus dibuatkan foto X dengan gejala
lain dyspnea, hemoptoe, febris, berat badan menurun dan anemia. Pada
keadaan yang sudah berlanjut akan ada gejala ekstrapulmoner seperti nyeri
tulang, stagnasi (vena cava superior syndroma).
Rata – rata lama hidup pasien dengan kanker paru mulai dari diagnosis
awal 2 – 5 tahun. Alasannya adalah pada saat kanker paru terdiagnosa,
sudah metastase ke daerah limfatik dan lainnya. Pada pasien lansia dan
pasien dengan kondisi penyakit lain, lama hidup mungkin lebih pendek.
a. System respirasi; Mengi, batuk, atelektasis, sesak nafas, nyeri dada,
batuk produktif tak efektif, suara nafas: mengi pada inspirasi
b. System kardiovaskuler: leucopenia granulositopenia, anemia,
perdarahan, tachycardia, disritmia, menunjukkan efusi (gesekan
pericardial)
c. System integumen; lesi atau ulserasi kulit, rambut rontok.
d. System gastrointestinal: Deficit nutrisi, inkontinensia usus, penurunan
berat badan, anoreksia disfagia, penurunan intake makanan.
e. System neurologis; Perasaan takut/takut hasil pembedahan,
kegelisahan.
f. System urinarius: Peningkatan frekuensi/jumlah urine.

E. PATOFISIOLOGI
Permulaan terjadinya tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat
initiation yang merangsang permulaan terjadinya perubahan sel. Diperlukan
perangsangan yang lama dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya
penyakit tumor. Initiati agent biasanya bisa berupa unsur kimia, fisik atau
biologis yang berkemampuan beraksi langsung dan merubah struktur dasar
dari komponen genetic (DNA). Keadaan selanjutnya akibat keterpaparan
yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma dengan terbentuknya
formasi tumor. Hal ini dapat berlangsung lama, minggu bahkan sampai
tahunan.
Tumor paru yang terdapat pada bronkus dapat menyebabkan ulserasi
bronchus yang memicu terjadinya reaksi radang pada bronkus dan
menghasilkan produksi secret yang banyak hingga merangsang refleks batuk
yang dapat memberi efek anoreksia dan penurunan intake. Selain itu,
metaplasia sel skuamosa pada bronchus dapat menyebabkan obstruksi
bronkus hingga mengakibatkan empisema dan terjadi gangguan pertukaran
gas.

Asap rokok, polusi Udara


Pemajanan Okupasi

Iritasi mukosa Bronkus

Peradangan Kronik

Pembelahan sel yang tidak terkendali

Karsinoma paru

Iritasi oleh massa tumor Adanya massa dalam paru


Nyeri Peningkatan Kerusakan membran alveoli
Sekresi mukus Gangguan pertukaran gas
Penurunan ekspansi paru
Batuk Sesak nafas

Pola nafas tidak efetkif

Bersihan jalan nafas tidak efektif malaise


Intoleran aktivitas
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Chest x – ray ( pandangan lateral dan poteroanterior), tomografi dada dan
CT scanning.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi
adanya kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi.
Dapat menyatakan massa udara pada bagian hilus, effuse pleural,
atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.
Pada kanker paru, pemeriksaan foto rontgen dada ulang
diperlukan juga untuk menilai doubling time-ny*.Dilaporkan bahwa,
kebanyakan kanker paru mempunyai doubling time antara 37-465
hari.Bila doubling time > 18 bulan, berarti tumoraya benigna.Tanda-tanda
tumor benigna lainnya adalah lesi berbentuk bulat konsentris, solid dan
adanya kalsifikasi yang tegas.
Pemeriksaan foto rontgen dada dengan cara tomografi lebih
akurat menunjang kemungkinan adanya tumor paru, bila dengan cara foto
dada biasa tidak dapat memastikan keberadaan tumor. Pemeriksaan
penunjang radiologis lain yang kadang-kadang diperlukan juga adalah
bronkografi, fluoroskopi, superior vena cavografi, ventilation/perfusion
scanning, ultrasound sonography.
Pemeriksaan CT Scan pada torak, lebih sensitif daripada
pemeriksaan foto dada biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau
nodul dengan diameter minimal 3 mm, walaupun positif palsu untuk
kelainan sebesar itu mencapai 25-60%. Bila fasilitas ini
memungkinkan, pemeriksaan CT Scan bisa sebagai pemeriksaan
skrining kedua setelah foto dada biasa.
2. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin
dikerjakan, karena ia hanya terbatas untuk menilai kelainan tumor yang
menginvasi kedalam vertebra, medula spinal, mediastinum, di samping
biayanya juga cukup mahal.
Pemeriksaan MRI torak tidak lebih superior dibandingkan CT Scan
torak. Saat ini sedang dikembangkan teknik imaging yang lebih akurat
yakni Positron Emission Tomography (PET) yang dapat membedakan
tumor jinak dan ganas berdasarkan perbedaan biokimia dalam
metabolisme zat-zat seperti glukosa, oksigen, protein, asam nukleat
Cootoh zat yang dipakai: methionine 11C dari F-18 Jluorodeoxyglucose
(FD6).
Tumor yang kurang dari 1 cm, agak sulit dideteksi karena ukuran
kecil tersebut kurang diresolusi oleh PET Scanner. Sensitivitas dan
spesifisitas cara PET ini dilaporkan 83-93% sensitif dan 60-90% spesifik.
Beberapa positif palsu untuk tanda mahgnan ditemukan juga pada iesi
inflamasi dan infeksi seperti aspergilosis dan tuberkulosis. Sungguhpun
begitu dari beberapa studi diketahui pemeriksaan PET mempunyai nilai
akurasi lebih baik daripada pemeriksaan CT Scan.
3. Bone scanning
Pemeriksaan ini diperlukan bila diduga ada tanda-tanda metastasis ke
tulang.Insiden tumor Non Small Cell Lung Cancer (NSCLQ ke tulang
dilaporkan sebesar 15%.
4. Tes laboratorium
5. Pengumpulan sputum untuk sitologi, bronkoskopi dengan biopsi, hapusan
dan perkutaneus biopsy
Pemeriksaan sitologi sputum rutin dikerjakan terutama bila pasien
ada kehihan seperti batuk. Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan
hasil positif karena ia tergantung dari:
Letak tumor terhadap bronkus, Jenis tumor, Teknik mengeluarkan
sputum, Jumlah sputum yang diperiksa. Dianjurkan pemeriksaan 3-5 hari
berturut-turut, Waktu pemeriksaan sputum (sputum harus segar). Pada
kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat
memberikan hasil positif sampai 67-85% pada karsinoma sel skuamosa.
Pemeriksaan sitologi sputum dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin dan
skrining untuk diagnosis dini kanker paru, dan saat ini sedang
dikembangkan diagnosis dini pemeriksaan sputum memakai immune
staining dengan MAb dengan antibodi 624H untuk antigen SCLC (small
cell lung cancer) dan antibodi 703 D. untuk antigen NSCLC (non small
cell lung cancer). Laporan dari National Cancer Institute USA tehnik ini
memberikan hasil 91% sensitif dan 88% spesifik..
Pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker paru dapat
dilakukan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening servikal,
supraklavikula, bilasan dan sikatan bronkus pada bronkoskopi.
6. Mediastinoskopi
Tehnik ini digunakan untuk mengambil sampel kelenjar limfa
mediatinum yang mengalami pembesaran, hal ini dilakukan jika tidak
nampak tumor pulmonal.

G. PENATALAKSANAAN
Prinsip penetalaksaan dari tumor paru ada 3, yaitu :
a. Manajemen umum : terapi radiasi
b. Pembedahan : Lobektomi, pneumonektomi, dan reseksi.
c. Terapi obat : kemoterapi

Terapi medis terdiri dari :

