Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEBIJAKAN DALAM DAN LUAR NEGERI-PAN ARAB-ISLAM GARIS KERAS

DAN PERANG TERHADAP TERORISME

Mata Kuliah Praktik Kenegaraan di Timur Tengah dan Afrika Utara

Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis

Atep Abdurrofiq, M.Si

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Husniyah (11160453000031)

Ahmad Ubaedillah (11160453000029)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/1441 H
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Kebijakan
Dalam dan Luar Negeri-Pan Arab-Islam Garis Keras dan Perang Terhadap Terorisme”

Alhamdulillah makalah ilmiah ini telah selesai kami susun dengan baik dan maksimal
atas kerja keras dan juga bantuan dari berbagai pihak sehingga pembuatan makalah ini dapat
berjalan dengan lancar. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang berkontribusi, khususnya dosen Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis
dan Atep Abdurrofiq, M.Si sebagai dosen mata kuliah Praktik Kenegaraan dalam Islam di
Timur Tengah dan Afrika Utara yang telah membimbing kami dalam penyelesaian makalah
ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi isi, susunan kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.

Ciputat, 17 September 2019

Penyusun

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal II


DAFTAR ISI

Cover ........................................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... II

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ III

BAB I........................................................................................................................................ IV

PENDAHULUAN .................................................................................................................... IV

A. Latar Belakang............................................................................................................... IV

B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... V

C. Tujuan ............................................................................................................................. V

BAB II ........................................................................................................................................ 1

PEMBAHASAN......................................................................................................................... 1

A. Konflik Negara-Negara di Timur Tengah ....................................................................... 1

B. Kebijakan Dalam dan Luar Negeri Negara-Negara Timur Tengah ................................ 6

BAB III ..................................................................................................................................... 17

PENUTUP ................................................................................................................................ 17

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 18

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kawasan Timur Tengah merupakan wilayah yang sarat dengan sejarah keemasan dan
budaya masyhur, yang membentang mulai dari lembah Sungai Nil, Eufrat dan Tigris, serta
wilayah lainnya. Bahkan negara-negara yang ada di Timur Tengah sering dijuluki negara para
Nabi. Namun di kawasan Timur Tengah ini juga sering terjadi pertumpahan darah disebabkan
adanya berbagai kepentingan politik baik itu kepentingan domestik, regional maupun
internasional, mulai dari Perang Arab Israel, Perang Irak-Iran, dan peperangan lain.

Konflik di Timur Tengah juga disebabkan karena faktor keberadaan kaum


fundamentalis dan kaum radikalis di Timur Tengah. Di Afganistan, fragmentasi etnis
menurunkan kemampuan para radikalis, sementara di Sudan, Aljazair dan Iran kaum radikalis
justru berada dalam kekuasaan. Di Irak meletus ketegangan antara penguasa etnis Sunni dari
klan Takrit dan Kurdi di satu sisi dan Syi’ah di sisi lain. Konflik juga terjadi antara mayoritas
Sunni dan kaum Alawi di Suriah. Kaum radikalis mengekpresikan gerakan moral dan
politiknya melalui sentimen massa terhadap ideologi nasionalis dan sosialis. Bahkan sentimen
massa ini akhirnya melembaga, baik formal maupun informal. Kita bisa mengamati gerakan
radikalisme yang terbentang di kawasan Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir),
FIS (Aljazair), Refah (Turki), Jamaat Islami (Pakistan), Hizb at-Tahrir (Yordania), Taliban
(Afghanistan), Al-Mujahidin (Irak), Jam‘iyah Ruhaniyah Mobarez (Iran), Hizbullah
(Libanon), Hammas (Palestina), Gerakan Imam Mahdi (Arab Saudi), Hizb an-Nahdlah
(Tunisia), al-Ikhwan (Suriah), National Islamic Front/NIF (Sudan), al-Haq (Yaman), Arab
Revolutionary Brigades (Kuwait) dan Munadzdzamat al-Amal al-Islami (Bahrain).

Dari isu-isu yang telah disebutkan di atas, gerakan Pan-Arabisme merupakan salah
satu bentuk tindak lanjut dari nasionalisme Arab yang memiliki peran penting dalam
mempersatukan bangsa-bangsa Arab.

Selain itu, gerakan tersebut juga turut serta dalam proses berdirinya Partai Baath dan
Liga Arab. Dalam kesempatan ini pemakalah akan memaparkan sekilas tentang beberapa
konflik yang dialami Timur Tengah dewasa ini beserta gerakan Pan-Arabisme sebagai strategi
politik dan kebijakan dalam maupun luar negeri yang telah dilakukan Timur Tengah. Dalam

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal IV


hal ini pemakalah hanya mengambil beberapa contoh dari negara-negara di Timur Tengah
karena terbatasnya waktu dan keilmuan yang dimiliki.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana eksistensi fundamentalisme dan terorisme dalam mewarnai konflik di
Timur Tengah ?
2. Bagaimana kebijakan negara-negara Timur Tengah dalam menyikapi berbagai
macam konflik ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Konflik Fundamental di Negara Timur Tengah
2. Untuk Mengetahui Kebijakan Negara Timur Tengah dalam Menghadapi Konflik

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal V


BAB II
PEMBAHASAN

A. Konflik Negara-Negara di Timur Tengah


Dalam dekade terakhir ini, kawasan Timur Tengah sedang menghadapi
krisis politik yang paling serius dalam sejarah. Krisis politik ini merupakan akibat
dari ketegangan dan gesekan politik yang terakumulasi dalam rentang waktu yang
panjang di kawasan Timur Tengah. Dalam menghadapi situasi krisis politik ini,
masyarakat internasional sedang berupaya untuk meredakan ketegangan,
menghimbau kepada semua pihak supaya tenang memecahkan perselisihan
melalui dialog yang melibatkan semua unsur negara-negara yang ada di kawasan
tersebut.1

