Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sectio Caesarea atau bedah sesar adalah suatu tindakan operasi yang

bertujuan untuk mengeluarkan bayi melalui insisi pada dinding perut dan dinding

rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram

(Wiknjosastro, 2014). Sectio Caesarea merupakan tindakan pilihan utama bagi

tenaga medis untuk menyelamatkan ibu dan janin yang dilaksanakan atas dasar

indikasi medis tertentu, yaitu gawat janin, disproporsi cepalopelvic, persalinan

tidak maju, plasenta previa, prolapsus tali pusar, mal presentase janin (Norwitz,

2015), panggul sempit dan preeklampsia (Kristiyanasari, 2010).

Menurut World Health Organization (WHO), rata-rata SC 5-15% per 1000

kelahiran di dunia, angka kejadian di rumah sakit pemerintah rata-rata 11%,

sementara di rumah sakit swasta bisa lebih dari 30%. Permintaan SC di sejumlah

negara berkembang melonjak pesat setiap tahunnya (Sriyanti, 2016). Selain itu,

menurut WHO prevalensi SC meningkat 46% di Cina dan 25% di Asia, Eropa,

dan Amerika Latin (Sujata & Vijay, 2014). Hal ini didukung oleh Corso, et al

(2017) yang menyatakan bahwa SC menjadi salah satu kejadian dengan prevalensi

yang meningkat di dunia.

Di Indonesia angka kejadian Sectio Caesarea mengalami peningkatan pada

tahun 2008 jumlah ibu bersalin dengan Sectio Caesarea 47,22%, tahun 2009

sebesar 45,19%, tahun 2010 sebesar 47,13%, tahun 2011 sebesar 46,87%, tahun

2012 sebesar 53,2%, tahun 2013 sebesar 51,59%, dan tahun 2014 sebesar 53,68%
dan tahun 2015 belum terdapat data yang signifikan, tahun 2016 sebesar sekitar

22,8% (Karundeng, 2017).

Sedangkan data Medical Record yang didapat di RSUD Lubuksikaping

pada tahun 2018 dari bulan Januari-Desember terdapat 671 orang yang mengalami

Sectio Caesarea sedangkan pada tahun 2019 dari bulan Januari-Juni sebanyak 203

orang yang Sectio Caesarea.

Penyebab peningkatan persalinan Sectio Caesarea ini yaitu dengan adanya

indikasi medis dan indikasi non medis. Indikasi non medis tersebut dipengaruhi

oleh umur, pendidikan, pengetahuan, sosial budaya dan sosial ekonomi (Rasjidi,

2009). Penatalakasanaan untuk menurunkan angka Sectio Caesarea yaitu salah

satunya dengan cara memberikan penyuluhan kepada ibu hamil bahwa ibu yang

bersalin tanpa indikasi medis yang jelas, sudah seharusnya menjalani persalinan

normal, karena tindakan sc ini mempunyai akibat buruk pada ibu, antara lain:

infeksi, perdarahan, dan luka pada kandung kemih (Mitayani, 2009). Menurut

Dimas (2010) dampak Sectio Caesarea bagi janin yaitu gangguan pernapasan,

rendahnya sistem kekebalan tubuh dan rentan alergi. Sedangkan pada ibu dapat

menyebabkan resiko jangka panjang dan jangka pendek. Jangka pendek seperti

infeksi pada bekas jahitan, infeksi rahim, dan perdarahan. Jangka panjang seperti

pelekatan organ bagian dalam dan pembatasan kehamilan. Sectio Caesarea juga

dapat beresiko pada persalinan selanjutnya.

Anemia post partum didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari

10g/dl, hal ini merupakan masalah yang umum dalam bidang obstetric. Meskipun

wanita hamil dengan kadar besi yang terjamin, konsentrasi hemoglobin biasanya

berkisar 11-12 g/dl sebelum melahirkan. Hal ini di perburuk kehilangan darah saat
melahirkan dan pada masa nifas. Menurut analisa terbaru, kehilangan darah pada

saat post partum di atas 500 ml masih merupakan masalah meskipun pada obstetric

modern (Huch A. dkk.,1992). Anemia masih merupakan masalah kesehatan di

dunia. Survey WHO menunjukkan bahwa kelompok prevalensi anemia tinggi

adalah ibu hamil dan usia lanjut (50%) (Ramakrishnan, 2001). Anemia pada wanita

post partum memiliki dampak yang dapat mengganggu kesehatan ibu dan

meningkatkan risiko terjadinya depresi post partum. Anemia defisiensi besi

merupakan penyebab paling sering dari anemia post partum yang di sebabkan oleh

intake zat besi yang tidak cukup serta kehilangan darah selama kehamilan dan

persalinan

Sedangkan proses penyembuhan luka terdiri dari 3 fase yaitu inflamasi,

proliferasi (epitelisasi) dan maturasi (remodelling). Penyembuhan luka pada fase

inflamasi terjadi sampai hari ke-5 setelah pembedahan, lama fase ini bisa singkat

jika tidak terjadi infeksi. Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai

faktor yaitu: usia, anemia, penyakit penyerta, vaskularisasi, nutris, kegemukaan,

obat-obatan, merokok, mobilisasi dini, personal hygine, dan stres (Nurani, 2015).

Kadar hemoglobin normal ibu hamil sebesar >11 g/dl. Pada saat post

partum, kadar hemoglobin minimal sebesar 10 g/dl (Abadi, 2013). Jika kadar

hemoglobin kurang dari jumlah tersebut, maka akan menimbulkan kondisi

hemodilusi, yaitu suatu kondisi dimana darah mengalami pengenceran sehingga

akan mengganggu sirkulasi oksigen yang disebabkan oleh penguapan tubuh yang

berlebihan serta hemoglobin yang rendah (Dharma, 2012).

Kadar hemoglobin dan oksigen dalam tubuh mempunyai peran penting

dalam sistem sirkulasi tubuh. Jika kadar hemoglobin dan oksigen turun pada saat
pembedahan, maka jaringan kulit tidak akan segera menyatu akibat adanya luka

pembedahan karena suplai darah ke jaringan berkurang. Kesembuhan luka Sectio

Caesarea sangat dipengaruhi oleh suplai oksigen dan nutrisi kedalam jaringan yang

dapat dilihat melalui pemeriksaan kadar hemoglobin ibu post Sectio Caesarea

dengan kadar hemoglobin rendah dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka

operasi Sectio Caesarea (Wiknjosastro, 2014).

Menurut fauziah (2018), dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan signifikan antara mobilisasi dini dengan proses penyembuhan luka

operasi di Ruang Kebidanan RSUD. Abdul Wahab Sjahtanie Samarinda(P<0,05 :

OR=0,500).

Dari pemaparan diatas, maka kelompok tertarik melakukan “Asuhan

Keperawatan Pada Ny. Y (35 tahun) dengan Post Sectio Cesarea di Ruangan

Kebidanan RSUD Lubuk Sikaping 2020”

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Agar mahasiswa mampu menerapkan Asuhan Keperawatan dengan

Post Sectio Cesarea di Ruangan Kebidanan RSUD Lubuk Sikaping 2020.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu memahami kasus dengan Post Sectio Cesarea di Ruangan

Kebidanan RSUD Lubuk Sikaping 2020

b. Mampu menganalisa dan menegakan diagnosa keperawatan pada pasien

dengan Post Sectio Cesarea di Ruangan Kebidanan RSUD Lubuk

Sikaping 2020
c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan dengan Post

Sectio Cesarea di Ruangan Kebidanan RSUD Lubuk Sikaping 2020

d. Mampu melaksanakan rencana keperawatan yang telah disusun sesuai

dengan rencana keperawatan pada pasien dengan dengan Post Sectio

Cesarea di Ruangan Kebidanan RSUD Lubuk Sikaping 2020

e. Mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang telah

dilaksanakan pada pasien dengan dengan Post Sectio Cesarea di

Ruangan Kebidanan RSUD Lubuk Sikaping 2020

f. Mampu melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan pada pasien

dengan dengan Post Sectio Cesarea di Ruangan Kebidanan RSUD

Lubuk Sikaping 2020

C. Manfaat

a. Bagi petugas dan Pihak Rumah sakit

Hasil seminar ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam

melaksanakan perawatan Sectio Caesarea serta sebagai sumber informasi bagi

pelayanan kesehatan dalam memberikan perawatan kepada pasien Sectio

Caesarea.

b. Bagi Pasien dan Keluarga

Menambah wawasan pengetahuan masyarakat dalam upaya perawatan

pada pasien Sectio Caesarea juga sehingga diharapkan dapat meningkatkan

kesadaran pentingnya asupan nutrisi yang cukup pada ibu hamil.


c. Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuan dan

pengalaman yang lebih mendalam dalam memberikan Asuhan Keperawatan

khususnya pada pasien Sectio Caesarea.


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

1. Anatomi dan Fisiologi

a. Anatomi dan Fisiologi sistem reproduksi

Organ reproduksi wanita terbagi atas organ eksterna dan interna.

Organ eksterna berfungsi dalam berfungsi dalam kopulasi, sedangkan organ

interna berfungsi dalam ovulasi, sebagai tempat fertilisasi sel telur dan

perpindahan blastosis, dan sebagai tempat implantasi, dapat dikatakan

berfungsi untuk pertumbuhan dan kelahiran janin

1) Struktur Eksterna

a) Mons Pubis

Mons Pubis atau Mons Veneris adalah jaringan lemak

subkutan berbentuk bulat yang lunak dan padat serta merupakan

jaringan ikat jarang diatas simfisis pubis. Mons pubis mengandung

banyak kelenjar sebasea (minyak) dan ditumbuhi Rambut

berwarna hitam, kasar dan ikal pada masa pubertas, yakni sekitar
satu sampai dua tahun sebelum awitan haid. Fungsinya sebagai

bantal pada saat melakukan hubungan sex.

b) Labia Mayora

Labia Mayora ialah dua lipatan kulit panjang melengkung

yang menutupi lemak dan jaringan ikat yang menyatu dengan mons

pubis. Keduanya memanjang dari mons pubis ke arah bawah

mengelilingi labia mayora, meatus urinarius, dan introitus vagina

(muara vagina).

c) Labia Minor

Labia Minora, terletak diantara dua labia mayora,

merupakan lipatan kulit yang panjang, sempit dan tidak berambut

yang memanjang ke arah bawah dari bawah klitoris dan menyatu

dengan fourchette. Sementara bagian lateral dan anterior labia

biasanya mengandung pigmen, permukaan medial labia minora

sama dengan mukosa vagina; merah muda dan basah. Pembuluh

darah yang sangat banyak membuat labia berwarna merah

kemurahan dan memungkinkan labia minora membengkak, bila

ada stimulus emosional atau stimulus fisik.

d) Klitoris

Klitoris adalah organ pendek berbentuk silinder dan erektil

yang terletak tepat dibawah arkus pubis. Dalam keadaan tidak

terangsang, bagian yang terlihat adalah sekitar 6 x 6 mm atau

kurang. Ujung badan klitoris dinamai glans dan lebih sensitive

daripada badannya. Saat wanita secara seksual terangsang, glans


dan badan klitoris membesar. Fungsi klitoris adalah menstimulasi

dan meningkatkan ketegangan seksualitas.

e) Prepusium Klitoris

Dekat sambungan anterior, labia minora kanan dan kiri

memisah menjadi bagian medial dan lateral. Bagian lateral

menyatu di bagian atas klitoris dan membentuk prepusium,

penutup yang berbentuk seperti kait. Bagian medial menyatu di

bagian bawah klitoris untuk membentuk frenulum. Kadang-kadang

prepusium menutupi klitoris.

f) Vestibulum

Vestibulum ialah suatu daerah yang berbentuk seperti

perahu atau lonjong, terletak di antara labia minora, klitoris dan

fourchette. Vestibulum terdiri dari muara uretra, kelenjar

parauretra (vestibulum minus atau skene), vagina dan kelenjar

paravaginal (vestibulum mayus, vulvovagina, atau Bartholin).

Permukaan vestibulum yang tipis dan agak berlendir mudah

teriritasi oleh bahan kimia (deodorant semprot, garam-garaman,

busa sabun), panas, rabas dan friksi (celana jins yang ketat).

g) Fourchette

Fourchette adalah lipatan jaringan transversal yang pipih

dan tipis, terletak pada pertemuan ujung bawah labia mayora dan

minora di garis tengah dibawah orifisium vagina. Suatu cekungan

kecil dan fosa navikularis terletak di antara fourchette dan himen.


h) Perineum

Perineum ialah daerah muscular yang ditutupi kulit antara

introitus vagina dan anus. Perineum membentuk dasar badan

perineum. Penggunaan istilah vulva dan perineum kadang-kadang

tertukar,

2) Struktur Intenal

a) Ovarium

Sebuah ovarium terletak di setiap sisi uterus, dibawah dan

di belakang tuba falopii. Dua ligamen mengikat ovarium pada

tempatnya, yakni bagian mesovarium ligamen lebar uterus, yang

memisahkan ovarium dari sisi dinding pelvis lateral kira-kira

setinggi Krista iliaka antero superior, dan ligamentum ovarii

proprium. Dua fungsi ovarium ialah menyelenggarakan ovulasi dan

memproduksi hormon. Saat lahir, ovarium wanita normal

mengandung sangat banyak ovum primordial (primitif). Ovarium

juga merupakan tempat utama produksi hormon seks steroid

(estrogen, progesterone, dan androgen) dalam jumlah yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi wanita

normal. Hormon estrogen adalah hormon seks yang di produksi oleh


rahim untuk merangsang pertumbuhan organ seks seperti payudara

dan rambut pubik serta mengatur sirkulasi manstrubasi. Hormon

estrogen juga menjaga kondisi kesehatan dan elasitas dinding

vagina. Hormon ini juga menjaga teksture dan fungsi payudara.

pada wanita hamil hormon estrogen membuat puting

payudara membesar dan merangsang pertumbuhan kelenjar ASI dan

memperkuat dinding rahim saat terjadi kontraksi menjelang

persalinan. Hormon progesterone berfungsi untuk menghilangkan

pengaruh hormon oksitoksin yang dilepaskan oleh kelenjar pituteri.

Hormon ini juga melindungi janin dari serangan sel-sel kekebalan

tubuh dimana sel telur yang di buahi menjadi benda asing dalam

tubuh ibu. hormon androgen berfungsi untuk menyeimbangkan

antara hormon estrogen dan progesteron. ( Harunyaha,2003)

b) Tuba Falopii (Tuba Uterin)

Panjang tuba ini kira-kira 10 cm dengan diameter 0,6 cm.

Setiap tuba mempunyai lapisan peritoneum di bagian luar, lapisan

otot tipis di bagian tengah, dan lapisan mukosa di bagian dalam.

Lapisan mukosa terdiri dari sel-sel kolumnar, beberapa di antaranya

bersilia dan beberapa yang lain mengeluarkan secret. Lapisan

mukosa paling tipis saat menstruasi. Setiap tuba dan lapisan

mukosanya menyatu dengan mukosa uterus dan vagina.

c) Uterus
Uterus adalah organ berdinding tebal, muscular, pipih,

cekung yang tampak mirip buah pir terbalik. Pada wanita dewasa

yang belum pernah hamil, berat uterus ialah 60 g. Uterus normal

memiliki bentuk simetris, nyeri bila ditekan, licin dan teraba padat.

Derajat kepadatan ini bervariasi bergantung kepada beberapa faktor.

Misalnya, uterus mengandung lebih banyak rongga selama fase

sekresi

Tiga fungsi uterus adalah siklus menstruasi dengan

peremajaan endometrium, kehamilan dan persalinan. Fungsi-fungs

ini esensial untuk reproduksi, tetapi tidak diperlukan untuk

kelangsungan fisiologis wanita.

d) Dinding Uterus

Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan: endometrium,

miometrium, dan sebagian lapisan luar peritoneum parietalis.

e) Serviks

Bagian paling bawah uterus adalah serviks atau leher.

Tempat perlekatan serviks uteri dengan vagina, membagi serviks

menjadi bagian supravagina yang panjang dan bagian vagina yang

lebih pendek. Panjang serviks sekitar 2,5 sampai 3 cm, 1 cm

menonjol ke dalam vagina pada wanita tidak hamil. Serviks

terutama disusun oleh jaringan ikat fibrosa serta sejumlah kecil

serabut otot dan jaringan elastis.

f) Vagina
Vagina, suatu struktur tubular yang terletak di depan rectum

dan di belakang kandung kemih dan uretra, memanjang dari introitus

(muara eksterna di vestibulum di antara labia minora vulva) sampai

serviks. Vagina adalah suatu tuba berdinding tipis yang dapat

melipat dan mampu meregang secara luas. Karena tonjolan serviks

ke bagian atas vagina, panjang dinding anterior vagina hanya sekitar

7,5 cm, sedangkan panjang dinding posterior sekitar 9 cm. Ceruk

yang terbentuk di sekeliling serviks yang menonjol tersebut disebut

forniks: kanan, kiri, anterior dan posterior.

Mukosa vagina berespons dengan cepat terhadap stimulasi

estrogen dan progesterone. Sel-sel mukosa tanggal terutama selama

siklus menstruasi dan selama masa hamil. Sel sel yang diambil dari

mukosa vagina dapat digunakan untuk mengukur kadar hormone

steroid. Cairan vagina berasal dari traktus genitalia atas atau bawah.

Cairan sedikit asam. Interaksi antara laktobasilus vagina dan

glikogen mempertahankan keasaman. Apabila pH naik di atas lima,

insiden infeksi vagina meningkat (Bobak, Lowdermilk, Jensen,

3) Anatomi Fisiologi Abdomen


a) Kulit

 Lapisan Epidermis

Epidermis, lapisan luar, terutama terdiri dari epitel

skuamosa bertingkat. Sel dibentuk oleh lapisan germinal dalam

ketika didorong oleh sel terkikis oleh gesekan. Lapisan luar

terdiri dari keratin, protein bertanduk, Jaringan ini tidak

memiliki pembuluh darah dan sel selnya sangat rapat.

 Lapisan Dermis

Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen jaringan

fibrosa epidermis berupa sejumlah papilla kecil. Lapisan yang

lebih dalam terletak pada jaringan subkutan dan fasia, lapisan

ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf.

 Lapisan Epidermis
Epidermis, lapisan luar, terutama terdiri dari epitel

skuamosa bertingkat. Sel-sel yang menyusunya secara

berkesinambungan dibentuk oleh lapisan germinal dalam epitel

silindris ketika didorong oleh sel-sel baru kearah permukaan,

tempat kulit erkikis oleh gesekan. Lapisan luar terdiri dari

keratin, protein bertanduk, Jaringan ini tidak memiliki

pembuluh darah dan sel selnya sangat rapat.

 Lapisan Dermis

Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen jaringan

fibrosa dan elastin. Lapisan superfasial menonjol ke dalam

epidermis berupa sejumlah papilla kecil. Lapisan yang lebih

dalam terletak pada jaringan subkutan dan fasia, lapisan ini

mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf.

 Lapisan subkutan

Lapisan ini mengandung sejumlah sel lemak, berisi banyak

pembuluh darah dan ujung syaraf. Lapisan ini mengikat kulit

secara longgar dengan organ-organ yang terdapat dibawahnya.

Dalam hubungannya dengan tindakan SC, lapisan ini adalah

pengikat organ-organ yang ada di abdomen, khususnya uterus.

Organ-organ di abdomen dilindungi oleh selaput tipis yang

disebut peritoneum. Dalam tindakan SC, sayatan dilakukan dari

kulit lapisan terluar (epidermis) sampai dinding uterus.

 Fasia
Di bawah kulit fasia superfisialis dibagi menjadi lapisan

lemak yang dangkal, Camper's fasia, dan yang lebih dalam

lapisan fibrosa,. Fasia profunda terletak pada otot-otot perut.

menyatu dengan fasia profunda paha. Susunan ini membentuk

pesawat antara Scarpa's fasia dan perut dalam fasia membentang

dari bagian atas paha bagian atas perut. Di bawah lapisan

terdalam otot, maka otot abdominis transverses, terletak fasia

transversalis. Para fasia transversalis dipisahkan dari

peritoneum parietalis oleh variabel lapisan lemak. Fascias

adalah lembar jaringan ikat atau mengikat bersama-sama

meliputi struktur tubuh.

 Otot perut
Otot dinding perut anterior dan lateral Rectus abdominis

meluas dari bagian depan margo costalis di atas dan pubis di

bagian bawah. Otot itu disilang oleh beberapa pita fibrosa dan

berada didalam selubung. Linea alba adalah pita jaringan yang

membentang pada garis tengah dari procecuss xiphodius

sternum ke simpisis pubis, memisahkan kedua musculu rectus

abdominis. Obliquus externus, obliquus internus dan

transverses adalah otot pipih yang membentuk dinding

abdomenpada bagian samping dan depan. Serat externus

berjalan kea rah bawah dan atas ; serat obliquus internus

berjalan keatas dan kedepan ; serat transverses (otot terdalam

dari otot ketiga dinding perut) berjalan transversal di bagian

depan ketiga otot terakhir otot berakhir dalam satu selubung

bersama yang menutupi rectus abdominis.

 Otot dinding perut posterior


Quadrates lumbolus adalah otot pendek persegi pada bagian

belakang abdomen, dari costa keduabelas diatas ke crista iliaca,

(Gibson, J. 2002)

2. Pengertian

a. Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan

melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan

syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram

(Sarwono, 2011)

b. Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan

berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding

uterus yang utuh (Gulardi & Wiknjosastro, 2012)

c. Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan

membuka dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2014).

Jadi dapat disimpulkan bahwa Sectio caesarea adalah pembedahan

untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus

3. Jenis-jenis SC

Sectio cesaria transperitonealis profunda Sectio cesaria

transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah uterus. insisi

pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau memanjang.

Keunggulan pembedahan ini adalah:

a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.

b. Bahaya peritonitis tidak besar.


c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian

hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa

banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat

sembuh lebih sempurna.

d. Sectio cacaria klasik atau section cecaria corporal

Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan

ini yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada

halangan untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda.

Insisi memanjang pada segmen atas uterus.

e. Sectio cacaria ekstra peritoneal

Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi

bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan

terhadap injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan.

Rongga peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin

berat.

f. Section cesaria Hysteroctomi

Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi :

1) Atonia uteri

2) Plasenta accrete

3) Myoma uteri

4) Infeksi intra uteri berat


4. Etiologi

Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur

uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan

indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram.

Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa

penyebab sectio caesarea sebagai berikut:

a. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)

Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu

tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat

menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang

panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk rongga

panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan

lahir secara alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau

panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam proses

persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi. Keadaan

patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi

asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.

b. PEB (Pre-Eklamsi Berat)

Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung

disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah

perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab

kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.

Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan

mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.


c. KPD (Ketuban Pecah Dini)

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda

persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar

ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di

bawah 36 minggu.

d. Bayi Kembar

Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena

kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi

daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat

mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk

dilahirkan secara normal.

e. Faktor Hambatan Jalan Lahir

Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak

memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan

pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.

f. Kelainan Letak Janin

1) Kelainan pada letak kepala

a) Letak kepala tengadah

Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan

dalam teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan

panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati,

kerusakan dasar panggul.

b) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang

terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-

kira 0,27-0,5 %.

c) Presentasi dahi

Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi

terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu,

biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka

atau letak belakang kepala.

d) Letak Sungsang

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak

memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di

bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak

sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki,

sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan

presentasi kaki (Saifuddin, 2014).

5. Patofisiologi

SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas

500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi

dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus,

distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk

janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak lintang setelah dilakukan SC

ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa

kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis


yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang

keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi

kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka

dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang

mengakibatkan gangguan rasa nyaman.

Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa

bersifat regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak

pengaruhnya terhadap janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-

kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan

mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu

sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah banyak

yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak

efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang

menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan

menurunkan mobilitas usus.

Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan

terjadi proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian

diserap untuk metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari

mortilitas yang menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada

di lambung akan menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun.

Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa

endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga berakibat pada

perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi. (Saifuddin, 2014).


WOC Sectio Caesaria

Kelainan / hambatan selama hamil dan proses persalinan


Misalnya : plasenta previa sentralis / lateralis, panggul
sempit, disproporsi cephalo pelvic, ruptur uteri
mengancam, partus lama / tidak maju, preeklamsia,
distonia serviks, malpresentasi janin
Ansietas

Port de antry

Risiko Infeksi
Gangguan
mobilitas fisik

Defisit
Perawatan
Diri

Impuls serabut saraf


dan medulla spinalis

Syaifuddin (2014) dan


Nyeri Akut
Manuaba (2002)

6. Manifestasi Klinis

Persalinan dengan Sectio Caesaria , memerlukan perawatan yang

lebih koprehensif yaitu: perawatan post operatif dan perawatan


post partum.Manifestasi klinis sectio caesarea menurut Manuaba

(2002), antara lain :

a. Nyeri akibat ada luka pembedahan

b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen

c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus

d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan

(lokhea tidak banyak)

e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira -kira 600-

800ml

f. Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikan

ketidakmampuan menghadapi situasi baru

g. Biasanya terpasang kateter urinarius

h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar

i. P e n g a r u h anestesi dapat menimbulkan mual dan

muntah

j. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler

k. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka bisanya kurang

paham prosedur

l. Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Elektroensefalogram ( EEG )

Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.


b. Pemindaian CT

Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.

c. Magneti resonance imaging (MRI)

Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan

gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak

yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.

d. Pemindaian positron emission tomography ( PET )

Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu

menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam

otak.

e. Uji laboratorium

1) Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler

2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematocrit

3) Panel elektrolit

4) Skrining toksik dari serum dan urin

5) AGD

6) Kadar kalsium darah

7) Kadar natrium darah

8) Kadar magnesium darah

8. Penatalaksanaa

a. Perawatan awal

1) Letakan pasien dalam posisi pemulihan


2) Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam

pertama, kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat

kesadaran tiap 15 menit sampai sadar

3) Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi

4) Transfusi jika diperlukan

5) Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi,

segera kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan

pasca bedah

b. Diet

Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus

lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian

minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 -

10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.

c. Mobilisasi

Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :

1) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi

2) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang

sedini mungkin setelah sadar

3) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit

dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.

4) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi

setengah duduk (semifowler)


5) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan

belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan

sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.

d. Fungsi gastrointestinal

1) Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair

2) Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul

3) Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat

4) Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik

e. Perawatan fungsi kandung kemih

1) Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau

sesudah semalam

2) Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih

3) Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang

sampai minimum 7 hari atau urin jernih.

4) Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg

per oral per hari sampai kateter dilepas

5) Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak

pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan

perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi

tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.

f. Pembalutan dan perawatan luka


1) Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak

terlalu banyak jangan mengganti pembalut

2) Jika pembalut agak kendor, jangan ganti pembalut, tapi beri plester

untuk mengencangkan

3) Ganti pembalut dengan cara steril

4) Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih

5) Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan

kulit dilakukan pada hari kelima pasca SC

6) Jika masih terdapat perdarahan

g. Lakukan masase uterus

Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau

RL) 60 tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin

h. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien

bebas demam selama 48 jam :

1) Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam

2) Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam

3) Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam

i. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan

1) Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting

2) Supositoria : ketopropen sup 2x/ 24 jam

3) Oral : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol

4) Injeksi : penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu

j. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat

diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C

k. Hal – Hal lain yang perlu diperhatikan

1) Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan

komplikasi berupa perdarahan dan hematoma pada daerah operasi

2) Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya

hematoma.

3) Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan

lutut ditekuk) agar diding abdomen tidak tegang.

4) Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.

5) Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi

6) Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.

7) Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat

menaikkan tekanan intra abdomen

8) engkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila

terjadi obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang

mungkin disebab-kan karena pengaruh obat-obatan, anestetik,

narkotik dan karena tekanan diafragma. Selain itu juga penting

untuk mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya

hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV

setiap 10-15 menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali.

9) Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri

dan kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya


orientasi dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas

dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.

10) Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah,

frekuensi nadi dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin

Berikan infus dengan jelas, singkat dan terinci bila dijumpai adanya

penyimpangan

11) Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia;

regional atau general Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan

sectio caesaria. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.

Pemberian oksitosin sesuai indikasi. Tanda vital per protokol

ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan abdomen,

Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter fole

9. Komplikasi

Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :

a. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa

nifas dibagi menjadi:

1) Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari

2) Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan

perut sedikit kembung

3) Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik

b. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan

cabang-cabang arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.


c. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing,

embolisme paru yang sangat jarang terjadi.

d. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan

berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.

e. Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal (Mansjoer,

2014)

10. Konsep Anemia

a. Pengertian

Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar

hemoglobin (Hb) atau hematokrit (Ht) dibawah normal. Anemia

menunjukkan suatu status penyakit atau perubahan fungsi tubuh

(Smeltzer, 2001). Anemia merupakan keadaan dimana masa eritrosit

dan atau masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya

untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratoris,

anemia dijabarkan sebagai penurunan kadar hemoglobin serta hitung

eritrosit dan hematokrit di bawah normal (Handayani & Andi, 2008).

Batasan umum seseorang dikatakan anemia dapat menggunakan kriteria

WHO pada tahun 1968, dengan kriteria sebagai berikut (Handayani &

Andi, 2008):

 Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dl

 Perempuan dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dl

 Perempuan dewasa hamil Hb < 11 gr/dl

 Anak usia 6-14 tahun Hb < 12 gr/dl


 Anak usia 6 bulan – 6 tahun Hb < 11 gr/dl

Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada

umumnya dinyatakan anemia bila terdapat nilai sebagai berikut

(Handayani & Andi, 2008):

 Hb < 10 gr/dl

 Hematokrit < 30%

 Eritrosit < 2,8 juta/mm2

Derajat anemia ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia

yang umum dipakai adalah (Handayani & Andi, 2008):

 Ringan sekali Hb 10 gr/dl – 13 gr/dl

 Ringan Hb 8 gr/dl – 9,9 gr/dl

 Sedang Hb 6 gr/dl – 7,9 dr/dl

 Berat Hb < 6 gr/dl

b. Klasifikasi

Menurut Baughman (2000), klasifikasi anemia adalah:

1) Anemia Aplastik

Anemia aplastik (hipoproliferatif) disebabkan oleh penurunan pada

prekusor sel-sel sumsum tulang dan penggantian sumsum dengan

lemak. Anemia ini dapat disebabkan oleh kongenital atau didapat,

idiopati akibat dari infeksi tertentu, obat-obatan dan zat kimia, serta

kerusakan akibat radiasi. Penyembuhan sempurna dan cepat

mungkin dapat diantisipasi jika pemajanan pada pasien dihentikan

secara dini. Jika pemajanan tetap berlangsung setelah terjadi tanda-


tanda hipoplasi, depresi sumsum tulang hampir dapat berkembang

menjadi gagal sumsum tulang dan irreversible.

2) Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah kondisi dimana kandungan besi dalam

tubuh menurun dibawah kadar normal. Zat besi yang tidak adekuat

menyebabkan berkurangnya sintesis Hb sehingga menghambat

proses pematangan eritrosit. Ini merupakan tipe anemia yang paling

umum. Anemia ini dapat ditemukan pada pria dan wanita pasca

menopause karena perdarahan (misal, ulkus, gastritis, tumor

gastrointestinal), malabsopsi atau diit sangat tinggi serat (mencegah

absorpsi besi). Alkoholisme kronis juga dapat menyebabkan

masukan besi yang tidak adekuat dan kehilangan besi melalui darah

dari saluran gastrointestinal.

3) Anemia Megaloblastik (Defisiensi Vitamin B12 dan Defisiensi Asam

Folat)

Anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan defisiensi

asam folat memperlihatkan perubahan-perubahan sumsum tulang

dan darah perifer yang identik. Defisiensi vitamin B12 sangat jarang

terjadi tetapi dapat terjadi akibat ketidakadekuatan masukan pada

vegetarian yang ketat, kegagalan absorpsi saluran gantrointestinal,

penyakit yang melibatkan ilium atau pankreas yang dapat merusak

absorpsi vitamin B12. Tanpa pengobatan pasien akan meninggal

setelah beberapa tahun, biasanya akibat gagal jantung kongesti

sekunder akibat dari anemia. Sedangkan defisiensi asam folat terjadi


karena asupan makanan yang kurang gizi asam folat, terutama dapat

ditemukan pada orang tua, individu yang jarang makan sayuran dan

buah, alkoholisme, anoreksia nervosa, pasien hemodialisis.

4) Anemia Sel Sabit

Anemia sel sabit adalah anemia hemolitik berat yang diakibatkan

oleh defek molekul Hb dan berkenaan dengan serangan nyeri.

Anemia ini ditemukan terutama pada orang Mediterania dan

populasi di Afrika, serta terutama pada orang-orang kulit hitam.

Anemia sel sabit merupaka gangguan resesif otosom yang

disebabkan oleh pewarisan dua salinan gen hemoglobin defektis,

satu buah dari masing-masing orang tua. Hemoglobin yang cacat itu

disebut hemoglobin S (HbS), menjadi kaku dan membentuk

konfigurasi seperti sabit apabila terpajan oksigen berkadar rendah.

5) Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses

hemolysis, yaitu pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah

sebelum waktunya. Anemia hemolitik adalah jenis yang tidak sering

dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostik

yang tepat. Anemia hemolitik dapat disebabkan oleh anemia sel

sabit, malaria, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, dan reaksi

transfuse.

c. Etiologi
Menurut Price & Wilson (2005) penyebab anemia dapat dikelompokan

sebagai berikut:

1) Gangguan produksi eritrosit yang dapat terjadi karena:

a) Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemi difisiensi

Fe, Thalasemia, dan anemi infeksi kronik.

b) Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat

menimbulkan anemi pernisiosa dan anemi asam folat.

c) Fungsi sel induk (stem sel) terganggu , sehingga dapat

menimbulkan anemia aplastik dan leukemia.

d) Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma.

2) Kehilangan darah

a) Akut karena perdarahan atau trauma atau kecelakaan yang

terjadi secara mendadak.

b) Kronis karena perdarahan pada saluran cerna atau menorhagia.

3) Meningkatnya pemecahan eritrosit (hemolisis)

Hemolisis dapat terjadi karena:

a) Faktor bawaan, misalnya, kekurangan enzim G6PD (untuk

mencegah kerusakan eritrosit.

b) Faktor yang didapat, yaitu adanya bahan yang dapat merusak

eritrosit misalnya, ureum pada darah karena gangguan ginjal

atau penggunaan obat acetosal.


4) Bahan baku untuk pembentukan eritrosit tidak ada

Bahan baku yang dimaksud adalah protein , asam folat, vitamin B12,

dan mineral Fe. Sebagian besar anemia anak disebabkan oleh

kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat,

B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah.

Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit

malaria, infeksi cacing tambang.

d. Patofisiologi

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang

atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan

sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik,

invasi tumor, atau akibat penyebab yang tidak diketahui. Lisis sel darah

merah terjadi dalam sel fagositik atau dalam sistem retikulo endothelial,

terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil sampingan dari proses

tersebut, bilirubin yang terbentuk dalam fagositi akan memasuki aliran

darah. Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam

sirkulasi, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma. Apabila

konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas hemoglobin plasma, makan

hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin.

Pada dasarnya gejala anemia timbul karena dua hal, yaitu anoksia organ

target karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh

darah ke jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia.

Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut

sindrom anemia (Handayani & Andi, 2008).


Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan

pada tiga kelompok (Edmundson, 2013 dalam Rokim dkk, 2014):

1) Anemia akibat produksi sel darah merah yang menurun atau gagal

Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu

sedikit atau sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan

baik. Hal ini terjadi akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau

kekurangan mineral dan vitamin yang dibutuhkan agar produksi dan

kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi kondisi yang

mengakibatkan anemia ini antara lain sickle cell anemia, gangguan

sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi, vitamin

B12, dan Folat, serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan

penurunan hormon yang diperlukan untuk proses eritropoesis.

2) Anemia akibat penghancuran sel darah merah

Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu

bertahan terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan

hancur lebih cepat sehingga menimbulkan anemia hemolitik.

Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara lain:

a) Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia.

b) Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau

beberapa jenis makanan.

c) Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis.

d) Autoimun.

e) Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar,

paparan kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan thrombosis.


Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit

Antigesn pada eritrosit berubah

Dianggap benda asing oleh tubuh

sel darah merah dihancurkan oleh limposit

Anemia hemolisis

3) Anemia akibat kehilangan darah

Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun

pada perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis.

Perdarahan kronis umumnya muncul akibat gangguan

gastrointestinal (misal ulkus, hemoroid, gastritis, atau kanker

saluran pencernaan), penggunaan obat obatan yang mengakibatkan

ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses

kelahiran.

e. Manifestasi klinis

Menurut Baughman (2000), tanda dan gejala dari anemia, meliputi:

1) Lemah, Letih, Lesu, Lelah, Lunglai (5L).

2) Sering mengeluhkan pusing dan mata berkunang-kunang.

3) Gejala lebih lanjut, adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan

telapak tangan menjadi pucat.

Sedangkan menurut Handayani & Andi (2008), tanda dan gejala anemia

dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu sebagai berikut:

1) Gejala umum anemia


Gejala umum anemia atau dapat disebur juga sindrom anemia

adalah gejala yang timbul pada semua jenis anemia pada kadar Hb

yang sudah menurun di bawah titik tertentu. Gejala-gejala tersebut

dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena, yaitu:

a) Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi,

sesak nafas saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal

jantung.

b) Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata

berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilatas, lesu, serta

perasaan dingin pada ekstremitas.

c) Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun.

d) Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit

menurun, serta rambut tipis dan halus.

2) Gejala khas masing-masing anemia

Gejala khas yang menjadi ciri dari masing-masing jenis anemia

adalah sebagai berikut:

a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis

angularis, keletihan, kebas dan kesemutan pada ekstremitas

b) Anemia defisiensi asam folat: lidah merah (buffy tongue).

c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.

d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-

tanda infeksi.

3) Gejala akibat penyakit yang mendasari


Gejala ini timbul karena penyakit-penyakit yang mendasari anemia

tersbut. Misalnya anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh

infeksi cacing tambang berat akan menimbulkan gejala seperti

pembesaran parotis dan telapak tangan berwatna kuning seperti

jerami.

f. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaa penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan

diagnose anemia adalah (Handayani & Andi, 2008):

1) Pemeiksaan laboratorium hematologis

a) Tes penyaring: dilakukan pada tahap awal pada setiap kasus

anemia. Pemeriksaan ini meliputi pengkajian pada komponen-

komponen, seperti kadar hemoglobin, indeks eritrosit (MCV,

MCH, dan MCHC), asupan darah tepi.

b) Pemeriksaan rutin: untuk mengetahui kelainan pada sistem

leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang dikerjakan meliputi

laju endap darah (LED), hitung diferensial, dan hitung

retikulosit.

c) Pemeriksaan sumsum tulang: dilakukan pada kasus anemia

dengan diagnosis definitive meskipun ada beberapa kasus

diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum tulang.

2) Pemeriksaan laboratorium nonhematologis

a) Faal ginjal

b) Faal endokrin
c) Asam urat

d) Faat hati

e) Biakan kuman

3) Pemeriksaan penunjang lain

a) Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan

hispatologi.

b) Radiologi: torak, bone survey, USG, atau limfangiografi.

c) Pemeriksaan sitogenetik.

d) Pemeriksaan biologi molekuler (PCR: polymerase chain

reaction, FISH: fluorescence in situ hybridization).

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang tepat dilakukan untuk pasien anemia sesuai

jenisnya, dapat dilakukan dengan (Baughman, 2000):

1) Anemia Aplastik

a) Transplantasi sumsum tulang.

b) Pemberian terapi imunosupresif dengan globulin antitimosit

(ATG).

c) Hentikan semua obat yang menyebabkan anemia tersebut.

d) Cegah timbulnya gejala-gejala dengan melakukan transfuse sel-

sel darah merah dan trombosit.

e) Lindungi pasien yang rentan terhadap leukopenia dari kontak

dengan orang-orang yang menderita infeksi.

2) Anemia defisiensi besi


a) Teliti sumber penyebab yang mungkin dapat berupa malignasi

gastrointestinal, fibroid uteri, atau kanker yang dapat

disembuhkan.

b) Lakukan pemeriksaan feses untuk mengetahui darah samar.

c) Berikan preparat besi orang yang diresepkan.

d) Hindari tablet dengan salut enteric, karena diserap dengan buruk.

e) Lanjutkan terapi besi sampai setahun setelah perdarahan

terkontrol.

3) Anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam

folat)

Anemia defisiensi vitamin B12:

a) Pemberian suplemen vitamin atau susu kedelai difortifikasi

(pada vege tarian ketat).

b) Suntikan vitamin B12 secara IM untuk kelainan absorpsi atau

tidak terdapatnya faktor-faktor instriksik.

c) Cegah kambuhan dengan vitamin B12 selama hidup untuk pasien

anemia pernisiosa atau malabsorpsi yang tidak dapat diperbaiki.

Anemia defisiensi asam folat:

a) Pemberian diit nutrisi dan 1 mg gram asam folat setiap hari.

b) Asam folat IM untuk sindrom malabsorpsi.

c) Asam folat oral diberikan dalam bentuk tablet (kecuali vitamin

prenatal).

Anemia sel sabit

a) Arus utama terapi adalah hidrasi dan analgesia.


b) Hidrasi dengan 3-5L cairan intravena dewasa per hari.

c) Berikan dosis adekuat analgesik narkotik.

d) Gunakan obat anti inflamasi non steroid untuk nyeri yang lebih

ringan.

e) Transfusi dipertahankan untuk krisis aplastik, krisis yang tidak

responsive terhadap terapi, pada preoperasi untuk mengencerkan

darah sabit, dan kadang-kadang setengah dari masa kehamilan

untuk mencegah krisis.

B. Asuhan Keperawatan secara Teoritis

1. Pengkajian

Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria menurut Mansjoer (2014), data

yang dapat ditemukan meliputi distress janin, kegagalan untuk melanjutkan


persalinan, malposisi janin, prolaps tali pust, abrupsio plasenta dan plasenta

previa.

a. Identitas atau biodata klien

Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status

perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor

register, dan diagnosa keperawatan.

b. Keluhan utama

Keluhan yang dirasakan seperti nyeri, cemas, pucat sesak, dan luka infeksi.

c. Riwayat kesehatan

1) Riwayat kesehatan dahulu :

Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung, hipertensi,

DM, TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.

2) Riwayat kesehatan sekarang :

Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang

keluar pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-tanda

persalinan.

3) Riwayat kesehatan keluarga:

Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT,

TBC, penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut

diturunkan kepada klien

d. Pola-pola fungsi kesehatan

1) pola persepsi dan tata leksana hidup sehat

Karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini, dan

cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya mrnjaga


kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam perawatan

dirinya

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari

keinginan untuk menyusui bayinya.

3) Pola aktifitas

Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti

biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga

banyak, cepat lelah, pada klien nifas didapatkan keterbatasan aktivitas

karena mengalami kelemahan dan nyeri.

4) Pola eleminasi

Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah

kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema

dari trigono, yang menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering

terjadi konstipasi karena penderita takut untuk melakukan BAB.

5) Istirahat dan tidur

Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena

adanya kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan.

6) Pola hubungan dan peran

Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga

dan orang lain.

7) Pola penagulangan sters


Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas

8) Pola sensori dan kognitif

Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan

dan nyeri perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas

primipara terjadi kurangnya pengetahuan merawat bayinya

9) Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih

menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan

konsep diri antara lain dan body image dan ideal diri

10) Pola reproduksi dan sosial

Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau

fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan

dan nifas.

e. Pemeriksaan fisik

1) Kepala

Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat

adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan

2) Leher

Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena

adanya proses menerang yang salah

3) Mata

Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva, dan

kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses

persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kunuing


4) Telinga

Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya,

adakah cairan yang keluar dari telinga.

5) Hidung

Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang

ditemukan pernapasan cuping hidung

6) Dada

Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper pigmentasi areola

mamae dan papila mamae

7) Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa

nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.

8) Genitaliua

Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila

terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam

kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.

9) Anus

Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena rupture

10) Ekstermitas

Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena

membesarnya uterus, karenan preeklamsia atau karena penyakit

jantung atau ginjal.

11) Tanda-tanda vital

Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi

cepat, pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.


2. Diagnosa Keperawatan Dengan SC
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi
operasi SC) dd mengeluh nyeri, tampak meringis, bersikap protektif,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, TD meningkat, Nafas meningkat, dan
sulit tidur
b. Gangguan mobilitas fisik b.d Nyeri dan keengganan melakukan pergerakan
dd mengeluh sulit menggerakan ekstremitas, kekuatan otot menurun, ROM
menurun, nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas
saat bergerak, gerakan terbatas, dan fisik lemah
c. Resiko infeksi berhubungan dd efek prosedur invasif
d. Deficit perawatan diri b.d kelemahan dd menolak melakukan perawatan
diri, tidak mampu mandi, mengenakan pakaian, makan, ke toilet, berhias
secara mandiri, minat melakukan perawatan diri kurang
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No Diagnosa SLKI SIKI Aktivitas Keperawatan


1 Nyeri akut  Tingkat nyeri Managemen nyeri - Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
berhubungan  Kontrol nyeri - Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
dengan agen Setelah dilakukan - Control lingkungan yang memperberat nyeri
pencedera fisik tindakan keperawatan - Fasilitasi istirahat dan tidur
(prosedur selama …. jam diharapkan - Kolaborasi dalam pemberian analgesic
operasi operasi nyeri pasien berkurang
SC) dd dengan
mengeluh nyeri, Kriteria hasil :
tampak - Keluhan nyeri
meringis, menurun
bersikap - Gelisah menurun
protektif, - Kesulitan tidur
gelisah, menurun
frekuensi nadi - Meringis menurun
meningkat, TD - Frekuensi nadi
meningkat, membaik
Nafas - Pola tidur membaik
meningkat, dan
sulit tidur
2 Gangguan  Mobilitas fisik Dukungan - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
mobilitas fisik  Control pergerakan mobilisasi - Identifikasi toleransi fisik melakukan aktifitas
b.d Nyeri dan  Koordinasi - Fasilitasi melakukan pergerakan
keengganan pergerakan - Jelaskan tujuan melakukan mobilisasi
melakukan Setelah dilakukan - Anjurkan melakukan mobilisasi dini
pergerakan dd tindakan keperawatan - Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (duduk
mengeluh sulit selama….. jam diharapkan ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur dan pindah dari
menggerakan mobilitas pasien tempat tidur ke kursi)
ekstremitas, meningkat dengan
kekuatan otot Kriteria hasil : Edukasi mobilisasi - Identifikasi indikasi dan kontra indikasi melakukan
menurun, ROM - Frekuensi nadi mobilisasi
menurun, nyeri membaik - Jelaskan tujuan, prosedur, indikasi, kontra indikasi dan
saat bergerak, - Nyeri berkurang dampak melakukan mobilisasi
enggan - Control gerakan - Demonstrasikan cara mobilisasi di tempat tidur (missal
melakukan meningkat mekanika tubuh, posisi pasien digeser kea rah berlawanan
pergerakan,
merasa cemas - Kecepatan gerakan dari arah posisi yang dimiringkan, teknik-teknik
saat bergerak, membaik memiringkan)
gerakan - Kemantapan gerakan - Anjurkan pasien dan keluarga melakukan mobilisasi sesuai
terbatas, dan meningkat yang telah didemonstrasikan
fisik lemah - Pergerakan
meningkat

1. Resiko infeksi dd  Timgkat infeksi Pencegahan Infeksi - Batasi jumlah pengunjung


efek prosedur  Control infeksi - Cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan pasien dan
invasif Setelah dilakukan lingkungan pasien
tindakan keperawatan - Ajarkan cara memeriksa kondisi luka operasi
selama….. jam diharapkan - Anjurkan untuk meningkatkan nutrisi
tingkat pengetahuan
pasien tentang pengobatan Perawatan area - Jaga kebersihan balutan luka dan disekitar area insisi
meningkat insisi - Bersihkan area disekitar tempat pembuangan atau tabung
Kriteria hasil : drainase
- Kadar sel darah putih - Pertahankan posisi tabung drainase
membaik - Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi
- Nyeri berkurang - Ajarkan cara merawat area insisi
- Drainase menurun
- Kebersihan badan
meningkat
- Kebersihan tangan
meningkat
55

Anda mungkin juga menyukai