Paradigma Positivisme
Gagasan pokok yang dicetuskan oleh Agustus Comte pada 1798-1857. Yang merupakan hasil
pemikiran perkembangan yang dilakukan oleh Comte atau dasar paham falsafah dalam alur
tradisi Galilean yang muncul dan berkembang pada abad XVIII. Positivisme menurut KBBI
adalah aliran yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman
dan ilmu yang pasti. Istilah positivisme mengacu pada dua hal berikut, yaitu: pada teori
pengetahuan (epistemologi) dan pada teori tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia.
Pandangan paradigma ini didasarkan pada hukum-hukum dan prosedur-prosedur yang baku;
ilmu dianggap bersifat deduktif,berjalan dari hal yang umum dan bersifat abstrak menuju yang
konkit dan bersifat sepesifik; ilmu dianggap nomotetik, yaitu didasarkan pada hukum-hukum
yang kausal yang universal dan melibatkan sejum-lah variable.Paradigma positivitis pada
akhirnya melahirkan pendekatan kuantitatif. Istilah positivisme identik dengan tesis yang
dikemukakan oleh Aguste Comte mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang
secara linear bergerak dalam urut-urutan yang tidak terputus. Tahap perkembangan manusia ini
sejajar dengan tahap perkembangan masyrakat (kebudayaan dan ilmu pengetahuan). Adapun
tahapannya adalah sebagai berikut.
Positivisme telah mereduksi realitas pada fakta yang teramati dan ijin telah
menyingkirkan dimenangkan dan perspektif lain (dimensi subjek).
Positivisme juga memandang manusia hanya sebagai objek. Pandangan
positivisme ini tidak dapat dibenarkan.
Positivisme tidak mengakui sifat kontingensi, relativitas dan historitas,
pikiran (rasio) manusia. Pendukung positivisme ini, seperti dikemukakan
Hillary Putnam (1983-1989) seakan dapat memposisikan diri sebagaimana
Tuhan melihat realitas dengan transparan apa adanya. Pandangan ini ditolak
oleh Gadamer, Heidegger, Kuhn, Rorty dan tokoh paradigma konstruktivis
dengan mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas,
makhluk historis, sehingga tidak mampu melihat realitas dengan transparan
dan holistik.
Pandangan positivisme tentang keseragaman serta kesatuan hukum alam
(grand theory) tidak mampu jelaskan keberagaman budaya dan keunikan
manusia. Karena itu, pandangan positivisme ini cenderung ditolak oleh
pendukung post-positivisme dan postmoderenisme. Pandangan "kesatuan
dan ilmu pengetahuan" tidak mampu memperhitungkan keanekaragaman
sosial budaya, seperti: budaya lokal, etnis, agama kultur yang berbeda.
Karena itu, dalam ilmu sosial-budaya pandangan ini sering dikritik dan
ditinggalkan.
Kepercayaan positivisme bahwa ilmu pengetahuan akan membawa pada
kemajuan, ternyata disisi lain juga menimbulkan hal-hal negatif bagi
kehidupan (seperti persaingan senjata/perang, kesenjangan antara negara
kaya dan miskin, masalah ekologi dan lain-lain) masalah ini menjadi salah
satu kritik kaum postpositivis terhadap pandangan positivisme ilmiah yang
sangat mempercayai kemampuan ilmu pengetahuan untuk menciptakan
kemakmuran dan keadilan dan masyarakat modern. Ilmu pengetahuan dan
Teknologi tenyata bersifat ambivalen, artinya disamping memberikan
kemudahan, artiny disisi lain memberikan damoak negatif yang sangat
memperihatinkan.
Implikasi teori dalam kajian sosiologi mencerminkan bahwa tokoh yang pertama menggunkan
paradigma ini adalah Auguste Comte. Tentunya Comte sangat meperdulikan bahwa gejala sosial
yang terjadi hendaknya dijawab dengan gejala sosial yang lain. Masyarakat mengalami
perubahan sosial yang tentunya akan berdampak terhadap kegiatan yang dilakukan. Selain
Comte, Durkeim yang telah dijelaskan pada sub bab diatas bahwa kepedulian Durkeim sangat
dipengaruhi dengan teorinya bunuh diri.
Pengaruh paradigma positivisme sangat luas dan kuat dalam kajian sosiologi. Pada paradigma
positivisme dalam pengembangan metodologi ilmiah mampu mengasumsikan pemahaman-
pemahaman pengetahuan ilmiah terhadap cara berpikir pengembangan ilmu pengetahuan.
Sehingga dengan paradigma tersebut realitas sosial bisa diperkedilkan atau disederhanakan.
Paradigma positivisme dalam pemahaman teorinya harus bisa dijuji secara empiris. Fakta-fakta
sosial yang terjadi dapat menunjukkan kebenarnya dan mampu meperjelaskan masalah yang
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2003. FILSAFAT MANUSIA Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Biyanto, 2013. Positivisme dan Non-Positivisme dalam Jurisprudensi. Teosofi: Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam Volume 3, No. 2, Desember 2013
Irwan, 2018. Relevansi Paradigma Positivistik dalam Penelitian Sosiologi Pedesaan. Jurnal
Ilmu Sosial Volume 11, No. 1, Januari - Juni 2018
Muslim, 2015. Varian-Varian Paradigma, Pendekatan, Metode, dan Jenis Penelitian dalam
Ilmu Komunikasi. Wahana Volume 1, No. 10, 2015