Krisis politik dan beberapa konflik di Timur-Tengah ini disebabkan oleh


beberapa faktor, yaitu: pertama, masalah perbatasan (boundary dispute). Pada
tahun 1916, melalui perjanjian Sykes-Picot, Inggris dan Perancis melakukan
negoisasi membagi bekas wilayah Turki Utsmani; Irak, Libanon, Suriah, dan
Yordania. Inggris menguasai wilayah Irak dan Yordania, sementara Perancis
menguasai Suriah dan Libanon. Demikian juga pada tahun 1917 Inggris
memberikan wilayah Palestina untuk Israel melalui Deklarasi Balfour, yang
kemudian menjadi sumber konflik hingga saat ini di kawasan Timur Tengah.

Kedua, Masalah Minyak. Minyak menjadi salah satu faktor munculnya isu
sentral yang sangat sensitif dan selalu menjadi pemicu adanya konflik di Timur-
Tengah, terutama di wilayah Asia Barat. Karena ia menjadi komoditas satu-
satunya sebagai kekuatan bargaining yang dimiliki negara-negara Timur Tengah
sekaligus untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Konsentrasi minyak di Timur
Tengah pada umumnya berada di daerah yang mempunyai potensi konflik;
contohnya Kota Kirkuk di Irak Utara adalah tempat cadangan minyak Irak

1
Abdurrohman Kasdi, Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Pusaran Krisis Politik di
timur Tengah, Jurnal Penelitian,Vol. 12, No. 2, Agustus 2018. Hal. 2

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 1


terbesar, dimana di daerah itu merupakan basis dari suku Kurdi yang sedang
menginginkan kemerdekaan dari Pemerintah Irak.

Ketiga, Masalah Air. Air merupakan sumber utama kehidupan manusia,


sehingga banyak sekali konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah yang
disebabkankan oleh air.2 Di Timur Tengah yang terdiri dari kurang lebih 20
negara, ternyata hanya memiliki 4 sungai besar sebagai sumber kehidupannya,
yaitu Sungai Nil, Sungai Yordan, Sungai Eufrat dan Tigris. Problemnya adalah
adanya keterbatasan sumber air tawar dan sungai tersebut juga mengalir melewati
beberapa negara.

Selain tiga hal di atas, menurut Leslie Lipson, faktor penyebab utama
krisis politik di Timur Tengah adalah meratanya perpecahan yang akut dalam
masyarakat Timur Tengah, yang berasal dari tribalisme dan ganasnya
sektarianisme agama.3 Kaum radikalis telah memberikan kontribusi terhadap
panasnya eskalasi konflik dan meningkatnya krisis di negara-negara Timur
Tengah. Analisis Leslie Lipson ini diperkuat oleh Michael Hudgson. Menurutnya,
pusat identitas bangsa Arab terletak pada dimensi budaya, bahasa dan agama,
yakni Islam. Muslim di Timur Tengah mayoritas adalah Sunni. Sehingga dengan
batasan ini, muslim sunni non-Arab, seperti suku Kurdi dan Barbar serta muslim
Arab non-Sunni, seperti kaum Alawi, Druze dan beberapa cabang Islam Syi’ah
tidak diperhitungkan.

Dalam dekade terakhir, ada beberapa peristiwa terkait krisis politik di


Timur Tengah yang paling mutakhir, yaitu: pertama, perang saudara di Suriah
yang melibatkan pemerintah dan oposisi. Banyak aktor dengan kepentingan
beragam dan mempunyai dimensi yang bermacam-macam, terdiri dari aktor lokal
antara pemerintah dan oposisi, negara-negara Timur Tengah yang ikut terlibat,
maupun internasional dengan keterlibatan Amerika Serikat dan Rusia.

2
Moris, Water and Conflict in the middle East: Threats and Opportunities; Studies in
Conflict & Terrorism, 1997. Jurnal Penelitian,Vol. 12, No. 2, Agustus 2018. Hal. 13
3
Lipson, The Ethical Crises of Civilization: Moral Melthdown or Advance. Newbury and
London: Sage Publication, 1999. Jurnal Penelitian,Vol. 12, No. 2, Agustus 2018. Hal. 278

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 2


Kehancuran akibat perang saudara ini sangat parah. Setengah lebih penduduk
Suriah mengungsi ke negara lain, sekitar 500.000 (lima ratus ribu) nyawa
penduduk melayang, dan banyak dana dihamburkan untuk logistik perang. Rusia
saja disebut-sebut menghabiskan sekitar US$4 juta (sekitar Rp 50 miliar) setiap
hari dalam perang selama 6 tahun ini, padahal jumlah negara yang terlibat banyak.
Estimasi kerugian secara ekonomi dalam perang Suriah sekitar 255 Billion Euro
menurut Euronews. Jika perdamaian kedua pihak terlaksana saat ini dan restorasi
berjalan lancar, Suriah diperkirakan membutuhkan waktu 15 tahun untuk
membangun ekonominya seperti sebelum perang. Sebenarnya kedua belah pihak
yang bertikai, pemerintah dan oposisi sudah hampir habis tenaga dan logistiknya,
tapi keduanya masih tampak gengsi dan mendapat tekanan dari negara donor. Ini
menunjukkan betapa kompleksnya perang Suriah.

