Anda di halaman 1dari 21

“TERORISME ”

Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Muqaranat Al-Madzahib Fil


Siyasah

Dosen Pengampu :
Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag

Disusun Oleh :
KELOMPOK 12
1. Fahriza Hafiz (11160453000017)
2. Fahmi Aziz (11160453000024)
3. M. Rizqi Ulil Abshor (11160453000008)
4. Salman Al Farisi (11160430000064)
5. Karomi(11160430000111)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

1
2019

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpah kan
rahmat dan hidayah serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Muqaranat Al-
Madzahib Fil Siyasah dibawah bimbingan Pak Mujar Ibnu Syarif untuk itu tidak
lupa kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini membahas tentang terorisme. banyak sub bab dan materi penunjang
dalam menyelesaikan makalah ini sehingga dapat menghimpun berbagai bentuk sub
pembelajaran dalam aspek keislaman yang nantinya dapat dijadikan sebagai salah
satu bahan referensi ilmiah untuk berbagai kalangan civitas akademika. Namun,
kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan baik dari segi
penyusunan, bahasa maupun aspek lainnya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan adanya koreksi dan pembimbingan demi kesempurnaan makalah
ini.

Jakarta, Juni 2019

Tim Penyusun

2
A. Pengertian Terorisme
Terorisme adalah Tindakan yang menggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik). Teroris
adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut
(biasanya untuk tujuan politik). Teror adalah perbuatan sewenang-wenang, kejam,
bengis, dalam usaha menciptakan ketakutan oleh seseorang atau golongan1.
“Kejahatan dan perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaran Islam. Dan
orang yang paling baik Islamnya ialah yang paling baik akhlaqnya”. [HR. Ahmad
juz 7, hal. 410 , no. 20874].
Karakteristik terorisme dapat ditinjau dari dua karakteristik, yaitu : pertama,
karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan dan
hubungan internasional. Karakter operasi meliputi: perencanaan, waktu, taktik dan
solusi. Kedua, karakteristik perilaku: motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan
membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup.2
Karakteristik sumber daya yang meliputi: latihan/kemampuan, pengalaman
perorangan dibidang teknologi persenjataan, perlengkapan dan transportasi. Motif
terorisme: teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori: rasional, psikologi dan budaya yang
kemudian dapat dijabarkan lebih luas menjadi: membebaskan tanah air dan
memisahkan diri dari pemerintah yang sah.
Kejahatan terorisme tergolong dalam kategori teori konspirasi. Menurut Bill,
teori konspirasi yaitu teori yang menjelaskan penyebab tertinggi dari satu atau
serangkaian peristiwa adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya,
direncanakan diam-diam oleh sekelompok organisasi rahasia, orang-orang atau
organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh.

1
HR. Ahmad juz 7, hal. 410, Sesuai dengan pengertian tersebut sebenarnya sudah jauh dari
konsep islam sebenarnya yang tidak mempebolehkan kekerasan dan kejahatan dalam bentuk
apapun.

