Anda di halaman 1dari 15

Glomerulonefritis

I. Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir
dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa (Buku Ajar
Nefrologi Anak, edisi 2, hal.323, 2002). Terminologi glomerulonefritis yang dipakai
disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada
glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain.

Glumerulonefritis ( juga disebut sindrom nefrotik) , mungkin akut, dimana pada


kasus seseorang dapat meliputi seluruh fungsi ginjal atau kronis ditandai oleh penurunan
fungsi ginjal lambat , tersembunyi , dan progresif yang akhirnya menimbulkan penyakit
ginjal tahap akhir. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai tahap
akhir.
Pada keadaan ini beberapa macam intervensi seperti dialisa atau pencangkokan ginjal
dibutuhkan untuk menopang kehidupan. ( Blaiir, 1990).

Glumerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari


glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti
sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang
menyertai). Hopes (ginjal) mengenali antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk
antibodi untuk menyerangnya. Respons peradangan ini menimbulkan penyebaran
perubahan patofisiologi, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG),
peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma
(terutama albumin) dan SDM , dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan
produksi renin dan aldosteron( Glassock, 1988).

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal


terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan
berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus
yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut
(glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan
adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.

II. Anatomi Fisiologi


Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi
oleh simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan
medula (“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler
berasal dari arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak
nyata, dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan
keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub vaskuler.

Gambar 1. Bagian-bagian Nefron

Di seberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan tubulus contortus


proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh
jaringan yang disebut mesangium, yang terdi ri atas matriks dan sel mesangial.Kapiler-
kapiler dalam keadaan normal tampak paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler
terdapat sel endotel, yang mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar
kapiler terdapat sel epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-
tonjolan sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”. Maka itu sel
epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit
terdapatmembrana basalis glomeruler (GBM=glomerular basement membrane).
Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop
elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari arah
dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan lamina rara externa. Simpai
Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada
membrana basalis simpai Bowman.
Gambar 2. Penampang glomerulus normal dengan mikroskop cahaya

Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada kutub
vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler . Dalam keadaan
patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan sabit (”
crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler
atau fibrosa.

Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus, plasma disaring melalui


dinding kapiler glomerulus. Hasil ultrafiltrasi tersebut yang bebas sel, mengandung
semua substansi plasma seperti ektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatinin, peptida,
protein-protein dengan berat molekul rendah kecuali protein yang berat molekulnya lebih
dari 68.000 (seperto albumin dan globulin). Filtrat dukumpulkan dalam ruang bowman
dan masuk ke dalam tubulus sebelum meningalkan ginjal berupa urin.

Laju filtrasi glomerulus (LFG) atau gromelural filtration rate (GFR) merupakan
penjumlahan seluruh laju filtrasi nefron yang masih berfungsi yang juga disebut single
nefron glomerular filtration rate (SN GFR). Besarnya SN GFR ditentuka oleh faktor
dinding kapiler glomerulus dan gaya Starling dalam kapiler tersebut.

Gambar 3. Filtrasi Glomerulus: Resistemsi Vaskuler dan Konduktivitas Hidrolik


III. Etiologi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A
tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya
glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten
selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih
bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya.
Kemungkinan faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi
terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut
yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi
ginjal. Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut
pasca streptococcus terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3
tahun. Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat
mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga
pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan
kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit
ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti
keracunan timah hitam tridion, penyakit amiloid, trombosis vena renalis, purpura
anafilaktoid dan lupus eritematosus.

IV. Patogenesis
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan
adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut.
Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak
membrane basalis ginjal.

