I. Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir
dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa (Buku Ajar
Nefrologi Anak, edisi 2, hal.323, 2002). Terminologi glomerulonefritis yang dipakai
disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada
glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain.
Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada kutub
vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler . Dalam keadaan
patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan sabit (”
crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler
atau fibrosa.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut single
nefron glomerular filtration rate (SN GFR). Besarnya SN GFR ditentuka oleh faktor
dinding kapiler glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.
IV. Patogenesis
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan
adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut.
Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak
membrane basalis ginjal.
VII. Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap
dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.
VIII. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urine :
Adanya proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan eritrosit
disformik, leukosituria serta torak seluler, granular, eritrosit(++), albumin (+),
silinder lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine adanya streptococcus.
2. Pemeriksaan darah :
a. Kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
b. Jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.
c. Analisa gas darah ; adanya asidosis.
d. Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah.
e. Kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan erytrosit)adanya
anemia
3. Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya streptokokus
4. Pemeriksaan serologis : antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase
5. Pemeriksaan imunologi : IgG, IgM dan C3.kompleks imun
6. Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah
jantung
7. ECG : adanya gambaran gangguan jantung
Urinalisis menunjukkan hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50%
penderita, Kadang-kadang dengan tanda gagal ginjal seperti Kadang-kadang tampak
adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. pada hampir semua pasien
dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar
properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur
alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pasca
streptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan
C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen
akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu
memastikan diagnosa, karena pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan
penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok
dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji
serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya
infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining
antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap
beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80%
pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak
memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen
sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan
adanya infeksi sterptokokus.Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif.
Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji
titer dilakukan secara seri.Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan
C3.kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai
diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.
IX. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu.
Dulu dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu untuk memberi
kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut.
Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis,
melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada.
Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak
dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak
dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat
kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB
dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan.
Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi
dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah,
maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi
seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi.
Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk menenangkan
penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral
diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka
selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas
tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun
dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto
dkk, 1972).
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
KONSEP ASKEP GLOMERULONEFRITIS
I. Pengkajian
1. Identitas klien :
GNA adalah suatu reaksi imunologi yang sering ditemukan pada anak umur 3-7
tahun lebih sering pada pria
2. Riwayat penyakit sebelumnya :
Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat lupus eritematosus
atau penyakit autoimun lain.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Klien mengeluh kencing berwarna seperti cucian daging, bengkak sekitar mata dan
seluruh tubuh. Tidak nafsu makan, mual , muntah dan diare. Badan panas hanya sutu
hari pertama sakit.
4. Riwayat penyakit keluarga :
Perlu dikaji riwayat kesehatan keluarga yang dapat mempengaruhi timbulnya
penyakit G.N seperti hipertensi, diabetes mellitus, sistemik lupus eritematosa,
arthritis dan kanker.
6. Pemeriksaan fisik :
a. Sistem pernafasan :
Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman (pernafasan kusmaul)
b. Sistem kardiovaskuler :
Pada klien dengan G.N biasanya ditemukan adanya hipertensi, gagal jantung
kongestif, edema pulmoner, perikarditis.
c. Sistem pencernaan :
Pada klien dengan G.N biasanya ditemukan adanya anoreksia, nausea, vomiting,
cegukan, rasa metalik tak sedap pada mulut, ulserasi gusi, perdarahan gusi/tidak,
nyeri ulu hati, distensi abdomen, konstipasi.
d. Sistem Genotiurinaria :
Pada klien dengan G.N awal ditemukan adanya poliuri dan nokturi, selanjutnya
berkembang menjado oliguri dan anuri, terdapat proteinuria, hematuria, perubahan
warna urine (kuning pekat, merah, cokelat).
e. Sistem Muskuloskeletal :
Pada klien dengan G.N biasanya ditemukan kelemahan otot, kejang otot, nyeri
pada tulang dan fraktur patologis.
f. Sistem Integumen :
g. Sistem Persyarafan :
7. Pemeriksaan diagnostik
Pada laboratorium didapatkan:
1. Hb menurun ( 8-11 )
2. Ureum dan serum kreatinin meningkat.
( Ureum : Laki-laki = 8,84-24,7 mmol/24jam atau 1-2,8 mg/24jam, wanita = 7,9-
14,1 mmol/24jam atau 0,9-1,6 mg/24jam, Sedangkan Serum kreatinin : Laki-laki
= 55-123 mikromol/L atau 0,6-1,4 mg/dl, wanita = 44-106 mikromol/L atau 0,5-
1,2 mg/dl ).
3. Elektrolit serum (natrium meningkat, normalnya 1100 g)
4. Urinalisis (BJ. Urine meningkat : 1,015-1,025 , albumin Å, Eritrosit Å,
leukosit Å)
5. Pada rontgen: IVP abnormalitas pada sistem penampungan (Ductus koligentes)
6. Pemeriksaan darah
LED meningkat.
Kadar HB menurun.
Albumin serum menurun (++).
Ureum & kreatinin meningkat.
Titer anti streptolisin meningkat.
II. Diagnosa
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal
2. Potensial kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air dan natrium serta
disfungsi ginjal.
3. Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) berhubungan dengan depresi sistem
imun.
4. Potensial gangguan perfusi jaringan: serebral/kardiopulmonal berhubungan dengan
resiko krisis hipertensi.
5. Perubahan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, uremia, kerapuhan
kapiler dan edema.
6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses
penyakit, perawatan dirumah dan instruksi evaluasi.
III. Intervensi
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal
Tujuan : Klien dapat toleransi dengan aktifitas yang dianjurkan.
Intervensi :
a. Pantau kekurangan protein yang berlebihan(proteinuri, albuminuria )
R : Kekurangan protein beerlebihan dapat menimbulkan kelelahan.
b. Gunakan diet protein untuk mengganti protein yang hilang.
R : Diet yang adekuat dapat mengembalikan kehilangan
c. Beri diet tinggi protein tinggi karbohidrat.
R : TKTP berfungsi menggantikan
d. Anjurkan Pasien untuk tirah baring
R : Tirah baring meningkatkan mengurangi penggunaan energi.
e. Berikan latihan selama pembatasan aktifitas.
R : Latihan penting untuk mempertahankan tunos otot
f. Rencana aktifitas denga waktu istirahat.
R : Keseimbangan aktifitas dan istirahat mempertahankan kesegaran.
g. Rencanakan cara progresif untuk kembali beraktifitas normal ; evaluasi tekanan
darah dan haluaran protein urin.
R : Aktifitas yang bertahap menjaga kesembangan dan tidak mmemperparah
proses penyakit