Anda di halaman 1dari 14

Kelompok 12 |1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini sering muncul kritik bahwa kajian Islam di Indonesia tidak
mempunyai proyek yang jelas, sehingga arah dari pemikiran yang berkembang juga menjadi
tidak jelas. Bahkan secara sinis intelektualisme Indonesia sering disebut “intelektualisme
musiman” ketika sedang musim Postmodernisme, disana-sini digelar berbagai diskusi tentang
postmodernisme. Ketika tiba-tiba muncul tokoh Mohammad Arkoun dalam belantara
pemikiran Islam di Indonesia. Semua orang berbicara tentang Arkoun. Hal yang sama juga
terjadi pada Hasan Hanafi dan Abed Al-Jabari dan lain-lain. Singkatnya, tidak suatu yang
menjadi proyek pemikiran bersama, karena pemikiran Islam di Indonesia belum mampu
memberI kontribusi orisinal bagi kepentingan dunia Islam secara keseluruhan.
Krisis pemikiran keislaman yang orisinal demikian bukan khas Indonesia, tapi
problem dunia Islam secara umum. Kondisi tersebut antara lain disebabkan karena dominasi
pandangan “ tradisional-konservatif” Islam yang hampir dalam semua segi-segi pemikiran
Islam.
Munculnya gerakan – gerakan seperti Post Modernisme dan Neo Modernisme Islam,
Islam Liberal, Islam Kultural, Post Tradionalisme Islam, menunjukkan adanya keberagaman
dalam pemikiran para cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern/
kontemporer. Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah di jelaskan maka dapat dibuat perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa itu hukum islam?
2. Bagaimana keadaan dinamika masyarakat periode kontemporer?
3. Apa perbedaan modernisme dan post modernisme?
4. Apa itu islam liberal?
5. Apa itu islam kultural dan islam struktural?
6. Apa yang dimaksud dengan post tradisionalisme?
7. Apa yang dimaksud dengan jihad dan teorisme?
Kelompok 12 |2

C. Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penulisan ini adalah untuk:

1. Mengetahui dan memahami hukum islam.


2. Mengetahui keadaan dinamika masyarakat periode kontemporer.
3. Mengetahui perbedaan modernisme dan post modernisme.
4. Mengetahui dan memahami islam liberal.
5. Mengetahui perbedaan islam kultural dan islam struktural.
6. Mengetahui dan memahami post tradisionalisme.
7. Mengetahui perbedaan jihad dan teorisme.
Kelompok 12 |3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Islam
Secara etimologis, kata hukum berakar pada kata atau huruf arab, yang berarti
menolak.
Adapun secara terminologis, ulama usul mendefinisikan hukum dengan titisan Allah
yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan,
maupun larangan, sedangkan ulama fikih mengartikan dengan efek yang dikehendaki oleh
titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib, sunnah, dan haram.
Bertolak dengan pendapat Amir Syarifuddin dan T.M. Hasbi Ash Shiddieqy itu, maka
dapat dikemukakan bahwa hukum islam pada hakekatnya mempunyai muatan hukum syara
dan hukum fiqih, karena bersumber dari syariat, tetapi ia juga merupakan hasil ijtihad
manusia.
Dengan kata lain, bahwa syariat islam yang diterjemahkan sebagai hukum islam
adalah didasarkan pada pengertian syariat dalam arti sempit, sebab makna yang terkandung
dalam syariat (secara luas) mencakup aspek akhlak dan hukum. Sedangkan jika hukum islam
dimaksudkan terjemahan dari fikih islam, maka hukum islam dimaksudkan adalah hasil
ijtihad yang ijtihad yang nilai kebenarannya bersifat zany,tidak termasuk didalamnya nilai
hukum islam dalam pengertiannya yang bersifat qat’iy.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum islam pada dasarnya mencakup
hukum syara dan hukum fiqih karena ia bersumber dari wahyu(Al-qur’an dan Sunnah), serta
merupakan hasil kreaktifitas akal manusia terhadap wahyu itu. Sehingga hukum islam
memiliki dimensi ilahiyah yang transenden, dan dimensi insaniyah yang profane.

