Anda di halaman 1dari 6

Farmakologi ranitidin sebagai antagonis reseptor histamin yang mensupresi sekresi

asam lambung.
Farmakodinamik

Ranitidin merupakan antagonis kompetitif reversibel reseptor histamin pada sel


parietal mukosa lambung yang berfungsi untuk mensekresi asam lambung. Ranitidin
mensupresi sekresi asam lambung dengan 2 mekanisme:
 Histamin yang diproduksi oleh sel ECL gaster diinhibisi karena ranitidin menduduki
reseptor H2 yang berfungsi menstimulasi sekresi asam lambung
 Substansi lain (gastrin dan asetilkolin) yang menyebabkan sekresi asam lambung,
berkurang efektifitasnya pada sel parietal jika reseptor H2 diinhibisi.
Sekali pemberian ranitidin oral dengan dosis 50,100, 150, dan 200 mg mengurangi
produksi asam lambung dari stimulasi pentagastrin berturut-turut sebanyak 42%, 75%,
85%, dan 95% pada subjek sehat. Pemberian ranitidin 150 mg dosis tunggal produksi
asam lambung basal terinhibisi sebanyak 70% pada 5 jam setelah pemberian dan 38%
setelah 10 jam. Pada pasien ulkus duodenal, pemberian ranitidin 150 mg b.i.d
mengurangi 70% tingkat keasaman lambung selama 24 jam, serta mengurangi produksi
asam lambung nokturnal sebanyak 90%. [6]
Farmakokinetik

Farmakokinetik ranitidin terdiri dari aspek absorbs, distribusi, metabolisme, dan


ekskresinya.
Absorbsi
Ranitidin dapat diadministrasi lewat injeksi oral, intramuskular, dan
intravena. Penyerapan ranitidin lewat rute oral (bioavailabilitas) 50% diabsorbsi dan
mencapai peak plasma concentration dicapai dalam waktu 1-2 jam. Absorbsi tidak
dipengaruhi oleh makanan atau antasida. Setelah pemberian oral, dosis 150 mg mean
plasma concentration sekitar 400 ng/ml.[6]
Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intramuskular dosis 50 mg sangat cepat dengan
mean plasma concentration 576 ng/ml dalam 15 menit atau kurang. Bioavailabilitas
mencapai 90-100%.[5]
Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intravena mencapai mean plasma concentration
440-545 ng/mL dalam 2-3 jam.[3]
Distribusi
Didistribusikan secara luas, termasuk ASI, menyeberangi sawar darah otak
dan plasenta. Konsentrasi ranitidin di cairan serebrospinal 1/20 sampai 1/30
konsentrasi di plasma pada waktu yang sama. Volume distribusi 1,4 L/kg (1,2-1,8 L/kg).
Ikatan plasma protein 15%.[6,7]
Metabolisme
Metabolisme ranitidin terjadi di hepatik, dengan total pembersihan sebanyak 30%
dari total body clearance setelah pemberian IV, dan 73% setelah pemberian oral. Hasil
metabolisme ranitidin adalah N-oksida sebagai metabolit utama sebanyak <4% dari
total dosis yang diadministrasi, S-oksida (1%) dan desmetil ranitidin (1%) yang
ditemukan di urin. Sisa dari dosis yang diberikan ditemukan pada feses. Pada pasien
dengan disfungsi hepar (sirosis) terdapat gangguan metabolisme ranitidin (waktu
paruh, distribusi, pembersihan, dan bioavailabilitas) namun bersifat minor dan
insignifikan.[5,6]
Ekskresi
Ekskresi ranitidin dilakukan via renal dengan rata-rata 530 mL/menit hingga 760
mL/menit yang menandakan ekskresi tubular aktif. Waktu paruh eliminasi berkisar 2
hingga 3 jam. Ekskresi ranitidin (unchanged form) di urin pada pemberian oral 30% dan
70% pada pemberian IV dalam 24 jam, sisanya dieksresikan lewat feses.[3,7]
Pasien dengan gangguan fungsi renal (pembersihan kreatinin 25-35 ml/menit)
pemberian ranitidin IV dosis 50 mg memiliki waktu paruh 4,8 jam, eksresi ranitidin 29
ml/menit.[3]
Perubahan Farmakologi pada Populasi Khusus

Terdapat perubahan farmakologi pada populasi anak dan geriatri.