Gambar 4. Penyakit Glomerulus


V. Klasifikasi
a. Congenital (herediter)
1. Sindrom Alport
Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis
progresif familial yang seing disertai tuli syaraf dan kelainan mata seperti
lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport merupakan penyebab dari 3%
anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua pasien yang mendapatkan
cangkok ginjal. Dalam suatu penelitian terhadap anak dengan hematuria yang
dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata penderita
sindrom alport. Gejala klinis yang utama adalah hematuria, umumnya berupa
hematuria mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata timbul pada saat
menderita infeksi saluran nafas atas. Hilangnya pendengaran secara bilateral dari
sensorineural, dan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru
tampak pada awal umur sepuluh tahunan.
2. Sindrom Nefrotik Kongenital
Sindroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir.
Gejala proteinuria massif, sembab dan hipoalbuminemia kadang kala baru
terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian. Proteinuria
terdapat pada hampir semua bayi pada saat lahir, juga sering dijumpai hematuria
mikroskopis. Beberapa kelainan laboratoris sindrom nefrotik (hipoproteinemia,
hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan tidak berbeda dengan
sindrom nefrotik jenis lainnya.
b. Glomerulonefritis Primer
1. Glomerulonefritis Membranoproliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan
gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai
glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan hematuria mikroskopik
dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut
dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan
gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai
riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira
glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.
2. Glomerulonefritis Membranosa
Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau
setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling
sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati
membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak
dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian
berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak
dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin.
Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80%
sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-
60%, dan hipertensi 30%.
3. Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis
akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga
sering dijumpai pada kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan
sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan
ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik
biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi
misalnya olahraga dan imunisasi.
c. Glomerulonefritis Sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu
glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah
streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak
pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan
keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka
dan hipertensi.

VI. Manifestasi Klinis


1. Hematuria
2. Edema pada wajah terutama periorbita atau seluruh tubuh
3. Oliguria
4. Tanda-tanda payah jantung
5. Hypertensi
6. Muntah-muntah, nafsu makan kurang kadang diare
Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi
tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai kapiler gromelurus
mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti
kopi. Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh
tubuh. Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema
yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang
mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga
terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air
dan natrium. Di pagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggota GFR biasanya menurun (meskipun aliran
plasma ginjal biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin
berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga
berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah
terutama edem periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh
ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya tergantung pada berat peradangan
glomerulus, apakah disertai dengan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat
dilakukan pembatasan garam.
Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama, kemudian
pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan
ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi
permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi,
tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada,
walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal
seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita
GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya
sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat
vasospasme masih belum diketahui dengan jelas.

VII. Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini
disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran
jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja disebabkan spasme
pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma.
Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap
dan kelainan di miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik
yang menurun.
VIII. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urine :
Adanya proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan eritrosit
disformik, leukosituria serta torak seluler, granular, eritrosit(++), albumin (+),
silinder lekosit (+) dan lain-lain. Analisa urine adanya streptococcus.
2. Pemeriksaan darah :
a. Kadar ureum dan kreatinin serum meningkat.
b. Jumlah elektrolit : hiperkalemia, hiperfosfatem dan hipokalsemia.
c. Analisa gas darah ; adanya asidosis.
d. Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah.
e. Kadar albumin, darah lengkap (Hb,leukosit,trombosit dan erytrosit)adanya
anemia
3. Pemeriksaan Kultur tenggorok : menentukan jenis mikroba adanya streptokokus
4. Pemeriksaan serologis : antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase
5. Pemeriksaan imunologi : IgG, IgM dan C3.kompleks imun
6. Pemeriksaan radiologi : foto thorak adanya gambaran edema paru atau payah
jantung
7. ECG : adanya gambaran gangguan jantung
Urinalisis menunjukkan hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50%
penderita, Kadang-kadang dengan tanda gagal ginjal seperti Kadang-kadang tampak
adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. pada hampir semua pasien
dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar
properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur
alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pasca
streptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan
C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen
akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu
memastikan diagnosa, karena pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan
penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok
dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji
serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya
infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining
antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap
beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80%
pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak
memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen
sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan
adanya infeksi sterptokokus.Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif.
Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji
titer dilakukan secara seri.Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan
C3.kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai
diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.