B. Dinamika Masyarakat periode kontemporer


Pada dua tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai
pengaruh dominan dalam struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja,
semuanya dikembalikan dan direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola
pemikiran masyarakat masih sangat sederhana
Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah
masyarakat mengalami kemajuan dibidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme,
Kelompok 12 |4

yang ditandai dengan kemajuan dibidang keilmuan dan teknologi. Dilihat dari perspektif
filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat al shaqawi dalam kitab Falsafah al Hadharah al
islamiyah, proses perkembangan masyarakat seperti yang digambar comte merupakan proses
gerak maju ke depan.
Secara sederhana globalisasi diartikan sebagai salah satu titik perhatian, meskipun ia
terdiri dari beberapa Negara yang terpisah dan dihuni oleh beberapa kelompok manusia yang
berbeda bangsa, bahasa dan agama.
Pengaruh ini bisa dalam bentuk positif (manfaat) dengan menguntungkan kehidupan
manusia dan ada pula dalam bentuk negative dengan arti merugikan.
Demikianlah hukum islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan.
Hukum islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan
zaman dan dinamika masyarakat.

C. Modernisme dan Post Modernisme

1. Modernisme
Istilah “modern” berasal dari bahasa latin “modo”, yang berarti yang kini “just now”.
Meskipun istilah ini sudah muncul pada akhir abad ke-5, yang digunakan untuk membedakan
keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah lewat. Namun istilah
ini kemudian lebih digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan,
yakni dari tahun 1450 sampai sekarang ini.
Dari istilah – istilah “modern”, sebagaimana yang telah disebutkan diatas itulah, lahir
istilah-istilah lain, seperti : “modernisme”, modernitas dan modernisasi. Meskipun istilah itu
mempunyai arti yang berbeda-beda , karena berasal dari akar kata yang sama, maka
pengertian yang dikandungnya tidak bisa lepas dari kakar kata yang dimaksud yaitu
“modern”.
Istilah “modernism” misalnya, oleh Ahmed, dengan merujuk pada Oxford English
Dictionary, didefinisikan sebagai “pandangan atau metode modern, khususnya
kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah agama,agar harmonis dengan
pemikiran modern. Modernisme diartikan sebagai fase terkini sejarah dunia yang ditandai
dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme, dan kemajuan. Keinginan untuk
simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan dan otoritas, juga menjadi karakternya.
Periode ini ditandai oleh keyakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa utopia
bisa dicapai, bahwa ada sebuah tata dunia yang mungkin. Mesin, proyek industry besar, besi,
Kelompok 12 |5

baja dan listrik, semuanya dianggap dapat digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini.
Gerakan menuju industrialisasi, dan kepercayaan pada yang fisik, membentuk ideology yang
menekankan materialism sebagai pola hidup. Sementara modernitas dipahami sebagai efek
dari modernisasi.
Di Indonesia, modernisasi direspon positif oleh Norcholis Majid, menurut dia
modernisasi indetik atau hampir identik dengan rasionalisasi. Modernisasi melibatkan proses
pemeriksaan secara seksama pemikiran serta pola aksi lama yang tidak rasional, dan
menggantikannya dengann pemikiran dan pola aksi baru yang rasional.

2. Post Modernisme
Post modernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari
modernisme. Yang muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz
menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat
modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk
menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme.
Istilah ‘’pos’’ menurut kubu Postmodermisme, adalah kematian modernisme yang
mengusung klaim kesatuan representasi, humainisme, antroposentrisme, dan linirietas sejarah
guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, anthihumanisme, dan diskontuinitas.
Pada awalnya gerakan modernisme lahir dari gerakan ‘’rasionalisasi’’ dan kebebasan
ijtihad agama. Gerakan ini kemudian menginspirasi berdirinya Muhammadiyah di Indonesia,
dan gerakan modernisme lahir di Indonesia sabagai respon modernitas barat.
Sedangkan, Gerakan Neomodernisme berkembang pada akhir 19 dan awal 1970-an,
terutama di kalangan mahasiswa yang berlatar belakang tradisional. Komunitas mahasiswa
ini merupakan generasi pertama dari muslim tradisional yang memiliki akses pada
pendidikan tinggi dengan takaran yang signifikan berkat ekspansi pendidikan yang
berlangsung pasca kolonial di Indonesia. Untuk memperluas wawasan keilmuannya, di antara
mereka terlibat di puncak organisasi mahasiswa yang berorientasi modern (HMI).
Awalnya, gerakan yang mereka lancarkan merujuk pada gerakan pembaruan
pemikiran Islam. Namun, gerakan itu akhirnya lebih dikenal sebagai neomodernisme, dengan
mengikuti paradigma gerakan pembaruan modern Fazlur Rahman.
Gerakan Neomodernisme memperoleh ketenaran secara mengesankan setelah
keluarnya statemen Nurcholish Madjid dalam seminar tunggal pada bulan Januari 1970 yang
intinya menengarai tanda-tanda hampir matinya pemikiran kaum pembaru, sehingga perlu
dilakukan pembaruan pemikiran. Nurcholish Madjid pada waktu itu menggunakan tema
Kelompok 12 |6

