Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin

Kelenjar endokrin merupakan sekelompok susunan sel yang mempunyai susunan


mikroskopis sangat sederhana. Kelompok ini terdiri dari deretan sel-sel, lempengan
atau gumpalan sel disokong oleh jaringan ikat halus yang banyak mengandung
pembuluh kapiler. Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol
dan memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk
mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling
berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Misalnya,
medulla adrenal dan kelenjar hipofise posterior yang mempunyai asal dari saraf
(neural). Jika keduanya dihancurkan atau diangkat, maka fungsi dari kedua kelenjar
ini sebagian diambil alih oleh sistem saraf. Kelenjar endokrin tidak memiliki saluran,
hasil sekresi dihantarkan tidak melaui saluran, tapidari selsel endokrin langsung
masuk ke pmbuluh darah. Selanjutnya hormon tersebut dibawa ke sel-sel target
(responsive cells) tempat terjadinya efek hormon. Sedangkan ekresi kelenjar eksokrin
keluar dari tubuh kita melalui saluran khusus, seperti uretra dan saluran kelenjar
ludah. Tubuh kita memiliki beberapa kelenjar endokrin. Diantara kelenjar-kelenjar
tersebut, adayang berfungsi sebagai organ endokrin murni artinya hormon tersebut
hanya menghasilkan hormon misalnya kelenjar pineal, kelenjar hipofisis/pituitary,
kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, kelenjar adrenal suprarenalis, dan kelenjar
timus. Selain itu ada beberapa organendokrin yang menghasilkan zat lain selain
hormon yakni:
1. Kelenjar endokrin dan Hormon yang dihasilakan
Dalam tubuh manusia ada tujuh kelenjar endokrin yang penting, yaitu hipofisis,
tiroid, paratiroid, kelenjar adrenalin (anak ginjal), pankreas, ovarium, dan testis.
A. Hipofisis
Kelenjar Hipofisis (pituitary) disebut juga master of gland atau kelenjar
pengendali karena menghasilkan bermacam-macam hormon yang mengatur
kegiatan kelenjar lainnya. Kelenjar ini berbentuk bulat dan berukuran kecil,
dengan diameter 1,3 cm. Hipofisis dibagi menjadi hipofisis bagian anterior,
bagian tengah (pars intermedia), dan bagian posterior.
- Hipofisis lobus anterior
Hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisis lobus anterior

Hormon yang dihasilkan Fungsi dan Gangguannya


Hormone somatotropin (STH), Hormon Merangsang sintesis protein dan metabolism lemak
pertumbuhan (Growth Hormone/GH) serta merangsang pertumbuhan tulang (terutama
tulang pipa) dan otot. Kekurangan hormone ini pada
anak-anak menyebabkan pertumbuhannya
terhambat/kerdil (kretinisme), jika kelebihan akan
menyebabkan pertumbuhan raksasa (gigantisme).
Jika kelebihan terjadi pada saat dewasa, akan
menyebabkan pertumbuhan tidak seimbang pada
tulang jari tangan, kaki, rahang, ataupun tulang
hidung yang disebut akromegali.
Hormone tirotropin atau thyroid Merangsang sekresi T3 dan T4
stimulating hormone (TSH)
Adrenocorticotropic hormone (ACTH) Merangsang sekresi kortisol
Hormone gonadotropin pada wanita : 1. Mendorong pertumbuhan dan
1. Follicle stimulating hormone perkembangan folikel, merangsang sekresi
(FSH) estrogen
2. Luteinizing Hormone (LH) 2. Merangsang ovulasi, perkembangan korpus
luteum dan sekresi estrogen dan
progesterone
Hormone gonadotropin pada pria : 1. Merangsang produksi sperma
1. FSH 2. Merangsang sekresi testosterone
2. Interstitial Cell Stimulating
Hormone (ICSH)

- Hipofisis Posterior

Banyak sedikitnya cairan yang masuk dalam sel akan di deteksi oleh
hipotalamus. Jika cairan (plasma) dalam darah sedikit, maka hipofisis akan
mensekresikan ADH untuk melakukan reabsorpsi (penyerapan kembali)
sehingga darah mendapatkan asupan cairan dari hasil reabsorpsi
tersebut. Dengan demikian kadar cairan (plasma) dalam darah dapat kembali
seimbang. Selain itu, karena cairan pada ginjal sudah diserap, maka urinenya
kini bersifat pekat. Jika seseorang buang air kecil terus menerus, diperkirakan
hipofisis posteriornya mengalami gangguan sebab ADH tidak berfungsi
dengan baik. Nama penyakit ini disebut diabetes insipidus
B. Tiroid
Tiroid merupakan kelenjar yang terdiri dari folikel-folikel dan terdapat di
depan trakea. Kelenjar tiroid menghasilkan dua macam hormone yaitu
tiroksin (T4) dan Triiodontironin (T3).

Jenis penyakit tiroid yang utama adalah hipertiroidisme/tirotoksikosis dan


hipotiroidisme.
C. Paratiroid
Berjumlah empat buah terletak di belakang kelenjar tiroid, kelenjar ini
menghasilkan parathormon (PTH) yang berfungsi untuk mengatur
konsentrasi ion kalsium dalam cairan ekstraseluler dengan cara mengatur :
absorpsi kalsium dari usus, ekskresi kalsium oleh ginjal, dan pelepasan
kalsium dari tulang. Hormon paratiroid meningkatkan kalsium darah dengan
cara merangsang reabsorpsi kalsium di ginjal dan dengan cara penginduksian
sel – sel tulang osteoklas untuk merombak matriks bermineral pada osteoklas
untuk merombak matriks bermineral pada tulang sejati dan melepaskan
kalsium ke dalam darah. Jika kelebihan hormon ini akan berakibat berakibat
kadar kalsium dalam darah meningkat, hal ini akan mengakibatkan terjadinya
endapan kapur pada ginjal. Jika kekurangan hormon menyebabkan
kekejangan disebut tetanus. Kalsitonin mempunyai fungsi yang berlawanan
dengan PTH, sehingga fungsinya menurunkan kalsium darah. Fungsi umum
kelenjar paratiroid adalah mengatur metabilisme fosfor, mengatur kadar
kalsium darah.