3
Kata terorisme definisinya tidak di temukan dri kalangan Ulama terdahulu,
sebab istilah tersebut digunakan bermula dari indelogi Eropa pada masa revolusi
Perancis tahun 1789-1794 M. Manusia pada zaman inipun masih berselisih dalam
memberikan definisi tentang terorisme, padahal terorisme adalah kalimat yang
paling bayak di gunakan di tahun-tahun terakhir ini.yang mana sering
dihubunghubungkan dengan aksi kekerasan yang di lakukan oleh kelompok-
kelompok yang tidak diakui oleh pemerintah yang secara terpisah berupaya
mendapatkan kekuasaan atau pengaruh. Walau pun kelompok ini tidak bisa
melakukan pembunuhan (pembantaian) dalam skala besar seperti yang dilakukan
pemerintah dengan kekuatan militernya. Tetapi lebih sering lagi aksi terorisme
dilandasi oleh kepentingan-kepentingan agama kadang bersamaan dengan faktor-
faktor lain, kadang juga sebagai motivasi primer yang menampilkan aksi-aksi
terorisme. Persepsi umum dimana kekerasan agama muncul secara global dalam
dekade dikarenakan adanya catatan peristiwa aksi kekerasan semacam itu.
Teror berasal dari bahasa latin, terrere, artinya menimbulkan rasa gemetar
dan cemas. Teroisme berarti menakut-nakuti (to terrify). Kata ini secara umum
digunakan dalam pengertian politik, sebagai suatuserangan terhadap tatanan sipil,
semasa Pemerintah Teror Revolusi Perancis akhir abad ke-18. Oleh karena itu,
respons publik terhadap kekerasan- rasa cemas yang di akibatkan oleh
terorismemerupakan bagian dari pengertia terma tersebut.
Menurut bahasa: “terorisme adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan
orang menjadi panik, takut gelisah, tidak aman dan menimbulkan gangguan dalam
bidang kehidupan dan interaksi manusia”.
Sedangkan menurut syari’at: “terorisme adalah segala sesuatu yang menyebabkan
goncangan keamanaan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas
dengan berbagai bentuknya”3. dari berbagai catatan sejarah, kejadian yang melanda
umat saat ini, bahwa kejadian dan aksi tidaklah keluar dari dua perkara.

3
Ma’mun Efendi Nur,Meluruskan Makna Jihad dan terorisme,(Semarang,2006), hlm. 23.

4
1. Terorisme fisik, yaitu peristiwa yang sekarang terjadi puncak sorotan
masyarakat,berupa peledakan, penculikan, bom bunuh diri, pembajakan dan
seterusnya.
2. Terorisme idiologi (pemikiran/pemahaman ), yaitu dengan menjelaskan
segala pemikiran menyimpang dan menyempal dari tuntunan Islam yang
benar. Sebas ideologi tersebut merupakan cikal bakal munculnya terorisme
fisik dan apabila tidak di berantas akan ssenantiasa menjadi ancaman serius di masa
yang akan datang4.

Definisi dan kriteria teroris harus disepakati semua pihak, Marty nata legawa
direktur organisasi internasional departemen luar negeri berpendapat, terorisme
yang dipahami bersama adalah tindakan untuk mencapai cita-cita politik yang
dibungkus dalam kekerasan guna menciptakan teror dan memakan korban rakyat
sipil tidak berdosa.
Kusnato anggoro dari center for Strategic and International Studies (CSIS)
terorisme merupakan kegiatan untuk menciptakan kekhawatiran dengan tujuan
pokok mengubah kebijakan dengan tindak kekerasan sebagai instrumen di
indonesia, menurut kusnanto kelompok laskar jihad bukan berarti terorisme.
Gerakan komando jihad juga sulit dianggap teroris karena tidak memiliki ideologi
dan tujuan yang jelas serta berskala kecil. Sementara peledakan bom jelas
merupakan teror, karena menciptakan kekhawatiran luar biasa.
Mengikuti definisi di atas gerakan islam garis keras tidak identik dengan
teroris. Seperti kata K.H Hasyyim Muzadi “orang islam yang berwawasan keras
kalau dia keras –kerasnya sendiri , apa hubungannya dengan teroris. Baru disebut
teroris kalau dia berbuat deskruktif diluar dirinya. Mana yang domestik mana yang
bagiandari terorisme internasional, dan mana yang wacana yang keras tanpa mereka
melakukan kekerasan tanpa melanggar hukum. Perlu dibedakan kelompok militan
agama yang memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan bergerak
mengatasinya dengan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang baik dan
mencegah kemungkaran) dengan kelompok miiltan yang memang menggunakan

4
Ibid, hlm. 42.

5
teror dan kekerasan. Militasi agama agama mengambil banyak bentuk. Meski
sebagian kaum militan cenderung beraksi dengan kekerasan dan teror, sebagian
lainnya beraktifitas tanpa kekerasan. Cukup banyak penganut agama militasi, yaitu
bahasa perjuangan sebagiannya menggunakan modus berperang, menyerang,
membalas serangan,berjuang atas mandat suci, dan berjuang dengan alat- alat yang
cocok dalam menjalankan tugas.
Berdasarkan hal itu menurut david Little (1996) ada empat tipe militasi
agama: intoleransi dengan kekerasan, intoleransi beradab, intoleransi toleransi
tanpa kekerasan dan toleransi beradab5.

