Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KRITIS

“Spinal Cord Injury/Cedera Medula Spinal”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :

1. ALDILLA KAHAR WATI 16.156.01.11.002


2. DEPI MULYANI 16.156.01.11.009
3. DEVI APRILIANTI 16.156.01.11.012
4. HERMINA NOVI 16.156.01.11.016
5. NINA FADILAH 16.156.01.11.025
6. RAYHAN ADITYA PRATAMA 16.156.01.11.030
7. SEPTI AMELIA 16.156.01.11.033

4A KEPERAWATAN

STIKES MEDISTRA INDONESIA


Jl. CUT MEUTIA RAYA NO. 88A BEKASI, JAWA BARAT INDONESIA
TAHUN PELAJARAN 2017/2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas kegawatdaruratan II tentang “Asuhan Keperawatan Spinal Cord
Injury/Cedera Medula Spinal” ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini, kami sebagai penyusun terimakasih kepada Dosen pembimbing
yang telah membimbing dalam penyelesaian tugas ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu tidak bisa kami sebutkan satu-persatu.
Kami sadar bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan tugas ini di masa yang akan
datang. Penulis juga berharap tugas ini dapat berguna bagi pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah
L1-L2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis dan
lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera medula
spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 sampai 500.000
orang hampir di setiap negara, dengan perkiraan 10.000 cedera baru yang terjadi setiap
tahunnya. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar 75% dari seluruh
cedera. Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor, selain itu
banyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka tembak.
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada
daerah servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini adalah
paling rentan karena ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral
pada area ini. Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita
karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih
banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause). Klien yang mengalami trauma medulla spinalis
khususnya bone loss pada L2-L3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam
pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain
itu klien juga beresiko mengalami komplikasi trauma spinal seperti syok spinal,
trombosis vena profunda, gagal napas, pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari
itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan cara promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari
masalah yang paling buruk.
Kecelakaan medula spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
tempat yang paling sering terkena cidera adalah regio servikalis dan persambungan
thorak dan regio lumbal. Lesi trauma yang berat dari medula spinalis dapat menimbulkan
transaksi dari medula spinalis atau merobek medula spinalis dari satu tepi ke tepi yang
lain pada tingkat tertentu disertai hilangnya fungsi. Pada tingkat awal semua cidera akibat
medula spinalis / tulang belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek.
Fungsi sensori dan autonom juga hilang, medula spinalis juga bisa menyebabkan
gangguan sistem perkemihan, disrefleksi otonom atau hiperefleksi serta fungsi seksual
juga dapat terganggu.
Perawatan awal setelah terjadi cidera kepala medula spinalis ditujukan pada
pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi. Langkah-
langkahnya terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal, tindakan bedah untuk
membebaskan kompresi spina. Sangat penting untuk mempertahankan tubuh dengan
tubuh dipertahankan lurus dan kepala rata. Kantong pasir mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kedudukan tubuh.
Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah pengkajian
lokasi kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi kejadian tidak dilakukan maka
akan membahayakan jiwa paramedik dan orang lain di sekitarnya sehingga jumlah
korban akan meningkat. Dalam kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat
setelah kejadian, kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian
akibat komplikasi dan kegagalan fungsi organ-organ vital
Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat kejadian, biasanya
akibat cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik. Kematian akibat hal ini
tidak dapat dicegah. Kematian berikutnya mungkin muncul sekitar sejam atau dua jam
sesudah trauma. Kematian pada fase ini biasanya diakibatkan oleh hematoma subdural
atau epidural, hemo atau pneumothorak, robeknya organ-organ tubuh atau kehilangan
darah. Kematian akibat cedera-cedera tersebut dapat dicegah. Periode ini disebut sebagai
“golden hour” dimana tindakan yang segera dan tepat dapat menyelamatkan nyawa
korban.
Yang ketiga dapat terjadi beberapa hari setelah kejadian dan biasanya
diaklibatkan oleh sepsis atau kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dan segera untuk
mengatasi syok dan hipoksemia selama ‘golden hour’ dapat mengurangi resiko kematian
ini.
Dalam menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secara cepat dan
tepat, paramedik harus tetap mengutamakan keselamatan dirinya sebagai prioritas utama
sebelum menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah lokasi kejadian sudah benar-benar
aman untuk tindakan pertolongan.
Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya makalah yang berjudul
“Trauma medulla spinalis” dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat
meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing
memiliki sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramen
inverterbra. Terdapat 8 pasang saraf servikalis, 12 pasang torakalis, 5 pasang lumbalis, 5
pasang sakralis, dan 1 pasang saraf kogsigis.