Kedua, keterlibatan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) dalam krisis
politik di Irak Timur Tengah antara pemerintah Irak dan Suriah dengan ISIS ini
bertujuan menghabisi kekuatan teritorial ISIS di Suriah utara dan Irak utara.
Usaha ini dilakukan untuk menguasai kembali Kota Mosul dan Kota Raqqa.
Akhirnya usaha ini berhasil, pada 10 Juli 2017 Perdana Menteri Irak Haedar al-
Abbadi mendeklarasikan bahwa Mosul sudah dibebaskan oleh pemerintah Irak,
kemudian disusul Kota Raqqa yang dibebaskan oleh Tentara Suriah pada 10
Oktober 2017. Agenda bagi pemerintah Irak dan Suriah ke depan yang paling
berat adalah mewujudkan perdamaian, rekonsiliasi, dan pemulihan yang
membutuhkan waktu panjang serta diperkirakan memakan biaya yang sangat
besar.

Ketiga, referendum yang dilakukan oleh masyarakat Kurdistan di bagian


wilayah Timur Laut Irak pada 25 September 2017. Peristiwa ini memicu konflik
politik dan kontak senjata antara pemerintah Turki, Iran, dan Suriah dengan
masyarakat suku Kurdi. Hal ini karena suku Kurdi berada di tiga negara tersebut.
Persoalan ini menjadi bom waktu yang paling berbahaya dalam kurun waktu
terakhir ini di wilayah bagian Arab Timur, karena kedua pihak sama-sama ngotot;
pihak Kurdistan menginginkan kemerdekaan dan tiga negara tersebut

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 3


menolaknya. Problemnya, Kurdistan saat ini memiliki kemampuan militer dan
semangat yang tinggi untuk mewujudkan kemerdekaannya, sehingga upaya damai
dari Baghdad, Ankara, dan Teheran sangat ditunggu untuk menyelesaikan krisis
politik di kawasan ini.

Keempat, krisis politik yang melibatkan Arab Saudi dan Bahrain dengan
Qatar, kemudian diikuti oleh Uni Emirat Arab, serta Mesir yang memutuskan
hubungan diplomatik dengan Qatar pada hari Senin, 5 Juni 2017. Negara-negara
tersebut mengambil langkah tersebut dengan alasan Qatar telah mendukung aksi
terorisme. Berbagai upaya dilakukan untuk mendamaikan kedua belah pihak,
namun semuanya gagal.

Selain krisis politik yang disebabkan karena konflik antar negara-negara


yang ada di Timur Tengah, konflik juga terjadi dalam internal mereka antara
pemerintah dan oposisi. Terjadinya gerakan turun ke jalan untuk menentang
pemerintah meledak di Mesir, Sudan, Libia, Irak, Suriah, Tunisia dan Yaman,
serta di beberapa negara lain di Timur Tengah. Bahkan dalam menyikapi
perkembangan politik dan sebagai upaya untuk meredam gejolak di negaranya,
beberapa pemimpin negara mengumumkan keinginannya untuk tidak
mencalonkan diri lagi setelah masa jabatannya berakhir. Presiden Sudan Omar al-
Bashir mengumumkan ia tidak akan mencalonkan diri lagi pada 2015, begitu pula
Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, yang masa jabatannya berakhir tahun 2014,
meskipun sikap politik ini juga belum bisa menjadi senjata ampuh untuk meredam
unjuk rasa yang semakin menjadi-jadi menuntut pengunduran dirinya secepatnya.4

Di samping realitas masyarakatnya yang sangat beragam, kondisi ini


diperparah dengan adanya pertentangan konsepsi negara-negara sekuler modern
dengan universalisme tatanan agama. Kondisi ini diperparah dengan adanya krisis
yang dialami Negara-negara Timur Tengah sendiri, berikut adanya kelemahan-
kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi
terbentuknya civil society modern di Timur Tengah. Fenomena ini telah
4
Jatmika, The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di Kawasan Timur
Tengah. Jurnal Hubungan Internasional.2013. Hal. 161

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 4


mempertajam ketegangan dan benturan politik serta idiologi yang menghambat
perkembangan kesadaran kebangsaan masyarakat Timur Tengah.

Fundamentalisme dan radikalisme agama di Timur Tengah dapat


diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Pertama, negara-negara yang rezim
pemerintahnya otoriter seperti Irak dan Suriah. Al-Mujahidin di Irak menentang
kediktatoran penguasa di Irak, demikian halnya al-Ikhwan di Suriah yang
menentang rezim penguasa Basyar al-Asad. Kedua, wilayah yang dijajah dan
diduduki kekuatan asing, seperti di Palestina. Radikalisme di Palestina muncul
sebagai reaksi atas kekerasan politik yang dilakukan Israel di daerah Palestina
yang diduduki. Agresi dan terorisme negara yang dimainkan oleh Israel terhadap
penduduk Palestina dan usaha mencaplok beberapa wilayah di Jalur Gaza, Tepi
Barat, Dataran Tinggi Golan dan beberapa wilayah lain. Ketiga, di negara yang
kebijakan pemerintahannya dipandang terlalu memihak ke Barat seperti di Mesir.
Munculnya Ikhwanul Muslimin di Mesir tidak lepas dari sentimen massa
(Sharabi, 1988: 136), menentang kebijakan pemerintah yang pro-Barat dan
cenderung memarjinalkan peran mereka.