Provokasi kerusuhan, dan pemicu konflik horizontal. Tidak sedikit


masyarakat awam bersikap ekstrem dan eksesif dalam beragama. Menurut Yusuf
Qardhawi(1981), ada beberapa indikator religius extremism. Pertama fanatisme
dan intoleransi, sebagai akibat dari prasangka (prejudice), kekakuan (rigidity), dan
kepicikan pandangan (lack of insight), kemudian menggiring mereka untuk
memaksa orang lain , baik dalam bentuk terorisme intelektual seperti fitnah dan
tuduhan penganut bid’ah (mengada- ngada),kafir, fasik (menyimpang), murtad.
Yang lebih terrfying daripada terorisme fisik.
Kedua, berlebihh-lebihan atau melampaui batas, misalnya ada saja
kelompok agama yang cenderung mengambil garis keras(hard-line) yang hobby
berdemonstrasi dengan makian, hasutan dan bahkan ancaman bom. Para penganjur
agamakelompok ini mendoktrinasi orang awam dan memanipulasi
solidaritaskelompok akibat kedangkalan pemahaman agama. Ketiga membebani
orang lain tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi. Keempat keras dalam
memperlakukan diri sendiri dan orang lain sehingga asas praduga tak bersalah tidak
pernah dihiraukan. Semua ciri ekstremisme agama yang tiranik dan tidak agaliter
ini jelas membahayakan hak-hak orang lain. Ektremisme juga melahirkan bahaya
dan ketidaksamaan, serta mencabut rasa aman dan perlindungan. Oleh karena itu
harus ada paradigma shift dari sikap beragama yang inhumane kepada humane.

5
Muhammad Ali, Teologi plural-multikural,( Jakarta : Buku Kompas,2003).hlm.114

6
Paradigma humanis ini adalah paradigma nilai, sikap, norma, praktik keberagama
(religiosity) yang menduukung kehidupan tanpa kekerasan dan damai.
Sikap pertama dalam paradigma humanis ini adalah moderasi. Agamawan
ataupun awam yang moderat akan cenderungg santun dan seimbang. Santun dalam
menjalankan agamanya dan interaksi sosial. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan
material dan spiritual, individual dan sosial, serta dalam hubungan dengan tuhan,
manusia, dan lingkungan alam. Mereka yang moderat akan menjunjung keadilan
dan kearifan dalam bersikap tidak gampang terhasut, marah, menuduh, ataupun
memaksa.
Dalam kelompok Barat paling tidak ada Dua kelompok besar. Pertama adalah
mereka yang selalu mengait-ngaitkan setiap peristiwa teror dengan agama islam,
penembakan snipers yang baru- baru ini memakan korban belasan siswa sekolah
negara bagian maryland, amerika serikat (AS). Stigmatisasi semacam itu adalah
trauma sejarah yang luas, bagi kelompok ini agamalah penyebab terorisme. Bahkan
ada di antara mereka yang pindah agama atau anti agama sama sekali.
Kelompok kedua lebih berfikir jernih dan arif mereka berpendapat bahwa
teror biasa terjadi dimana-mana dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Mereka bahkan
mulai tertarik untuk mengetahui apa itu agama. Gejala semaraknya kajiankajian
agama di barat menunjukkan proposal dialog antar agama dan peradapan semakin
mendapat tempat dikalangan ini.
Di antara kelompok ini ada yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah
AS sendiri, termasuk mereka yang menciptakan opini dan demonstrasi anti
serangan AS ke Irak. Setiap aksi perusakan apalagi jika dilakukan dengan
mengatasnamakan ideologi keagamaan diyakini sangat membahayakan dan karena
itu tidak bisa ditolerir siapapun. Meski sering kali sulit ditemukan faktor- faktor
penyebab teror tampaknya bisa dilihat dari suatu pola umum, bahwa teror dengan
skala besar dilakukan menarik perhatian atau mengalihhkan perhatian dari sesuatu,
menumbuhkan sentimen permusuhan antar umat beragama dan kelompoik, dan
mengakibatkan situasi kacau negeri dan dunia.