Cidera sumsum tulang belakang adalah kerusakan pada bagian syaraf diujung
kanal tulang belakang (cauda equineYH). Muttaqin (2008) menyebut bahwa trauma pada
tulang belakang (spinal cors injury) adalah cidera yang mengenai servikal, vertebralis dan
lumbalis dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cidera ini sering
menyebabkan perubahan permanen pada kekuatan, sensasi, dan fungsi tubuh lainnya
dibawah lokasi cidera.
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).
Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan otomobil, industri terjatuh,
olah-raga, menyelam, luka tusuk, tembak dan tumor.
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai
servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan
sebagainya. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang
belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang
atau spinal kord. .Apa bila Trauma itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan
tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka
dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.
(Muttaqin, 2008).
Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang diakibatkan
terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer.
Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan komplet atau inkomplet.

B. ETIOLOGI
1. Cidera syaraf tulang belakang (sumsum tulang belakang)
Cidera syaraf tulang belakang dapat terjadi akibat kerusakan pada tulang
belakang, ligament, atau diskus dari sumsum tulang belakang. Cidera sumsum
tulang belakang traumatis dapat berasal dari pukulan traumatis mendadak ke
tulang belakang yang patah, terkilir, remuk, tekanan satu atau lebih dari tulang
belakang. Cidera juga bisa diakibatkan oleh luka tembak atau pisau yang
menembus dan memotong sumsum tulang belakang.
Keruskaan tambahan biasanya terjadi selama beberapa hari/minggu karena
perdarahan, pembengkakan, peradangan, dan penumpukan cairan didalam dan
diluar sekitar sumsum tulang belakang. Cidera sumsum tulang belakang non
traumatic dapat disebakan oleh artritis, kanker, peradangan, infeksi atau
degenerasi diskus tulang belakang.
2. Gangguan Pada Otak Dan Sistem Syaraf Pusat
Sistem syaraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.
Sumsum tulang belakang terbuat dari jaringan lunak dan dikelilingi oleh tulang
(vertebrata) memanjang kebawah dari dasar otak, dan terdiri dari dasar otak, dan
terdiri dari sel-sel syaraf dan sekelompok syaraf yang disebut traktat menuju ke
berbagai bagian tubuh.
Ujung bawah sumsum tulang belakang berakhir diatas pinggang, di
wilayah yang disebut conus medullaris. Di bawah wilayah ini terdapat
sekelompok akar saraf yang disebut cauda equine. Sumsum tulang belakang
berfungsi membawa pesan antara otak dan seluruh tubuh. Saluran motoric
membawa sinyal dari otak untuk mengontrol gerakan otot. Saluran sensoris
membawa sinyal dari bagian tubuh ke otak yang berkaitan dengan panas, dingin,
tekanan, rasa sakit, dan posisi anggota tubuh.
3. Keruskaan Serabut Saraf
Kerusakan memengaruhi serabut saraf pada area luka dan dapat merusak
sebagian atau seluruh otot dan saraf yang bersesuaian dibawah lokasi cedera.
Cedera dada (toraks) atau punggung bawah (lumbar) dapat memengaruhi control
batang tubuh. Kaki, usus dan kandung kemih, dan fungsi seksual. Cedera leher
serviks memengaruhi area yang smaa, selain memengaruhi gerakan lengan dan
kemampuan untuk bernafas.
4. Penyebab paling umum cedera sum sum tulang belakang antara lain:
a) Kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan mobil dan motor adalah
penyebab utama cedera sum sum tulang belakang.
b) Jatuh. Cedera sumsum tulang belakang setelah usia 65 tahun paling sering
disebabkan oleh jatuh. Secara keseluruhan, jatuh menyebabkan lebih dari
15 % cedera sumsum tulang belakang.
c) Kekerasaan. Sekitar 12 % dari cedera tulang belakang terjadi akibat
kekerasan, seringkali melibatkan luka tembak dan pisau
d) Cedera olahraga dan rekreasi. Kegiatan atletik dapat menyebabkan sekitar
10 % cedera tulang belakang.
e) Alcohol. Satu dari empat kasus cedera tulang belakang terjadi pada
pengguna alcohol.
f) Penyakit. Kanker, radang sendi, osteoporosis, dan peradangan pada
sumsum tulang belakang juga dapat menyebabkan cedera tulang belakang.
C. KLASIFIKASI
Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan:
1. Komosio modula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi mendula spinalis hilang
sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara sempurna. Kerusakan pada
komosio medula spinalis dapat berupa edema, perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan
infark pada sekitar pembuluh darah.
2. Komprensi medula spinalis berhubngan dengan cedera vertebral, akibat dari tekanan
pada edula spinalis.
3. Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata, ligament dengan
terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan reaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi kerusakan
medula spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka tembak. Hilangnya fungsi
medula spinalis umumnya bersifat permanen.

D. MANIFESTASI KLINIS
Kemampuan seseorang untuk mengontrol anggota tubuhnya setelah cedera tulang
belakang tergantung pada dua factor: lokasi cedera disepanjang sumsum tulang belakang
dan tingkat keparahan cedera pada sumsum tulang belakang.
Tingkat keparahan cedera terbagi menjadi 2 yaitu: cedera lengkap dan tidak
lengkap. Dikatakan lengkap apabila kemampuan sensorik dan semua kemampuan untuk
mengontrol gerakan (fungsi motor) hilang karena cedera sumsum tulang belakang,
sedangkan disebut tidak lengkap jika pasien memiliki bebrapa fungsi motoric atau fungsi
sensorik diarea yang terkena cedera
Selain itu, kelumpuhan dari cedera sumsum tulang belakang dapat disebut sebagai
tetra plegia dan paraplegia. Tetra plegia juga dikenal sebagai quadriplegia, dimana
lengan, tangan, batang tubuh, kaki, dan organ panggul semuanya dipengaruhi oleh cedera
tulang belakang. Sementara, para plegia didefinisikan sebagai kelumpuhan yang
memengaruhi seluruh atau sebagian batang tubuh, kaki, dan organ panggul.
Cedera medulla spinalis dalam bentuk apapun dapat menyebabkan satu atau lebih tanda
dan gejala berikut :
1. Kesulitan bergerak / imobilitas.
2. Kehilangan atau perubahan sensasi, termasuk kemampuan merasakan panas,
dingin, dan sentuhan.
3. Hilangnya control usus atau kandung kemih
4. Aktivitas refleks yang berlebihan atau kejang
5. Perubahan fungsi seksual, kepekaan seksual dan kesuburan.
6. Nyeri atau sensasi menyengat yang intens yang disebabkan oleh kerusakan
serabut saraf di medulla spinalis.
7. Kesulitan bernafas, batuk, atau membersihkan sekresi dari paru-paru.

Tanda-tanda darurat dan gejala cedera tulang belakang setelah kecelakaan meliputi:

1. Nyeri punggung atau nyeri tekan ekstrim dileher, kepala, atau punggung.
2. Kelemahan, ketidakadaan koordinasi, atau kelumpuhan dibagian tubuh.
3. Mati rasa, kesemutan, atau kehilangan sensasi ditangan, jari, kaki, atau jari
kaki.
4. Kehilangan control kandung kemih atau usus.
5. Kesulitan dengan keseimbangan dan berjalan.
6. Gangguan pernapasan setelah cedera.

E. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll ) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, dll )
dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatis pada medulla
spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash “atau
trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsa pleksi dan antetrofleksi berlebihan dari tulang
belakang dari secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang
bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah. Sebagai contoh, pada waktu duduk
dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu
jatuh dan pada saat menyelam yang dapat mengakibatkan para plegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang dapat berupa hiperekstensi, hiperfleksi ,
tekanan ventrikel (terutama pada T.12 dan L.2 ). Kerusakan yang dialami medulla spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medulla
spinalis tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh
kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan berupa edema, perdarahan peri
vaskuler, dan infark di sekitar pembuluh darah (Wilberger, 2017).

F. FAKTOR RISIKO
Meskipun cedera tulang belakang biasanya merupakan hasil dari kecelakaan dan
dapat terjadi pada siapa saja, factor-faktor tertentu dapat memengaruhi resiko tinggi cedera
saraf tulang belakang dalam waktu lama, termasuk:
1. Berjenis kelamin laki-laki
2. Berada diantara usia 16 dan 30 tahun.
3. Berusia 65 tahun atau lebih
4. Terlibat dalam perilaku berisiko
5. Memiliki gangguan tulang atau sendi.