D. Kelenjar Adrenalin
Kelenjar ini berbentuk bola, atau topi yang menempel pada bagian atas ginjal.
Pada setiap ginjal terdapat satu kelenjar suprarenalis dan dibagi atas dua
bagian, yaitu bagian luar (korteks) dan bagian tengah (medula).
Hormone Prinsip Kerja
Bagian korteks adrenal a. Mengontrol metabolism ion
a. Mineralokortikoid anorganik
b. Glikokortikoid b. Mengontrol metabolism
glukosa
Bagian medulla adrenal Kedua hormone tersebut bekerja
Adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin sama dalam hal berikut : dilatasi
bronkiolus, vasokonstriksi pada
arteri, vasodilatasi pembuluh darah
otak dan otot, mengubah glikogen
menjadi glukosa dalam hati
Gerak peristaltic dan bersama
insulin mengatur kadar gula darah.

E. Pankreas
Kelenjar pancreas merupak sekelompok sel yang terletak pada pancreas,
sehingga dikenal dengan pulau-pulau Langerhans. Kelenjar pancreas
menghasilkan hormone insulin dan glucagon. Insulin mempermudah gerakan
glukosa dari darah menuju ke sel-sel tubuh menembus membrane sel. Di
dalam otot glukosa dimetabolisme dan disimpan dalam bentuk cadangan. Di
sel hati insulin mempercepat proses pembentukan glikogen (glikogenesis)
dan pembentuka lemak (lipogenesis).
Kadar glukosa yang tinggi dalam darah merupakan rangsangan untuk
mensekresikan insulin. Glucagon berfungsi mengubah glikogen menjadi
glukosa sehingga glukosa naik. Kekurangan hormone insulin akan
menyebabkan penyakit diabetes mellitus. Insulin berperan mengubah glukosa
menjadi glikogen agar dapat menurunkan kadar gula darah. Jika seseorang
tidak dapat memproduksi insulin, maka glukosa dalam darah
terus bertambah karena glukosanya tidak bisa dirubah menjadi glikogen. Aki
batnya urin yang dikeluarkanpun mengandung glukosa.
Peningkatan glukosa darah diatas titik pasang (sekitar 90mg/100ml pada
manusia) merangsang pankreas untuk mensekresi insulin, yang memicu sel –
sel targetnya untuk mengambil kelebihan glukosa dari darah. Ketika
kelebihan itu telah dikeluarkan atau ketika konsentrasi glukosa turun dibawah
titik pasang, maka pancreas akan merespons dengan cara mensekresikan
glukagon, yang mempengaruhi hati untuk menaikkan kadar glukosa darah.
Pada orang dewasa normal, produksi insulin sekitar 50 unit per hari dari sel
beta lengerhans pancreas. Jumlah sekresi insulin terutama tergantung kadar
glukosa didalam plasma. Insulin, merupakan hormon anabolik paling
penting yang mempunyai efek metabolik yang banyak, meliputi peningkatan
glukosa dan potassium memasuki adiposa dan sel otot; meningkatan
glikogen, protein, dan sintesis asam lemak dan penurunan glikogenolisis,
glukoneogenesis, ketogenesis, lipolisis dan katabolisme protein. Biasanya,
insulin merangsang anabolisme, dimana gangguan insulin dihubungkan
dengan katabolisme dan balans nitrogen yang negatif.
F. Ovarium dan Testis
- Ovarium
Merupakan kelenjar kelamin wanita yang berfungsi menghasilkan sel telur,
hormone estrogen dan hormone progesterone. Sekresi estrogen dihasilkan
oleh folikel de Graaf dan dirangsang oleh FSH Estrogen berfungsi
menimbulkan dan mempertahankan tanda- tanda kelamin sekunder pada
wanita, misalnya perkembangan pinggul, payudara, serta kulit menjadi halus.
Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum dan dirangsang oleh LH.
Progesteron berfungsi mempersiapkan dinding uterus agar dapat menerima
sel teluryang sudah dibuahi.
- Testis
Testis pada mammalia terdiri dari tubulus yang dilapisi oleh sel – sel benih
(sel germinal), tubulus ini dikenal dengan tubulus seminiferus. Testis
mensekresikan hormon testosterone yang berfungsi merangsang
pematangansperma (spermatogenesisi) dan pembentukan tanda – tanda
kelamin pria, misalnya pertumbuhan kumis, janggut, bulu dada, jakun, dan
membesarnya suara. Sekresi hormon tersebut dirangsang oleh ICTH yang
dihasilkan oleh hipofisis bagian anterior. Sewaktu pubertas, hipofisis anterior
memproduksi gonadotrofin, yaitu hormone FSHdan LH. Sekresi kedua
hormone ini dipengaruhi oleh GnRF (Gonadotropin ReleasingFactor) yang
berasal dari hipotalamus.
Berkurang atau berlebihnya produksi hormone secara dramatic dapat
berakibat terhadap fisiologi dan farmakologi. Untuk itu, bukan merupakan
suatu hal yang mengejutkan pada endokrinopati mempengaruhi manajemen
anestesi.
2.2 ANESTESI UNTUK PASIEN DENGAN PENYAKIT ENDOKRIN
A. Diabetes Melitus
Manifestasi klinik
Diabetes mellitus ditandai oleh kerusakan metabolisme karbohidrat yang
disebabkan oleh defisiensi insulin atau kemampuan reaksi insulin, yang
menimbulkan hiperglikemi dan glukosuria. Dignosis berdasarkan peningkatan
glukosa plasma puasa ( > 140 mg/dl ) atau glukosa darah ( 126 mg/dl ). Nilai dari
beberapa laporan bahwa kadar gula darah berkiras 12 – 15% lebih rendah dari
glukosa plasma, demikian juga ketika pengujian pada whole blood, perhitungan
glukosa terbaru, dan pada glukosa plasma. Diabetes baru-baru ini terlah
diklasifikasikan kembali meliputi empat tipe (table 36-2); DM tipe I (insulin-
dependen) dan DM tipe II (noninsulin-dependen) yang paling umum dan dikenal.
Diabetik Ketoasidosis (DKA) dihubungkan dengan DM tipe I, tetapi ada orang
tertentu, dimana saat ini dengan DKA yang secara fenotip terlihat mempunyai
DM tipe II. Selanjutnya, individu dengan diagnosa awal DM tipe II kemudian
berkembang menjadi DM tipe II. Komplikasi jangka panjang DM termasuk
hipertensi, Coronary Artery Disease i(CAD), Myocardial Infarction, Congestive
Heart Failure (CHF), Diastolic Dysfunction, Peripheral And Cerebral Vascular
Disease, Peripheral And Autonomic Neuropathies, dan Renal Failure. Ada 3
komplikasi akut yang mengancap kehidupan : DKA, Hyperosmolar Nonketotic
Coma, Hipoglikemi.
Table 36–2. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.