IX. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.
1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu.
Dulu dianjurkan istirahat mutlak selama 6-8 minggu untuk memberi
kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir
menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut.
Pemberian antibiotika ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis,
melainkan mengurangi menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada.
Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian
profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak
dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak
dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat
kecil sekali. Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB
dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan
eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan.
Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan
rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi
dan makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah,
maka diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi
seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi.
Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedativa untuk menenangkan
penderita sehingga dapat cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral
diberikan reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian, maka
selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis rumat, 0,03 mg/kgbb/hari.
Magnesium sulfat parenteral tidak dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.
5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas
tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena pun
dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.
6. Diurektikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1 mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit
tidak berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto
dkk, 1972).
7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan oksigen.
KONSEP ASKEP GLOMERULONEFRITIS

I. Pengkajian
1. Identitas klien :
GNA adalah suatu reaksi imunologi yang sering ditemukan pada anak umur 3-7
tahun lebih sering pada pria
2. Riwayat penyakit sebelumnya :
Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat lupus eritematosus
atau penyakit autoimun lain.
3. Riwayat penyakit sekarang :
Klien mengeluh kencing berwarna seperti cucian daging, bengkak sekitar mata dan
seluruh tubuh. Tidak nafsu makan, mual , muntah dan diare. Badan panas hanya sutu
hari pertama sakit.
4. Riwayat penyakit keluarga :
Perlu dikaji riwayat kesehatan keluarga yang dapat mempengaruhi timbulnya
penyakit G.N seperti hipertensi, diabetes mellitus, sistemik lupus eritematosa,
arthritis dan kanker.

5. Pola fungsi kesehatan :


1. Pola nutrisi dan metabolik :
Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi
kelebihan beban sirkulasi karena adanya retensi natrium dan air, edema pada
sekitar mata dan seluruh tubuh. Klien mudah mengalami infeksi karena adanya
depresi sistem imun. Adanya mual, muntah dan anoreksia menyebabkan intake
nutrisi yang tidak adekuat. BB meningkat karena adanya edema. Perlukaan pada
kulit dapat terjadi karena uremia.
2. Pola Eliminasi :
Eliminasi alvi tidak ada gangguan, eliminasi urin : gangguan pada
glumerulus menyebakan sisa-sisa metabolisme tidak dapat diekskresi dan terjadi
penyerapan kembali air dan natrium pada tubulus yang tidak mengalami
gangguan yang menyebabkan oliguria sampai anuria, proteinuri, hematuria.
3. Pola Aktifitas dan latihan :
Pada Klien dengan kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan
tonus karena adanya hiperkalemia. Dalam perawatan klien perlu istirahat karena
adanya kelainan jantung dan tekanan darah mutlak selama 2 minggu dan
mobilisasi duduk dimulai bila tekanan darah sudah normal selama 1
minggu. Adanya edema paru maka pada inspeksi terlihat retraksi dada,
pengggunaan otot bantu napas, teraba, auskultasi terdengar rales dan krekels,
pasien mengeluh sesak, frekuensi napas. Kelebihan beban
sirkulasi dapat menyebabkan pemmbesaran jantung (Dispnea, ortopnea dan
pasien terlihat lemah), anemia dan hipertensi yang juga disebabkan oleh spasme
pembuluh darah. Hipertensi yang menetap dapat menyebabkan gagal
jantung. Hipertensi ensefalopati merupakan gejala serebrum karena hipertensi
dengan gejala penglihatan kabur, pusing, muntah, dan kejang-kejang. GNA
munculnya tiba-tiba orang tua tidak mengetahui penyebab dan penanganan
penyakit ini.
4. Pola tidur dan istirahat :
Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena adanya
uremia. Keletihan, kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus.
5. Pola kognitif dan perseptual :
Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar dan rasa
gatal. Gangguan penglihatan dapat terjadi apabila terjadi ensefalopati hipertensi.
Hipertemi terjadi pada hari pertama sakit dan ditemukan bila ada infeksi karena
imunitas yang menurun.
5. Persepsi diri :
Klien cemas dan takut karena urinnya berwarna merah dan edema
dan perawatan yang lama. Anak berharap dapat sembuh kembali seperti semula.
6. Hubungan peran :
Anak tidak dibesuk oleh teman – temannya karena jauh dan lingkungan
perawatann yang baru serta kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.