G. KOMPLIKASI
Area yang sering terpengaruh akibat cedera tulang belakang meliputi:
1. Control kandung kemih. Kandung kemih akan terus menyimpan urine dari ginjal.
Namun, otak mungkin tidak dapat mengontrol kandung kemih karena sussum tulang
belakang sebagai pembawa pesan telah terluka. Perubahan control kandung kemih
meningkatkan risiko infeksi slauran kandung kemih. Perubahan juga dapat
menyebabkan infeksi ginjal dan batu ginjal atau kandung kemih.
2. Kontrol usus. Meskipun perut dan usus bekerja seperti sebelum cedera control buang
air besar bisa terpengaruh oleh cedera tulang belakang. Diet tinggi serat dapat
membantu mengatur kerja khusus.
3. Sensasi kulit. Pasien mungkin kehilangan sebagian atau seluruh sensasi kulit. Oleh
karena itu kulit tidak dapat mengirim pesan ke otak ketika terluka oleh hal-hal
tertentu seperti tekanan yang berkepanjangan, panas, atau dingin. Hal ini dapat
membuat pasien lebih rentan terhadap luka tekan.
4. Control sirkulasi. Cedera saraf tulang belakang dapat menyebabkan masalah sirkulasi
mulai dari tekanan darah rendah (hipotensi ortostatik) hingga pembengkakan
ekstrimitas. Perubahan sirkulasi ini juga dapat meningkatkan risiko pembekuan darah,
seperti thrombosis vena dalam atau emboli paru. Masalah lain dengan control
sirkulasi adalah peningkatan tekanan darah yang mengancam jiwa (hiperrfleksia
otonom).
5. Sistem pernafasan. Cedera dapat membuat pasien lebih sulit untuk bernafas dan batuk
jika otot-otot perut dan dada terpengaruh, termasuk diafragma dan otot-otot didinding
dada dan perut. Tingkat cedera neurologis akan menentukan masalah pernafasan apa
yang dimiliki pasien.
6. Bentuk otot. Beberapa organ dengan cedera sumsum tulang belakang mengalami satu
dari dua jenis masalah otot: pengencangan atau gerakan yang terkontrol pada otot
(kelenturan) atau otot yang lemah dan lemas yang kekurangan otot (flakditas).
7. Masalah kebugaran. Penurunan berat badan dan atrofi otot umumnya terjadi segera
setelah cedera tulang belakang. Mobilitas terbatas dapat menyebabkan gaya hidup
yang lebih menetap, menempatkan pasien pada resiko obesitas, penyakit
kardiovaskuler dan diabetes.
8. Kesehatan seksual. Seksualitas, kesuburan, dan fungsi seksual, dapat dipengaruhi
oleh cedera tulang belakang.
9. Rasa sakit. Beberapa orang mengalami rasa sakit, seperti otot dan nyeri sendi, karena
terlalu sering menggunakan kelompok otot tertentu. Nyeri saraf dapat terjadi setelah
cedera tulang belakang, terutama pada seseoarang dengan cedera yang tidak lengkap.
10. Depresi. Mengatasi perubahan yang terjadi pada cedera sumsum tulang belakang dan
hidup dengan rasa sakit menyebabkan sebagian orang mengalami depresi.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan Diagnostik Meliputi:


a. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di rumah
sakit
b. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan, gangguan
gerakan (terutama leher)
c. Pemerikaan Radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal
diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
d. Bila hasil meragukan lakukan ST-Scan, bila terdapat defisit neurologi harus
dilakukan MRI atau CT mielografi.
Pemeriksan diagnostik dengan cara:
1. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulang (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
2. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun structural.
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid
medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka
penetrasi).
5. Foto rontgen thorak
Untuk memperlihatkan keadan paru (contohnya: perubahan pada
diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal):
Mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan
trauma servikal bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada
saraf frenikus /otot interkostal).
7. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
8. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
9. Urodinamik, proses pengosongan bladder.

I. PENATALAKSANAAN

 Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
1. Penatalaksanaan pasien yang cepat dan tepat dilokasi kejadian sangalah penting.
penamganan yang tidak tepat akan memperberat kerusakan yang ada dan
mengakibatkan hilangnya fungsi neurologis
2. Anggap semua korban kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, cedera olahraga
kontak/menyelam, atau trauma langsung pada kepala dan leher mengalami SCI
sampai dipastikan sebaliknya.
3. Perawatanawal meliputi pengkajian cepat, imobilisasi pemindahan dari lokasi
kecelakaan (ekstrikas) stabilisasi atau pengontrolan cedera yang mengancam jiwa,
dan transportasi menuju fasilitas medis yang tepat.
4. Pertahankan pasien pada posisi ekstensi (jangan duduk); tidak ada bagian tubuh
yang lebih terpuntir atau terbalik.
5. Standar perawatan adalah merujuk pasien kepusat cedera spinal atau pusat trauma
setempat untuk mendapatkan perawatan dalam 24 jam pertama.