7
Dalam kenyataan sejarah agama bisa di jadikan alat pembenar terorisme
ketika penghhayatan agama seseorang atau kelompok tertentu rentan, sementara
ada faktor lain politik atau ekonomi yang begitu kuat dan sering akumulatif ,
maka kkeberagamaan pada saat itu terkalahkan oleh faktor-faktor yang lebih kuat
sehingga yang muncul kemudian adalah nafsu pemaksaan dan kekerasan.

B. Pendapat Ulama yang Mendukung Terorisme


Hukum Islam Tentang Terorisme

Term-term terorisme dalam hukum Islam bervariasi antara lain al-irhâb


(irhâbiyah), al-hirâbah (perampokan), al-baghyu (pemberontakan), qâti‘u al-
tarîq atau quttâ‘u al-tarîq (pembegal), dan al-‘unf (lawan dari kelemah
lembutan). Menurut ‘Abd al-Hayy al-Farmâwi term-term yang semakna dengan
terorisme disebutkan sebanyak 80 kali, antara lain: al-baghyu, al- tughyân,
kesewenang-wenangan atau melampaui batas (Q.S. al-Hud (11): 112, al-zulm,
kezaliman (Q.S. al-Furqan (25): 19, al-i’tida’, melampaui batas (Q.S. al-
Baqarah (2): 190; al- Mâidah (5): 87, al-qatl, pembunuhan (Q.S. al- Mâidah (5):
32, al-harb, peperangan (Q.S. al- Mâidah (5): 33-34. Penulis hanya menjelaskan
tiga istilah saja seperti yang akan diuraikan nanti sebab pembahasan ini yang
banyak disebutkan dalam kitab-kitab fiqh baik yang klasik maupun
kontemporer. Perlu ditegaskan bahwa al-hirâbah (perampokan), al- baghyu
(pemberontakan), qâti‘u al-tarîq atau quttâ‘u al-tarîq (pembegal)
dikategorisasikan sebagai terorisme jika memenuhi kriteria atau unsur terorisme
misalnya dilakukan dengan aksi kekerasan, menimbulkan kepanikan
masyarakat, menimbulkan kerugian jiwa dan materi lainnya dan memiliki tujuan
politik.

8
Al- Irhâb (Irhâbiyah)

Secara etimologi, istilah al-irhâb terambil dari kata arhaba-yurhibu yang


berakar kata rahiba (ra-hi-ba) berarti intimidasi atau ancaman.6 Dapat juga
bermakna akhâfa (menciptakan ketakutan) atau fazza‘a (membuat/kegetaran)7.
Pengertian terminologi dari al-irhâb yaitu rasa takut yang ditimbulkan akibat
aksi-aksi kekerasan, misalnya pembunuhan, pengeboman, dan perusakan.
Sedangkan al-irhâbî berarti orang yang menempuh jalan teror dan kekerasan.8
Adapun al-hukm al-irhâbî berarti bentuk pemerintahan yang memerintah rakyat
dengan sewenang-wenang, kekerasan dalam rangka mengatasi berbagai
perselisihan yang terjadi dalam masyarakat dan juga bertujuan memberantas
gerakatan-gerakan separatis.

Term al-irhâb dalam berbagai derivasinya yang dapat diidentikkan dengan


makna terorisme dapat ditemukan dalam berbagai teks-teks Alquran antara lain:
Q.S. al- Anfâl (8): 60;94 Q.S. al- A’râf (7): 116;95 dan Q.S. al- Hasyr (59): 13.96
Pada ayat pertama, kata ‫ ﺗﺮھﺒﻮن‬terambil dari kata ‫ رھﺐ‬yang berarti takut atau
gentar. Kata ini tidak berarti melakukan teror, meskipun terorisme dalam bahasa
Arab terdapat dalam kata yang seakar dengan lafal tersebut yakni “irhâb”
(terorisme). Akan tetapi pengertian semantiknya bukan seperti yang dimaksud oleh
kata itu dewasa ini.