desakralisasi dan sekularisasi dalam papernya sehingga dengan mudah menyulut kritik
bernada kemarahan dari berbagai pihak. Kritik itu terutama datang dari tokoh-tokoh modernis
senior yang terusik oleh kritikan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa gerakan
intelektual para senior telah mandek dan perlu direformasi.
Para modernis senior ini menuduh pemikiran Nurcholish Madjid sebagai
bid’ah. Berbagai kritikan ini justru membuat popularitas pemikiran Nurcholish Madjid
semakin meningkat. Bisa dikatakan, munculnya gerakan pembaruan yang berporos pada
Nurcholish Madjid telah menandai permulaan fase penyebaran ide pembaruan dalam
komunitas umat Islam, juga penyebaran ide-ide pembaruan dan kecenderungan pemahaman
liberal dalam Islam. Gagasan ini dalam perkembangannya diterima secara luas oleh
masyarakat Indonesia dan mampu mengubah sikap-sikap sosial yang cukup mendasar.
Penyebaran gerakan neomodernisme Islam di Indonesia semakin meluas antara lain
berkat bergabungnya para intelektual muslim lain seperti Djohan Effendi, Ahmad Wahib,
Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Utomo Dananjaya. Abdurrahman Wahid sekembalinya
dari studi di Timur Tengah secara cepat beraliansi dengan gerakan itu. Sebagai
konsekuensinya, beberapa perhimpunan pemuda di bawah NU dan kebanyakan ulama yang
sering bertukar ide dengan Abdurrahman Wahid secara kuat dipengaruhi oleh pemikiran
neomodernis.
Fakror-faktor pembentukan neomodenisme yang pokok adalah hilangnya
perasaan inferiority complex di kalangan umat Islam, khususnya bagi Nurcholish Madjid dan
Abdurrahman Wahid terhadap Barat. Sebagai generasi yang tidak mengalami perang
kemerdekaan dan tidak mengalami diskriminasi dari kalangan elite Eropa semasa
kolonialisme, membuat mereka memiliki kepercayaan diri.

D. Islam Liberal
Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan
(contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan
unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana
diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan
dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau
definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki
nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di
Turki."
Kelompok 12 |7

latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa
keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh
Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya,
selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa
ini. Sebut saja sosok seperti Ibnu Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf
besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa,
yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa
sebagai ensiklopedia sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran
Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang,
hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem
pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal yang pada masanya sudah tidak ada lagi dan
pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga
menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah
(hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency,
natural equity).
Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan
modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis
Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka
perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan
adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara
kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup
oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima,
perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak
perempuan, dan non-Muslim.

E. Islam Kultural dan Islam Struktural

1. Islam Kultural
Kata cultural yang berada di belakang kata Islam berasal dari bahasa
Inggris, culture yang berarti kessopanan, kebudayaan dan pemeliharaan. Teori lain
mengatakan bahwa kata culture ini berasal dari bahasa Yunanicultura yang artinya
memelihara atau mengerjakan, mengolah. Berarti Islam cultural adalah Islam yang
dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan.
Kelompok 12 |8