 Penatalaksanaan Fase Akut


Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah Trauma medula spinalis lebih lanjut dan
untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai
kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.

 Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan
collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian
oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
4. Terapi Pengobatan:
a. Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
b. Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat
autonomic hiperrefleksia akut.
c. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas bladder.
d. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan
tonus leher bradder.
e. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
f. Agen antiulcer seperti ranitidine
g. Pelunak fases seperti docusate sodium.
5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
6. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.

 Penatalaksanaan Fisik

a) Terapi Fisik
Untuk saraf terjepit harus tetap konservatif di awal untuk menghindari lebih parah
kondisi. Penekanan akan di istirahat, mengurangi peradangan, beban dan stres
pada daerah yang terkena. Setelah peradangan awal telah berkurang,
program exercise dan penguatan akan dimulai untuk mengembalikan fleksibilitas
pada sendi dan otot yang terlibat, sambil meningkatkan kekuatan dan stabilitas
pada tulang belakang
b) Akupuntur
Praktek Cina kuno melibatkan memasukkan jarum yang sangat tipis pada titik
tertentu pada kulit untuk menghilangkan rasa sakit.

c) Stimulator KWD
Alat terapi yang berfungsi sebagai stimulator pada pangkal jarum akupunktur
sehingga menghasilkan berbagai jenis getaran rangsangan yang bertujuan untuk
menstimulasi titik akupunktur/ acupoint.

d) Chiropractic
Perawatan terapi alternatif yang sangat umum untuk nyeri kronis dan dapat
membantu untuk mengobati sakit punggung, terapis chiropractic menggunakan
penyesuaian tulang belakang dengan tujuan meningkatkan mobilitas antara
tulang belakang. Penyesuaian tersebut untuk membantu mengembalikan tulang
ke posisi yang lebih normal, membantu gerak juga menghilangkan atau
mengurangi rasa sakit.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWATDARURAT


PASIEN DENGAN KASUS SPINAL CORD INJURY/CEDERA MEDULA SPINAL

Nama Klien : Tn. R


Umur : 24 tahun
Alamat : Bekasi
Tanggal Masuk : 28 September 2019
Tanggal Pengkajian : 28 September 2019
Diagnosa Medis : Spinal Cord Injury/Cedera Medula Spinal

Skenario Kasus
Tn.R usia 24tahun dibawa oleh warga sekitar karena mengalami KLL lalu di antar ke RSUD
Medistra dengan keluhan sulit/sesak saat bernafas, nyeri (skala 6) pada punggung belakang dan
tidak dapat menggerakan kedua tungkai nya. Terdapat jejas pada punggung belakang, Terdapat
pingsan 1 kali selama kurang dari 5 menit tanpa muntah maupun penurunan kesadaran, tidak
terdapat hilang ingatan. setelah dilakukan pemeriksaan TTV didapatkan hasil: TD: 120/100 , S:
37,20C , N: 90 x/menit , RR: 26x/menit.

PENGKAJIAN
 PRIMARY SURVEY
A. AIRWAY
1) Look :
Pergerakan/pengembangan dada lemah, jalan napas tidak tertutup (lidah tidak
jatuh), masih dapat bernafas spontan tetapi sulit/sesak saat bernafas.
2) Listen :
Terdengar aliran udara pernafasan lemah, tidak ada suara nafas tambahan.
3) Feel :
Terasa aliran udara pernafasan lemah