Diagnosis (based on blood glucose level)

Fasting 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Glucose tolerance test 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Classification

Type I Absolute insulin deficiency secondary to immune-mediated or


idiopathic

Type II Adult onset secondary to resistance/relative deficiency

Type III Specific types of diabetes mellitus secondary to genetic defects

Type IV Gestational

Penurunan aktivitas hormon insulin mengakibatkan terjadinya katabolisme


dari asam lemak bebas menjadi benda keton (acetoacetate dan β-hydroxybutyrate),
sebagian dari yang ada adalah asam lemah (lihat Bab 30). Akumulasi dari asam
organic ini mengakibatkan suatu anion-gap acidosis metabolisme — DKA (Diabetic
Keto Asidosis). DKA dapat dengan mudah dicirikan dari Asidosis Laktat, dimana hal
ini dapat terjadi pada waktu bersamaan; Asidosis laktat dicirikan dengan peningkatan
laktat plasma ( > 6 mmol/L ) dan tidak ditemukan di urine dan keton plasma
(walaupun mereka dapat terjadi secara bersamaan dan ketosis pada kelaparan dapat
terjadi asidosis laktat). Pada peminum alcohol, ketoacidosis dapat dibedakan dengan
adanya riwayat terakhir konsumsi alkohol berat (pesta minum minuman keras yang
memabukan) pada pasien nondiabetic dengan suatu kadar glukosa darah yang sedikit
meningkat. Pada keadaan seperti itu pasien juga mempunyai peningkatan tidak
sebanding pada hydroxybutyrate dengan acetoacetate

Infeksi merupakan penyebab yang paling umum pada DKA, dimana pada
beberapa pasien, terutama pada anak remaja, adalah manifestasi pertama dari diabetes
mellitus type I. Manifestasi klinis meliputi tachypnea (mencoba untuk melakukan
kompensasi terhadap acidosis metabolisme), nyeri abdominal yang menyerupai suatu
abdomen akut, mual dan muntah, dan perubahan sensoris. Pengobatan DKA
tergantung pada koreksian pertama yang sering penting hypovolemia, hyperglycemia,
dan defisit dari kalium tubuh, dengan infuse kontinyu suatu cariran isotonic dan
kalium, dan infuse insulin.

Tujuan dari penurunan kadar glukosa pada ketoacidosis harus 75–100


mg/dL/jam atau 10%/jam. Pengobatan dapat dimulai dengan suatu pemberian infuse
0,1 U/Kg/jam atau nilai glukosa darah kurang 60 kali 0.1 U/jam. Pada pasien ini
sering terjadi resistensi terhadap terapi insulin, dan rata-rata dibutuhkan dosis yang
lebih tinggi jika glukosa tidak menurun. Seperti glukosa yang bergerakkan keintrasel,
demikian juga kalium. Jika dikoreksi, hal ini dapat dengan cepat mendorong kearah
suatu tingkatan hypokalemia yang kritis, penggantian yang sangat cepat pada
hyperkalemi dapat menyebabkan suatu hal yang sama dalam mengancap kehidupan.
Kalium, Glukosa Darah, dan serum keton harus dimonitor terus, minimal setiap 2 jam
dan lebih baik setiap jam.

Beberapa liter dari normal saline (1–2 L pada jam pertama, yang diikuti oleh
200–500 mL/jam) yang secara khas diperlukan untuk mengoreksi dehidrasi tersebut.
Cairan RL harus dihindari ketika hati dengan cepat mengkonversi laktat ke
bikarbonat; karena menyebabkan lemahnya perfusi pada jaringan, Volume
penyebaran dari normal salin adalah sangat aman. . Ketika glukosa plasma mencapai
250 mg/dL, Infus D5W yang ditambahkan insulin untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya hipoglikemi dan untuk menyediakan suatu sumber hormon insulin dan
glukosa yang terus-menerus yang pada akhirnya untuk menormalkan metabolisme
intrasel. Pasien mungkin memerlukan NGT untuk dekompresi gaster dan kateter
kandung empedu untuk memonitor pengeluaran air kencing.
Koreksi pada asidosis berat (pH < 7,1) dengan bicarbonat sering tidak
diperlukan, seperti koreksi asidosis dengan volume yang berlebihan dan
menormalkan keadaan hiperglikeminya.
Ketoacidosis bukanlah suatu bentuk dari koma nonketotik hyperosmolar,
mungkin disebabkan hormon insulin yang cukup tersedia untuk mencegah perubahan
benda-benda keton. Sebagai gantinya, suatu diuresis hyperglycemic mengakibatkan
dehidrasi dan hyperosmolaritas. Dehidrasi berat cepat menimbulkan gagal ginjal,
asidosis laktat, dan kecenderungan membentuk thromboses intravascular.
Hyperosmolaritas, sering melebihi 360 mOsm/L, yang mengubah keseimbangan air
di cerebral, yang menyebabkan perubahan status mental dan kejang. Hyperglycemia
berat menyebabkan suatu factitious hyponatremia: setiap peningkatan 100 mg/dL
glukosa plasma menurunkan konsentrasi sodium plasma sekitar 1,6 mEq/L. Terapi
meliputi resusitasi cairan dengan normal saline, dosis hormon insulin yang relatif
kecil, dan penambahan kalium.
Hypoglycemia pada penderita DM adalah berlebihnya hormon insulin relative
terhadap intake karbohidrat. Lebih lanjut, pada beberapa pasien tidak mampu
mengkonter dengan pengeluaran glucagon atau epinephrine terhadap terjadinya
hypoglycemia (counterregulatory failure)). Ketergantungan otak pada glukosa
sebagai suatu sumber energi membuatnya sebagai organ yang paling peka terhadap
hypoglycemia. Jika hypoglycemia tidak diobati, terjadi perubahan status mental cepat
dari lightheadedness atau kebingungan sampai terjadi kejang dan koma yang
permanen. Manfestasi sistemik dari hipoglikemi diakibatkan oleh pengeluaran
katekolamin dan meliputi diaphoresis, tachycardia, dan gelisah. Kebanyakan dari
tanda dan gejala dari hypoglycemia akan hilang/tersembunyi oleh anesthesia umum.
Walaupun kadar glukosa plasma normal adalah tidak jelas dan tergantung pada umur
dan jenis kelamin, hypoglycemia dapat secara biasanya dianggap kurang dari 50
mg/dL. Pengobatan hypoglycemia adalah dengan memberikan 50% glukosa intravena
(setiap mililiter 50% glukosa akan menaikkan glukosa darah kira-kira 2 mg/dL pada
pasien dengan BB 70-kg).

