Anda di halaman 1dari 5

Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi dalam Paradigma Positivisme

Paradigma Positivisme

Pengertian Paradigma Positivisme

Gagasan pokok yang dicetuskan oleh Agustus Comte pada 1798-1857. Yang merupakan hasil
pemikiran perkembangan yang dilakukan oleh Comte atau dasar paham falsafah dalam alur
tradisi Galilean yang muncul dan berkembang pada abad XVIII. Positivisme menurut KBBI
adalah aliran yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman
dan ilmu yang pasti. Istilah positivisme mengacu pada dua hal berikut, yaitu: pada teori
pengetahuan (epistemologi) dan pada teori tentang perkembangan sejarah (akal budi) manusia.
Pandangan paradigma ini didasarkan pada hukum-hukum dan prosedur-prosedur yang baku;
ilmu dianggap bersifat deduktif,berjalan dari hal yang umum dan bersifat abstrak menuju yang
konkit dan bersifat sepesifik; ilmu dianggap nomotetik, yaitu didasarkan pada hukum-hukum
yang kausal yang universal dan melibatkan sejum-lah variable.Paradigma positivitis pada
akhirnya melahirkan pendekatan kuantitatif. Istilah positivisme identik dengan tesis yang
dikemukakan oleh Aguste Comte mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang
secara linear bergerak dalam urut-urutan yang tidak terputus. Tahap perkembangan manusia ini
sejajar dengan tahap perkembangan masyrakat (kebudayaan dan ilmu pengetahuan). Adapun
tahapannya adalah sebagai berikut.

 Tahap teologis atau tahap mistis


Tahap dimana manusia mencari sebab pertama atau tujuan akhir dari segala sesuatu.
Dalam peristiwa alam diyakini bahwa ada kekuatan supranatural/adikodrati (kekuatan
dewa-dewa) yang mengatur dan menyebabkan semua gejala alam. Semua
permasalahan dan jawaban terhadap pertanyaan fenomena alam dikembalikan pada
kepercayaan teologis yang menurut Comte sendiri terdapat 3 tahapan lagi, yaitu: (1)
Fetitinimisme [manusia menghayati alam semesta dalam Individualitas dan
partikulritasnya], (2) Politeisme [Cara berpikir lebih maju dari Fetitisme yang ditandai
adanya klarifikasi atas dasar kemiripan dan kesamaan], (3) Monoteism [Cara berpikir
dengan tidak mengakui adanya banyak roh (dewa) dari benda-benda dan kejadian-
kejadian, dan hanya mengakui satu roh saja]. Tahap ini mulai mengalamikeredupan
dengan munculnya Renaisans.
 Tahap metafisis
Tahap yang merupakan modifikasi dari tahap teologis, dimana kekuatan dewa-dewa
diganti oleh entitas metafisik (substansi, esensi, roh, dan ide) yang dianggap ada pada
setiap benda pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena alam dengan
mencari sebab-sebab pertama dan tujuan akhir musim penjelasan rasional/spekulatif
berupa abstraksi adalah metode yang diandalkan untuk menemukan hakikat atau
substansi dari segala sesuatu yang metafisis itu. Meskipun zaman ini sudah jauh lebih
maju dari zaman sebelumnya, akan tetapi bagi Comte ilmu pengetahuan masih
terbelenggu oleh konsep-konsep filsafat yang abstrak-universal. Antara tahun 1300-1800
(Renaisans, Reformasi, dan Revolusi Prancis) dianggap sebagai masa transisi ke tahap
positivisme (modern).
 Tahap positif
Tahap ini adalah tahap berpikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan
mengenai Comte berpendapat bahwa tahap positivis(-me) ini merupakan puncak
perkembangan tahap pemikiran umay manusia. Positivisme diartikan oleh Comte
sebagai segala sesuatu yang nyata, jelas, pasti, dan bermanfaat. (Wibisono, 1983,
Smith 1998) .

Dalam positivisme terdapat ajaran dasar. Yaitu:

 Dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui.


 Penyebab dan yang benda-benda alam (hal yang bersifat metafisika) tidak dapat
diketahui (dibandingkan dengan teori evolusi Darwin) karena ilmuan tidak dapat
melihat penyebab itu.
 Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta, dan tidak
mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal.
 Hanya hubungan antara fakta-fakta saja yang dapat diketahui (hal-hal yang bersifat
positivis).
 Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan sosial (Osborne, 2001:
134-135).