B. BREATHING
1) Look :
Pergerakan/pengembangan dada lemah dan masih dapat bernafas spontan
tetapi sulit/sesak saat bernafas (dipsnea), terlihat adanya pernafasan cuping
hidung
2) Listen :
tidak ada suara nafas tambahan
3) Feel :
Pasien mengatakan nyeri saat bernapas
C. CIRCULATION
Nadi karotis teraba, terdapat jejas dipunggung belakang, TTV didapatkan hasil:
TD: 120/100 mmHg , S: 37,20C , N: 90 x/menit.
D. DISABILITY
1) Alert (A) : Pasien merespon terhadap lingkungan disekelilignya.
2) Respons Verbal (V): Pasien merespon pertanyaan perawat dan dapat
mengingat kejadian.
3) Respons Nyeri (P) :
P : Trauma Medulla Spinal
Q : Tertimpah Beban Berat
R : Punggung Belakang
S : Skala Nyeri 6
T : Setiap Saat.
4) Tidak Berespons (U) : Pasien berespon ketika distimulus verbal & nyeri.
5) Kesadaran : Composmentis
GCS : E:4 V:5 M:6
6) Kulit/turgor kulit pasien baik kembali ≤ 3detik.
 SECONDARY SURVEY
1. KEADAAN UMUM
Keadaan umum baik karena pasien tidak terjadi penurunan kesadaran, nadi karotis
teraba, pernafasan lemah & pasien masih dapat bernafas spontan tetapi sulit/sesak
saat bernafas (dispnea). Kedua tungkai tidak dapat digerakan, terdapat jejas
dipunggung belakang dan nyeri (skala 6) dirasakan setiap saat.
2. PENYAKIT LAIN YANG DIDERITA/PENYAKIT KELUARGA
Tidak terpernah mengalami kecelakaan lalu lintas dan keluarga tidak mempunyai
penyakit serupa dengan pasien.
3. PEMERIKSAAN FISIK
 Kesadaran : Composmentis
GCS : E:4 V:5 M:6
 Pemeriksaan TTV :
- TD : 120/100 mmHg
- Suhu : 37,20C
- Nadi : 90 x/menit.
- RR : 26 x/menit
 Kulit/turgor kulit pasien baik kembali ≤ 3detik.
 Dada :
- Inspeksi : normal
- Palapasi : tidak terdapat nyeri tekan
- Perkusi : normal
- Auskultasi : normal
 Punggung
- Inspeksi : terdapat jejas dipunggung belakang.
 Pernafasan
- Inspeksi : Pergerakan/pengembangan dada lemah dan masih dapat
bernafas spontan tetapi sulit/sesak saat bernafas (dipsnea), terlihat
adanya pernafasan cuping hidung
- Auskultasi : Normal (tidak terdapat suara nafas tambahan)
 Ekstermitas bawah
- Inspeksi : kedua tungkai tidak dapat digerakan
- Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan

4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) CT-scan : kerusakan thorakan 11-12 dan lumbal 1-3.