Sementara fundamentalisme dan radikalisme di Tunis, MTI (Mouvement


de Tendance Islamique) muncul karena sentimen massa terhadap kebijakan
pemerintah Tunis yang menguntungkan Barat, mejauhkan agama dengan rakyat
tunis. Kelompok ini, oleh pemerintah Tunis selain disebut sebagai radikalis, juga
teroris dukungan Iran. Namun pemerintah Tunis sendiri akhirnya bisa digulingkan
oleh Zainal Abidin bin Ali yang didukung oleh kaum radikalis di Tunis.
Pergeseran politik di Tunis ke arah kebijakan garis keras yang dilakukan oleh para
aktivis Islam tersebut dipengaruhi oleh beberapa peristiwa di Aljazair. Sejak lama,
negara ini dikuasai oleh partai tunggal dan monolitik, di bawah rezim Presiden
Chadli Bendjedid dari Front Pembebasan Nasional (FLN). Sejak
kemerdekaannya, 1962 FLN menguasai setiap pemilu. Namun, pada 1990, Front
Islamic du Salut (FIS) memenangkan pemilu Aljazair dengan mengantongi 55 %,
sedangkan FLN hanya 32 % (“The Middle East,” 1990)

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 5


B. Kebijakan Dalam dan Luar Negeri Negara-Negara Timur Tengah

Berbagai macam konflik yang pemakalah bahas di atas menyebabkan


disintegrasi di antara negara-negara di Timur Tengah. Konflik tersebut seringkali
dijadikan kesempatan emas bagi bangsa lain terutama negara yang berkepentingan
atas kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Timur Tengah. Kebijakan-
kebijakan yang dilakukan negara-negara Timur Tengah salah satunya adalah
mempersatukan negara-negara-negara dalam satu kesatuan dan memperkuat jiwa
nasionalisme dari masing-masing bangsa. Hal ini merupakan konsep yang sudah
lama lahir dan telah digunakan oleh Gamal Abdul Natsir pada saat pasca Perang
Dunia Pertama untuk melepaskan negara-negara Arab dari belenggu Ottoman
Empire. Konsep ini bernama Pan Arabisme. Berikut pemakalah paparkan
beberapa hal tentang Pan-Arabisme.

1. Pan-Arabisme
a. Sejarah Pan Arabisme

Pan-Arabisme adalah sebuah ideologi yang mendukung penyatuan


negara-negara Arab. Mengingat orang-orang Arab terbagi menjadi
beberapa negara dari Maroko di Afrika Utara hingga Irak di bagian Asia
Barat serta memiliki kesamaan dalam bidang bahasa, geografis, maupun
budaya. Maka dari itu, diperlukan suatu persatuan agar dapat mencapai
kemerdekaan baik dari penjajahan Kekaisaran Utsmani dari Turki maupun
dari penjajah Eropa khususnya Inggris dan Perancis.5

Kata kunci dari gerakan ini adalah negara-negara berbahasa Arab,


tidak peduli apapun agamanya, yang kemudian menjadi unsur penyatu
bagi negara-negara Timur Tengah di bawah suatu organisasi politik. Hal
ini berhubung erat dengan nasionalisme Arab yang menegaskan bahwa
bangsa Arab merupakan satu kesatuan dalam sebuah bangsa yang

5
Syamsul Hady, Politik Islam: Nasserisme dalam Pergulatan Politik Timur Tengah, UIN
MALIKI Press, 2010, hal 50

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 6


memiliki kesamaan kepentingan. Tentang peran agama, gerakan ini tidak
mengingkari dan menolak agama-agama bahkan menghormatinya.
Kewajiban orang yang beragama Islam untuk menyembah Tuhannya di
masjid, demikian pula Aram Masehi yang menyembah Tuhannya di
gereja. Tetapi bagi keduanya wajib dengan sepenuh hati membina
nasionalisme Arab dan bekerjasama untuk kepentingan kemaslahatan
bangsa Arab. Bahkan lebih dari itu, dinyatakan bahwa faktor agama
hendaklah dikesampingkan jika menghalangi nasionalisme Arab.

Popularitas gerakan ini mencapai puncaknya selama tahun 1950 dan


1960-an. Para pendukung Pan-Arabisme menganut prinsip sosialis dan
sangat menentang keterlibatan politik Barat di dunia Arab. Mereka
berusaha untuk memberdayakan negara-negara Arab dari kekuatan luar
dengan membentuk aliansi dan kerjasama ekonomi.

Gerakan Pan-Arabisme mulai mengglobal ketika Gamal Abdul Nasser


menjabat sebagai Presiden Mesir dan menerapkan kebijakan-kebijakan
yang berkaitan dengan Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang
berpijak pada Pan-Arabisme. Ideologi Pan-Arabisme yang dikembangkan
oleh Nasser bersifat regional atau transnasional yang mengandung seruan
kepada persatuan bangsa-bangsa Arab, baik secara politis maupun
ekonomis, dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme Barat yang
mencengkram Mesir dan wilayah-wilayah Arab lainnya di Timur Tengah.6

Dalam pandangan Nasser, Mesir tidak mungkin untuk melepaskan diri


dari belenggu imperialisme dan kolonialisme Barat jika hanya
memperhatikan diri sendiri dan berjuang untuk wilayah dalam negerinya
sendiri karena keterpisahan itu akan segera dimanfaatkan oleh Barat untuk
mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Selain itu, negara-negara Arab
sudah begitu lama terhimpit kekuatan asing. Oleh karena itu, negara-

6
Arthur J. Goldschmidt, Jr, A Concise History of the Middle East, Fourth Edition, San
Fransisco and Oxford: Westview Press 1991, hal 283