Anak
Terdapat perubahan bioavailabilitas obat per oral yang tidak signifikan (48%
dibandingkan 50% pada dewasa). Tidak diperlukan perubahan dosis, hanya
penyetaraan berdasarkan berat badan saja.
Geriatri
Waktu paruh ranitidin memanjang dan waktu pembersihan ranitidin berkurang karena
adanya penurunan fungsi ginjal pada populasi geriatri. Waktu paruh eliminasi berkisar
antara 3-4 jam. Waktu konsentrasi puncak dicapai dalam waktu 3 jam dengan
konsentrasi pada plasma 526 ng/ml. Dibutuhkan penyesuaian dosis ranitidin pada
pasien dengan gangguan fungsi renal.[3]
Resistensi

Pemberian dosis berulang antagonis reseptor H2 menyebabkan berkurangnya efek


potensi antisekretori dari ranitidin yang disebut dengan keadaan ‘toleransi’. Penelitian
yang dilakukan oleh Lachman, et al. menyebutkan terdapat penurunan efek
antisekretori dari ranitidin secara signifikan dengan pemberian ranitidin setiap hari
selama 5 hari dengan dosis 150 mg q.i.d tanpa adanya gangguan dari farmakologi
ranitidin.
Rata-rata pH intragastrik selama 24 jam sebelum pemberian ranitidin adalah 2,62; pada
hari pertama setelah pemberian ranitidin adalah 4,22; pada hari kelima setelah
pemberian ranitidin adalah 3,28 (p<0,005). [8]
Hasil yang sama juga didukung oleh penelitian Komazawa, et al. yang menyebutkan
bahwa terdapat penurunan efek supresi asam lambung pada hari ke-14 dibandingkan
dengan hari pertama pemberian ranitidin 150 mg b.i.d tanpa adanya perubahan
konsentrasi ranitidin pada plasma. [9]
Mekanisme yang menyebabkan hal ini masih belum diketahui, namun beberapa
hipotesis yang ada adalah sebagai berikut:
 Peningkatan regulasi sel parietal terhadap reseptor lain yang juga merupakan mediator
sekresi asam lambung seperti gastrin atau asetilkolin
 Peningkatan regulasi reseptor H2 oleh sel parietal
 Peningkatan sintesis histamin oleh sel enterochromaffin-like (sel ECL) yang dipengaruhi
oleh gastrin (gastrin meningkat pada konsumsi ranitidin)
 Sensitisasi reseptor H2 terhadap ranitidin
 Peningkatan sensitivitas terhadap histamin [8,9]
Dengan meningkatnya regulasi sintesis histamin dan reseptor H2 maka terjadi
toleransi/resistensi terhadap ranitidin meskipun konsentrasi ranitidin dalam plasma
tetap sama (tidak ada gangguan pada farmakologi ranitidin). Oleh karena hal ini,
terjadi rebound acid hypersecretion setelah berhenti mengkonsumsi obat antagonis
reseptor H2 seperti ranitidin. Rebound acid hypersecretion adalah keadaan
meningkatnya sekresi asam lambung (basal maupun stimulasi) di atas level
premedikasi setelah terapi antisekretori seperti H2RA dihentikan. Beberapa penelitian
yang ada menyebutkan rebound acid hypersecretion pada ranitidin muncul setelah
konsumsi hari ke-2, hari ke-3, dan hari ke-6 post-terapi.[10,11]

Referensi
2. MIMS. MIMS INDONESIA - Ranitidin. 2017.
https://www.mims.com/indonesia/drug/info/ranitidine/?type=brief&mtype=generic .
Diakses pada 22 September 2017

Aspek penting dari farmakologi allopurinol adalah mekanisme kerja dalam


menghambat konversi hipoxantin menjadi asam urat dan resistensi parsial yang dapat
dijelaskan melalui 4 mekanisme.
Farmakodinamik

Kadar asam urat dalam plasma diharapkan akan menurun setelah pemberian
allopurinol melalui mekanisme sebagai berikut:
Inhibisi Xantin-Oksidase
Allopurinol bekerja menginhibisi xantin-oksidase, enzim yang mengonversi hipoxantin
menjadi xantin, dan kemudian menjadi asam urat, sehingga kadar asam urat
menurun.[1]
Metabolit Allopurinol
Allopurinol dimetabolit menjadi oxipurinol dengan cepat, dan umumnya tidak
terdeteksi lagi dalam plasma 5 jam setelah pemberian. Sekitar 12% dari allopurinol
akan terekskresi tanpa termetabolisme, sementara 76% akan terekskresi dalam bentuk
oxipurinol. Oxipurinol ini juga bekerja sebagai inhibitor dari xantin-oksidase.[2]
Menurunkan Kadar Purin
Allopurinol memiliki efek pada katabolisme purin, mengurangi biosintesis de novo purin
secara tidak langsung dengan meningkatkan konsentrasi ribonukleotida oksipurin dan
allopurinol, sementara menurunkan konsentrasi fosforibosilpirofosfat.
Penignkatan Inkorporasi Hipoxantin dan Xantin
Allopurinol juga menurunkan kadar asam urat dalam plasma dengan meningkatkan
inkorporasi hipoxantin dan xantin menjadi DNA dan RNA.[2]
Farmakokinetik

Sebagian besar farmakokinetik allopurinol dimediasi oleh metabolitnya, yaitu


oxipurinol. Dalam tubuh, allopurinol akan dimetabolisme dengan cepat menjadi
oxipurinol. Hal ini menunjukkan efek terapi allopurinol sebenarnya sebagian besar
dimediasi oleh oxipurinol. [2]
Absorpsi
Sekitar 80-90% diserap dari pencernaan (setelah melalui jalur oral). Allopurinol tidak
diserap dengan baik melalui jalur rektal (sebagai supositoria dengan basis polietilene
glikol). Konsentrasi plasma baik allopurinol maupun oxipurinol minimal atau tidak
terdeteksi setelah pemberian melalui jalur rektal.[1,2] Bioavailabilitas allopurinol
sebesar 49-53%.[2]
Sebagai agen anti gout: penurunan asam urat di serum dan urin dimulai pada 24 hingga
48 jam pertama, dan turun setelah sekitar 2 – 3 hari; level asam urat di serum yang
normal biasanya antara 1 – 3 minggu. Karena adanya mobilitas deposit asam urat,
penurunan yang signifikan dari asam urat dapat membutuhkan waktu beberapa
bulan.[2]
Pada hiperurisemia akibat kemoterapi, waktu median untuk mencapai kontrol asam
urat pada plasma sekitar 27 jam.[2]
Untuk mencapai konsentrasi puncak pada plasma (via jalur oral), allopurinol
membutuhkan 1,5 jam untuk mencapai konsentrasi puncak pada sekitar 0,5 – 1,4
ug/mL, sementara oxipurinol membutuhkan sekitar 4,5 jam untuk mencapai
konsentrasi puncak sekitar 2,4 hingga 6,4 ug/mL. Jika melalui intravena (IV),
konsentrasi puncak tercapai setelah sekitar 30 menit untuk mencapai konsentrasi
puncak 2,2 ug/mL pada allopurinol dan 4 jam untuk mencapai konsentrasi puncak 6,2
ug/mL pada oxipurinol.[2]
Setelah terapi dihentikan, konsentrasi asam urat dalam plasma akan kembali ke level
sebelum pengobatan dimulai dalam 1-2 minggu.[2]
Pada pasien dalam rentang usia 71 – 93 tahun, konsentrasi plasma puncak dari
oxipurinol setelah dosis oral allopurinol lebih tinggi 50 – 60% dibandingkan dengan
populasi pasien 24-35 tahun. Hal ini dikaitkan oleh penurunan fungsi ginjal pada
populasi geriatri.[2,6]
Distribusi
Vss (distribusi volume pada keadaan tetap) allopurinol intravena adalah sebesar 0.84 to
0.87 L/kg.[2,6] Allopurinol terdistribusi secara merata pada jaringan, kecuali pada otak,
di mana konsentrasinya hanya 50% dari jaringan lain. Baik allopurinol maupun
oxipurinol didistribusikan ke dalam ASI.[5] Allopurinol maupun oxipurinol tidak terikat
pada protein plasma.[2]
Eliminasi
Allopurinol akan teroksidasi secara cepat menjadi metabolit aktif, khususnya
oxipurinol.[2] Allopurinol kemudian akan diekskresikan via urin (76% sebagai
oxipurinol, 12% tidak berubah bentuk); feses (sekitar 20%) dalam 48 – 72 jam.[2]
Waktu paruh allopurinol sekitar 1-3 jam, oxipurinol sekitar 18-30 jam.
Eliminasi allopurinol akan mengalami perubahan pada kondisi gagal ginjal kronis, atau
xanthinuria (kelainan genetik yang menyebabkan defisiensi enzim xantin-oksidase).
Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, waktu paruh oxipurinol memanjang secara
signifikan. Namun allopurinol dan oxipurinol dapat dieliminasi melalui hemodialisis.
Pada xanthinuria, allopurinol tidak dapat dikonversi menjadi oxipurinol sehingga
sepenuhnya akan dieliminasi dalam bentuk allopurinol.[2]
Resistensi

Resistensi allopurinol harus terlebih dahulu dibedakan dengan kurangnya respon


akibat compliance yang buruk maupun pemberian dosis yang kurang. Pasien yang
memiliki compliance baik, namun tetap tidak mendapatkan respon yang seharusnya
setelah diberikan dosis standar allopurinol dapat dikategorikan sebagai “resisten
parsial”. [7]
Terdapat empat mekanisme yang menjelaskan resistensi allopurinol parsial:
1. Berkurangnya Konversi dari Allopurinol ke Oxipurinol
Pengurangan konversi allopurinol ini dapat terjadi akibat defek genetik yang
menyebabkan tidak diproduksinya xantin-oksidase (kondisi yang disebut xantinuria),
maupun enzim aldehid oksidase yang strukturnya mirip dengan xantin-oksidase (XO).
2. Meningkatnya Ekskresi Oxipurinol via Ginjal
Peningkatan ekskresi oxipurinol akibat variasi genetik pada gen yang mengatur OAT4
(Organic Anion Transporter 4/transporter oxipurinol), maupun URAT1 (Urate
Transporter 1), gen yang mengatur reabsorpsi oxipurinol akan menyebabkan terjadinya
resistensi parsial allopurinol.
Terdapat pula studi kasus mengenai seorang pria umur 51 tahun yang kurang responsif
terhadap allopurinol. Pasien memiliki kadar hipoxantin yang tinggi namun konsentrasi
enzim XO yang normal, sementara itu ditemukan kadar oxipurinol yang rendah pada
urin tapi normal di dalam plasma. Peneliti menyimpulkan bahwa pasien memiliki
produksi asam urat yang lebih tinggi dari biasanya serta terdapat kelainan dalam
ekskresi allopurinol pada pasien ini.[8]
3. Abnormalitas Struktur atau Fungsi Xantin-Oksidase
Abnormalitas struktur dan fungsi xantin-oksidase terjadi akibat polimorfisme
nukleotida tunggal (single nucleotide polymorphism) Arg149Cys dan Thr910Lys* yang
menyebabkan defisiensi pada aktifitas enzim XO. *Arg=arginine, Cys=cysteine,
Thr=threonine, Lys=lysine
4. Interaksi Obat
Pasien gout sering kali memiliki komorbid seperti gagal jantung maupun hipertensi.
Furosemide (diuretik loop) akan mengurangi ekskresi asam urat dan pada saat
bersamaan interaksinya dengan allopurinol meningkatkan kadar oxipurinol. Hal ini
akan menyebabkan adanya hiperurisemia dan oxipurinol yang tinggi pada waktu yang
bersamaan. Pasien yang mengonsumsi furosemide harus mendapatkan dosis
allopurinol yang lebih besar dari seharusnya untuk mencapai kadar asam urat
<6mg/dL.[7]

Referensi
1. National Center for Biotechnology Information. PubChem Compound Database:
Allopurinol [Artikel di internet]. [Diakses Oktober 2017]. Dapat diakses melalui [URL]:
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/2094

2. Lexicomp, inc. Allopurinol: Drug [Artikel di internet]. [Diakses Oktober 2017]. Dapat
diakses melalui [URL]: https://www.uptodate.com/contents/allopurinol-drug-
information?source=see_link#F13298712

6. MIMS. Allopurinol: Drug Information [Artikel di internet]. [Diakses Oktober 2017].


Dapat diakses melalui [URL]:
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/allopurinol?mtype=generic

7. Stamp et al. Impaired response or insufficient dosage? – examining the potential


causes of ”inadequate response” to allopurinol in the treatment of gout. Semin Arthritis
Rheum. 2014 October ; 44(2): 170–174

8. Turnheim, et al. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of allopurinol in elderly


and young subjects. r J Clin Pharmacol. 1999;48:501–509

Anda mungkin juga menyukai