Munculnya Islam cultural agak mudah dimengerti apabila kita memperhatikan ruang
lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah keagamaan seperti teologi, ibadah
dan akhlak, melainkan jugga mencakup masalah keduniaan seperti masalah perekonomian,
pertahanan keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek keagamaan peran Allah dan Rasul lah
yang dominan. Pada aspek keduniaan peran manusialah yang paling dominan.
Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami pengembangan pengertian
dari apa yang dikemukakan di atas. Islam cultural selanjutnya muncul dalam bentuk sikap
yang lebih menunjukkan inklusissivitas. Yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk
atau symbol dari suatu pengamalan agama, tetapi yang lebih penting tujuan dan missi dari
pengamalan teersebut. Dalam hubungannya ini kita menjumpai ajaran tentang dzikir ini
terkadang mewujud dalam menyebut nama Allah sekian ratus kali dengan menggunakan alat
semacam tasbih, ada yang menggunakan batu, ada yang dengan memasang tulisan kaligarafi
pada dinding rumah dan sebagainya.
Selanjutnya Islam cultural juga tampil sebagai Islam yang lebih bisa beradaptasi dengan
lingkungan sosialnya, dimana Islam tersebut dipraktekkan. Dalam hubungan ini, Islam
cultural menghargai adanya keanekaragaman perilaku keagamaan. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa sumber ajaran Islam yang dianut oleh setiap orang Islam adalah sama,
yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Ssedangkan bentuk pemahaman, penghayatan dan
pengamalannya berbeda-beda. Hal yang demikian mudah dimengerti , karena pada saat
ajaran Islam tersebut di pahami, dihayati dan diamalkan oleh seseorang sangat dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan, kecenderungan, bakat, lingkungan keluarga, kebudayaan,
pengalaman dan lain-lain.
Islam cultural tetap menjujung tinggi nilai-nilai universal yang terdapat dalam Al-qur’an
dan hadits. Namun nilai-nilai universal tersebut ketika dihayati, dipahami dan diamalkan
tidak universal lagi, Karena sudah dipengaruhi oleh pemikiran manusia. Paham yang
demikian membantu kita untuk membedakan mana yang universal dan mana yang tidak
universal. Yang universal ada dalam Al-qur’an dan sunnah yang mutawatir, sedangkan yang
tidak universal ada dalam pemahaman ummatnya. Oleh sebab ituu jika yang universal
berlaku sepanjang zaman, mutlak benar dan tidak dapat diubah, maka yang tidak universal
tidak dapat berlaku sepanjang zaman, bisa terjadi kekeliuan dan dapat diubah.

2. Islam Struktural
Kelompok 12 |9

Struktur adalah sebuah gambaran yang mendasar dan kadang tidak berwujud, yang
mencakup pengenalan, observasi, sifat dasar, dan stabilitas dari pola-pola dan hubungan antar
banyak satuan terkecil di dalamnya
Dari istilah – istilah “struktural”, sebagaimana yang telah disebutkandiatas itulah,
lahir istilah lain, seperti : strukturalisme.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua
masyarakat dan kebudyaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap strukturalisme
merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua
masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan
penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya,
kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam
memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-
ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam
bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat
strukturalisme pada status sistem filosofis.

F. Post tradisionalisme
Sebenarnya sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan seluruh
kompleksitas post tradisionalisme. Marzuki Wahid mendefinisikan post tradisionalisme
adalah suatu gerakan melompat tradisi yang tidak lain adalah upaya pembaharuan tradisi
yang tidak lain adalah upaya pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam rangka
berdialog dengan modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new tradition) yang sama
sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru post tradisionalisme
merupakan gerakan yang lahir dengan poroses yang panjang dan berakar pada pemikir-
pemikir pencerahan tempo dulu.
Sedangkan perumusan metodologi post tradisionalisme Islam menghasilkan paradigm
baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik nalar (naqd al-aql) maupun telaah
kontemporer (qira’ah muashirah) terhadap tradisi. Muhammad Abid Al-Jabiri, Muhammad
K e l o m p o k 1 2 | 10

Arkoun, dan Nashir Hamid Abu Zaid merupakan sederet nama yang berusaha melakukan
rekontruksi metodologis bagi post tradisionalisme.
Sebagai gerakan, post tradisionalisme Islam di Indonesia kemudian menjadi kontruksi
intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya likal Indonesia dan bukan tekanan dari
luar yang berinteraksi secara terbuka dengan berbagai jenis kelompok masyarakat seperti
buruh, petani, LSM, dan gerakan feminism yang kemudian membawa gerakan ini tidak hanya
bersinggungan dengan tradisi Islam, tetapi juga pemikiran-pemikiran kontemporer baik dari
tradisi liberal, radikal, sosialis Marxia, Post Strukturalis, dan Post Modernis juga gerakan
feminism dan civil society (Ahmad Baso 2001).
Post tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin
melakukan rekontruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang kosong, artinya
betapapun kita teramat bersemangat untuk melampaui Zaman yang sering disebut sebagai
kemunduran umat Islam, kita mesti mengaku bahwa khazanah pemikiran dan kebudayaan
yang kita miliki adalah kekayaan yang sangat berharga untuk dikembangkan sebagai entry
point merumuskan tradisi baru.
Perlu diketahui, pengertian post tradisionalisme Islam tentang tradisi berbeda dengan
pemahaman kaum Neomodernisme Islam yang membaca tradisi melalui optic Al-qur’an dan
Hadits yang diadakan transenden, turun dari langit, lengkap dan mencakup segala hal.
Singkatnya bukan sebagai bagian dari dinamika sejarah yang berubah-ubah. Dalam
pengertian inilah kita diperkenalkan dengan kenyataan tradisi Islam yang historis yang
sifatnya membumi.
Berkaitan dengan upaya merekontruksi tradisi sebagai mana ditunjukkan Zuhairi
Miswari (2001) post tradisionalisme Islam terbagi kedalam tiga sayap (aliran). Pertama,
sayap eklektis (al-qiraah al-intiqaiyah). Sayap ini menghendaki adanya kolaborasi antara
orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas (al-mu’asharah) dalam rangka membangun “teori
analisis tradisi” juga menyingkap rasionalitas dan irrasionalitas dalam tradisi.
Kedua, sayap revolusioner (al-qira’ah at-tatswiriyah), sayap ini berkehendak untuk
mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan liberalisasi pemikiran
keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana diwakili Hasan Hanafi mengusulkan tiga cara
dalam tradisi dan pembaharuan yaitu menganalisi pembentukan dan latar belakang tradisi dan
mencermati bagaimana tradisi tersebut berlawanan dengan kemaslahatan umum.
Adapun sayap ketiga adalah sayap dekontruktif (al-qiraah al-tafkiyah). Sayap ini
berusaha membongkar tradisi secara komperehensif sehingga menyentuh ranah metodologis.
K e l o m p o k 1 2 | 11

Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan epistemology modern seperti post struktualisme dan
post modernism.

G. Jihad dan Terorisme


Jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam, istilah itu sendiri secara harfiah
berarti berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, mempertahankan. Dalam banyak hal, jihad
berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan,
pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimunginkan tanpa
jihad, yaitu tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu, membersihkan
diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, meyembuhkan orang yang sakit,
memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan resiko
pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk Jihad.
Al-qur’an menunjukkan istiah jihad untuk merujuk pada tindakan keras untuk
mewujudkan tujuan Tuhan di muka bumi ini, yang mencakup semua aktivitas diatas. Nabi
Muhammad berulang-ulang mengajarkan bahwa bentuk jihad terbesar adalah memerangi
hasrat rendah manusia atau menyampaikan kebenaran di hadapan kekuasaan yang menindas
dan menderita sebagai konsekuensi berbicara seperti itu. Dengan logika yang sama, berusaha
sekuat tenaga dan bekerja keras dalam perang, asalkan perang tersebut adil dan baik, juga
termasuk jihad.
Namun, tak bisa ditolak juga bahwa khususnya di era modern, pernyataan-pernyataan
dan perilaku muslim telah menjadi konsep kian membeingungkan dan bahkan kacau balau.
Jihad, khususnya seperti terpotret di media barat dan sebagaimana dimanfaatkan oleh para
teroris, acap kali dikait-kaitkan dengan ide perang suci terhadap kaum kafir yang disebar
luaskan atas nama Tuhan, dan sering kali disamakan dengan citra paling vulgar mengenai
intoleransi agama. Yang terburuk, isu terorisme telah merusak reputasi agama terbesar kedua
di dunia ini.
Maka setiap muslim harus berusaha melibatkan dirinya dalam jihad sesuai dengan
kemampuan dan tuntunannya, berjihad dapat kita aplikasikan dalam beberapa hal,seperti:
1) Berjihad memerangi hawa nafsu, amarah yang suka menyimpangkan manusia dari
perbuatan baik kepada perbuatan buruk, dari akhlak terpuji kepada akhlak tercela.
2) Berjihad memerangi kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat islam dalam
pentas kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3) Berjihad dalam memerangi segala bentuk ancaman yang membahayakan kemudahan
umat, seperti ancaman masyarakat, dll.
K e l o m p o k 1 2 | 12

4) Berjihad memerangi keterpurukan umat, baik dari segi intelektual maupun


muammalah.
5) Berjihad mengantisipasi serta mengimbangi tipu daya politik dan diplomasi kaum
kafir dalam uapaya memurtadkan umat islam, menjauhkan umat dari ajaran islam, dan
memecah belahkan umat islam agar mudah menjadi santapan mereka.
Setiap pribadi muslim yang menghendaki kesempurnaan dalam berislam, harus
memiliki program dakwahdan semangat jihad bagi dirinya sendiri dan keluarga. Dia harus
bersemangat mengupayakan perbaikan keislamannya dari hari kehari, sehingga mencapai
nilai HAQQA TUQATIH (Sebenar-benarnya takwa).
Sedangkan Terorisme dan Radikalisme meruapakan fenomena umum yang tersebar
diseluruh dunia, bukan hanya di dunia islam semata, sebagaimana yang dituduh oleh sebagian
kalangan.
Pengetahuan yang benar tentang islam bentuk Radikalisme maupun Terorisme, Etos
kasih saying mrupaka salah satu sebagian penting dalam islam, karena itu setiap surat dalam
al-quran selalu dimuat dengan kalimat” dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih
lagi maha penyayang”, ya, betapa kasih saying Allah begitu luas, mencakup sgala
sesuatu serta seluruh manusia yang berusaha keras mewujudkan keadilan dan
perdamaian.
Dialog antar agama selain mampu mengatasi berbagai persoalan negative seperti
ateisme narkoba, dan fanatisme, ternyata juga mampu memberikan konstribusi efektif demi
mencegah terjadinya pertengkaran-pertengkaran yang mungkin terjadi.
Persoalan-persoalan tersebut berikut persoalan sampingan lainnya, menuntut kerja
keras kita dalam mencari jalan keluar yang memadai, karena bagaimanapun, hal ini
menyangkut kepentingan seluruh dunia.
Apabila kita ingin menyelenggarakan dialog antar agmayang efektif, kita tidak boleh
lagi menghidupkan memori-memori kebencian dan permusuhan yang diwariskan oleh masa
silam dalam ingatan kita sebagai penggantinya, kita harus membangun pemikiran positif yang
bergerak kea rah pembangunan pemikiran positif yang bergerak kearah pembangunan masa
depan baru yang lebih cerah dan mampu membuat dunia menikmati perdamaian.
K e l o m p o k 1 2 | 13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan berjalannya waktu dan
perkembangnya zaman ,islam pun mengalami perkembangan dengan munculnya gerakan –
gerakan seperti Post Modernisme dan Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, Post
Tradionalisme Islam, menunjukkan adanya perkembangan keberagaman dalam pemikiran
para cendekiawan muslim baik yang tradisonal maupun modern/kontemporer. Inilah
dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana.

B. Saran

Gerakan-gerakan keagamaan, baik yang post tradisional, modernisme, post


modernisme, semuanya merupakan isyarat tentang sikap dan respon umat Islam terhadap
kepentingan-kepentingan bangsa. Siapa pun akan memandang sulit memang, apabila
religiusitas itu dalam kenyataannya beranekaragam dan dalam lingkungan yang plural pula
dapat dicarikan pemecahan bagi kesamaan gerakan umat. Barangkali yang jauh lebih penting
adalah mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam di tengah-tengah
kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna sebaliknya
diyakini sebagai anugrah Ilahy untuk dinikmati kita bersama.Wallahu ‘Alam.
K e l o m p o k 1 2 | 14

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Prakter Politik Islam
Indonesia, Jakarta: Paramidina, 1998.
Hamzah, Imran dan Anam, Chairul, Abdurrahman Wahid Diadili Kiai-Kiai, Surabaya: PT
Jawa Pos, 1989.
Sholihan, Modernitas dan Post Modernitas Agama, Semarang: Walisongo Press, 2008.
Husaini, Adian, Islam Liberal, Depok: Gema Insani, 2006.
Ismail, Faisal, Pijar-Pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005.

Anda mungkin juga menyukai