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 7


negara Arab harus membangun kesadaran terhadap persatuan Arab serta
menghidupkan tanggung jawab bersama dalam menghadapi perjuangan
terhadap berbagai bentuk konspirasi imperialis daan kolonialis Barat.7

Dalam upaya mempopulerkan Pan-Arabisme di kalangan bangsa Arab,


Nasser melakukan beberapa kegiatan antara lain :

1) Kampanye ke negara-negara Arab, dikirimnya utusan untuk


menggalang hubungan bilateral dengan Mesir serta negara-negara
Arab lainnya, seperti Sudan, Suriah, Libanon, Arab Saudi, Yordania,
Yaman, Iraq, dan Libya.
2) Bersama dengan Suriah mendirikan Republik Persatuan Arab pada
tahun 1958 dan Nasser terpilih sebagai presiden pertamanya.
Konfederasi ini berlangsung hingga tahun 1961 karena Suriah
menarik diri kembali. Hal yang sama juga terjadi pada Yaman, 8
Maret 1958 tergabung dalam Republik Persatuan Arab, dan pada
tanggal 26 September 1962 menarik diri.
Adapun beberapa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Nasser
dalam Pan-Arabisme ini yaitu menumbangkan pemerintahan Raja Faruq
yang didominasi oleh Inggris dan ini menjadi bukti akan penolakan
Nasser terhadap pengaruh dan penjajahan colonial Eropa. Selain itu,
Nasser juga telah berhasil mengubah pemerintahan aristokrasi menjadi
bentuk republik. Demikian pula Nasser telah menumbuhkan semangat
bangsa Arab untuk mengusir penjajah.
Pan-Arabisme hampir berhasil mendirikan suatu imperium atau
konfederasi yang sangat besar dan mencakup negara-negara Arab.
Keinginan Nasser untuk memimpin seluruh dunia Arab menjadi
berantakan dan itu ditandai dengan kekalahannya pada perang Arab-
Israel pada tahun 1967. Pan-Arabisme tidak menghasilkan solidaritas dan

7
Gamal Abdul Nasser “The Philosophy of Revolution” dalam Sylvia G. Haim ed. Arab
Nationalism: An Antology, Berkeley and L.A: University of California Press, 1964, hal 229-32

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 8


persatuan Arab serta tidak dapat mengatasi keanekaragaman kepentingan
para pemimpin dan masyarakat Arab yang selalu bersaing.8
a. Pengaruh Pan-Arabisme di Dunia Arab
1) Pembentukan Partai Baath di Suriah (1943)
Upaya untuk mewujudkan solidaritas Arab atau nasionalisme
Arab atau yang lebih dikenal sebagai Pan-Arabisme selanjutnya
diwujudkan dengan pendirian Partai Baath oleh Michael Aflaq
(Kristen), Salah al Din Bitar (Muslim Sunni), dan Zaki al Arzuzi
(Alawi) pada tahun 1943. Partai ini memperkenalkan slogan atau
prinsip partai yaitu Persatuan, Kemerdekaan, dan Sosialisme
(Unity, Freedom, and Socialism). Persatuan yang dimaksud disini
adalah Persatuan Arab.
Salah satu pendiri Partai Baath yaitu Michael Aflaq merupakan
hasil didikan Universitas Soborne di Paris, Perancis antara tahun
1930 – 1934 mengaku sangat terpangaruh oleh nasionalisme
Perancis. Setelah kembali ke Suriah kemudian ingin mewujudkan
persatuan Arab tersebut ke dalam Partai Baath yang kemudian
berhasil menyelenggarakan Kongres I Partai Baath pada bulan
April 1946 dengan memperkenalkan ideologi utama partai yaitu
nasionalisme Arab.
Partai Baath kemudian dapat berkuasa di Suriah pada tahun
1963 setelah kudeta militer pada bulan Maret 1963. Pasca kudeta
ini, terbentuk National Revolutionary Command Council (Dewan
Komando Revolusioner Nasional) yang dipimpin oleh Saleh al Din
Bitar, salah satu pendiri partai Baath yang kemudian bertindak
seperti pemerintahan. Di masa ini (1963 – 1966) Partai Baath
mulai beraliansi dengan militer sehingga merubah pendukung
partai dari kelas menengah ke bawah seperti petani dan pedagang
menjadi pendukung yang borjuis, dan dari pendukung dari Arab