TINDAKAN
NO ANALISA DATA DX.KEP WAKTU
KEPERAWATAN
1. DS : 08:00 Mandiri :
Pola nafas tidak
- Tn.R (24tahun) WIB 1. Monitor TTV
efektif b/d cedera
mengatakan sulit/sesak saat 2. Monitor kecepatan,
medula spinalis
bernafas (dispnea) irama, kedalaman &
kesulitan bernafas.
DO: 3. Monitor adanya suara
AIRWAY nafas tambahan
Look:Pergerakan/pengembangan (gargling, snoring &
dada lemah, jalan napas tidak stridor).
tertutup (lidah tidak jatuh), masih 4. Monitor keluhan sesak
dapat bernafas spontan tetapi yang dirasakan pasien
sulit/sesak saat bernafas. termasuk kegiatan
- Listen : Terdengar aliran udara yang
pernafasan lemah, tidak ada suara meningkatkan/mempe
nafas tambahan. rburuk sesak nafas
-Feel : Terasa aliran udara tersebut
pernafasan lemah 5. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan
BREATHING ventilasi
-Look: 6. Ajarkan teknik nafas
Pergerakan/pengembangan dada dalam & motivasi
lemah dan masih dapat bernafas pasien untuk bernafas
spontan tetapi sulit/sesak saat pelan.
bernafas (dipsnea), terlihat 7. Atur posisi tidur
adanya pernafasan cuping hidung pasien untuk
- Listen : tidak ada suara nafas mengurangi sesak
tambahan (fowler/semifowler)
-Feel : Pasien mengatakan 8. Monitor status
nyeri saat bernapas pernafasan pasien dan
kolaborasi untuk
CIRCULATION pemberian terapi O2
Nadi karotis teraba, terdapat jejas sesuai kebutuhan.
dipunggung belakang, TTV 9. Auskultasi suara
didapatkan hasil: TD: 120/100 , nafas, catat area
S: 37,20C , N: 90 x/menit. dimana terjadi
penurunan/tidak
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK adanya ventilasi &
CT-scan : kerusakan thorakan 11- keberadaan suara
12 dan lumbal 1-3. nafas tambahan.
10. Selalu libatkan
keluarga untuk setiap
tindakan.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan
tim kesehatan
lainnya untuk
pemberian terapi O2
dan pemberian obat
sesuai kebutuhan.
2. DS : Nyeri akut b/d 10:00 Mandiri :
- Pasien mengatakan nyeri agen pencedera WIB 1. Monitor TTV
pada punggung belakang. fisik (trauma 2. Lakukan pengkajian
P : Trauma Medulla Spinal medulla spinal) nyeri komperhensif yang
Q : Tertimpah Beban Berat meliputi lokasi,
R : Punggung Belakang karakteristik, onset/durasi
T : Setiap Saat. dan factor pencetus nyeri
DO: 3. Anjurkan pasien
- klien tampak meringis kesakitan teknik distraksi dan
menahan nyeri. relaksasi untuk
- Skala nyeri 6 pengontrolan nyeri
- Terlihat ada jejas di punggung sebelum bertambah berat.
belakang klien. 4. Dukung istirahat
AIRWAY tidur yang adekuat untuk
-Look:Pergerakan/pengembangan membantu penurunan
dada lemah, jalan napas tidak nyeri.
tertutup (lidah tidak jatuh), masih 5. Libatkan keluarga
dapat bernafas spontan tetapi setiap tindakan
sulit/sesak saat bernafas. 6. Tentukan pilihan
- Listen : Terdengar aliran udara obat analgesic berdasarkan
pernafasan lemah, tidak ada suara tipe dan keparahan nyeri.
nafas tambahan. Kolaborasi:
-Feel : Terasa aliran udara Kolaborasi dengan dokter
pernafasan lemah untuk pemberian obat
analgesik guna mengurangi
BREATHING keparahan nyeri klien
-Look:
Pergerakan/pengembangan dada
lemah dan masih dapat bernafas
spontan tetapi sulit/sesak saat
bernafas (dipsnea), terlihat
adanya pernafasan cuping hidung
- Listen : tidak ada suara nafas
tambahan
-Feel : Pasien mengatakan
nyeri saat bernapas

CIRCULATION
Nadi karotis teraba, terdapat jejas
dipunggung belakang, TTV
didapatkan hasil: TD: 120/100 ,
S: 37,20C , N: 90 x/menit.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
CT-scan : kerusakan thorakan 11-
12 dan lumbal 1-3.
3. DS : Gangguan 13:00 Mandiri :
- Tn.R (24tahun) mengatakan mobilitas fisik 1. Monitor TTV
kedua tungkainya tidak dapat b/d kerusakan 2. Kaji kemampuan
digerakan. lumbal 1-3 d.d pasien dalam mobilisasi
- Tn.R (24tahun) mengatakan paraplegia 3. Kaji kekuatan otot
untuk mobilisasi selalu dibantu pasien
oleh keluarga. 4. Lakukan rentang
DO: gerak aktif/ pasif (ROM)
- Kedua tungkai klien tampak 5. Instruksikan untuk
sulit untuk di gerakkan. perlahan – lahan
-Aktivitas pasien terlihat selalu menggerakan otot dan
dibantu oleh keluarga. sendi ketitik peregangan
AIRWAY penuh
- 6. Instrusikan
Look:Pergerakan/pengembangan menghindari gerakan,
dada lemah, jalan napas tidak cepat, kuat untuk
tertutup (lidah tidak jatuh), masih mencegah stimulus
dapat bernafas spontan tetapi berlebihan dari refleks
sulit/sesak saat bernafas. miotatif atau nyeri otot
- Listen : Terdengar aliran udara berlebihan
pernafasan lemah, tidak ada suara 7. Monitor toleransi
nafas tambahan. latihan (misalnya ada
-Feel : Terasa aliran udara gejala seperti sesak nafas,
pernafasan lemah denyut nadi cepat, pucat,
pusing, dan nyeri atau
BREATHING pembengkakan sendi /
-Look: otot) selama latihan .
Pergerakan/pengembangan dada 8. Kolaborasi dengan
lemah dan masih dapat bernafas anggota keluarga dalam
spontan tetapi sulit/sesak saat perencanaan, pengajaran,
bernafas (dipsnea), terlihat dan pemantauan rencana
adanya pernafasan cuping hidung latihan.
- Listen : tidak ada suara nafas Kolaborasi :
tambahan - Konsultasi dengan ahli
-Feel : Pasien mengatakan fisioterapis
nyeri saat bernapas - Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain untuk
CIRCULATION pemberian obat sesuai
Nadi karotis teraba, terdapat jejas kebutuhan.
dipunggung belakang, TTV
didapatkan hasil: TD: 120/100 ,
S: 37,20C , N: 90 x/menit.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
CT-scan : kerusakan thorakan 11-
12 dan lumbal 1-3.