9
10
6
‘Abd al-Hayy al-Farmâwî, “Islam Melawan Terorisme: Interview”,Jurnal Studi Al- Qur’an, Vol. I, No. I
Januari 2006, h. 101-104
7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 539
8
Abî al-Fadl Jamâluddîn Muhammad ibn Mukrim ibn Manzûr al-Afriqî al-Misrî, Lisân al-‘Arab, Jilid I,
Cet. I (Beirut: Dâr Sâdir, 1990), 436; Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah wa al- A’lâm, Cet. 39 (Beirut:
Dar al-Masyriq, t. th.), h. 282
9
As‘ad al-Sahamrânî, Lâ li al-Irhâb Na‘am li al-Jihâd , Cet. I (Beirût: Dâr al-Nafâis, 2003), h. 12

11
Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud oleh ayat ini bukan menggetarkan
masyarakat umum, orang-orang yang tidak bersalah, dan bahkan bukan semua
orang yang bersalah, tetapi hanyalah ditujukan kepada musuh-musuh Allah dan
9
musuh-musuh masyarakat umum yang ingin menimbulkan mudarat Allah
memerintahkan kaum muslimin untuk senantiasa dalam keadaan siap siaga
menghadapi musuh Allah dan musuh umat Islam. Persiapan itu dapat berupa
persiapan militer secara menyeluruh antara lain meningkatkan kuantitas dan
kualitas pasukan tempur, peralatan tempur: pedang, tombak, dan kuda-kuda yang
tangguh, serta menjaga pos perbatasan. Dengan persiapan seperti itu akan
memberikan dampak psikologis bagi musuh agar tidak meremehkan umat Islam
dan bahkan bisa menimbulkan ketakutan pihak musuh.

Ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan hewan seperti kuda dan


unta dalam peperangan. Imâm Abû Hanîfah tidak memperbolehkan, sementara
Imâm Syâfi’î tidak keberatan atas penggunaan hewan tersebut sebagai sarana
peperangan berdasarkan suatu riwayat dari ibn Umar10. Penyebutan “‫( “ اﻟﺨﯿﻞ‬kuda)
dalam ayat ini merupakan bukti betapa pentingnya mempersiapkan diri dengan
segala peralatan perang, dimana kuda sebagai andalan perang ketika itu. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa mempersiapkan diri dengan berbagai peralatan
untuk menghadapi serangan musuh adalah suatu keniscayaan, demi membela
agama dan negara.

10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.V, Cet. I
(Jakarta:LenteraHati,2002),h.461

12
Ayat ini pada dasarnya memerintahkan orang-orang Islam untuk
mempersiapkan diri dengan segala peralatan yang diperlukan dalam peperangan
sehingga dapat membuat musuh dalam ketakutan dan kegetaran. Al-Râzi (w. 606
H) berpendapat bahwa kesiapan menghadapi musuh dengan berbagai perlengkapan
memberi manfaat bagi orang Islam antara lain: orang-orang kafir akan takut
menyerang kaum Muslimin; ketakutan orang-orang kafir tersebut mendorong
mereka untuk tunduk dibawa pemerintahan Islam dengan membayar jizyah;12
bahkan tidak menutup kemungkinan mereka akan beriman; mereka tidak akan
menolong orang-orang kafir lainnya; dan kondisi seperti ini akan menambah
wibawah dâr al-Islam.13

Mempersiapkan diri dengan segala peralatan tempur baik berupa senjata,


amunisi, personil yang terlatih, maupun segala penunjang yang diperlukan
dalam membela diri bukanlah suatu larangan selama tidak digunakan untuk
meneror orang lain. Berbeda halnya dengan kelompok teroris yang
mempersenjatai diri untuk tujuan teror, sehingga menimbulkan ketakutan pihak
yang dijadikan sasaran. Oleh karena itu, ayat ini memberikan petunjuk kepada
umat Islam mengenai cara melindungi diri dari ancaman musuh.

13
14
12
Jizyah adalah upeti atau pajak yang dipungut oleh pemerintah Islam dari orang-orang non Muslim (Kafir)
sebagai imbalan atas jaminan keamanan diri dan harta mereka. Pemungutan jizyah dilakukan setiap akhir
tahun Qamariyah dalam jumlah yang bervariasi, 48 dirham bagi mereka yang mampu, 24 dirham bagi
kelas menengah, dan 12 dirham bagi kelas bawah (miskin). Adapun dasar hukumnya adalah Q.S. al-
Taubah (9): 29. Lihat: M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah dan Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, Cet.
III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.141-142
13
Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr al-Manâr, Juz X, Cet. I (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1999), h. 53-
55

15
Ayat kedua menjelaskan kasus Nabi Musa as dan para tukang sihir Firaun.
Aksi tukang sihir menakutkan orang yang menyaksikan demonstrasi sihir
tersebut, karena itu Allah swt memerintahkan Nabi Musa as untuk melemparkan
tongkatnya dan tongkat tersebut berubah menjadi ular raksasa dan mengalahkan
atau membunuh ular-ular tukang sihir. Penonton pertunjukan tersebut merasa
ketakutan terhadap aksi ular-ular itu.14 Menurut Rasyid Rida, sebenarnya peristiwa
ini hanyalah merupakan khayalan belaka (ilusi) akibat pengaruh sihir, bukan
sebagai kenyataan dalam bentuk ular sungguhan.15
Tujuan tukang sihir adalah untuk memperlihatkan kehebatan mereka dan
sekaligus menakut-nakuti masyarakat agar tidak melakukan pembangkangan
terhadap Tuhan mereka, Firaun. Akan tetapi Allah mengalahkan arogansi ahli
sihir dengan mengubah tongkat Nabi Musa menjadi seekor ular raksasa.
Tampaknya Allah tidak menginginkan kehendak tukang sihir untuk membuat
orang banyak dalam ketakutan dan kengerian. Karenanya dapat dipahami bahwa
membuat orang takut, tidak tenteram, dan was-was merupakan perbuatan yang
tidak baik dan melanggar Hak-Hak Asasi Manusia (HAM).
Ayat ketiga mengemukakan tentang keadaan kaum Muslimin dalam
menghadapi kaum Yahudi yang sering melakukan makar terhadap Rasulullah saw.
di Madinah, sekaligus menggambarkan bahwa pada hakekatnya kaum munafik dan
Yahudi lebih takut kepada kaum Muslimin dari pada kepada Allah swt.16 Sikap
orang-orang Yahudi lebih menakuti kaum Muslimin dari pada

16
17
14
Sebenarnya jumlah tukang sihir Firaun bervariasi dalam kitab tafsir. Menurut Muhammad ibn Ishaq,
jumlahnya sekitar lima belas ribu, sementara al-Sadî jumlahnya kurang lebih tiga puluh ribu orang,
sedangkan al-Qâsim ibn Abî Barrah menyebutkan tujuh puluh ribu orang penyihir, akan tetapi hal ini
dianggap sebagai bagian dari cerita-cerita Israeliyat. Lihat: ‘Imânuddîn Abû al-Fidâ Ismaîl ibn Katsîr,
Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz II (T.tp: Dâr Misra li al-Tibâ’ah, t.th.), h. 242-243
15
Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr al-Manâr, Juz X, Cet. I (Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1999), h. 56-
57
16
As‘ad al- Sahamrânî, Lâ li al-Irhâb Na‘am li al-Jihâd , Cet. I (Beirût: Dâr al-Nafâis, 2003), h. 14-1