Pertimbangan Anestesi
Preoperative
Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
mempunyai resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu
peningkatan komplikasi dan hasil yang buruk. Morbiditas Perioperative pada pasien
DM dihubungkan dengan preoperative kerusakan dari end-organ, walaupun sepertiga
sampai setengah pada pasien DM type II mungkin tidak acuh bahwa mereka
mempunyai itu. Paru-paru, Kardiovaskular, dan sistem renal memerlukan penilaian
yang ketat. Suatu Rongent thorak preoperative pada penderita DM lebih mungkin
terjadi pembesaran jantungkongesti pembuluh darah paru, atau efusi pleura. EKG
preoperatif pada pasien DM juga terjadi peningkatan insiden abnormalitas dari
segment ST dan segmen gelombang T. Myocardial ischemia mungkin jelas terihat
pada EKG di samping riwayat yang tidak ada/negatif (silent myocardial ischemia dan
infark).
Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom
diabetic (Tabel 36–3). Refleksi gangguan fungsi sisten saraf otonom meningkat
sejalan dengan peningkatan usia, DM lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade β-
adrenergic. Neuropathy Otonomi pada penderita DM dapat membatasi kemampuan
kerja jantung untuk melakukan kompensasi terhadap perubahan volume intravaskuler
dan dapat mempengaruhi ketidak stabilan kardiovaskuler (seperti pada hipotensi
postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan dengan kematian jantung yang
mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan penggunaan angiotensin-
converting enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers. Lebih lanjut,
gangguan fungsi otonomik berperan terhadap perlambatan pengosongan lambung
(gastroparesis). Premedikasidengan suatu antacid dan metoclopramide akan sangat
bijaksana pada pasien DM yang gemuk dengan tanda dari disfungsi otonom jantung.
Bagaimanapun, disfungsi otonom dapat mempengaruhi tractus gastrointestinal tanpa
tanda tanda-tanda keterlibatan jantung.

Table 36–3. Clinical Signs of Diabetic Autonomic Neuropathy.

Hypertension

Painless myocardial ischemia

Orthostatic hypotension

Lack of heart rate variability 1

Reduced heart rate response to atropine and propranolol

Resting tachycardia

Early satiety

Neurogenic bladder

Lack of sweating

Impotence

1
Normal heart rate variability during voluntary deep breathing (6 breaths/min) is
greater than 10 beats/min.

Gangguan ginjal dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian


peningkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering
mengalami gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian infeksi
yang dihubungkan dengan system kekebalan, perhatian yang tegas pada tehnik
aseptic harus dilakukan pada pemasangan semua kateter intravena dan monitoring
invasive.
Hiperglikemi kronik dapat memicu terjadinya glikosilasi / glycosylation pada
protein jaringan dan sindrom keterbatasan pergerakan sendi / limited-mobility joint
syndrome. Pada preoperative, Pasien DM harus selalu dievaluasi secara rutin
terhadap kemampuan pergerakan dari sendi temporomandibular dan tulang leher
untuk membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi, dimana kejadian ini terjadi
sekitar 30% pada penderita DM tipe I.

Intraoperatif
Tujuan utama dari management gula darah intraoperatif adalah menghindari
terjadinya hipoglikemi. Walaupun memcoba untuk mempertahankan kondisi
euglikemi adalah hal yang kurang hati-hati, tidak dapat diterimanya hilangnya gula
darah kontrol (>180mg/dL) juga membawa suatu resiko. Hiperglikemi telah
dihubungkan dengan keadaan hiperosmolaritas, infeksi/peradangan dan luka yang
sulit sembuh. Yang lebih penting, ia dapat memperburuk neurologis setelah suatu
episoda iskemik serebral dan hasil setelah tindakan bedah jantung atau setelah akut
miokard infark. Kecuali hiperglikemi diobati secara agresif pada DM tipe, kontrol
hasil metabolik, terutama yang berhubungan dengan pembedahan besar atau sepsis.
Pengawasan yang ketat bermanfaat pada pasien yang akan menjalani pembedahan
kardiopulmonary bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan pemisahan dang
dengan menurunnya infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien
hamil dengan DM telah memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun
demikian, seperti dicatat sebelumnya, bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa
sebagai sumber energi yang membuat hal ini menjadi penting, sehingga terjadinya
hipoglikemi harus dihindari.
Adanya beberapa regimen pada managemen perioperatif untuk pasien DM.
Yang paling sering, pasien menerima suatu fraksi (biasanya setengah) dari total dosis
insulin dosis pada bentuk insulin kerja intermediate (tabel 35-4). Untuk menurunkan
resiko terjadinya hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena terpasang dan
diperiksa kadar gula darah pagi hari. Sebagai contoh, seorang pasien yang normal
mendapatkan Insulin NPH (neutral protamine Hagedorn; intermediate-acting) dosis
30 U dan 10 U dari regular atau insulin Lispro (short-acting) atau analog insulin
setiap pagi dan setiap yang gula darahnya kurang 150mg/dL mendapatkan 15 U
(setengah dari 30, setengah dari dosis normal pagi hari) dari NPH secara subkutan
atau IM sebelum pembedahan bersama dengan infus dekstrosa 5% (1,5 mL/kg/jam).
Penyerapan insulin subkutan atau IM tergantung dari pada aliran darah dijaringan,
bagaimanapun, dan selama pembedahan dapat tidak diramalkan. Penggunaan dari
jalur intravena dengan jarum infus yang keci untuk pemberian cairan dextrose guna
mencegah terjadinya pengaruh dengan cairan intraoperatif dan obat yang lain.
Tambahan dekstrosa dapat diberikan jika pasien menjadi hipglikemik ( < 100 mg/dL
). Tetapi, hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan
insuliln reguler IV sesuai dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang
diberikan pada dewasa biasanya kadar glukosa lebih rendah pada 25 – 30 mg/dL. Ini
harus ditekankan bahwa dosis-dosis ini adalah perkiraan dan tidak berlaku bagi
pasien dalam keadaan Katabolic ( misalnya, sepsis, hyperthermia).

Table 36–4. Dua tehnik yang paling sering pada perioperatif managemen
insulin pada penderita DM

Bolus Administration Continuous Infusion

D5W (1.5 mL/kg/h) D5W (1 mL/kg/h)

Preoperative Regular insulin :


NPH1 insulin (half usual AM
dose)
Regular insulin (as per sliding
Intraoperative Same as preoperative
scale)

Postoperative Same as intraoperative Same as preoperative

1
NPH, neutral protamine Hagedorn.

Suatu metode alternative untuk pemberian regular insulin adalah dengan


infuse kontinyu. Kelebihan dari tehnik ini adalah lebih seksama/tepat mengontrol
pemberian insulin daripada dapat dicapai dengan suntukan insulin NPH secara
subkutan atau IM, terutama pada kondisi yang dihubungkan dengan perfusi dikulit
dan otot yang jelek. Dua ratus dan 50 Unit regular insulin dapat ditambahkan dalam
250ml garam fisiologis dan infuse dimulai pada dosis 0,1 U/kg/jam. Seperti pada
Fluktuasi gula darah, infuse regular insulin dapat ditambahkan dapat disesuaikan
menurut rumusan yang berikut :

Target umum untuk mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120 –


150 mg/dL. Walau beberapa telah diatas target dari 120 mg/dL. Kontrol yang ketat
dengan tehnik intravena kontinous mungkin lebih tepat untuk DM type I.
penambahan 20mEg KCl pada setiap 1 liter cairan harus lebih diperhatikan, insulin
menyebabkan potassium (Kalium) pindah ke intraseluler. Efek dari penyerapan
insulin oleh spuit intravena dapat diminimalkan dengan flushing jalur sebelum
dimulainya infuse. Beberapa anestesi juga menyarankan penempatan infuse insulin
pada botol gelas untuk meminimalkan penyerapan oleh plastic intravenous bag.
Karena kebutuhan insulin setiap individu sangat bervariasi sekali, banyak formula
yang harus diperhatikan hanya sebagai guidline saja.
Jika pasien pada preoperatif sedang meminum obat hipoglicemik oral sebagai
pengganti insulin, obat dapat dilanjutkan samapi hari akan dioperasi, tetapi pada
sulfonylureas dan metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum operasi karena
mereka mempunyai half life / masa paruh yang panjang. Mereka dapat dimulai lagi
postoperatif ketika pasien sudah dapat minum per oral. Metformin dimulai jika fungsi
renal dan hepar tetap adekuat. Karena aksi kerja yang lama, suatu infus glukosa
dimulai dan gula darah terus dimonitor sebagai insulin dengan kerja yang intermediat
telah diberikan. Efek obat oral hipoglikemi dengan lama kerja yang singkat dapat
memanjang pada gangguan ginjal. Banyak pasien-pasien ini memerlukan insulin dari
luar selama masa intraoperatif dan postoperatif. Hal ini disebabkan oleh stress
menghadapi pembedahan yang menyebabkan peningkatan dalam counterregulatory
hormon (seperti, catecholamines, glucocorticoids, growth hormone) dan mediator
inflasi seperti faktor nekrosis tumor dan interleukin. Setiap penambahan ini menjadi
stress hiperglikemi, dengan peningkatan kebutuhan insulin. Namun, beberapa DM
tipe II akan bertoleransi kecil, prosedur pembedahan yang ringan tanpa memerlukan
insulin dari luar.
Kunci untuk beberapa cara managemen adalah memantau kadar glukosa
plasma secara rutin dan menyadari adanya variasi antara pasien pasien dengan DM
bervariasi dalam kemampuan mereka untuk menghasilkan insulin endogenous.
Pasien dengan DM tipe I yang rapuh mungkin memerlukan penilaian glukosa setiap
jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe 2 cukup setiap 2 – 3 jam. Demikian
juga, kebutuhan insulin bervariasi sesuai stress pada prosedur pembedahan tersebut.
Pasien yang menerima insulin pada pagi hari tetapi tidak menjalankan pembedahan
sampai sore adalah cenderung menjadi hipoglikemi walaupun diberikan infus
dextrose. Kecuali kalau terpasang arteri line, pengambilan spesimen darah yang
banyak dan mengirimkanya ke laboratorium memerlukan waktu dan biaya yang
mahal, dan memberikan trauma pada pembuluh darah pasien. Portable
spectrophotometers dapat menilai konsentrasi glukosa dari setetes darah yang berasal
dari ujung jari dalam semenit. Alat ini menilai konversi warna suatu potongan
glucose-oxidase-impregnated yang telah diunjukkan ke darah pasien itu untuk suatu
periode tertentu. Ketelitian mereka tergantung pada luas besar, kepedulian dengan
mana pengukuran dibuat. Pemantauan gula di urin tidak cukup akurat untuk
management Intraoperatif (intraoperative manajement.)
Pasien yang mendapatkan NPH atau protamine zinc, insulin meningkatkan
resiko reaksi alergi terhadap protamine sulfat – termasuk syok anaphylaksis dan
kematian. Sayangnya, operasi yang memerlukan penggunaan heparin dan yang
berikutnya berlawanan dengan protamine (seperti pada Kardiopulmonal bypass)
adalah lebih sering terjadi pada penderita DM. Pada pasien ini menerima sedikit
protamin untuk test dose 1 – 5 mg selama lebih dari 5 – 10 menit sebelum diberikan
dosis reversal penuh.

Post-operative
Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya harus
tetap diperiksa postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini adalah
variasi individu pada onset dan lama nya kerja dari preparat insulin (Tabel 36-5).
Untuk contoknya, onset kerja dari insulin reguler mungkin kurang dari 1 jam, tetapi
lama kerjanya lebih dari 6 jam. Insulin NPH mempunyai ciri pada onset kerja kurang
dari 2 jam, tetapi kerjanya dapat lebih lama dari 24 jam. Alasan lain pemantauan yang
ketat adalah progresivitas dari stress hiperglikemi dalam masa rekoveri. Jika volume
laktanya besar –terkandung pada IVFD yang diberikan intraoperatif, kadar gula
cenderung meningkat 24 – 48 jam post operatif dimana hepar merubah laktat menjadi
glukosa. Pasien DM rawat jalan mungkin diperlukan izin untuk dirawat semalam jika
mual dan muntahnya tetap ada yang berassal dari gastroparesis mencegah intake oral.
Table 36–5. Summary of Bioavailability Characteristics of the Insulins.1

Insulin Type2 Peak


Onset Duration
Action

Short-acting Lispro 30–90


10–20 min 4–6 h
min

Regular, Actrapid, Velosulin 15–30 min 1–3 h 5–7 h

Semilente, Semitard 30–60 min 4–6 h 12–16 h

Intermediate- Lente, Lentard, Monotard,


2–4 h 8–10 h 18–24 h
acting NPH, Insulatard

Long-acting Ultralente, Ultratard, PZI 4–5 h 8–14 h 25–36 h

B. Tiroid
Fisiologi
Makanan yang mengandung iodine diserap di tractus gastrointestinal, diubah
menjadi ion iodide dan ditransport aktif kedalam kelenjar thyroid. Sekali masuk,
iodide dioksidasi kembali menjadi iodine, yang berikatan dengan asam amino
tyrosine. Hasil akhir adalah dua hormone yaitu triiodothyronine (T3) and thyroxine
(T4) yang berikatan dengan protein dan disimpan dalam tiroid. Walaupun kelenjar
melepaskan banyakT4 dari T3, yang terakhir lebih poten dan sedikit berikatan dengan
protein. Banyak T3 dibentuk disekeliling dari deiodonatian sebagian dari T4.
Elaborasi mengenai mekanisme control dari sintesa hormone tiroid dan termasuk di
hypothalamus (thyrotropin-releasing hormone), the anterior pituitary (thyroid-
stimulating hormone, or TSH), dan autoregulation (thyroid iodine concentration).
Hormon tiroid meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lemak dan merupakan
factor penting pertumbuhan dan metabolisme rate. Peningkatkan metabolisme rate
terjadi bersama-sama dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2,
secara langsung meningkatkan minute ventilasi. Heart rate / denyut jantung dan
kontraktilitas juga meningkatkan. Barangkali dari suatu perubahan pada fisiologi
adrenergic-reseptor dan perubahan protein internal lain, menentang sampai terjadi
peningkatan kadar katekolamin.

Hypertyroid
Manifestasi klinik
Kelebihan hormon tyroid disebabkan grave disease, goiter
toxic,thyroiditis,tumor pituitari,thyroid adenoma, dan over dose hormon tyroid.
Gejala klinisnya weight loss, heat intoleran,muscle weaknness, diare, hyperactive
reflex dan nervous. Tremor, exoptalmus, khusus oleh grave. Tachikardi, atrial
fibrilasi dan cngestive heart failure. Diagnosa berdasarkan kenaikan pada tes
hormone. Pengobatan medis hipertiroidisme melalui obat-obatan yang menghambat
sintesis hormon tiroid (misalnya, propiltiourasil, methimazole), mencegah pelepasan
hormon (misalnya, kalium, natrium iodida), atau menutupi tanda-tanda aktivitas
berlebih adrenergik (misalnya, propranolol). Selain itu, meskipun antagonis β-
adrenergik tidak mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid, namun menurunkan konversi
perifer dari T4 ke T3. Yodium radioaktif merusak fungsi sel tiroid dan dapat
menyebabkan hipotiroidisme. Yodium radioaktif tidak dianjurkan untuk pasien hamil.
Tiroidektomi subtotal jarang digunakan sebagai alternatif terapi medis tetapi biasanya
dicadangkan untuk pasien dengan goiter multinodular toksik besar atau adenoma
toksik soliter. Penyakit Graves biasanya diobati dengan obat antitiroid atau yodium
radioaktif.
Pertimbangan anestesi
Preoperative
Untuk bedah elektive seperti tiroidektomi subtotal ditunda sampai tes
euthyroid. Pasien harus memiliki konsentrasi T3 dan T4 normal, dan tidak boleh
takikardia saat bersitriahat, heart rate <85, benzodizepin baik untuk premedikasi serta
antitiroid dan B adrenergik antagonis diteruskan pagi sebelum operasi. Pemberian
propylthiouracil dan methimazole sangat penting karena waktu paruh yang relatif
singkat.
Intraoperative
Kardiovascular dan suhu harus diawasi ketat. Ketika operasi darurat harus
dilanjutkan meskipun hipertiroidisme klinis, sirkulasi hiperdinamik dapat dikontrol
secara intraoperatif dengan infus esmolol. Eksofthalmos pada penyakit Graves
meningkatkan risiko terjadinya abrasi atau ulserasi kornea. Ketamin, pancuronium,
indirec acting adrenergik agonis dan obat yang menstimlasi simpatis harus dihindari
karena dapat meningkatkan tekanan darah dan detak jantung yang berlebihan. Pasien
hipertiroid yang diobati secara tidak tepat mungkin dapat terjadi syok hipovolemik
dan hipotensi akibat induksi anestesi. Kedalaman anestesi harus diperoleh sebelum
laringoskopi atau stimulasi bedah untuk menghindari takikardia, hipertensi, dan
aritmia ventrikel. Thyiopental obat pilihan karena punya anitiroid. Adekuat anaestesi
harus dicapai sebelum intubasi. Halotan dan enfluran lebih cenderung hepatik dan
ginjal toxisiti. NMB harus hati hati karena tyrotoxicosis meningkatkan myopati dan
myastenia gravis.
Untuk pemeliharaan anestesi, salah satu agen inhalasi dapat digunakan.
Kekhawatiran pada pasien hipertiroid adalah toksisitas organ sekunder akibat
peningkatan metabolisme obat. Nitrous oksida dan opioid aman dan efektif pada
pasien hipertiroid. Pasien hipertiroid mungkin memiliki penyakit yang bersamaan
(misalnya , Myasthenia gravis) dengan pengurangan untuk relaksan otot
nondepolarisasi; karena itu diperlukan titrasi hati-hati. Untuk pengobatan hipotensi
intraoperatif, vasopresor kerja langsung (fenilefrin) lebih sering digunakan. Efedrin,
epinefrin, norepinefrin, dan dopamin harus dihindari atau diberikan dengan dosis
rendah untuk mencegah respon hemodinamik yang berlebihan. Anestesi regional
dapat dilakukan dengan aman dan bahkan mungkin merupakan teknik yang lebih
sering dilakukan. Obat anestesi lokal yang mengandung epinefrin harus dihindari.

Postoperative
Pengobatan serius pada krisis tiroid yang ditandai hyperpyrexia, tachycardi,
perubahan kesadaran (agitasi, delirium, koma) dan hypotensi. Krisis tiroid adalah
keadaan darurat medis yang membutuhkan manajemen dan pemantauan yang agresif.
Onset 6-24 jam posoperasi dan dapat terjadi saat intraoperatif. Treatmen melalui
hidrasi, esmolol infus atau intravenus propranolol (dengan target mempertahankan
denyut jantung <100/menit), propiltiourasil (250-500 mg setiap 6 jam per oral atau
dengan tabung nasogastrik) diikuti sodium iodin (1 g secara intravena lebih dari 12
jam). Hidrokortison (100-200 mg setiap 8 jam) diberikan untuk mencegah komplkasi
supresi kortek adrenal. Komplikasi pada subtotal tyroidektomi Recurrent laringeal
nerve palsy atau aphonia dan stridor, fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan
laringoskopi segera setelah "ekstubasi dalam". Namun, ini jarang diperlukan.
Imobilisasi satu atau kedua bagian mungkin memerlukan reintubasi dan eksplorasi
luka, bentuk dari hematoma dapat menybebabkan gangguan jalan nafas akibat kolaps
trakea terutama pada pasien dengan trakeomalacia. Diseksi dari hematoma ke dalam
jaringan lunak yang menekan di leher mengubah anatomi jalan nafas dan dapat
membuat intubasi menjadi sulit. Perawatan segera termasuk membuka luka leher dan
mengevakuasi gumpalan, kemudian menilai kembali perlunya reintubasi. Staf
anestesi dalam pengaturan pasca operasi harus siap untuk buka luka bedah dan buang
kompresi jalan nafas jika ahli bedah melakukannya tidak tersedia. Hypoparatiroid
yang tak sengaja kebuang menyebabkan hipokalsemia akut dalam 12 sampai 72 jam .
Pneumotorak mungkin juga komplikasi berikutnya.
Hypotyroid
Manifestsi klinis
Hipotiroid disebabkan oleh Hasimoto tiroiditis, tiroidektomi, radioaktif iodin,
pemberian antitiroid, iodin defisiensi dan kegagalan pituitari-hipotalamus.
Manifestasi klinis berupa penambahan berat badan, cold intolerance, kelemahan,
konstipasi dan depresi.
Diagnosis berdasarkan kadar T4 yang rendah. Pengobatan dengan tiroid
hormon. Koma Mixedema hasil dari hipotiroid yang berat, ditandai dengan
penurunan kesadaran, hipoventilasi, hipotermi, hiponatremi dan kongestif heart
failure. Pengobatan dengan intravena hormon tiroid. EKG harus dimonitor selama
terapi untuk mendeteksi iskemi miokard atau disritmia. Pemberian steroid pada
supresi kelenjar adrenal diberika secara rutin.

Pertimbangan Anestesi
Preoperatif
Operasi EMG pada Pasien hipotiroid berat atau koma mixedema harus
diterapi hormon tiroid terlebih dahulu dan tidak boleh menjalani operasi. Pada
Operasi Elektif : Dilakukan pada eutiroid atau hipotiroid ringan/sedang, kecuali
pasien dengan penyakit jantung koroner, terapi dapat ditunda setelah operasi bypass
arteri koroner. Pasien-pasien hipotiroid tidak memerlukan banyak sedasi Premedikasi
yang disarankan : Histamin H2 antagonis dan metoclopramide Pasien hipotiroid
simtomatik harus menerima sedasi preoperatif minimal mengingat mereka rentan
terhadap depresi pernapasan akibat obat. Selain itu, mereka mungkin gagal
merespons sehingga mengalami hipoksia dengan peningkatan ventilasi.
Intraoperatif
Pasien hipotiroid rentan terhadap terjadinya hipotensi akibat obat-obat
anestesi karena berkurangnya curah jantung, refleks baroreseptor dan penurunan
volume intravaskular , karena itu ketamine dianjurkan sebagai induksi anestesi.
Pasien hipotiroid sangat sensitif terhadap narkotika dan obat penenang. Oleh karena
itu sedasi pra operasi harus dilakukan secara waspada. Pasien hipotiroid juga
mengalami peningkatan sensitivitas terhadap obat anestesi, meskipun efeknya tiroid
aktivitas pada konsentrasi alveolar minimum yang mudah menguap anestesi dapat
diabaikan. Peningkatan sensitivitas sekunder akibat penurunan curah jantung,
penurunan volume darah, fungsi baroreseptor abnormal, penurunan metabolisme hati,
dan penurunan ekskresi obat ginjal. Pada pasien dengan sistem kardiovaskular
hipodinamik, pemantauan invasive dan / atau ekokardiografi transesofagus mungkin
diperlukan memantau volume intravaskular dan status jantung.
Anestesi umum harus diberikan melalui tabung endotrakeal setelah induksi,
dilakukan intubas. Pasien hipotiroid sangat sensitif terhadap efek depresan miokard
dari agen inhalasi yang kuat. Vasodilatasi dengan adanya kemungkinan hipovolemia
dan gangguan aktivitas baroreseptor dapat menghasilkan hipotensi yang signifikan.
Dukungan farmakologis untuk hipotensi intraoperatif paling baik diberikan dengan
efedrin, dopamin, atau epinefrin dan bukan agonis α-adrenergik murni (fenilefrin).
Hipotensi yang tidak responsif mungkin memerlukan pemberian steroid tambahan.ion
mungkin membutuhkan pemberian steroid tambahan. Ventilasi yang terkontrol
direkomendasikan dalam semua kasus, karena pasien-pasien ini cenderung
hypoventilate jika dibiarkan bernafas secara spontan. Dekstrosa dalam salin normal
adalah IV yang dianjurkan cairan untuk menghindari hipoglikemia dan
meminimalkan hiponatremia sekunder.
Jika perlu dilakukan operasi darurat, akan berpotensi terhadap ketidakstabilan
kardiovaskular intraoperatif dan koma miksedema pada periode pasca operasi.
Penggantian terapi tiroid intravena harus dimulai sesegera mungkin. Meskipun IV-
tiroksin membutuhkan 10-12 hari untuk menghasilkan basal puncak tingkat
metabolisme, triiodothyronine IV efektif dalam 6 jam, dengan tingkat metabolisme
basal puncak terlihat dalam 36-72 jam. l-Tiroksin 300–500 μg IV atau l
triiodothyronine 25–50 μg IV adalah dosis awal yang dapat diterima. Cakupan steroid
dengan hidrokortison atau deksametason diperlukan, karena penurunan fungsi korteks
adrenal sering menyertai hipotiroidisme. Inhibitor fosfodiesterase seperti milrinone
mungkin efektif dalam pengobatan kontraktilitas miokard berkurang, karena mereka
mekanisme kerja tidak tergantung pada reseptor β, yang jumlah dan sensitivitas dapat
dikurangi pada hipotiroidisme.
Postoperatif
Pemulihan anestesi umum berjalan lambat, terutama karena hipotermi,
depresi nafas dan biotranformasi obat yang lambat sehingga memerlukan ventilasi
mekanik yang agak lama. Obat anestesi yang disarankan adalah ketorolac (non
opioid).

Akromegali
Akromegali disebabkan oleh sekresi hormon pertumbuhan yang berlebihan
pada orang dewasa, paling sering oleh adenoma di kelenjar hipofisis anterior.
Kegagalan konsentrasi hormon pertumbuhan plasma menurun 1-2 jam setelah
konsumsi 75-100 g glukosa adalah bukti dugaan akromegali, demikian juga
konsentrasi hormon pertumbuhan lebih tinggi dari 3 ng / mL. Radiografi dan CT scan
tulang tengkorak berguna untuk mendeteksi pembesaran sella turcica, yang
merupakan karakteristik dari adenoma hipofisis anterior.
Tanda dan Gejala Manifestasi akromegali mencerminkan perluasan parasellar
dari adenoma hipofisis anterior dan efek perifer yang dihasilkan oleh adanya hormon
pertumbuhan berlebih. Sakit kepala dan papilledema mencerminkan peningkatan
tekanan intrakranial akibat perluasan adenoma hipofisis anterior. Gangguan
penglihatan disebabkan oleh kompresi kiasma optik oleh pertumbuhan berlebih
jaringan di sekitarnya. Pertumbuhan berlebih dari jaringan lunak jalan nafas atas
(pembesaran lidah dan epiglotis) membuat pasien rentan terhadap obstruksi jalan
nafas atas.
Suara serak dan gerakan abnormal pita suara atau kelumpuhan saraf laring
berulang dapat terjadi akibat peregangan yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih
dari struktur tulang rawan di sekitarnya. Selain itu, keterlibatan sendi cricoarytenoid
dapat menyebabkan perubahan pada suara pasien yang dihasilkan dari gangguan
pergerakan pita suara.
Penatalaksanaan Anestesi
Manajemen anestesi pada pasien dengan akromegali dipersulit dengan
perubahan yang disebabkan oleh sekresi hormon pertumbuhan yang berlebihan. Yang
paling penting adalah perubahan di saluran napas bagian atas. Anatomi wajah yang
terdistorsi dapat mengganggu penempatan sungkup masker. Pembesaran lidah dan
epiglotis merupakan predisposisi obstruksi jalan napas atas dan mengganggu
visualisasi pita suara dengan laringoskopi langsung. Jarak antara bibir dan pita suara
meningkat karena pertumbuhan berlebih dari mandibula. Bukaan glotis mungkin
menyempit karena pembesaran pita suara.
Selain penyempitan subglottic, mungkin memerlukan penggunaan tabung
trakea dengan diameter internal yang lebih kecil daripada yang diperkirakan
berdasarkan usia dan ukuran pasien. Pembesaran turbin hidung dapat menghalangi
jalannya nasofaringeal atau nasotrakeal. Riwayat dispnea pra operasi saat aktivitas
atau adanya suara serak atau stridor menunjukkan keterlibatan laring dengan
akromegali.
Dalam hal ini, laringoskopi tidak langsung dapat diindikasikan untuk
mengukur tingkat disfungsi pita suara. Ketika kateter ditempatkan di arteri radial,
penting untuk mempertimbangkan kemungkinan sirkulasi kolateral yang tidak
memadai di pergelangan tangan. Pemantauan konsentrasi glukosa darah bermanfaat
jika diabetes mellitus atau intoleransi glukosa menyertai akromegali. Stimulasi saraf
perifer digunakan untuk memandu dosis relaksan otot nondepolarisasi, terutama jika
terdapat kelemahan otot rangka. Perubahan kerangka yang terkait dengan akromegali
dapat menggunakan anestesi regional secara teknis sulit atau tidak dapat diandalkan.
Tidak ada bukti bahwa ketidakstabilan hemodinamik atau perubahan pertukaran gas
paru menyertai anestesi pada pasien acromegalic.
Hiperparatiroidisme
Pengobatan dan pertimbangan anestesi.
Manisfestasi klisnis adalah hiperkalsemia yang bertanggung jawab kepada
sebagian besar gejala dan tanda (nefrolitiasis, pusing). Evaluasi preoperatif termasuk
status volum harus dilakukan untuk menghindari hipotensi selama induksi. Hidrasi
cairan normosaline dan furosemid intravena sebelum operasi dapat menurunkan
konsentrasi kalsium serum. Penggunaan pelumpuh otot harus berhati-hati karena efek
hiperkalsemia pada neuromuskular junction yang tak terduga. Hipoventilasi harus di
hindari karena asidosis dapat meningkatkan ionisasi ionisasi kalsium. Penjagaan
posisi pasien osteopenik selama operasi dibutuhkan untuk meminimalisasi
kemungkinan patah tulang yang patologis.

Hipoparatiroidisme
Gejala klinis dari hipokalsemia, dan pengobatannya adalah dengan kalsium
glukonat 10% (10-20 ml - iv).

TABEL. Gejala Hipokalsemia


Saraf mudah terangsang
Spasme otot skelet
Gagal jantung kongestif
Interval Q-T memanjang pada elektrokardiogram

Pertimbangan Anestesi
Kaslium harus dinormalkan pada pasien dengan manisfestasi pada jantung
akibat hipokalsemia. Cegah pemberian zat anestesi yang mendepresi miokardium.
Tranfusi darah sebaiknya tidak diberikan secara cepat pada pasien yang mengalami
hipokalsemia, walupun produk darah yang mengandunng sitrat tidak selalu
menurunkan kalsium secara signifikan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol dan
memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk
mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling
berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Sistem endokrin
memiliki fungsi untuk mempertahankan hemoestatis, membatu mensekresikan
hormon-hormon yang bekerja dalam sistem persyarafan, pengaturan pertumbuhan
dan perkembangan dan kontrol perkembangan seksual dan reproduksi.
Penggunaan obat anestesi pada pasien dengan gangguan sitem endokrin harus
diberikan secara hati-hati karena dapat berakibat fatal. Pada pasien hipertiroid
penggunaan obat-obatan seperti efedrin, epinefrin, norepinefrin, dan dopamin harus
dihindari atau diberikan dengan dosis rendah untuk mencegah respon hemodinamik
yang berlebihan, dan pada pasien hipotiroid rentan terhadap terjadinya hipotensi
akibat obat-obat anestesi karena berkurangnya curah jantung, refleks baroreseptor dan
penurunan volume intravaskular, ketamine merupakan obat yang dianjurkan sebagai
induksi anestesi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC
2. Guyton A C and Hall J E, 2006, Pembentukan urine oleh ginjal , Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran edisi 11, EGC,
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Chronic Pain Managament. In : Clinical
Anesthesiology, 5th ed. Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2013, p.
4. Hines Roberta L.,Marschall Katherine E., Fluid Management and Urine Output
(Chronic ranal failure), In Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 5th ed.
Philadelphia: Elsevie

Anda mungkin juga menyukai