8
Feriyadi & Siti Khumayroh, Pan-Arabisme: Wujud Dinamika Regionalisme di Timur
Tengah, hal. 3

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 9


Muslim dan Kristen menjadi Alawi. Selanjutnya ada persaingan
antara militer dengan Partai Baath, tetapi pada akhirnya partai
Baath dikuasai oleh militer dan Alawi. Pada tahun 23 Februari
1963 Salah al Din Bitar dikudeta oleh Salah Jadid seorang militer
yang sangat tegas dalam mendukung perjuangan Palestina, anti
Israel, pro Uni Soviet, pro Nasser.9
Salah Jadid kemudian dikudeta oleh Hafez al Assad pada tahun
1970 ketika ayah Bashar al Assad ini menjadi Mentri Pertahanan.
Sejak masa awal kepemimpinannya Hafes al Assad menegaskan
komitmennya pada nasionalisme Arab, tidak akan berunding
dengan Israel kecuali dalam rangka pembicaraan kemerdekaan
penuh Palestina serta sebagai negara pelindung Arab. Prinsip Hafes
al Assad yang merupakan cerminan dari ideologi Partai Baath telah
membuat Hafez al Assad diterima oleh rakyat Suriah dan regional
Arab
Ideologi Arabisme melalui Partai Baath juga diperluas
pengaruhnya hingga ke Irak. Di Irak partai Baath didirikan pada
tahun 1951 dengan nama Partai Baath Arab Sosialis (The Arab
Socialist Baath Party) ada beberapa versi siapa yang mendirikan
tetapi banyak buku menyebutkan Fuad al Rikabi. Akan tetapi
karena ada perebutan pengaruh antara Partai Baath Suriah dengan
Irak siapa yang akan memimpin partai Baath, maka pada tahun
1961 Partai Baath Irak memisahkan diri. Pemisahan Irak dari Partai
Baath Suriah sebenarnya merupakan tanda adanya masalah dengan
persatuan Arab di wilayah ini.
Sementara itu Mesir dibawah Gamal Abdul Nasser yang
berkuasa sejak 23 Juni 1956 memperkenalkan Partai yang
berdasarkan pada nasionalisme Arab dalam konteks sejarah
nasionalisme Mesir yaitu Partai Arab Socialist Union (ASU) atau

9
Feriyadi & Siti Khumayroh, Pan-Arabisme: Wujud Dinamika Regionalisme di Timur
Tengah, hal. 3-4

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 10


Partai Persatuan Sosialis Arab pada tahun 1962. Dua partai sosialis
Arab di Suriah dan Mesir menunjukkan kedekatan antara Mesir
dengan Suriah serta adanya penerimaan Mesir sebagai pemimpin
negara -negara Arab. Kecenderungan ini dapat dilihat dari
keberhasilan Mesir dalam menggalang negara-negara Arab
tetangga Israel yaitu Yordania, Suriah, Lebanon dan Irak untuk
terlibat dalam perang 1967.
Pasca perang Arab-Israel tahun 1967, negara-negara Arab
berjuang sendiri-sendiri seolah olah persatuan Arab tidak terdengar
lagi gaungnya. Lebih dari itu, Mesir justru membuka hubungan
Diplomatik dengan Israel pada tahun 1979, disusul oleh Yordania
pada tahun 1994. Semakin lama semakin terasa sulit untuk
menyatukan negara-negara Arab terutama ketika Irak menginvasi
Kuwait pada tahun 1989, negara-negara Arab terpecah antara yang
mendukung Kuwait dengan yang mendukung Irak.10

1. Pembentukan Liga Arab di Mesir (1945)


Munculnya konflik yang berkepanjangan melahirkan keinginan untuk
menggalang kekuatan di bawah satu payung organisasi. Maka berdirilah
Liga Arab yang merupakan perlembagaan dari Pan-Arabisme. Liga Arab
didirikan pada 22 Maret 1945 oleh tujuh negara. Dalam piagamnya
dinyatakan bahwa Liga Arab bertugas mengkoordinasikan kegiatan
ekonomi, kebudayaan, kewarganegaraan, sosial, dan kesehatan.
Pembentukan Liga Arab didasarkan pada Pact of The League of Arab
States. Pakta inilah yang kemudian menjadi sebuah konstitusi dasar bagi
organisasi Liga Arab. Negara-negara anggota pertama yang juga sebagai
penandatangan Pakta Liga Arab 1945 adalah Mesir, Irak, Transjordan
(tahun 1946 berubah menjadi Yordania), Lebanon, Arab Saudi dan Suriah.
Fungsi dan tujuan utama Liga Arab adalah menjaga hubungan baik

10
Feriyadi & Siti Khumayroh, Pan-Arabisme: Wujud Dinamika Regionalisme di Timur
Tengah, hal. 4-5

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 11


diantara negara-negara Arab dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan
politik negara anggota, melindungi kemerdekaan dan kedaulatan negara,
dan menyelaraskan kepentingan-kepentingan Arab. Adapun dalam bidang
hukum tujuan dan fungsi Liga Arab adalah:
a. Pelaksanaan keputusan pengadilan di antara negara-negara anggota.
b. Masalah ekstradisi
c. Masalah nasionalitas warga negara
Berikut adalah peran Liga Arab dalam penyelesaian konflik di daerah
Timur Tengah ;
a. Konflik Israel-Palestina
Liga Arab sebagai sebuah wadah yang mempunyai tujuan untuk
kemerdekaan bagi negara-negara Arab seharusnya menjadi sebuah harapan
untuk menjadi penengah dalam konflik yang telah berlangsung lama
tersebut. Walaupun dapat dipahami ketika konflik ini mulai bergulir yaitu
pada tahun 1948, Liga Arab masih sangat muda untuk mengatasi masalah
yang krusial tersebut, usianya pada saat itu adalah 3 tahun.
Liga Arab akhirnya hanya mengandalkan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk menyelesaikan konflik Israel-palestina. Liga Arab berharap
bahwa yang menjadi penengah diantara penyelesaian konflik bukan hanya
Amerika Serikat.
b. Konflik Suriah
Dalam Konflik Suriah, aktor utama dari dari konflik ini adalah FSA da
rezim Assad. Keterlibatan aktor-aktor di luar mereka berdua ini pun
beragam. Mulai dari negara-negara, organisasi internasional kelas global
seperti PBB, dan juga organisasi regional Timur-Tengah seperti Liga
Arab. Tingkat keterlibatan mereka pun berbeda-beda, ada yang terang-
terangan berkata akan membantu, ada yang membantu dalam diam, ada
yang memberi bantuan uang, ada yang memberi bantuan military-advisors,
dan bantuan dalam bentuk lainnya.
Peran Liga Arab sebagai organisasi regional sebenarnya sangat
diharapkan dalam penyelesaian konflik ini. Namun demikian, kewenangan