Ekstermitas bawah
-Inspeksi : kedua tungkai tidak
dapat digerakan
-Palpasi : tidak terdapat nyeri
tekan

EVALUASI KEPERAWATAN

S : Pasien mengatakan masih shock dengan KLL yang dialaminya ,pasien masih lemah, pasien
dapat mengerti ajakan perawat untuk menjawab pertanyaan

O : Pasien tampak meringis kesakitan menahan nyeri, sesaknya yang dirasakan klien sedikit
berkurang (RR: 22 x/menit), mobilisasi klien terbatas dan dibantu keluarga, TTV kembali batas
normal: TD: 120/80, N: 82x/menit, S: 36,70c

A : Masalah keperawatan belum teratasi ( intervensi dilanjutkan)

P : Tindakan keperawatan dilanjutkan


1. Pemberian terapi obat – obatan
 NaCl 0,9% / RL
 Ketorolac 1 amp (IV)
 Metilprednisolon (gol.kortikostiroid)
2. Pemasangan O2 Nasal Kanul (3-5 Liter)
3. Latihan gerak aktif/pasif (ROM).
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).
Penyebab dari Trauma medulla spinalis yaitu: kecelakaan otomobil, industri terjatuh,
olah-raga, menyelam, luka tusuk, tembak dan tumor.
Cedera medula spinalis adalah suatu trauma yang mengenai medula spinalis atau
sumsum tulang akibat dari suatu trauma langsung yang mengenai tulang belakang.
Penyebab cedera medula spinalis adalh kejadian-kejadian yang secara langsung dapat
mengakibatkan terjadinya kompresi pada medula spinalis seperti terjatuh dari tempat
yang tinggi, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olaghara dan lain-lain.
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan terjadinya kelumpuhan jika
mengenai saraf-saraf yang berperan terhadap suatu organ maupun otot. Cedera medula
spinalis ini terbagi menjadi 2 yaitu cedera medula spinalis stabil dan tidak stabil.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke
ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi
kontusio atau robekan pada Trauma, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan
hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja
tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada Trauma medulla
spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia,
hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena
penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi
neurologik. Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami Trauma
medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama
pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi, pasien dipertahankan diatas papan
pemindahan.
Penatalaksanaan untuk cedera medula spinalis adalah dengan pemberian obat
kortikosteroid dan melihat kepada sistem pernapasan, jika terjadi gangguan maka perlu
diberikan oksigen.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien cedera medula spinalis adalah
melihat kepada diagnosa apa saja yang muncul. Intinya pemberian asuhan keperawatan
pada pasien dengan cedera medula spinalis adalah memperhatikan posisi dalam
mobilisasi pasien sehingga tidak memperparah cedera yang terjadi.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan Trauma medula
spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya, karena
kesalah dalam memberikan asuhan keperawatan dapat menyebabkan Trauma semakin
komplit dan dapat menyebabkan kematian

B. SARAN
Cedera medula spinalis adalah suatu kejadian yang sering terjadi dimasyarakat.
Tingkat kejadiannya cukup tinggi karena bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja.
Sehingga perlu tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam melakukan setiap aktivitas agar
tidak terjadi suatu kecelakaan yang dapat mengakibatkan cedera ini.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa/i agar dapat menjaga
kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar Trauma medula spinalis dapat
terhindar. Adapun jika sudah terjadi, mahasiswa/i dapat melakukan perawatan seperti
yang telah tertulis dalam makalah ini
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 12. Jakarta: EGC

Sjamsuhidayat, R. dkk. 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah ed.2. Jakarta. EGC

Muttaqin. Arif. 2011. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.
Salemba Medika.

Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2004). Nursing Interventions classification (NIC)


America: Mosby Elseiver

Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., dan Swanson, L. (2008). Nursing Outcomes Classification
(NOC) United state of America: Mosby Elsevier

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus
Pusat PPNI: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai