Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati dan
Hartono, 2012).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku
kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang berlangsung
kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain dan
lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman. (Kartika Sari, 2015:137).

B. Tanda dan Gejala


Menurut Fitria, (2011), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, adalah sebagai berikut:
1. Fisik: pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah, serta
postur tubuh kaku.
2. Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan nada keras
dan kasar, sikap ketus.
3. Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
sikap menentang, dan amuk/agresif.
4. Emosi: jengkel, selalu menyalahkan, menuntut, perasaan terganggu, dan ingin
berkelahi.
5. Intelektual: mendominasi, cerewet atau bawel, meremehkan, suka berdebat, dan
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Sosial: penolakan untuk didekati, mengasingkan diri, melakukan kekerasan, suka
mengejek, dan mengkritik.
7. Spiritual: merasa diri berkuasa, tidak realistik, kreatifitas terlambat, ingin orang lain
memenuhi keinginannya, dan merasa diri tidak berdosa.
a. Data subyektif
b. Data obyektif
C. Penyebab
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah.
Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.Dimana gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,
merasa gagal mencapai keinginan. Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam
mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia
merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan
cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan
kekerasan.
1. Factor predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori
biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996
dalam Purba dkk, 2014) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif.Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif.Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat
agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau
flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap
stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem
limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan
serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap
rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri.Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan
sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti
dengan pujian yang positif.Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua
mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan
yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan
orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau
mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman
fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum
menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif.Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.

2. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2016):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
D. Rentang Respon
Menurut Yosep (2012), rentang respon dari marah, seperti pada gambar 1 berikut:
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan:
1. Asertif adalah individu dapat marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan
ketenangan
2. Frustasi adalah individu gagal mencapai tujuan kepuasan saatmarah dan tidak dapat
menemukan alternatif
3. Pasif adalah individu tidak dapat mengungkapkan perasaanya
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol
5. Kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
Menurut Fitria (2011), adapun perbedaan perilaku pasif, asertif dan agresif, seperti
pada tabel 1, berikut:

Tabel 1 Perbandingan Antara Perilaku Pasif, Asertif, Dan Agresif


Pasif Asertif Agresif
Isi pembicaraan Negatif dan Positif dan Menyombongkan
merendahkan menawarkan diri, merendahkan
diri,contohnya diri,contohnya orang
perkataan:”Dapat perkataan: “Saya lain,contohnya
kah saya” dapat….” perkataan:Kamu
“Dapatkah kamu” “Saya akan…” selalu…”
“Kamu tidak
pernah….”
Tekanan suara Cepat, lambat, Sedang Keras dan ngotot
mengeluh
Posisi badan Menundukkan Tegap dan santai Kaku, condong ke
kepala depan
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak
dengan sikap jarak yang yang akan
mengabaikan nyaman menyerang

Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi


tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/sama Mempertahankan Mata melotot dan
sekali tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan

1. Fase- fase perilaku kekerasan


a. Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor
yang dapat menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, respon terhadap
kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi,
pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi.
Pada fase ini klien dan keluarga baru datang.
b. Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan
respon fight or flight.Pada fase escalasi kemarahan klien memuncak, dan belum
terjadi tindakan kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif klien gangguan psikiatrik
bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan penggunaan zat,
kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak efektif.
c. Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation
gagal mencapai tujuannya.Pada fase ini klien sudah melakukan tindakan
kekerasan.
d. Settling phase
Klien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya.Mungkin
masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
e. Post crisis depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus
pada kemarahan dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan
kelelahan.
2. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster
menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga
meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh
menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya
yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang
terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan
rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di
samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien
c. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk
menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan.

E. Pohon Masalah
Resiko mencedera diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku kekerasan

Gangguan Harga Diri


F. Psikopatologi
Gangguan jiwa pada perilaku kekerasan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
faktor predisposisi dan faktor presipitasi (Yosep, 2016).
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan.
a. Faktor Psikologi
Psychoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan naluri. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi
oleh dua insting. Pertama insting hidup yang diekpresikan dengan seksualitas,
Dan kedua insting kematian yang diekpresikan dengan agresivitas.
b. Frustation-aggresion theory; Teori yang dikembangkan pengikut Freud ini ini
berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada
gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau
obyek yang menyebabkan frustasi.
c. Faktor Sosial Budaya
1) Social-Learning Theory; Teori yang dikembangkan oleh Bandura (2015)
ini memgemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon
yang lain. Agresi dapat dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi,
dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap
keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajari.
2) Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekpresi agresif mana yang dapat diterima
atau tidak dapat diterima, sehingga dapat membantu individu untuk
mengekpresikan marah dengan cara yang asertif.
d. Faktor Biologis
Neorobilogical Faktor (Montague, 2012) bahwa dalam susunan persyarafan
ada juga yang berubah pada saat orang agresif.Sistem limbik berperan penting
dalam meningkatkan dan menurunkan agresifitas.Neurotransmitter yang
sering dikaitkan dengan perilaku agresif yaitu; serotonin, dopamim,
norepinephrin, acetikolin, dan asam amino GABA (gamma aminobutiric
acid).GABA dapat menurunkan agresifitas, norepinephrin dapat meningkatkan
agresifitas, serotonin dapat menurunkan agresifitas dan orang yang epilepsi.

2. Faktor Presipitasi
Secara umum, sesorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal
dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang marasa
terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahanya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal.Contoh stressor
internal adalah tidak berprestasi kerja, kehilangan orang yang dicintai, respon
terhadap penyakit kronis. Contoh stressor ekternal adalah serangan fisik, putus
hubungan, dikritik orang lain. Marah juga bisa disebabkan perasaan jengkel yang
menumpuk di hati atau kehilangan kontrol terhadap situasi.Marah juga bisa timbul
pada orang yang dirawat inap.

G. Diagnosa Keperawatan
Resiko Perilaku Kekerasan

H. Intervensi Keperawatan
Perilaku Kekersan Klien Keluarga
SP I : SP I :
1. Mengidentifikasi 1. Mendiskusikan
penyebab marahnya masalah yang
klien. dirasakan keluarga
2. Membantu klien dalam merawat
mengungkapkan tanda klien.
dan gejala perilaku 2. Menjelaskan
kekerasan . pengertian, tanda,
3. Melatih klien cara dan gejala harga diri
mengontrol perilaku rendah yang dialami
kekerasan secara fisik klien beserta proses
: tarik nafas dalam terjadinya.
4. Memberikan pujian 3. Menjelaskan cara-
yang wajar terhadap cara merawat klien
keberhasilan klien. perilaku kekerasan.
5. Menganjurkan klien
memasukkannya
dalam jadwal kegiatan
harian
SP II : SP II :
1. Mengevaluasi jadwal 1. Melatih keluarga
kegiatan harian klien. mempraktekkan
2. Melatih klien cara cara merawat klien
mengontrol perilaku dengan perilaku
kekerasan dengan cara kekerasan.
minum obat. 2. Melatih keluarga
3. Menganjurkan klien melakukancara
memasukkannya merawat langsung
kedalam jadwal kepada klien
kegiatan harian. perilaku kekerasan.
SP III : SP III :
1. Mengevaluasi jadwal 1. Membantu keluarga
kegiatan harian klien. membuat jadwal
2. Melatih klien cara aktivitas dirumah
mengontrol perilaku termasuk minum
kekerasan dengan cara obat.
verbal/sosial. 2. Menjelaskan follow
3. Menganjurkan klien up klien setelah
memasukkannya pulang.
kedalam jadwal harian.
SP IV :
1. Mengevaluasi jadwal
kegiatan harian klien.
2. Melatih klien mengaji
dan mengajarkan klien
sholat
3. Menganjurkan klien
memasukkannya
kedalam jadwal harian.

I. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai dosis
efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya
trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer
bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal
145).
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main
catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan
itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi
dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar
dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitumengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
4. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2012 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang
diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang
ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo,
2014: hal 146).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali
terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko
Prabowo, 2014: hal 146).

Anda mungkin juga menyukai