18
C. Pendapat Ulama yang Menolak Terorisme
Dalam Undang Undang Tindak Pidana Terorisme Nomor 2 Tahun 2002
tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
dinyatakan bahwa; “Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap
Negara, karena terorisme sudah merupakan kejahata yang bersifat internasional
yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan
kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara
berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat
dilindungi dan dijunjung tinggi.”
Persoalan yang paling mendasar adalah pemaknaan pada kata “jihad”. Para
aktifis ‘muslim radikal’ seperti Amrozi, Imam Samudra dkk memaknai kata
tersebut sebagai bentuk perlawanan kepada para pemusuh Islam yang diprovokasi
oleh orang Amerika Serikat. Musuh-musuh utama para aktifis muslim tersebut
adalah Amerika, Asutralia, Inggris dan Italia, karena negara-negara tersebut oleh
mereka dianggap negara yang paling membenci atau menolak agama Islam. Oleh
karena itu, sasaran mereka adalah aset-aset yang berhubungan dengan Amerika
Serikat, seperti WTC, hotel JW Marriot dan Ritzcalten.
Dalam aksi mereka, mereka menggunakan dasar-dasar yang diambil dari Al-
Qur’an dan Al-Hadits secara tidak utuh (parsial) serta diiringi dengan hawa nafsu
belaka. Seperti contoh pada surat Al-Baqarah Ayat 208: “Hai orang-orang yang
beriman! Masuklah kalian dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 208)
Dalam ayat tersebut, mereka beranggapan bahwa masyarakat harus masuk
Islam secara keseluruhan walaupun dengan paksaan. Dalam Al-Mausu’ah Al-
Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, dijelaskan natijah para ulama’ fiqh bahwa jihad secara
istilah adalah Muslim memerangi kaum kafir yang tidak dalam perjanjian damai,
setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah. Dan

19
tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’ mengenai hukum jihad
fisabilillah.
Al-Qur’an dengan jelasnya menjelaskan anjuran dan keutamaannya. “Orang-
orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda
dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan
memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di
dalamnya kesenangan yang kekal didalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di
sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At-Taubah : 20-22).
Banyak ulama yang melarang atau membantah adanya terorisme karena arti
kata terorisme pada pandangan masa sekarang ialah dia yang berbuat anarkis
mengacak ketentraman warga dengan ketidakwajarannya. Atau bisa di bilang mafia
besar. Terorisme juga terkadang dibutuhkan untuk kepentingan kepantingan hal
lain seperti politik,organisasi, partai, dll. Hal ini cendrung kepada oknum-oknum
atau antek-antek yang bermain gelap di belakang layar untuk merebut kekuasaan.
Fatwa para ulama tentang terorisme Imam Al Syafi’i Mengenai teroris, Imam
Syafi’i berkata, “Jika ada suatu kaum (sekumpulan umat manusia), baik di
perkotaan ataupun di pedalaman padang pasir, kemudian mereka menumpahkan
darah dan merampas harta, maka mereka dihukumi dengan hukuman perompak.
Sama saja, apakah pembangkangan itu dilakukan di perkotaan ataupun di
pedalaman. Akan tetapi yang lebih besar bahayanya adalah pembangkangan yang
dilakukan di perkotaan. Jika para pembuat keonaran menolak ajakan kembali, maka
perangilah mereka itu. Kelompok bughat (teroris) itu boleh diperangi jika mereka
memerangi. Mereka tidak disebut memerangi kecuali apabila melakukan
perlawanan, pembangkangan dan kudeta. Ketika semua itu tidak dilakukan oleh
mereka, maka mereka tidak dalam keadaan boleh diperangi. Darah mereka terjaga
seperti sebelum mereka menjadi pembelot sepanjang mereka tidak keluar dari hal-
hal diatas.
Menurut Abu Hanifah dalam fiqih Al Absth mengenai teroris perangilah para
pembelot, bukan karena kekufuran mereka. Bergabunglah bersama kelompok yang
adil dan jangan bergabung bersama para pembelot. Sekalipun di dalam jamaah itu

20
terdapat kelompok yang suka berbuat zalim dan kerusakan, maka sesungguhnya
dikalangan mereka juga terdapat orang-orang shaleh yang akan membantu kalian
memerangi mereka. Jika jamaah itu melakukan pembelotan juga, maka menjauhlah
dari mereka dan pindahlah ke jamaah yang lain. Allah SWT Berfirman, “Bukankah
bumi Allah SWT itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”, “Sungguh,
bumi-Ku luas, maka sembahlah aku (saja).”

21

Anda mungkin juga menyukai