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 12


yang terbatas membuat Liga Arab seakan mandul dalam membantu Suriah
menemukan jalan keluar dari konflik berkepanjangan yang mereka hadapi.
Peran Liga Arab mulai muncul ketika pada konferensi terakhir di Doha,
Qatar, Liga Arab memberikan kursi perwakilan Suriah kepada pihak
oposisi, bukannya kepada rezim Assad yang secara administratif masih
memiliki legitimasi sebagai pemerintahan di Suriah. Hal ini lalu
menggiring pada pertanyaan menarik mengenai apa sebenarnya motif di
balik sikap Liga Arab tersebut.
Maka dalam hal ini Liga Arab seperti tidak punya power untuk
memaksa ataupun mengintervensi masalah ini. Akibatnya, mereka hanya
nampak seperti penonton saja. Liga Arab hanya bisa bertindak di luar
konflik dan di luar Suriah. Tidak bisa memberikan dampak langsung pada
kondisi di dalam Suriah. Berdasarkan hal tersebut, cita-cita Pan Arabisme
dan Suriah sebagai anggota Liga Arab perlu adanya pertimbangan dari
anggota Liga Arab yang lainnya dalam penyelesaian konflik agar tidak
lebih berkepanjangan dan semua cita Pan Arabisme tercapai.11

2. Integrasi Regional Timur Tengah


Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) integrasi adalah
sebuah proses pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.
Sedangkan dalam definisi lain dikatakan bahwa suatu keadaan dimana
kelompok-kelompok etnik beradaptasi terhadap kebudayaan mayoritas
masyarakat, namun masih mempertahankan kebudayaan masing-masing.
Sedangkan Regional berarti bersifat daerah; kedaerahan
Sehingga, Integrasi Regional dapat dipahami sebuah ‘proses’ ketika
beberapa unit melebur menjadi satu unit atau minimalnya beberapa fungsi
tertentu dari beberapa unit bergabung di bawah satu atap
koordinasi. dalam suatu proses akan melahirkan suatu hasil, maka hasil
dari suatu integrasi adalah terciptanya komunitas politik dan masyarakat

11
Feriyadi & Siti Khumayroh, Pan-Arabisme: Wujud Dinamika Regionalisme di Timur
Tengah, hal. 6

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 13


yang terintegrasi, khususnya yang menetap pada suatu wilayah kawasan
tertentu.
a) Kriteria Integrasi Regional Menurut Coulumbis dan Wolfe
1) Kriteria geografis: mengelompokan negara berdasarkan
lokasinya dalam benua, sub-benua, kepulauan dan sebagainya
seperti Eropa dan Asia.
2) Kriteria politik/militer: mengelompokan negara-negara dengan
berdasarkan pada keikutsertaannya dalam berbagai aliansi, atau
berdasarkan pada orientasi ideologis dan orientasi politik,
misalnya blok sosialis, blok kapitalis, NATO dan Non-Blok.
3) Kriteria ekonomi: mengelompokan negara-negara berdasarkan
pada kriteria terpilih dalam perkembangan pembangunan
ekonomi, seperti, GNP, dan output industri, misalnya negara-
negara industri dan negara-negara yang sedang berkembang
atau terbelakang.
4) Kriteria transaksional: mengelompokan negara-negara
berdasarkan pada jumlah frekuensi mobilitas penduduk,
barang, dan jasa, seperti imigran, turis, perdagangan dan berita.
Contoh ini dapat pada wilayah Amerika, Kanada, dan Pasar
Tunggal Eropa.

b) Kesulitan Integrasi Regional di Timur Tengah


1) Gagalnya Liga Arab
Sejak didirikan pada tanggal 22 Maret 1945, Liga Arab telah
menjalani banyak kemajuan dan kemunduran dalam menjalankan
fungsi dan tujuannya. Semua itu tidak terlepas dari gejolak yang
terjadi di kawasan Arab dan Timur Tengah.12 Seperti yang kita
ketahui bersama, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang
kaya sumber daya alamnya, khususnya minyak bumi. Namun

12
Feriyadi & Siti Khumayroh, Pan-Arabisme: Wujud Dinamika Regionalisme di Timur
Tengah, hal. 7

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 14


kekayaan tersebut tidak berbanding lurus dengan kemajuan
teknologi negara-negaranya. Masih banyak negara Arab yang
menyewakan daerahnya untuk ditambang oleh perusahaan asing,
khususnya perusahaan Barat. Oleh sebab itu banyak “kepentingan”
yang bermain disana. Disamping itu, mayoritas penduduk Arab
adalah Muslim dan oleh Barat dianggap sebagai “musuh yang
berbahaya”, dan sebab itu terlebih setelah tragedy WTC 2001
Amerika Serikat menginvansi Afganistan dan dilanjutkan dengan
Irak. Anehnya, tidak sedikit negara Arab yang membantu invansi
Amerika ini sehingga menimbulkan gejolak diantara negara
anggota Liga Arab.
Liga Arab sebagai organisasi regional telah terbukti gagal
mengakomodasi masalah tersebut. Liga tidak dapat menghentikan
invansi Amerika, meredam gejolak antar negara anggota dan
mempersatukan semua negara di kawasan Timur Tengah. Memang
kalau dibandingkan dengan organisasi sejenis seperti Uni Eropa,
ASEAN atau bahkan Pan American, tugas yang diemban Liga
Arab sangatlah besar. Perbedaan orientasi politik dan kepentingan
anggota bisa jadi merupakan salah satu penyebab gagalnya Liga
Arab. Walaupun Liga Arab telah berusaha untuk menjadi pihak
penengah dengan jalan mengeluarkan Arab League Declaration on
the Invasion of Palestine dan Arab Convention for the Suppression
of Terrorism, namun hal tersebut belum berhasil menciptakan
stabilitas di kawasan ini. Keberadaan sebuah negara Israel juga
telah menjadi batu sandungan bagi perdamaian negara anggota.
Sampai sekarang konflik Israel-Palestina belum menemui jalan
terang. Amerika Serikat yang konon menjadi musuh kedua bagi
negara anggota, justru adalah pihak yang banyak berperan aktif
dalam mendamaikan kedua negara tersebut. Akhir tahun 2007 ini,
diadakan pertemuan di Annapolis, Maryland untuk membahas
jalan damai (roadmap) Israel-Palestina. Arab hanya berperan