a. Manajemen umum : terapi radiasi


Radioterapi radikal, digunakan pada kasus kanker paru bukan sel
kecil yang tidak bisa dioperasi. Tetapi radikal sesuai untuk penyakit
yang bersifat lokal dan hanya menyembuhkan sedikit diantaranya.
Radioterapi paliatif, untuk hemoptisis, batuk, sesak napas atau nyeri
lokal
b. Pembedahan : Lobektomi, pneumonektomi, dan reseksi.
Pembedahan, memiliki kemungkinan kesembuhan terbaik, namun
hanya < 25% kasus yang bisa dioperasi dan hanya 25% diantaranya (
5% dari semua kasus ) yang telah hidup setelah 5 tahun. Tingkat
mortalitas perioperatif sebesar 3% pada lobektomi dan 6% pada
pneumonektomi. Pembedahan pada kanker paru bertujuan untuk
mengangkat tumor secara total berikut kelenjar getah bening
disekitarnya. Hal ini biasanya dilakukan pada kanker paru yang
tumbuh terbatas pada paru yaitu stadium I (T1 N0 M0 atau T2 N0
M0), kecuali pada kanker paru jenis SCLS. Luas reseksi atau
pembedahan tergantung pada luasnya pertumbuhan tumor di paru.
Pembedahan paliatif mereduksi tumor agar radioterapi dan
kemoterapi lebih efektif, dengan demikian kualitas hidup penderita
kanker paru dapat menjadi lebih baik. Prinsip pembedahan adalah
sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB
intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumoktomi.
Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak
cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku
untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB
mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara
patologis anatonis.
c. Terapi obat : kemoterapi
Kemoterapi, digunakan pada kanker paru sel kecil, karena
pembedahan tidak pernah sesuai dengan histologi kanker jenis ini.
Peran kemoterapi pada kanker bukan sel kecil belum jelas.
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru
karsinoma sel kecil (KPKSK) dan beberapa tahun sebelumnya
diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker paru karsinoma bukan
sel kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif
adalah mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh
perkembangan sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita. Tetapi akhir-akhir ini berbagai
penelitian telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk KPKBSK
sebagai upaya memperbaiki prognosis, baik sebagai modaliti tunggal
maupun bersama modiliti lain, yaitu radioterapi dan atau
pembedahan. Indikasi pemberian kemoterapai pada kanker paru
ialah:
1. Penderita kanker paru jenis karsinoma kecil (KPKSK) tanpa atau
dengan gejala.
2. Penderita kanker jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang
inoperabel (stage IIIB dan IV), jika memenuhi syarat dikombinasi
dengan radioterapi, secara konkuren, sekuensial atau alternating
kemoradioterapi.
3. Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru
jenis karsinoma bukan sel kecil stage I, II, dan III yang telah dibedah.
4. Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA
dan beberapa kasus stage IIIB yang akan menjalani pembedahan.
Dalam hal ini kemoterapi merupakan bagian terapi multimodaliti.

Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus


menjalani pemeriksaan dan penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :

1) Diagnosis hispatologis telah dipastikan


Pemilihan obat yang digunakan tergantung pada jenis histologis. Oleh
karena itu diagnosis histologis perlu ditegakkan.
2) Pemeriksaan darah perifer untuk pemberian siklus pertama:
Leukosit > 4.000/mm3
Trombosit > 100.000/mm3
Hemoglobin> 10 g%. bila perlu, transfusi darah diberikan sebelum
pemberian obat.Sedangkan untuk pemberian siklus berikutnya, jika
nilai di atas itu lebih rendah maka beberapa obat masih dapat
diberikan dengan penyesuaian dosis.
3) Sebaiknya faal hati dalam batas normal
4) Faal ginjal dalam batas normal (creatini clearence lebih dari 70
ml/menit)
5) Evaluasi hasil pengobatan
Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 sikus, bila penderita
menunjukkan respon yang memadai. Evaluasi respon terpai dilakukan
dengan melihat perubahan ukuran tumor pada foto thorax PA setelah
pemberian (siklus) kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan
menggunakan CT-Scan toraks setelah 4 kali pemberian (PDPI, 2003).

