Anda di halaman 1dari 6

Defibrilasi harus dilakukan menggunakan teknik yang tepat dan dikerjakan oleh tenaga

kesehatan yang sudah menjalani pelatihan.


Persiapan Pasien

Pasien dengan fibrilasi ventrikel (VF) atau takikardia ventrikular (VT) tanpa nadi sudah tidak
sadarkan diri, sehingga tidak memerlukan sedasi sebelum melakukan prosedur.[1] Defibrilasi
adalah tindakan yang sangat gawat darurat, bila kondisi pasien memerlukan sedasi, dapat
diberikan bersamaan dengan defibrilasi atau setelahnya.[6]
Bila pasien ditemukan di luar rumah sakit, terdapat beberapa tindakan yang harus dilakukan
sebelum memulai defibrilasi. Sebelum memberi kejut (shock), penonton dan tenaga kesehatan
harus dipastikan tidak kontak dengan pasien atau alasnya. Pasien dipindahkan dari tanah yang
basah atau lembab sebelum diberikan kejut.[1]
Peralatan

Beberapa peralatan yang diperlukan untuk defibrilasi adalah sebagai berikut:


 Defibrilator (automated external defibrillators / AEDs), semi automated defibrilator, defibrilator
standar dengan monitor
 Paddle atau adhesive patch
 Gel konduktif
 Monitor EKG dengan perekam
 Perlengkapan oksigenasi
 Alat-alat intubasi
 Emergency pacing equipment
 Manset tensimeter (automatis atau manual)
 Monitor saturasi oksigen
 Perekam nadi
 Akses intravena
 Alat penghisap (suction)
 Obat-obatan Advanced Cardiovascular Life Support[6]
Posisi Pasien

Pasien diposisikan dalam posisi supinasi, dan dipastikan berada di lokasi aman untuk pasien dan
orang di sekelilingnya.
Untuk pemasangan paddle elektroda, posisi anterolateral adalah posisi yang direkomendasikan
oleh guideline Advanced Cardiac Life Support (ACLS)[5]. Paddle pertama diletakkan di ruang
interkostal ke-4 atau ke-5 di garis midaksilari. Paddle kedua diletakkan di sisi kanan sternum,
pada ruang interkostal ke-2 atau ke-3[6]. Posisi alternatif yang dapat digunakan adalah anterior-
posterior, anterior-kiri infraskapular, dan anterior-kanan infraskapular[5]. Pada pasien yang
memiliki payudara berukuran besar, elektroda kiri dapat diletakkan di bagian lateral atau di
bawah payudara kiri untuk menghindari jaringan mammae[7].
Prosedural

Prosedur defibrilasi jantung yang berkualitas baik memerlukan beberapa pelaksana yang terlatih
dan respon yang cepat dan sesuai[5]. Prosedur untuk henti jantung adalah pelaksana pertama
harus langsung memulai resusitasi jantung paru (RJP) dengan kompresi dada, dan pelaksana
kedua mengambil dan menyalakan defibrilator, meletakkan elektroda atau paddle dan memeriksa
ritme jantung[5]. Pemeriksaan ritme harus cepat dan singkat, dan bila terdapat ritme yang teratur
maka dilakukan pemeriksaan nadi. Kalau ada keraguan tentang ada/tidaknya nadi, kompresi dada
harus segera dilanjutkan.
Langkah berikut ditentukan oleh alat yang tersedia; defibrilator otomatis atau manual.
Defibrilator Otomatis (Automated External Defibrillator)
Pada defibrilator otomatis, bila alat mendeteksi fibrilasi ventrikel atau takikardia ventrikular, alat
akan dengan sendirinya melakukan charge, menyatakan ‘clear’ untuk menjauhkan orang di
sekeliling, dan memberi kejut secepatnya. RJP harus dilanjutkan secepatnya setelah kejut telah
dihantarkan (tanpa pemeriksaan ritme atau nadi terlebih dahulu, dan dimulai dengan kompresi
dada). RJP dilanjutkan selama dua menit sebelum pemeriksaan ritme berikutnya.
Defibrilator Manual
Pada defibrilator manual, bila ritme yang terlihat adalah VT/VF, pelaksana pertama melanjutkan
RJP dan pelaksana kedua melakukan charge pada alat. Sesudah chargedilakukan, RJP
dihentikan untuk memastikan area sekeliling pasien clear dan pelaksana kedua memberi kejut
secepatnya. Pelaksana pertama segera memulai kembali RJP selama dua menit, setelah itu baru
pemeriksaan ritme jantung.
Terdapat defibrilator bifasik dan monofasik; pada defibrilator bifasik, pelaksana sebaiknya
menggunakan dosis energi yang direkomendasikan oleh alatnya (sekitar 120 hingga 200 J).
Kalau dosis rekomendasi tidak diketahui, pelaksana dapat menggunakan dosis maksimal. Kejut
yang kedua dan berikutnya harus menggunakan jumlah dosis energi yang sama, atau lebih tinggi
jika tersedia. Defibrilator monofasik menggunakan energi 360 J pada dosis pertama dan berikut-
berikutnya. Dosis energi anak 4J per kg [16]. Kalau VF berhenti setelah pemberian shock tapi
kemudian muncul lagi, berikan jumlah energi yang sama dengan shock yang berhasil.
Penggunaan Obat Pada Defibrilasi
Apabila VF / pulseless VT bertahan setelah pemberian kejut pertama dan RJP selama 2 menit,
pasien dapat diberikan medikasi. Pengobatan yang diberikan adalah vasopressore dengan tujuan
meningkatkan aliran darah miokardium saat RJP dan mencapai return of spontaneous
circulation (ROSC). Puncak efek pemberian vasopressor intravena (IV) atau intraosseous (IO)
adalah sekitar 1 -2 menit setelah pemberian dosis bolus. Waktu optimal untuk pemberian
vasopressor saat RJP selama 2 menit belum ditentukan, karena bila ritme gagal diperbaiki maka
obat ini dapat meningkatkan aliran darah miokard agar kejut berikutnya berhasil. Namun kalau
kejut pertama berhasil, pemberian obat vasopressor (sebelum mengecek ritme) dapat
mengganggu stabilitas jantung. Permasalahan berikut adalah kalau menambahkan pengecekan
ritme diantara pemberian kejut dan sebelum pemberian vasopressor dapat mengurangi perfusi
miokardium dan menggagalkan ROSC. [5]
Obat antiaritmia lini pertama untuk henti jantung adalah amiodarone, yang telah dibuktikan
secara klinis dapat meningkatkan ROSC pada pasien dengan refractory VF/pulseless VT.
Amiodarone dapat dipertimbangkan bila ritme gagal diperbaiki oleh defibrilasi, RJP, atau terapi
vasopressor. Kalau amiodarone tidak tersedia, pasien juga dapat diberikan lidocaine walaupun
lidocaine belum terbukti untuk meningkatkan ROSC. Obat magnesium sulfate hanya boleh
diberikan kepada pasien dengan torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.[5]
Tujuan pemberian pengobatan ACLS saat henti jantung adalah untuk mencapai ROSC
atau hospital admission. Namun penggunaan obat-obatan ini belum dibuktikan dapat
meningkatkan survival rate hingga hospital discharge atau outcome neurologis yang baik.[5]
Vasopressor
Tujuan pemberian vasopressor adalah untuk meningkatkan aliran darah di miokardium untuk
dapat mencapai ROSC. Belum ditemukan perbaikan pasien hingga discharge atau perbaikan
neurologis dengan penggunaan vasopressor. Obat vasopressor yang dapat digunakan adalah:
Epinephrine

 Dosis epinephrine adalah 1 mg IV/IO setiap 3 – 5 menit, epinefrin dapat diberikan 2 – 2.5 mg
endotrakeal bila akses IV/IO tidak didapat
 Epinephrine hydrochloride memiliki efek stimulasi terhadap reseptor α-adrenergic
(vasokonstriktor), tetapi efek terhadap reseptor β-adrenergic kontroversial karena dapat
meningkatkan kerja miokardium dan mengurangi perfusi subendokardial
Vasopressin
 Dosis vasopressin adalah 40 unit IV/IO, dan dapat menggantikan dosis pertama atau kedua
epinephrine
 Vasopressin adalah vasokonstriktor yang non-adrenergic. Beberapa randomized controlled
trial (RCT) dan meta-analisis tidak menemukan perbedaan pada outcomeantara penggunaan
vasopressin atau epinephrine sebagai vasopressor lini pertama untuk henti jantung
Vasopressor lainnya
 Belum ada vasopressor alternatif (norepinephrine, phenylephrine) yang dapat menyebabkan
peningkatan survival bila dibandingkan dengan epinephrine
Antiaritmia
Belum ada bukti bahwa obat antiaritmia dapat meningkatkan survival untuk discharge dari
rumah sakit, tetapi amiodarone telah ditemukan dapat meningkatkan survival jangka pendek
hingga masuk ke RS dibandingkan dengan placebo atau lidocaine. Pilihan obat antiaritmia yang
dapat digunakan adalah sebagai berikut:
Amiodarone
 Dosis awal 300 mg IV/IO, kemudian diikuti oleh satu dosis lanjutan 150 mg IV/IO
 Amiodarone memiliki pengaruh terhadap channel sodium, kalium, dan kalsium dan dapat blok
reseptor α dan β
Lidocaine

 Dosis awal adalah 1 – 1.5 mg/kg IV, jika ritme bertahan dapat diberi dosis tambahan 0.5 – 0.75
mg/kg IV dengan interval 5-10 menit, hingga dosis maksimal 3 mg/kg
 Lidocaine dapat diberikan bila amiodarone tidak tersedia; obat ini belum dibuktikan efektif untuk
meningkatkan survival jangka pendek atau jangka panjang pasien henti jantung
Magnesium Sulfat
 Dosis magnesium sulfat 1 – 2 g yang diencerkan di 10 mL D5W secara bolus IV/IO
 Pemberian magnesium sulfat via IV dapat membantu terminasi torsades de pointes, tetapi tidak
disarankan untuk VT polimorfik/ireguler dengan interval QT yang normal
Intervensi ACLS seperti pengecekan nadi, pemasangan intubasi trakeal, pemasangan akses vena
atau pemberian obat adalah tindakan-tindakan yang sebaiknya tidak menghambat kompresi dada
atau defibrilasi. Beberapa intervensi ini dapat meningkatkan kemungkinan return of spontaneous
circulation (ROSC) tetapi belum dibuktikan dapat meningkatkan keselamatan hingga pulang dari
rumah sakit sehingga direkomendasikan, tetapi tidak diperbolehkan mengganggu kualitas RJP
dan defibrilasi [5]. Saran ACLS adalah untuk menghindari semua tindakan yang mengganggu
kelancaran resusitasi jantung paru, atau sebaiknya intervensi lain dilakukan bersamaan dengan
RJP atau di jeda saat pengecekan ritme jantung.[10]
Follow up

Pasien dengan henti jantung yang diresusitasi harus dirawat di ruang intensif dengan pengawasan
ketat karena memiliki resiko tinggi rekurensi[8]. Perlu dilakukan pemeriksaan lengkap dari
sistem saraf pusat, miokardium, dan sistem tubuh lainnya untuk mengetahui kerusakan yang
disebabkan oleh hipoksemia, iskemia dan reperfusi yang terjadi saat resusitasi. Pemeriksaan juga
harus dilakukan untuk mencari etiologi henti jantung. Secara lebih detil,
terdapat guideline spesifik untuk post-cardiac arrest care yang disediakan oleh ACLS yang
mencakup perawatan jantung, suhu, neurologi, respiratorik, sedasi dan penatalaksanaan gawat
lainnya.[13]
Sekitar setengah dari pasien dengan henti jantung memiliki tanda-tanda infark miokard akut,
yang memerlukan terapi segera[8]. Konsultasi ke bagian kardiologi harus dilakukan untuk semua
pasien yang selamat dari henti jantung, dan revaskularisasi dipertimbangkan. RJP yang
dilakukan lebih dari sepuluh menit dianggap kontraindikasi untuk terapi trombolisis. Pasien
dengan resiko tinggi rekurensi VF dapat dilakukan pemasangan automated implantable
cardioverter defibrillators (AICDs).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa setelah prosedur defibrilasi yang sukses dan cepat
dilakukan kepada pasien henti jantung, mayoritas pasien akan mengalami kualitas hidup
dan survival rate yang sangat baik[3,4]. Menurut penelitian, sekitar 71% dari total jumlah pasien
yang keluar dari rumah sakit cardiac arrest bertahan hidup saat di follow up pada tahun
kelima[3].
Post Cardiac Arrest Care
Perawatan pasien pasca resusitasi adalah hal yang sangat penting—mayoritas kematian terjadi 24
jam setelah henti jantung. Pemberian perawatan yang sesuai dapat mengurangi mortalitas akibat
gangguan hemodinamika yang dapat menyebabkan kegagalan multiorgan dan brain injury.
Tujuan awal post cardiac arrest care adalah untuk meningkatkan perfusi sistemik,
mengembalikan homeostasis metabolik, dan mendukung fungsi organ agar fungsi neurologis
dipertahankan.[5,12]
Prinsip Post-Cardiac Arrest Care adalah sebagai berikut:
 Memastikan dan mempertahankan jalur nafas segera setelah ROSC, terutama pada pasien tidak
sadar. Bila pasien saat awal dipasangkan supraglottic airway, sebaiknya diganti
dengan endotracheal tube
 Oksigen yang digunakan sebaiknya dikurangi menjadi jumlah yang ter-rendah untuk mencapai
saturasi oksigen arterial ≥94% untuk menghindari toksisitas oksigen
 Tanda vital dan EKG sebaiknya dipantau terus menerus hingga ICU, hingga pasien mencapai
kondisi yang stabil. Penyebab tersering henti jantung adalah penyakit kardiovaskular dan iskemi
koroner, bila ada kecurigaan infark miokard akut sebaiknya segera ditangani
 Akses intravena secepatnya untuk menggantikan akses intraosseus, dan pemberian cairan salin
normal bolus dipertimbangkan bila pasien hipotensi. Obat-obatan seperti dopamine,
norepinephrine atau epinephrine dapat digunakan untuk mencapai tekanan darah sistolik ≥ 90
mmHg atau mean arterial pressure ≥65 mmHg
 Diperlukan perhatian khusus untuk mencari penyebab henti jantung, setelah pasien ROSC.
Pemerriksaan lebih lanjut diperlukan untuk mencari dan memperbaiki kondisi kardiak, elektrolit,
toksikologi, pulmonal dan neurologis
 Dapat dipertimbangkan mnemonik H dan T yang dapat memperberat penyembuhan bagi pasien
pasca resusitasi: hipovolemia, hipoksia, ion hidrogen (asidosis), hiper-/hipokalemi, hipotermia
sedang hingga berat, toksin, tamponade (kardiak), tension pneumothorax, dan thrombosis di
koroner atau pulmonal
Pengaturan Suhu Tubuh
Pengaturan dan pemantauan suhu tubuh secara ketat adalah hal yang penting dilakukan pada
pasien pasca henti jantung. Pasien yang koma setelah resusitasi dapat diberikan terapi hipotermia
selama 12-24 jam (penurunan suhu hingga 32-34 C). Di beberapa penelitian klinis, hipotermia
dapat meningkatkan fungsi neurologis dan mengurangi mortalitas.[8] Pengaturan suhu tubuh
dapat dilakukan melalui metode hipotermi terinduksi. Terapi ini dapat meningkatkan kondisi
neurologis pada pasien yang selamat dari henti jantung. Walau demikian, penelitian mengenai
detail spesifik terapi ini seperti indikasi, waktu memulai dan durasi, cara menginduksi, dan kapan
mengembalikan kembali suhu tubuh masih inkonklusif dan memerlukan penelitian lebih
lanjut.[5,8,12]

Anda mungkin juga menyukai