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 15


sebagai observer padahal Palestina adalah salah satu negara
anggotanya.
2) Keegoisan Para Pemimpin Arab
Pemimpin negara-negara Arab berusaha membangkitkan
kembali semangat untuk merebut bumi Palestina dari kekuasaan
Israel yang didukung oleh Amerika Serikat. Hanya, semangat itu
pada akhirnya meluntur, setelah wilayah-wilayah yang dicaplok
Israel dikembalikan ke negara-negara yang bersangkutan dengan
catatan mereka mau mengakui keabsahan negara Israel di Timur
Tengah. Sejak itu, satu per satu negara-negara Arab mulai
menelantarkan urusan Palestina dan lebih berkonsentrasi dengan
kepentingan nasional mereka. Arab Saudi, Mesir, Suriah, Tunisia
maupun Yordania tidak mau mengorbankan hubungan baiknya
dengan AS demi mengurusi nasib pengungsi Palestina.13

13
Feriyadi & Siti Khumayroh, Pan-Arabisme: Wujud Dinamika Regionalisme di Timur Tengah, hal.
8

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 16


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Di tengah konflik dan kekerasan bersenjata yang kini berkecamuk di


Timur Tengah, khususnya karena campur tangan Barat, tampaknya sulit
membangun sebuah dialog peradaban yang konstruktif akibat benturan antar
peradaban dan kepentingan. Apalagi mewujudkan regionalisme dengan kohesi
regional yang komperehensif, kecuali dengan adanya semangat untuk bersatu dan
mengutamakan kepentingan regional diatas egoisme kepentingan nasional
masing-masing negara di Timur Tengah.

Semestinya Arab Saudi yakin akan power yang dimilikinya dan


keefektivan organisasi regional seperti OKI dan Liga Arab[6] (sebuah organisasi
yang terdiri dari negara- negara Arab untuk memajukan kerja sama politik antara
negara anggota, menyelesaikan sengketa-sengketa antar negara Arab,
menggalakkan dan mengawasi kerja sama di bidang ekonomi, komunikasi,
kebudayaan, sosial dan lainnya) yang dalam perkembangannya menjadi wadah
penyusunan kerja sama yang mendukung integritas ekonomi di antara negara
anggota di Timur Tengah untuk melawan dominasi Amerika Serikat, bukan malah
menjadi sekutu AS yang jelas-jelas menganiaya saudara sekawasannya sendiri,
Palestina, melalui Israel ataupun tangan AS sendiri, Irak dan Afganistan.

Terlepas dari kegagalan, Liga Arab juga menuai banyak kemajuan dan
keberhasilan. Diantaranya Liga dikenal berhasil dan efektif dalam menjalin dan
memelihara kerjasama dibidang ekonomi, sosial dan kebudayaan diantara negara
anggota. Dalam bidang pendidikan, Liga berperan besar dalam menyusun
kurikulum sekolah negara-negara Arab, melestarikan dokumen-dokumen dan
hasil kebudayaan kuno dan berhasil juga menerapkan teknologi modern dalam
erbagai bidang. Dan menciptakan persatuan telekomunikasi regional.

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 17


DAFTAR PUSTAKA

Azra, A. (1996). Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme


hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina

Hady, Syamsul, (2010). Politik Islam: Nasserisme dalam Pergulatan Politik


Timur Tengah, UIN MALIKI Press

Feriyadi, Siti Khumayroh, Pan-Arabisme: Wujud Dinamika Regionalisme di


Timur Tengah

Jurnal :

Kasdi, Abdurrohman, (2018). Fundamentalisme dan Radikalisme dalam Pusaran


Krisis Politik di timur Tengah, Jurnal Penelitian,Vol. 12, No. 2,
Agustus 2018

Jatmika, S. (2013). The Arab Spring 2010: Puncak Gunung Es Krisis Politik di
Kawasan Timur Tengah. Jurnal Hubungan Internasional

Moris, (1997). Water and Conflict in the middle East: Threats and Opportunities :
Studies in Conflict & Terrorism

Lipson, L. (1993). The Ethical Crises of Civilization: Moral Melthdown or


Advance. Newbury and London: Sage Publication

Goldschmidt, Jr, Arthur J, (1991). A Concise History of the Middle East, Fourth
Edition, San Fransisco and Oxford: Westview Press

Nasser, Gamal Abdul (1964). The Philosophy of Revolution dalam Sylvia G. Haim
ed. Arab Nationalism: An Antology, Berkeley and L.A:
University of California Press

Praktik Kenegaraan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara Hal 18

Anda mungkin juga menyukai