6. Pemeriksaan fisik :
a. Sistem pernafasan :
Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman (pernafasan kusmaul)
b. Sistem kardiovaskuler :
Pada klien dengan G.N biasanya ditemukan adanya hipertensi, gagal jantung
kongestif, edema pulmoner, perikarditis.

c. Sistem pencernaan :

Pada klien dengan G.N biasanya ditemukan adanya anoreksia, nausea, vomiting,
cegukan, rasa metalik tak sedap pada mulut, ulserasi gusi, perdarahan gusi/tidak,
nyeri ulu hati, distensi abdomen, konstipasi.

d. Sistem Genotiurinaria :

Pada klien dengan G.N awal ditemukan adanya poliuri dan nokturi, selanjutnya
berkembang menjado oliguri dan anuri, terdapat proteinuria, hematuria, perubahan
warna urine (kuning pekat, merah, cokelat).
e. Sistem Muskuloskeletal :

Pada klien dengan G.N biasanya ditemukan kelemahan otot, kejang otot, nyeri
pada tulang dan fraktur patologis.

f. Sistem Integumen :

Penurunan turgor kulit, hiperpigmentasi, pruritis, echimosis, pucat.

g. Sistem Persyarafan :

Pada klien dengan G.N biasanya ditemukan letargi, insomnia, nyeri


kepala, tremor, koma.

7. Pemeriksaan diagnostik
Pada laboratorium didapatkan:
1. Hb menurun ( 8-11 )
2. Ureum dan serum kreatinin meningkat.
( Ureum : Laki-laki = 8,84-24,7 mmol/24jam atau 1-2,8 mg/24jam, wanita = 7,9-
14,1 mmol/24jam atau 0,9-1,6 mg/24jam, Sedangkan Serum kreatinin : Laki-laki
= 55-123 mikromol/L atau 0,6-1,4 mg/dl, wanita = 44-106 mikromol/L atau 0,5-
1,2 mg/dl ).
3. Elektrolit serum (natrium meningkat, normalnya 1100 g)
4. Urinalisis (BJ. Urine meningkat : 1,015-1,025 , albumin Å, Eritrosit Å,
leukosit Å)
5. Pada rontgen: IVP abnormalitas pada sistem penampungan (Ductus koligentes)
6. Pemeriksaan darah
 LED meningkat.
 Kadar HB menurun.
 Albumin serum menurun (++).
 Ureum & kreatinin meningkat.
 Titer anti streptolisin meningkat.

II. Diagnosa
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal
2. Potensial kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi air dan natrium serta
disfungsi ginjal.
3. Potensial terjadi infeksi (ISK, lokal, sistemik) berhubungan dengan depresi sistem
imun.
4. Potensial gangguan perfusi jaringan: serebral/kardiopulmonal berhubungan dengan
resiko krisis hipertensi.
5. Perubahan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi, uremia, kerapuhan
kapiler dan edema.
6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses
penyakit, perawatan dirumah dan instruksi evaluasi.

III. Intervensi
1. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan protein dan disfungsi ginjal
Tujuan : Klien dapat toleransi dengan aktifitas yang dianjurkan.
Intervensi :
a. Pantau kekurangan protein yang berlebihan(proteinuri, albuminuria )
R : Kekurangan protein beerlebihan dapat menimbulkan kelelahan.
b. Gunakan diet protein untuk mengganti protein yang hilang.
R : Diet yang adekuat dapat mengembalikan kehilangan
c. Beri diet tinggi protein tinggi karbohidrat.
R : TKTP berfungsi menggantikan
d. Anjurkan Pasien untuk tirah baring
R : Tirah baring meningkatkan mengurangi penggunaan energi.
e. Berikan latihan selama pembatasan aktifitas.
R : Latihan penting untuk mempertahankan tunos otot
f. Rencana aktifitas denga waktu istirahat.
R : Keseimbangan aktifitas dan istirahat mempertahankan kesegaran.
g. Rencanakan cara progresif untuk kembali beraktifitas normal ; evaluasi tekanan
darah dan haluaran protein urin.
R : Aktifitas yang bertahap menjaga kesembangan dan tidak mmemperparah
proses penyakit

Anda mungkin juga menyukai