Asumsi-asumsi pada Paradigma Positivisme


Asumsi menurut KBBI adalah dugaan yang diterima sebagai dasar; landasan berpikir
yang dianggap benar. Adapun asumsi dalam Paradigma Positivisme adalah sebagai
berikut.
1. Asumsi Ontologis Positivisme
Kata "Ontologis" menurut KBBI adalah cabang ilmu filsafat yang berhubungan
dengan hakikat hidup. Asumsi ontologi, yang mempertanyakan kepada ilmuan
mengenai; apa yang sebenarnya hakikat sesuatu yang diketahui oleh kita? apa
sebenarnya praktis sosial yang terjadi? Sehingga pertanyaan yang dikemukakan
adalah what is nature of reality? Pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan awal
seseorang peneliti untuk memahami realitas sosial. Auguste Comte mengasumsikan
kepada pola pemikiran masyarakat yang mengalami namanya perubahan.
2. Asumsi Epistemologis Positivisme
Kata "Epistemologis" dalam KBBI adalah cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar
dan batas-batas pengetahuan. Asumsi epistemologis, ini adalah asumsi yang sangat
mendasar mengenai jawaban sebagai ilmuan terkait dengan praktik sosial yang
terjadi. Peran pertanyaan yang muncul adalah apa sebenarnya hakikat antara pencari
ilmu dan objek sebagai hasil lapangan? Ini mengambarkan bahwa pertanyaa apa
yang akan dikemukaan seorang peneliti untuk menelaah masalah sosial. Auguste
Comte mengasmsikan bahwa gejala sosial yang terjadi tentunya ada hubungan
dengan permasalahan yang lain. Apakah terkait dengan status sosial dalam
masyarakat itu sendiri.
3. Asumsi Methodologis Positivisme
Menurut KBBI, Methodologis adalah ilmu tentang metode, dan uraian tentang
metode. Asumsi metodologi, para ilmuan menjadikan alat untuk menjawab
persoalan yang terjadi. Artinya metodologi terkait dengan alat apa yang digunakan
untuk menjawab perosalan dalam masyakat. Jika kita telusuri alat yang Comte
melihat masyarakat yaitu observasi. Observasi yang dilakukan oleh Comte dengan
kreasi simultan observasi dengan hukum. Pemahaman ini menekankan kepada
proses fenomena sosial dihubungkan dengan variabel yang lain. Komperasi tersebut
mampu dihubungkan dengan displin ilmu sosial lainnya.
4. Asumsi Aksiologis Positivisme
Menurut KBBI, Aksiologis adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagus kehidupan
manusia, kajian tentang nilai, khususnya etika. Asumsi aksiologi, terkait dengan
nilai apa yang dapat diharapkan dalam sebuah kajian. Sehingga membawa efek
terhadap perubahan masyarakat yang akan datang. Ilmu pengetahuan tersebut akan
memberi efek terhadap perubahan dan dampak menjadi masyarakat yang sejehtera.

Prosedur Penelitian Empiris-Eksperimental Comte


 Observasi
Dengan meneliti dan mencari hubungan antara fakta-fakta, dan meninggal
maunya dari hukum statika dan dinamika. Dari observasi dapat dirumuskan
hipotesis yang akan dibuktikan melalui penelitian.
 Eksperimen
Dengan menemukan fenomena sosial dengan cara tertentu yang diintervensi oleh
cara tertentu, sehingga dapat dijelaskan sebab-akibat fenomena masyarakat
(misalnya studi tentang pathologi dan keresahan) dan mendapat pemahaman
tentang bagaimana masyarakat yang normal)
 Perbandingan (Komparasi)
Dalam sosiologi studi komparatif bisa dilakukan antara dua
masyarakat/kebudayaan (studi antropologi) ,atau antara dua periode dalam
masyarakat tertentu (sosiologi historis).