d. Terapi endobronkia, seperti kerioterapi, tetapi laser atau penggunaan


stent dapat memulihkan gejala dengan cepat pada pasien dengan
penyakit endobronkial yang signifikan.
Perawatan paliatif, opiat terutama membantu mengurangi nyeri
dan dispnea. Steroid membantu mengurangi gejala non spesifik dan
memperbaiki selera makan.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan
1. Inspeksi
Adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh
yang diperiksa melalui pengamatan. Cahaya yang adekuat diperlukan
agar perawat dapat membedakan warna, bentuk dan kebersihan tubuh
klien. Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh meliputi : ukuran tubuh,
warna, bentuk, posisi, simetris. Dan perlu dibandingkan hasil normal dan
abnormal bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya. Contoh : mata
kuning (ikterus), terdapat struma di leher, kulit kebiruan (sianosis), dan
lain-lain.
2. Palpasi
Palpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan
dan jari-jari adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk
mengumpulkan data, misalnya tentang : temperatur, turgor, bentuk,
kelembaban, vibrasi, ukuran.
a) Langkah-langkah yang perlu diperhatikan selama palpasi :
 Ciptakan lingkungan yang nyaman dan santai.
 Tangan perawat harus dalam keadaan hangat dan kering
 Kuku jari perawat harus dipotong pendek.
 Semua bagian yang nyeri dipalpasi paling akhir.
 Misalnya : adanya tumor, oedema, krepitasi (patah tulang),
dan lain-lain.
3. Perkusi
Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan
tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri
kanan) dengan tujuan menghasilkan suara. Perkusi bertujuan untuk
mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan konsistensi jaringan. Perawat
menggunakan kedua tangannya sebagai alat untuk menghasilkan suara.
a) Adapun suara-suara yang dijumpai pada perkusi adalah :
 Sonor : suara perkusi jaringan yang normal.
 Redup : suara perkusi jaringan yang lebih padat, misalnya di
daerah paru-paru pada pneumonia.
 Pekak : suara perkusi jaringan yang padat seperti pada
perkusi daerah jantung, perkusi daerah hepar.
 Hipersonor/timpani : suara perkusi pada daerah yang lebih
berongga kosong, misalnya daerah caverna paru, pada klien
asthma kronik.
4. Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan
suara yang dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang
disebut dengan stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah : bunyi
jantung, suara nafas, dan bising usus.
a) Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada nafas adalah :
 Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran-
saluran halus pernafasan mengembang pada inspirasi (rales
halus, sedang, kasar). Misalnya pada klien pneumonia, TBC.
 Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat
inspirasi maupun saat ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan
hilang bila klien batuk. Misalnya pada edema paru.
 Wheezing : bunyi yang terdengar “ngiii….k”. bisa dijumpai pada
fase inspirasi maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut,
asma.
 Pleura Friction Rub ; bunyi yang terdengar “kering” seperti suara
gosokan amplas pada kayu. Misalnya pada klien dengan
peradangan pleura.
1) Aktivitas/ istirahat.
Gejala : Kelemahan, ketidakmampuan mempertahankan
kebiasaan rutin, dispnea karena aktivitas.
Tanda : Kelesuan( biasanya tahap lanjut).
2) Sirkulasi.
Gejala : JVD (obstruksi vana kava). Bunyi jantung : gesekan
pericardial (menunjukkan efusi), Takikardi/ disritmia, Jari tabuh.
3) Integritas ego.
Gejala : Perasaan takut. Takut hasil pembedahan,Menolak kondisi
yang berat/ potensi keganasan.
Tanda : Kegelisahan, insomnia, pertanyaan yang diulang – ulang.
4) Eliminasi
Gejala : Diare yang hilang timbul (karsinoma sel kecil).
Peningkatan frekuensi/ jumlah urine (ketidakseimbangan
hormonal, tumor epidermoid)
5) Makanan/ cairan
Gejala : Penurunan berat badan, nafsu makan buruk, penurunan
masukan makanan, Kesulitan menelan, Haus/ peningkatan
masukan cairan.
Tanda : Kurus, atau penampilan kurang berbobot (tahap lanjut)
Edema wajah/ leher, dada punggung (obstruksi vena kava),
edema wajah/ periorbital (ketidakseimbangan hormonal,
karsinoma sel kecil) Glukosa dalam urine (ketidakseimbangan
hormonal, tumor epidermoid).
6) Nyeri/ kenyamanan.
Gejala : Nyeri dada (tidak biasanya ada pada tahap dini dan tidak
selalu pada tahap lanjut) dimana dapat/ tidak dapat dipengaruhi
oleh perubahan posisi. Nyeri bahu/ tangan (khususnya pada sel
besar atau adenokarsinoma) Nyeri abdomen hilang timbul.
7) Pernafasan.
Gejala : Batuk ringan atau perubahan pola batuk dari biasanya
dan atau produksi sputum. Nafas pendek, Pekerja yang terpajan
polutan, debu industri, Serak, paralysis pita suara, Riwayat
merokok
Tanda : Dispnea, meningkat dengan kerja. Peningkatan fremitus
taktil (menunjukkan konsolidasi). Krekels/ mengi pada inspirasi
atau ekspirasi (gangguan aliran udara), krekels/ mengi menetap;
pentimpangan trakea ( area yang mengalami lesi). Hemoptisis.
8) Keamanan.
Tanda : Demam mungkin ada (sel besar atau karsinoma)
Kemerahan, kulit pucat (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma
sel kecil)
9) Seksualitas.
Tanda : Ginekomastia (perubahan hormone neoplastik, karsinoma
sel besar). Amenorea/ impotent (ketidakseimbangan hormonal,
karsinoma sel kecil)
10) Penyuluhan.
Gejala : Faktor resiko keluarga, kanker(khususnya paru),
tuberculosis, Kegagalan untuk membaik

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d produksi sputum yang berlebih
2. Nyeri akut b.d agen cedera
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor
biologis
4. Intoleran aktivitas b.d ketidaksimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan

Ketidak NOC: NIC:


1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning
efektifan - respiratory status:
2. Berikan O2....l/menit, metode.....
bersihan jalan ventilation
3. Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas
nafas b.d - respiratory status:
dalam
produksi airway patency
4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
sputum yang - aspiration control
vantilasi
berlebih Setelah dilakukan
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
asuhan keperawatan
6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
1x24 jam pasien
7. Auskultasi suara nafas. Catat adanya suara
menunjukkan
tambahan
keefektifan jalan nafas
8. Berikan bronkodilator
dengan kriteria hasil:
9. Monitor status dinamik
- mendemonstrasikan
10. Berikan pelembab udara kassa basah NaCl
batuk efektif dan
lembab
suara nafas yang
11. Atur intake untuk ciran mengoptimalkan
bersih, tidak ada
keseimbangan
sianosis dan dyspneu
12. Monitor respirasu dan status O2
- menunjukkan jalan
13. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk
nafas yang paten
mengencerkan sekret
- saturasi O2 dalam 14. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang
batas normal penggunaan peralata: suction, o2, inhalasi

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan

Nyeri akut NOC : NIC : PAIN MANAGEMENT


b.d agen
- Pain Level, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
injury (fisik)
- pain control, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
- comfort level kualitas dan faktor presipitasi
Setelah dilakukan 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
tindakan 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
keperawatan selama 1
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
x 24 jam nyeri dapat
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
berkurang, dengan
kebisingan
kriteria hasil:
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Mampu 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
mengontrol intervensi
nyeri (tahu 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas
- penyebab nyeri, dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
mampu 8. Tingkatkan istirahat
menggunakan 9. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
tehnik nyeri
nonfarmakologi Kolaborasi :
untuk
1. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri bila perlu
mengurangi
nyeri, mencari
bantuan)
- Tanda vital
dalam rentang
normal
- Tidak
mengalami
gangguan tidur
Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan

Ketidak NOC: NIC: NUTRITION MANAGEMENT

seimbang - Nutritional status: adequacy 1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk


an nutrisi of nutrient menentukan jumlah kalori yang di
kurang - Nutrional status: food and butuhkan pasien
dari fluaid intake 2. Monitor adanya penurunan berat
kebutuhan - Weight control badan
tubuh Setelah dilakukan tindakan 3. Monitor kekeringan, rambut kusam,
keperawatan selama.... nutrisi total protein, Hb dan kadar Ht
b.d faktor
kuran teratasi dengan kriteria 4. Monitor mual dan muntah
biologis
hasil: 5. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan konjungtiva
- Albumin serum
6. Monitor intake nutrisi
- Albumin serum 7. Atur posisi semi fowler atau fowler
selama makan
- Hematokrit 8. Anjurkan banyak minum
- Hemoglobin 9. Pertahankan terapi iv line
10. Beri makan sedikit tapi sering
- Total iron binding capasity 11. Kolaborasi pemberian antiemetik:
- Jumlah limfosit Ranitidin

- Tidak terjadi penurunan berat


badan

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan

Intoleran NOC: NIC:


aktivitas - Self care: ADLs 1. Observasi adanya pembatasan klien
b.d - Toleransi aktivitas dalam melakukan aktivitas
ketidaksim - Konservasi energi 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan
bangan Setelah dilakukan asuhan kelelahan
antara keperawatan selama 3x24 3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
suplai dan jam. Pasien bertoleransi adekuat
kebutuhan terhadap aktivitas dengan 4. Monitor pasien akan adanya kelelahan
oksigen kriteria hasil: fisik
- Berpartisipasi dalam 5. Monitor respon kardiovaskuler terhadap
aktivitas fisik tanpa disertai aktivitas
peningkatan tekanan darah, 6. Monitor pola tidur dan lamanya
nadi, dan RR tidur/istirahat pasien
- Mampu melakukan aktivitas 7. Bantu klien untuk mengidentifikasi
sehari-hari secara mandiri aktivitas yang mampu dilakukan
- Keseimbangan aktivitas 8. Bantu untuk memiih aktivitas konsisten
dengan istirahat yang sesuai dengan kemampuan fisik
9. Bantu kien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
aktivitas
10. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan
spiritual
DAFTAR PUSTAKA

Phipps, Wilma. et al, (1991), Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical
Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol
2. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilynn, dkk, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih
bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta

Engram, Barbara, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, alih


bahasa Suharyati S, volume 1, EGC, Jakarta

Carpenito, Lynda Juall.1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai