Anda di halaman 1dari 8

MASJID AGUNG DJENNE

TUGAS

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Arsitektur Masjid dan Lansekap Islam

pada jurusan Arsitektur

Dosen Pembina :

Zya Dyena Meutia, M.T

Oleh :

Nahda Safira (160701058)

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UIN AR-RANIRY

2019
MASJID AGUNG DJENNE

Sejarah

Masjid Agung Djenne terletak di kota Djenne, salah satu kota tertua di kawasan
Sub-Sahara. Kota Djenne berjarak sekitar 570 km sebelah timur laut Bamako dan sekitar
130 km barat daya provinsi Mopti.

Masjid Agung Djenne merupakan simbol kemegahan yang mewakili gaya


arsitektur Islam di Afrika pada abad pertengahan. Masjid ini dibangun pada tahun 1240 M
pada masa kerajaan pangeran Sundiata Keita dari kerajaan kecil Manden (sekarang di
Guinea Utara dan Mali Selatan). Masjid ini merupakan pencapaian terbesar arsitektur
Sudano Sahelian, yaitu campuran dua kebudayaan masyarakat Sudan dan Saheli yang
menempati kawasan padang rumput Sahel di Afrika Barat. Sehingga bisa dikatakan,
Masjid Agung Djenne merupakan monumen yang mengekspresikan sintesis sosial,
kebudayaan, dan agama yang berlangsung selama berabad-abad di kawasan sub-Afrika.
Mengangkat gaya arsitektur ala Sudan Sahili, bangunan ini benar-benar merefleksikan
kearifan lokal masyarakat Afrika Barat. Kehebatan sang arsitek muslim Ismail Traore,
mampu membuat bahan-bahan setempat menjadi bangunan berseni tinggi. Ia
menggunakan bahan-bahan tradisional, seperti batang dan cabang pohon yang diaduk
bersamaan bata lumpur kering dan juga tanah liat.

Dinding masjid yang dibangun di atas tanah seluas 5.625 meter persegi ini terbuat
dari bata lumpur yang dijemur di bawah matahari (disebut ferey) sedangkan bagian
luarnya diplester dengan lumpur yang lembut. Pada dinding ini juga diletakkan sejumlah
kayu yang berasal dari pohon palem rodier (Borassus aethiopum) yang disebut toron oleh
masyarakat setempat. Fungsinya adalah sebagai pijakan (perancah) bagi orang-orang
yang melakukan perbaikan atas dinding bangunan ini tiap tahunnya. Dinding-dinding
bagian utara dan selatan di lubangi sebagai jendela, sehingga sinar matahari masuk tapi
tidak secara langsung. Ruangan di dalam masjid ini sejuk, meski di musim panas.

Adapun lantainya, terbuat dari tanah liat yang dilapisi tikar. Lantainya, dinaikan
setinggi 3 meter dari tanah. Untuk mencapainya, dibuatkan tangga yang terbuat dari
lumpur. Sehingga lantai masjid ini tampak seperti setara dengan atap rumah penduduk.
Alasan ditinggikannya lantai masjid ini, adalah untuk mencegah banjir yang sering terjadi
ketika Sungai Bani yang berada di dekat masjid tersebut meluap.
Sedangkan, mihrabnya dimahkotai dengan tiga menara yang tingginys 11 meter
dan menonjol di atas dinding utama. Setiap menara berisi tangga spiral yang mengarah ke
atap dan di atas puncak menara berbentuk kerucut telur burung unta terletak yang
dianggap sebagai simbol kemurnian dan kesuburan.

Di dalam, masjid memiliki beberapa ruang besar dan banyak koridor dipisahkan
oleh kolom. Satu setengah dari masjid adalah ruang doa terbuka yang lainnya ditutupi
dengan atap. Atapnya didukung oleh 90 pilar kayu.

Ruang yang paling besar di Masjid Agung Djanne yang mampu menampung
3.000 jamaah meski tidak memiliki lantai yang berubin. Untuk memasuk ruang tersebut,
para pengunjung bisa berjalan langsung di tanah kosong. Halaman di tiga sisi yang
dikelilingi oleh galeri dengan bukaan melengkung. Di sisi barat ruang doa bagi
pengunjung perempuan sudah tersedia.

Peran dan fungsi

Masjid yang dibangun pertama kali pada 1240 M oleh penguasa Djene, Sultan
Koii Kunboro, ini awalnya adalah sebuah istana. Setelah ia memeluk Islam, masjid
tersebut dialihfungsikan menjadi masjid. Untuk ukuran Afrika ketika itu, bangunan
tersebut pun sudah sangat mewah. Kesan tersebut seperti yang disampaikan oleh
penguasa Djene, Syekh Amadou, pada awal abad ke-19. Masjid unik ini juga pernah
menjadi pusat pengajaran agama Islam di Afrika pada abad ke 18.

Selain itu, karena bentuknya yang unik dan juga menakjubkan ini, membuat para
wisatawan baik dalam maupun luar memilih menyinggahi Masjid Agung Djenne untuk
sekedar melihat dan ibadah di Masjid tersebut. Masjid Agung Djenne pun menjadi situs
sejarah dunia oleh UNESCO pada tahun 1988.
Tata letak/ denah
Kelebihan/kekurangan

Karena bangunan yang terbuat dari lumpur ini mudah sekali mengalami
kerusakan akibat hujan tahunan, perubahan suhu hingga kelembapan yang mengakibatkan
beberap bangunan terkikis dan retak. Ini sebabnya dibutuhkan perawatan yang terus
menerus untuk menjaganya. Sebab bila lalai merawatnya, maka kerusakan tersebut akan
berimbas pada struktur utama bangunan.

Pada siang hari, tembok dari luar perlahan terasa panas namun di bagian dalam
tetap memberikan kesejukan bagi para jamaah. Sedangkan pada malam hari tetap terasa
hangat karena udara panasnya tersimpan di dalam tembok dan memberikan kehangatan di
dalam masjid tersebut.

Setiap tahunnya, masyarakat Djenné menggelar festival tahunan yang


dinamakan Crepissage de la Grand Mosquée. Di samping sebagai kegiatan budaya,
festival ini juga berfungsi sebagai upaya untuk melestarikan eksistensi masjid tersebut
dari kerusakan tahunan. Dalam festival tersebut, masyarakat bergotong royong untuk
memplester kembali dinding masjid dengan adonan lumpur. Seperti di masa lalu, kegiatan
tahunan ini diiringi oleh musik dan penyanyi yang akan berdendang selama pekejaan
berlangsung. Semua orang di kota akan dilibatkan, mulai dari orang tua, laki-laki,
perempuan dan anak-anak. Mereka semua bisa ambil bagian dalam festival ini.

Pada hari-hari menjelang festival, plester tanah liat untuk lapisan dinding masjid
dipersiapkan di sebuah ember besar. Perlu beberapa hari untuk mengaduk plester tanah
liat supaya memiliki ketebalan dan tekstur yang pas untuk lapisan dinding. Setelah plester
siap digunakan, para pria akan naik melalui tangga bantuan (perancah) untuk mulai
menempelkan plester ke bagian-bagian menara masjid yang mengalami keretakan.
Sementara itu, anak-anak kecil berpartisipasi dalam lomba lari yang sangat unik. Mereka
berlomba untuk menjadi yang paling pertama membawa ember kecil berisi plester untuk
diserahkan pada para petugas di masjid. Perempuan ikut bekerja dengan cara menyiapkan
air untuk mengaduk plester, sementara itu para anggota masyarakat yang sudah tua dan
dihormati bisa menonton dari pasar di seberang Masjid Agung Djenne.

Selama bertahun-tahun, penduduk Djenné mempertahankan tradisi ini. Meskipun


berulang kali para investor Muslim menawarkan dana agar membangun masjid tersebut
dengan bahan baru yang lebih permanen. Tapi mereka berulang kali juga menolaknya.
Bagi mereka, Masjid Agung Djenné dengan segenap fungsi turunannya, bukan hanya
tempat ibadah, tapi juga poros kebudayaan dan religiusitas yang membentuk identitas
kolektif mereka di kota tersebut.
SUMBER

https://ganaislamika.com/masjid-agung-djenne-1-design-eco-technology-dari-abad-ke-
13/

https://www.msn.com/id-id/travel/ideperjalanan/masjid-agung-djenne-masjid-unik-di-
afrika-barat-yang-terbuat-dari-lumpur/ar-BBUA8G2

https://ganaislamika.com/masjid-agung-djenne-2-identitas-kebudayaan-dan-religiusitas-
masyarakat-djenne/

Anda mungkin juga menyukai