Kelemahan Paradigma Positivisme

 Positivisme telah mereduksi realitas pada fakta yang teramati dan ijin telah
menyingkirkan dimenangkan dan perspektif lain (dimensi subjek).
Positivisme juga memandang manusia hanya sebagai objek. Pandangan
positivisme ini tidak dapat dibenarkan.
 Positivisme tidak mengakui sifat kontingensi, relativitas dan historitas,
pikiran (rasio) manusia. Pendukung positivisme ini, seperti dikemukakan
Hillary Putnam (1983-1989) seakan dapat memposisikan diri sebagaimana
Tuhan melihat realitas dengan transparan apa adanya. Pandangan ini ditolak
oleh Gadamer, Heidegger, Kuhn, Rorty dan tokoh paradigma konstruktivis
dengan mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas,
makhluk historis, sehingga tidak mampu melihat realitas dengan transparan
dan holistik.
 Pandangan positivisme tentang keseragaman serta kesatuan hukum alam
(grand theory) tidak mampu jelaskan keberagaman budaya dan keunikan
manusia. Karena itu, pandangan positivisme ini cenderung ditolak oleh
pendukung post-positivisme dan postmoderenisme. Pandangan "kesatuan
dan ilmu pengetahuan" tidak mampu memperhitungkan keanekaragaman
sosial budaya, seperti: budaya lokal, etnis, agama kultur yang berbeda.
Karena itu, dalam ilmu sosial-budaya pandangan ini sering dikritik dan
ditinggalkan.
 Kepercayaan positivisme bahwa ilmu pengetahuan akan membawa pada
kemajuan, ternyata disisi lain juga menimbulkan hal-hal negatif bagi
kehidupan (seperti persaingan senjata/perang, kesenjangan antara negara
kaya dan miskin, masalah ekologi dan lain-lain) masalah ini menjadi salah
satu kritik kaum postpositivis terhadap pandangan positivisme ilmiah yang
sangat mempercayai kemampuan ilmu pengetahuan untuk menciptakan
kemakmuran dan keadilan dan masyarakat modern. Ilmu pengetahuan dan
Teknologi tenyata bersifat ambivalen, artinya disamping memberikan
kemudahan, artiny disisi lain memberikan damoak negatif yang sangat
memperihatinkan.

Paradigma Positivistik dalam Implikasi Teori Sosiologi

Implikasi teori dalam kajian sosiologi mencerminkan bahwa tokoh yang pertama menggunkan
paradigma ini adalah Auguste Comte. Tentunya Comte sangat meperdulikan bahwa gejala sosial
yang terjadi hendaknya dijawab dengan gejala sosial yang lain. Masyarakat mengalami
perubahan sosial yang tentunya akan berdampak terhadap kegiatan yang dilakukan. Selain
Comte, Durkeim yang telah dijelaskan pada sub bab diatas bahwa kepedulian Durkeim sangat
dipengaruhi dengan teorinya bunuh diri.

Paradigma positivistik sebagai metode untuk mengeneralisasikan perpecahan masalah sosial


yang terjadi. Sumbangan atau kontribusi dalam kajian sosiologi paradigma potivistik dipandang
sebagai menebarkan kesesatan dalam memandang realitas. Pemahaman teori Comte dan
Durkheim melihat dan mengakui bahwa kebenaran dinilai mutlak dan implementasinya bahwa
nilai-nilai norma dalam masyarakat bisa diukur dan dibuktikan secara ilmiah.

Paradigma positivisme mencakup pada pendekatan sistematis dalam mengumpulkan data


dilapangan dan menemuka hukum-hukum alam yang terjadi. Comte beranggapan bahwa hukum
alam merupakan pernyataan dari keteraturan hubungan yang terjadi diantara praktek sosial
dengan sosial lainnya. Untuk itu, paradigma positivisme harus mampu menjawab persoalan dan
tantangan terhadap gejala secara empiris. Paradigma positivisme percaya bahwa manusia
merupakan bagian dari alam dan metode yang digunakan mampu menemukan hukum-hukum
alam dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, paradigma positivisme dianggap real dan
bermanfaat untuk menyederhanakan fenomena sosial yang terjadi. Comte kerangka
pemikirannya merujuk kepada pendekatan-pendekatan ilmiah yang tentunya mempelajari
kehidupan manusia.

Pengaruh paradigma positivisme sangat luas dan kuat dalam kajian sosiologi. Pada paradigma
positivisme dalam pengembangan metodologi ilmiah mampu mengasumsikan pemahaman-
pemahaman pengetahuan ilmiah terhadap cara berpikir pengembangan ilmu pengetahuan.
Sehingga dengan paradigma tersebut realitas sosial bisa diperkedilkan atau disederhanakan.
Paradigma positivisme dalam pemahaman teorinya harus bisa dijuji secara empiris. Fakta-fakta
sosial yang terjadi dapat menunjukkan kebenarnya dan mampu meperjelaskan masalah yang
terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2003. FILSAFAT MANUSIA Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.

Biyanto, 2013. Positivisme dan Non-Positivisme dalam Jurisprudensi. Teosofi: Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam Volume 3, No. 2, Desember 2013

Irwan, 2018. Relevansi Paradigma Positivistik dalam Penelitian Sosiologi Pedesaan. Jurnal
Ilmu Sosial Volume 11, No. 1, Januari - Juni 2018

Muslim, 2015. Varian-Varian Paradigma, Pendekatan, Metode, dan Jenis Penelitian dalam
Ilmu Komunikasi. Wahana Volume 1, No. 10, 2015

Anda mungkin juga menyukai