Anda di halaman 1dari 3

NAMA : RIKA AINIA

NIM : 170711636070

JURUSAN : HKn D 2017

ANALSIS POLITIK HUKUM (POLITIK HUKUM LINGKUNGAN)

PENCEMARAN LINGKUNGAN TAMBANG BATU BARA

Batubara merupakan salah satu bahan sumber daya energy yang sangat besar. Indonesia
pada tahun 2006 mampu memproduksi batu bara sebesar 162 juta ton dan 120 juta ton
diantaranya diekspor. Sementara itu sekitar 29 juta ton diekspor ke Jepang. indonesia memiliki
cadangan batubara yang tersebar di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam
jumlah kecil, batu bara berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi.
Pengembangan pengusahaan pertambangan batubara secara ekonomis telah mendatangkan
hasil yang cukup besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun sebagai
sumber devisa. Bersamaan dengan itu, eksploitasi besar-besaran terhadap batubara secara
ekologis sangat memprihatinkan karena menimbulkan dampak yang mengancam kelestarian
fungsi lingkungan hidup dan menghambat terselenggaranya sustainable eco-development.
Untuk memberikan perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka
kebijakan hukum pidana sebagai penunjang ditaatinya norma-norma hukum administrasi
ladministrative penal law) merupakan salah satu kebijakan yang perlu mendapat perhatian,
karena pada tataran implementasinya sangat tergantung pada hukum administrasi. Diskresi luas
yang dimiliki pejabat administratif serta pemahaman sempit terhadap fungsi hukum pidana
sebagai ultimum remedium dalam penanggulangan pencemaran udaran atau perusakan
lingkungan hidup, seringkali menjadi kendala dalam penegakan norma-norma hukum
lingkungan.
Dampak Penambangan Batubara
1. Pencemaran air
2. Pencemaran udara
3. Pencemaran Tanah
4. Dampak pencemaran Pencemaran akibat penambangan batubara terhadap manusia,
munculnya berbagai penyakit antara lain :
Limbah pencucian batubara zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika
airnya dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker kulit.
Kaarena Limbah tersebut mengandung belerang ( b), Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn),
Mangan (Mn), Asam sulfat (H2sO4), di samping itu debu batubara menyebabkan polusi
udara di sepanjang jalan yang dijadikan aktivitas pengangkutan batubara. Hal ini
menimbulkan merebaknya penyakit infeksi saluran pernafasan, yang dapat memberi efek
jangka panjang berupa kanker paru-paru, darah atau lambung. Bahkan disinyalir dapat
menyebabkan kelahiran bayi cacat.
Dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan yang
ditimbulkan oleh proses penambangan dan penggunaannya. Batubara dan produk
buangannya, berupa abu ringan, abu berat, dan kerak sisa pembakaran, mengandung
berbagai logam berat : seperti arsenik, timbal, merkuri, nikel, vanadium, berilium,
kadmium, barium, cromium, tembaga, molibdenum, seng, selenium, dan radium, yang
sangat berbahaya jika dibuang di lingkungan. Lingkungan yang baik dan seat merupakan
hak asasi setiap warga negara Indonesia yang dijamin oleh pasal 28H UUD NRI 1945.
Perlindungan hukum lingkungan terhadap pengelolaan tambang batu bara menunjuk pada
UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pengelolaan pertambangan batu bara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal
ini dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan
rakyat Indonesia. Dengan terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan harus dilaksanakan dengar memperhatikan prinsip lingkungan hidup,
transparansi, dan partisipasi masyarakat. Sistem pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan di Kota Samarinda tidak berjalan efektif. Fungsi pengendalian yang
tidak efektif ini mengakibatkan terjadinya pencemaran yang kemudian berdampak pada
kesehatan dan keselamatan warga masyarakat terutama perempuan dan anak , bahkan
menimbulkan korban dikawasan pertambangan. Fungsi pengendalian yang tidak efektif
terjadi karena lemahnya regulasi dan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah. Perda
Tambang tidak mengatur secara spesifik tentang instrumen-instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Selain tiadanya ketentuan yang spesifik
tentang kriteria lokasi tambang (tata ruang), juga tidak ada ketentuan spesifik tentang
analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, ketentuan baku mutu
limbah tambang batubara, dan kewajiban melakukan analisis risiko lingkungan hidup.
Seluruh instrumen tersebut seharusnya diterapkan dalam industri tambang batubara
mengingat tingginya risiko lingkungan yang dapat ditimbulkannya (Pasal 14 UU 32/2009).
Efektifitas dari beberapa instrumen tersebut sangat tergantung pada efektifitas sistem
perizinan. Dalam praktiknya sistem perizinan tidak berjalan efektif seperti telah dijelaskan
sebelum ini. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda memiliki fungsi
pengendalian pencemaran. Fungsi tersebut tidak berjalan baik karena minimnya fasilitas
dan anggaran yang dimiliki. Prinsip perlindungan hukum lingkungan, terkait instrumen-
instrumen lingkungan hidup, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, belum
maksimal melindungi masyarakat sekitar kawasan pertambangan. Ini disebabkan
perbedaaan penerapan asas ultimum remedium pada Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009. Hal disebabkan persoalan penafsiran dalam penjelasan undang-undang tersebut,
lebih menekankan pada sanksi adminitrasi dan sanksi perdata, untuk sanksi pidana sebagai
upaya terakhir dari proses penegakan hukum lingkungan.
Upaya perlindungan lingkungan terhadap korban dalam pengelolaan pasca
pertambangan menjadi tidak jelas dalam penegakan hukumnya, karena perbedaaan
penerapan konsep tersebut. Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, bahwa
penegakan hukum pidana dalam undang-undang ini memperkenalkan Penegakan hukum
pidana dalam Undang-Undang ini ancaman hukuman minimum di samping maksimum,
perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan
hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana
lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan
penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum
administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku
bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air
limbah, emisi, dan gangguan. Kendala penerapan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009,
karena aparat penegak hukum, belum mempunyai pedoman aturan pelaksanaan undang-
undang tersebut, kemudian juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya
perlindungan lingkungan hidup, serta politisasi dalam usaha pertambangan. Sehingga
upaya perlindungan terhadap pengelolaan pertambangan masih kurang maksimal. Kedepan
dalam pengelolaan pertambangan batubara, segera disahkan Revisi perda tentang
Pertambangan, diperlukanDiperlukan perbaikan dalam 3 (tiga) aspek; hukum materiil,
sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan ilakukan kajian ulang terhadap ketentuan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai