Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) saat ini menjadi salah satu
masalah kesehatan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia
terutama pada negara berkembang seperti Indonesia, Nigeria, Pakistan akibat
konsumsi rokok.(1, 2) Prevalensi perokok secara perlahan menurun pada dunia
industri dan meningkat di negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan
Afrika.(3) Morbiditas dan mortalitas PPOK bervariasi di seluruh negara, akan
tetapi secara umum berkaitan dengan peningkatan prevalensi merokok.(4)
Kebiasaan merokok yang lama mengakibatkan kerusakan jaringan pernapasan dan
kelainan fungsi paru akibatnya saluran napas membengkak dan terjadi
penyempitan saluran napas, kejadian ini menjadi faktor risiko utama terjadinya
penyakit paru obstruktif kronis.(5)
Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
non-reversibel atau reversibel parsial. Penyakit ini berhubungan dengan respon
inflamasi abnormal paru terhadap pajanan zat toksik.(5) Inflamasi kronis
menyebabkan perubahan struktural dan obstruksi saluran napas. Hal ini
disebabkan karena ketidakseimbangan antara respon protease dan antiprotease
pada paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi parenkim paru secara progresif.
Sehingga terjadi penurunan fungsi paru dan membuat aliran udara terhambat
khususnya saat ekspirasi. Hambatan aliran udara ini dapat disebabkan oleh
inflamasi saluran napas kecil (bronkitis kronik) atau kerusakan parenkim paru
(emfisema).(1)
Beberapa faktor risiko pencetus PPOK telah berhasil diidentifikasi, yakni:
genetik, usia, jenis kelamin, polusi udara, merokok, dan paparan akibat pekerjaan.
Menurut Global Initiative for Chronic Obstruktive Lung Disease (GOLD 2014)
diagnosis PPOK dapat ditegakkan bila terdapat gejala: sesak napas, batuk kronis
dan sputum produktif.(5) Selain itu GOLD merekomendasikan pemeriksaan
penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis berupa spirometri.(5)

1
Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi; edukasi, obat-obatan, terapi
oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi.(5)
Prevalensi penderita PPOK di dunia mencapai 10,1 %.(6) Menurut World
Health Organization (WHO) pada tahun 2020 diperkirakan prevalensi PPOK
akan meningkat dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 terbanyak di dunia.(4)
Data Nasional Center of Health Statistics, jumlah penderita PPOK di Amerika
Serikat tahun 2011 mencapai 15 juta jiwa dan diprediksi akan menjadi penyebab
penyakit kematian ke-3 pada tahun 2030.(7) Sedangkan laporan lainnya di Kanada
pada tahun 2009-2010, penderita PPOK mencapai sekitar 777.200 jiwa.(8)
Prevalensi PPOK di Jepang mencapai 10,9%.(9)
Di Indonesia PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering
kematian. Prevalensi PPOK di Indonesia berkisar 3,7 per 100.000 penduduk
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Aceh
merupakan salah satu provinsi dengan angka penderita PPOK tinggi sekitar 4,3
per 100.000 penduduk di atas rata-rata nasional.(10) Berdasarkan data Kementrian
Kesehatan, PPOK masuk dalam 10 penyakit tidak menular penyebab rawat inap di
rumah sakit Indonesia.(11) Penelitian yang dilakukan oleh Nisa, jumlah pasien
PPOK yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan mencapai 88 orang
(12) dan menurut penelitian yang dilakukan oleh Husna di RSUD dr.Zainoel
Abidin Banda Aceh, pasien PPOK rawat inap mencapai 93 orang.(13)
Penyakit paru obstruktif kronis eksaserbasi yaitu perburukan kondisi yang
bersifat akut dengan gejala sesak nafas bertambah, produksi sputum meningkat,
serta perubahan warna sputum. Faktor penyebab eksaserbasi akut diantaranya;
infeksi saluran pernapasan, polusi udara, dan lingkungan. Kejadian ini
mengakibatkan peningkatan angka mortalitas pada penderita PPOK. Pasien
PPOK eksaserbasi akut memerlukan perawatan yang intensif berupa rawat inap di
rumah sakit dan terapi.(5)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit pernapasan


umum yang mempengaruhi lebih dari 10% dari orang dewasa berusia ≥ 40
tahun.(21) Penyakit ini merupakan kelompok penyakit paru yang di tandai oleh
peningkatan resistensi saluran napas yang terjadi akibat penyempitan lumen
saluran napas bawah dan ditandai dengan gejala berupa batuk berdahak dan
sesak napas. Penyakit ini dapat berupa bronkitis kronik, emfisema atau kedua-
duannya.(22)
Penyakit paru obstruktif kronik menjadi penyebab utama ke-4 kematian di
Amerika Serikat dan Eropa. Selama tahun 1971-2003, sekitar 26.000 orang
meninggal akibat PPOK di Inggris.(22) Penyakit paru obstruktif kronik adalah
penyakit paru kronik yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di
saluran pernapasan yang bersifat progressif non-reversibel atau reversibel parsial
dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau
gas racun berbahaya terutama disebabkan oleh merokok.(5)

2.2 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa PPOK merupakan


penyebab morbiditas dan mortalitas ke-3 terdepan yang menyebabkan beban
sosioekonomi semakin meningkat di seluruh dunia.(4) Pada 12 negara Asia
Pasifik, angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan
rata-rata 6,3%, dimana Vietnam dengan angka prevalensi terbesar 6,7% dan angka
prevalensi terkecil 3,5% pada Hongkong dan Singapura.(23)

2.3 Faktor Risiko


Adapun faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu:
a. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK pada sebagian besar
kasus. Berdasarkan studi oleh Kon, et al didapatkan bahwa pasien dengan

3
emfisema berat sekitar 99% memiliki riwayat merokok yang lama. Kebiasaan
merokok menyebabkan perubahan bentuk dan fungsional jaringan di saluran
napas sehingga tidak berfungsi normal.(24)
b. Polusi
Polusi udara dapat mempengaruhi perkembangan fungsi paru. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi polusi yang lebih tinggi di udara berhubungan
dengan terjadinya peningkatan risiko batuk, produksi sputum, sesak napas dan
berkurangnya fungsi ventilasi. Paparan partikel polusi dan nitrogen dioksida
pada udara berpolusi dikaitkan dengan gangguan fungsi ventilasi pada orang
dewasa dan terhambatnya pertumbuhan paru-paru pada anak-anak. Pada
negara-negara berkembang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi seperti
bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan pemanasan terlibat
sebagai faktor risiko untuk PPOK, terutama pada wanita yang lebih sering
terpapar.(22)
c. Faktor genetik
Sebuah penelitan membuktikan bahwa faktor genetik yaitu defisiensi alfa-1
antitripsin merupakan enzim penetral enzim proteolitik yang dikeluarkan sel-
sel inflamasi menjadi faktor risiko terjadinya PPOK.(25)
d. Infeksi
Angka kejadian infeksi paru masih tinggi seperti Tuberkolosis maupun infeksi
paru lainnya pada negara berkembang. Infeksi paru yang berulang-ulang dalam
jangka panjang juga dapat meningkatkan risiko menderita PPOK.(26)
e. Jenis Kelamin
Prevalensi penderita PPOK lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Hal
ini disebabkan lebih banyak perokok pria dibandingkan dengan wanita.(27)
f. Usia
Pada orang yang memiliki riwayat merokok sampai usia 40 tahun dapat
menimbulkan penurunan fungsi paru dengan cepat dibandingkan yang tidak
merokok, umumnya gejala PPOK dapat muncul pada usia > 60 tahun.(28)

4
2.4 Patogenesis

Kerusakan struktur paru akibat respon inflamasi terjadi saat pajanan gas
beracun seperti asap rokok yang mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel
jalan napas sehingga membentuk faktor kemotaktik. Selanjutnya faktor
kemotaktik tersebut akan menginduksi infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru
yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Respon epitel saluran
pernapasan juga berpengaruh terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa
peningkatan jumlah kemokin seperti Interleukin 8 (IL-8), Macrophage
Inflamatory Protein-1 α (MIPI-α) dan Monocyte Chemoattractant Protein-1
(MCP).(29)
Sumber oksidan termasuk asap rokok, oksigen reaktif, dan nitrogen yang
dilepaskan dari sel-sel inflamasi. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan
oksidan dan antioksidan dari stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan
inaktivasi antiprotease atau stimulasi produksi mukosa. Peningkatan stres
oksidatif pada PPOK stabil dapat berlanjut menjadi PPOK eksaserbasi.(22)
Inflamasi yang terjadi pada PPOK berkaitan dengan peningkatan
makrofag, limfosit T (CD8+) dan netrofil. Sel-sel inflamasi merangsang
perlepasan berbagai mediator LB4, ILA8, dan Tumor Necrosis Factor (TNF)
serta menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease
yang akhirnya mengakibatkan kerusakan struktur paru. Inflamasi umumnya
dimulai dari saluran napas selanjutnya meluas ke parenkim paru hingga akhirnya
merusak struktur vaskular paru.(5)
Ketidakseimbangan protease dan antiprotease yang menjadi penyebab
utama inflamasi kronis pada PPOK dipengaruhi oleh inhalasi gas berbahaya,
merokok, stress oksidatif. Hal ini akan menyebabkan pelepasan beberapa
kombinasi protease dan inaktivasi antiprotease. Protease utama yang terlibat
dalam kerusakan paru adalah protease yang diproduksi oleh neutrofil (serin
protease elastase, cathepsin G dan protease 3) dan makrofag (protease sistein
cathepsins dan E , A , L , dan S) , dan berbagai metalloprotease matriks (MMP-8 ,
MMP-9 dan MMP-12). Sedangkan defisiensi alpha-I antitrypsin, sekresi
leucoprotease inhibitor, inhibitor jaringan metalloprotease merupakan antiprotease
utama dalam patogenesis emfisema.(22)

5
2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis dari PPOK meliputi: batuk produktif dan kronis pada musim
dingin, batuk kronik disertai dengan pembentukan sputum purulen dalam jumlah
yang banyak, dispnea, nafas pendek dan cepat (takipnea), anoreksia, penurunan
berat badan dan kelemahan, takikardi, berkeringat serta hipoksia dan sesak dalam
dada. Gejala dapat diperburuk oleh faktor-faktor lingkungan seperti, cuaca dingin
dan polusi udara. Pada keadaan lebih lanjut, sesak napas menjadi lebih berat
ketika olahraga ringan seperti berpakaian.(22)
Pada PPOK yang ringan hanya ditemukan mengi pada seluruh lapangan
paru sedangkan pada PPOK yang berat ditemukan tanda berupa napas pendek dan
cepat. Sedangkan penggunaan otot-otot napas tambahan dan ada atau tidaknya
pelebaran sela iga pada saat inspirasi serta mengerucutkan bibir pada saat
bernapas umumnya ditemukan pada PPOK berat-sangat berat.(25)

2.6 Diagnosa dan Klasifikasi PPOK

Diagnosa PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang seperti pemeriksaan spirometri untuk menentukan diganosa PPOK
sesuai derajat penyakit, sedangkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks
dapat menentukan PPOK klinis.(5) Diagnosis PPOK bergantung pada anamnesis
dan temuan pemeriksaan yang tepat. Pada penderita usia > 35 tahun datang
dengan keluhan sesak napas, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau
tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya di perkirakan sebagai suatu
PPOK.(22)
1. Anamnesis
Faktor risiko seperti usia dan riwayat pajanan baik berupa asap rokok, polusi
udara maupun polusi tempat kerja merupakan kausal yang terpenting
ditanyakan. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan perlu diperhatikan. Penentuan derajat berat merokok dapat
ditentukan dengan Indeks Brikman (IB), perkalian jumlah rata-rata batang
rokok di hisap sehari dan dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi
hasil dikelompokkan menjadi derajat ringan (1-200 batang), sedang (201-600),
dan berat (> 600).(22)

6
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan peranan yang terpenting untuk menegakkan
diagnosis pada PPOK. Pemeriksaan fisik dapat normal terutama pada pasien
dengan PPOK ringan. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak
muncul hingga terdapat kerusakan fungsi paru yang bermakna.(22) Pada
inspeksi dapat ditemukan sianosis sentral, bentuk dada barrel chest,
penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga, pursed-lips breathing dan
edema tungkai sebagai tanda mengalami gagal jantung kanan. Perkusi dijumpai
hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah serta hepar
terdorong pada emfisema dan palpasi fremitus melemah serta sela iga melebar.
Pada auskultasi dijumpai suara napas melemah dan dapat disertai dengan
mengi.(5)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri merupakan pengukuran volume paru statik dan
dinamik dengan menggunakan spirometri. Diagnosa PPOK dengan
spirometri didapat: FEV1 (Forced Expired Volume in one second) /FVC
(forced expiratory ratio) < 70% penurunan FEV1 obstruksi yang menetap
dan progresif.(5)
b. Radiologi
Pada derajat PPOK ringan, gambaran foto dada sebagian besar tidak
menunjukkan adanya kelainan yang nyata, hanya tampak sedikit
penambahan gambar corakan bronkovaskuler. Pada derajat PPOK sedang
terlihat sebagian paru yang hiperinflasi atau hiperlusen, umumnya
dilapangan atas atau perikardial dan birateral. Gambaran hiperlusen akan
meliputi seluruh lapangan paru disertai dengan diafragma letak rendah pada
derajat PPOK berat hingga sangat berat.(30)
c. Laboratorium darah rutin
Pemeriksaan laboratorium darah rutin meliputi: hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), leukosit serta bertujuan melihat adanya timbul polisitemia
yang menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik.
d. Analisis gas darah

7
Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan terutama untuk menilai gagal
napas. Apabila kadar PaO2 menurun dibawah nilai normal akan terjadi
insufisiensi pernapasan dan terjadi kegagalan napas bila PaO2 turun hingga
50 mmHg.
e. Mikrobiologi sputum
Mikrobiologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman serta pemilihan antibiotik yang tepat untuk
terapi bila terjadi eksaserbasi.
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri, The Global Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD 2014) membagi klasifikasi
keparahan PPOK menjadi 4 tahap (tabel 2.1)

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Tahapan


Penyakit menurut GOLD 2014

Tahap Gambaran Klinis Faal Paru


Tahap I: Batuk kronik dan produksi sputum ada FEV1 /FVC < 70%
PPOK Ringan tetapi tidak sering. Pasien sering tidak FEV1≥ 80% prediksi.
menyadari bahwa faal paru mulai menurun.

Tahap II: Batuk kronis dan produksi sputum FEV1 /FVC < 70%
PPOK Sedang menigkat, serta gejala sesak mulai 50% ≤ FEV1 < 80%
dirasakan saat aktifitas. Penderita mulai prediksi.
memeriksakan kesehatannya.
Tahap III: Gejala sesak lebih berat, penurunan FEV1 /FVC < 70%
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah dan serangan 30% ≤ FEV1 < 50%
eksaserbasi semakin sering dan berdampak prediksi.
pada kualitas hidup.
Tahap IV: Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal FEV1 /FVC < 70%
PPOK napas atau gagal jantung kanan dan FEV1 < 30% prediksi,
Sangat Berat ketergantungan oksigen. Kualitas hidup atau < 50% prediksi
pasien memburuk dan risiko eksaserbasi disertai gagal napas
dapat mengancam nyawa. kronik.
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015(5)

8
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015(5)

2.7 Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala obstruksi yang


terjadi seminimal mungkin agar oksigenasi kembali normal. Keadaan ini
dilakukan dan dipertahankan untuk mencegah eksaserbasi atau menghindari
perburukan penyakit. Secara umum penatalaksanaan PPOK meliputi(5):
a. Edukasi
Edukasi merupakan hal yang terpenting dalam suatu pengobatan. Edukasi
mengenai PPOK dapat diberikan sejak ditentukan diagnosa dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan baik diberikan pada penderita maupun
bagi keluarganya. Edukasi pada penderita PPOK mencangkup pengetahuan

9
dasar tentang PPOK, obat-obatan, manfaat maupun efek samping obat,
menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritan, dan
menciptakan lingkungan yang sehat dengan mencukupi kebutuhan cairan, diet
makanan yang baik serta penyesuaian aktifitas.(25)
b. Obat-obatan
Secara Umum, penatalaksanaan PPOK adalah pemberian obat-obatan. Terapi
obat pada penderita PPOK hanya dapat digunakan untuk mengurangi keluhan
dan komplikasi yang terdiri dari(31):
1. Bronkodilator, diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting). Macam
- macam bronkodilator.
a. Golongan antikolinergik, yaitu ipatropium, bromide digunakan pada
derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi mukus (maksimal 4 kali per hari ).
b. Golongan agonis beta-2, yaitu salbutamol, terbutalin, fenoterol dalam
bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, namun peningkatan
jumlah penggunaan dapat terjadinya eksaserbasi. Oleh sebab itu,
sebaiknya digunakan dalam bentuk tablet yang berefek panjang.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta–2 akan memperkuat efek
bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
d. Golongan xantin, yaitu: aminofilin, teofilin digunakan dalam bentuk
lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet atau puyer untuk mengatasi
sesak. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
2. Kortikosteroid, terapi kortikosteroid inhalasi hanya diberikan setelah
pemeriksaan faal paru atau PPOK dengan FEV1 < 50% prediksi atau

10
eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotik atau kostikosteroid oral.
Namun pemakaian kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan.
3. Antiinflamasi diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif dan
digunakan sebagai terapi jangka panjang dalam bentuk inhalasi.
Antiinflamasi berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison.
4. Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan
yaitu lini I: amoksisilin, makrolid dan lini II: amoksisilin, asam klavulanat
seperti sefalosporin, kuinolon.
5. Mukolitik diberikan tidak secara rutin, hanya digunakan sebagai pengobatan
simptomatik terhadap beberapa pasien dengan sputum yang purulen.
Antitusif diberikan hanya pada pasien yang memiliki batuk yang sangat
mengganggu akan tetapi penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi akan hipoksemia kronik dan progresif sehingga
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel otot
maupun organ lainnya. Manfaat pemberian oksigen yaitu: mengurangi sesak,
memperbaiki fungsi neuropsikiatri dan meningkatkan kualiti hidup.(1)
d. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK akibat peningkatan kebutuhan
energi yang tidak tercukupi. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang
masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara
terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi
yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.(5)
e. Rehabilitasi PPOK
Tujuan rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Sharman menjelaskan program rehabilitasi
paru secara komprehensif terdiri atas: exercise training, respiratory muscle
training, edukasi kesehatan, dan penatalaksanaan yang terdiri dari fisioterapi,
nutrisi, serta psikososial.(32)

11
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015(5)

2.8 Komplikasi PPOK

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah insufisiensi pernapasan


atau gagal napas yang digolongkan menjadi gagal napas kronik dan gagal napas
akut. Gagal nafas kronik terjadi secara bertahap ketika struktur paru mengalami
kerusakan secara ireversibel dan ditandai adanya sesak nafas dengan atau tanpa
sianosis, sputum bertambah dan purulen serta demam dan penurunan kesadaran.
Gagal napas terjadi ketika PaO2 kurang dari 8 kPa (60 mHg) atau PaCO2 lebih
dari 7 kPa (55 mmHg).(25)
Selain itu, PPOK juga dapat menyebabkan hipoksia alveolar kronis dan
hiperkapnia yang menetap sehingga menyebabkan penyempitan arteriol paru dan
hipertensi pulmonal.(25) Pneumonia dan pneumotoraks juga dapat muncul
sebagai komplikasi dari PPOK. Beberapa penelitian melaporkan bahwa inflamasi

12
sistemik pada pasien PPOK menyebabkan arterosklerosis, peningkatan
prevalensi infark miokardium dan gagal jantung kanan (cor pulmonale). Inflamasi
sistemik menyebabkan resistensi insulin sehingga meningkatkan risiko terjadinya
diabetes mellitus. Komplikasi PPOK pada sistem muskuloskleletal ditunjukkan
dengan meningkatnya prevalensi osteoporosis dan fraktur kompresi vertebral.(25)

2.9 Eksaserbasi Akut PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik eksaserbasi akut atau Acute Exacerbation


Cronic Obstructive Pulmonal Disease (AECOPD) adalah perburukan dari gejala
PPOK dengan sesak napas bertambah, produksi sputum meningkat dan perubahan
warna sputum.(22) Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga klasifikasi(5):
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas > 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi.
Sebagian besar kasus pada PPOK eksaserbasi akut dipicu oleh infeksi
saluran pernapasan. Sekitar 50% dari ini disebabkan oleh bakteri patogen, 30%
oleh infeksi virus dan kurang dari 10% oleh bakteri atipikal. Beberapa penelitian
menjelaskan bahwa Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae pada
derajat PPOK lebih ringan. Moraxella catarrhalis telah dilaporkan sebagai bakteri
patogen lebih umum terisolasi selama eksaserbasi. Pseudomonas aeruginosa
adalah kurang umum dan ditemukan pada pasien dengan keterbatasan aliran udara
yang parah, terutama mereka yang telah diobati dengan antibiotik, dan tidak
divaksinasi influenza. Mycoplasma pneumonia dan pneumonia Chlamydophila
bertanggung jawab untuk kurang dari 10% dari pasien eksaserbasi.(22)
Penelitian oleh Sethi and Murphy membuktikan bahwa virus dapat
menyebabkan PPOK eksaserbasi. Virus yang paling umum yang terkait dengan
eksaserbasi PPOK adalah rhinoviruses, namun pada keadaan PPOK eksaserbasi
memerlukan rawat inap umumnya disebabkan virus influenza.(25)
Penyakit paru obstruktif kronik eksaserbasi akut merupakan proses lanjutan
dari inflamasi pada saluran pernapasan penderita PPOK yang terkait dengan

13
peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, dan
peningkatan biomarker stres oksidatif.(5) Pada keadaan eksaserbasi terdapat
peningkatan neutrofil pada sekresi saluran napas selama eksaserbasi. Hal ini juga
berkaitan dengan perubahan sputum yang purulen. Hasil degranulasi netrofil
akibat pelepasan elastase dan proteinase yang lain diakibatkan kerusakan dari
epitel mengakibatkan penurunan aktifitas silia, perangsang sekresi mukus oleh sel
goblet meningkatkan permeabilitas mukosa bronkial dan mengakibatkan edema
saluran napas dan eksudasi protein ke dalam saluran napas. Perubahan patologi ini
terjadi terutama pada saluran napas kecil sampai respiratori terminalis sehingga
mempengaruhi aliran udara yang mengarah ke peningkatan sesak napas, serta
sekresi sputum purulen (Gambar 2.1).(5, 22)

Gambar 2.1 Inflamasi neutrofil pada PPOK eksaserbasi akut(35)

Penatalaksanaan pada penderita PPOK eksaserbasi yaitu pemberian obat-


obatan yang maksimal seperti: bronkodilator, kortikosteroid sistemik, antibiotik,
oksigen, dan ventilasi tekanan positif non-invasif adalah tindakan terapi yang
paling umum pada PPOK eksaserbasi. Prinsip penatalaksanaa PPOK eksaserbasi
adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya
kematian.(5)
Bronkodilator sebagai landasan pengobatan PPOK eksaserbasi adalah
short-acting β2-agonist. Penambahan antikolinergik umumnya direkomendasikan
bila respon dari obat tersebut belum tercapai. Sebaliknya, penggunaan
methylxanthines (seperti teofilin atau aminofilin) saat ini dianggap lini kedua
terapi intravena. Kortikosteroid direkomendasikan sebagai tambahan terapi
penanganan PPOK eksaserbasi karena penelitian menunjukkan bahwa

14
kortikosteroid sistemik pada PPOK eksaserbasi mempercepat pemulihan FEV1,
menurunkan lamanya rawat inap di rumah sakit dan meningkatkan hasil klinis.
Efek pengobatan kortokosteroid terkuat terjadi dalam 72 jam pertama dan
setelah itu menunjukkan kurangnya manfaat lebih dari 5 hari masa
pengobatan.(5)
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman dan komposisi
kombinasi antibiotik yang efektif. Antibiotik harus diberikan kepada(5):
a. Pasien eksaserbasi yang memiliki tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan
sesak, volume sputum dan sputum menjadi semakin purulen.
b. Pasien eksaserbasi yang memiliki dua gejala kardinal, bila peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut.
c. Pasien eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik.
Oksigen merupakan terapi pertama dan utama pada PPOK eksaserbasi.
Tujuan terapi oksigen yaitu: memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV),
bila tidak berhasil digunakan dengan cara intubasi. Penggunaan ventilasi mekanik
pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi mortalitas dan morbiditas, dan
memperbaiki gejala.(5)

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M. Asyek
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/Umur : 12 April 1948/67 tahun
Alamat : Desa Ajuen, Darul Imarah, Aceh Besar
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Suku : Aceh
Tinggi Badan : 168 cm
Berat Badan : 60 Kg
CM : 0-95-65-98
Ruangan : RHCU, Kamar Kakak Tua
Tanggal Masuk : 07 Januari 2016
Tanggal Pemeriksaan : 10 Januari 2016

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas
Keluhan tambahan : Batuk berdahak, demam hilang timbul, mudah lelah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak + 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit dan memberat sejak 1 hari yang lalu. Sesak semakin lama semakin
memberat. Pada saat sesak nafas, pasien mengaku nafasnya berbunyi ngik. Sesak
tidak menetap disepanjang hari, sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca.
Pasien juga mengeluhkan batuk yang hilang timbul yang telah berlangsung selama
+ 3 tahun. Batuk disertai dahak berwarna putih. Demam yang hilang timbul juga
dikeluhkan pasien. Riwayat batuk berdarah tidak ada. Riwayat tidur menggunakan
dua bantal dan kaki bengkak tidak ada. Keluhan penurunan berat badan,
penurunan nafsu makan, berkeringat di malam hari juga tidak ada. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.

16
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengalami batuk lama selama + 3 tahun dan tidak pernah
mengkonsumsi obat selama 6 bulan. Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan
selama ini kontrol teratur ke dokter serta mengkonsumsi obat antihipertensi
teratur. Riwayat diabetes militus juga diakui pasien. Riwayat asma juga diakui
pasien dan terakhir kambuh 1 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Kedua anak pasien menderita asma. Tidak ada keluarga yang
mengkonsumsi obat 6 bulan.
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien mengkonsumsi obat antihipertensi, namun pasien lupa nama obatnya.
Pasien juga menggunakan insulin dengan dosis 10 U sebanyak 2 kali/ hari. Paisen
tidak pernah mengkonsumsi obat anti tuberkulosis selama 6 bulan.
Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien mengaku sering membakar sampah rumah tangga sehingga sering
terpapar asap pembakaran sampah. Riwayat merokok ada pada saat usia 18 tahun,
merokok selama 2 tahun, dan menghisap 2 batang perhari. Pasien mengaku
sekarang sudah berhenti merokok.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Pemeriksaan Tanda Vital (Vital Sign)
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 26 x/menit
Suhu : 36,60C
Sikap Tubuh : setengah duduk menahan sesak
3.3.2 Status Generalis
1. Kulit
1) Warna : Pucat
2) Turgor : Cepat kembali

17
3) Sianosis : (-)
4) Ikterik : (-)
5) Edema : (-)
2. Kepala
1) Bentuk : Oval, simetris, normocephali
2) Rambut : Hitam, sukar dicabut
3) Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-), pucat (+), eritema (-)
4) Mata : Konjungtiva anemis (+/+), ikterik (-/-), sekret (-/-), reflek
cahaya (+/+)
5) Telinga : Dalam batas normal, serumen (-/-)
6) Hidung : Sekret (-). Napas Cuping Hidung (-)
7) Mulut
7.1 Bibir : Bibir kering (+), mukosa kering (-), sianosis (-)
7.2 Lidah : Tremor (-). hiperemis (-)
7.3 Tonsil : Hiperemis (-/-), T1-T1
3. Leher
1) Inspeksi : Simetris, retraksi(-), jejas(-), tumor(-), deviasi trakea(-)
2) Palpasi : Pembesaran KGB(-), distensi vena jugularis(-)
4. Toraks (anterior-posterior) – Paru-paru
1) Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Barrelchest (+), (statis-dinamis) kesan simetris,
Tipe pernafasan : Thorako-abdominal
Retraksi : supraklavikular-interkostal (-)
2) Palpasi
Stem premitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Melemah Melemah
Lap. Paru tengah Melemah Melemah
Lap. Paru bawah Melemah Melemah

18
3) Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Hipersonor Hipersonor
Lap. Paru tengah Hiperonor Hipersonor
Lap.Paru bawah Hipersonor Hipersonor

4) Auskultasi : ekspirasi memanjang


Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler melemah Vesikuler melemah
Lap.Paru tengah Vesikuler melemah Vesikuler melemah
Lap.Paru bawah Vesikuler melemah Vesikuler melemah

Suara tambahan Paru kanan Paru kiri


Lap. Paru atas Rh (-), Wh (+) Rh (-), Wh (+)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (+) Rh (-), Wh (+)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (+) Rh (-), Wh (+)

5. Jantung
1) Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
2) Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra
3) Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS IV 2 jari lateral linea
parasternal dekstra, batas jantung kiri pada ICS V linea midklavikula
sinistra, batas atas jantung pada ICS III linea miklavikula sinistra.
4) Auskultasi : Bunyi jantung I > bunyi jantung II regular, tidak terdapat
bising dan murmur.
6. Abdomen
1. Inspeksi : simetris, distensi, dinding perut tidak ada sikatrik dan
pelebaran vena, tidak tampak pergerakan pada dinding perut.
2. Palpasi : Nyeri tekan (+) epigastrium, hipokondrium kanan dan kiri,
Hepar/Lien/Renal tidak teraba
3. Perkusi : Timpani seluruh lapangan abdomen, peranjakan batas
paru-hati relatif-absolut sebesar dua jari, undulasi (-), shifting dullness (-).

19
4. Auskultasi : Peristaltik usus normal

7. Ekstremitas
Ekstrimitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Jari tabuh - - - -

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan
laboratorium darah, elektrokardiografi, dan pemeriksaan radiologi yaitu foto
thoraks PA.
1. Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin ditunjukkan pada tabel berikut:
Pemeriksaan 07/01/2016 Nilai Normal
Laboratorium
Darah Rutin
Hemoglobin 14,3 gr/dl 14,0-17,0 gr/dl
Hematokrit 42% 45-55%
Eritrosit 5,0 x 106 /mm3 4,7-6,1 x 106/mm3
Leukosit 10,6 x 103/mm3 4,5-10,5 x 103/mm3
Trombosit 235 x 103/mm3 150-450 x 103/mm3
Diftell
Eosinofil 1% 0-6%
Basofil 0% 0-2%
Neutrofil batang 0% 2-6%
Neutrofil segmen 74% 50-70%
Limfosit 14% 20-40%
Monosit 11% 2-8%
Kimia Klinik
Natrium 137 mmol/L 135-145 mmol/L
Kalium 4,4 mmol/L 3,5-4,5 mmol/L

20
Clorida 100 mmol/L 90-110 mmol/L
Glukosa Darah Sewaktu 58 mg/dl <200 mg/dl
Ureum 45 mg/dl 13-43 mg/dl
Kreatinin 0,80 mg/dl 0,67-1,17 mg/dl

2. Interpretasi elektrokardiografi (07/10/2016)

Kesimpulan : Sinus ritme dengan Heart Rate 89 x/menit

21
3. Hasil pemeriksaaan radiologi ditunjukkan pada gambar berikut:

Ekspertise : Tampak infiltrat di parahiler kanan dan paracardial kanan kiri. Sinus
Costoprenicus kanan dan kiri tajam.
Kesimpulan : Pneumonia

3.5 Diagnosa Banding


1. PPOK Eksaserbasi Akut
2. Asma bronkial
3. CAP (Community Acquired Pneumonia)
+ Hipertensi stage I
+ Diabetes Militus tipe II

3.6 Diagnosis Kerja


1. PPOK Eksaserbasi Akut
2. CAP (Community Acquired Pneumonia)
+ Hipertensi stage I
+ Diabetes Militus tipe II

22
3.7 Penatalaksanaan:
Divisi Pulmonologi
1. Tirah baring semi fowler
2. O2 4 liter/menit nasal kanul
3. IVFD RL 20 tetes/menit
4. Nebule combivent 1 respul / 4 jam
5. Nebule pulmicort 1 respul / 12 jam
6. Inj. Ceftazidime 1 gr / 12 jam
7. Inj. Ranitidin 1 amp / 12 jam

Divisi Kardiologi
1. Valsartan 1 x 80 mg
2. Amlodipin tab 1x 5 mg

Divisi Endokrin
1. Diet 1700 kkal
2. SC Novorapid 6-6-6 unit
3. SC Levemir 0-0-0-10 unit

3.8 Prognosis
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad functionam : Dubia ad malam
Quo Ad sanactionam : Dubia ad malam

23
3.9 Follow Up
Tgl 08/01/2016 09/01/2016 10/01/2016
S batuk(+), sesak (+) Sesak berkurang, batuk Sesak berkurang,
(+) batuk berkurang
O Vital sign/ Vital sign/ Vital sign/
Kes : compos mentis Kes : compos mentis Kes : compos mentis
TD : 130/80 mmHg TD : 140/80 mmHg TD : 130/80 mmHg
N : 86 x/i N : 80 x/i N : 81 x/i
RR : 26 x/i RR : 24 x/i RR : 24 x/i
O
T : 36,7 C T : 36,5OC T : 36,6OC
PF/ PF/ PF/
 Thoraks : Simetris,  Thoraks : Simetris,  Thoraks : Simetris,
retraksi (-), ekspirasi retraksi (-), ekspirasi retraksi (-), ekspirasi
memanjang (+), rh (- memanjang (+) rh (-/- memanjang (+) rh (-
/-), wh (+/+) ), wh (+/+) berkurang /-), wh (+/+)
berkurang
A  PPOK eksaserbasi  PPOK eksaserbasi  PPOK eksaserbasi
akut akut akut
 CAP  CAP  CAP
 Hipertensi stage I  Hipertensi stage I  Hipertensi stage I
 DM tipe II  DM tipe II  DM tipe II

P Th/ Th/ Th/


Divisi Pumonologi Divisi Pumonologi Divisi Pumonologi
- Tirah baring semi - Tirah baring semi - Tirah baring semi
fowler fowler fowler
- O2 4 liter/menit nasal - O2 4 liter/menit nasal - O2 4 liter/menit nasal
kanul kanul kanul
- IVFD RL 20 - IVFD RL 20 - IVFD RL 20
tetes/menit tetes/menit tetes/menit
- Nebule combivent 1 - Nebule combivent 1 - Nebule combivent 1
respul / 4 jam respul / 4 jam respul / 4 jam
- Inj. Ceftazidime 1 gr - Inj. Ceftazidime 1 gr / - Inj. Ceftazidime 1 gr
/ 12 jam 12 jam / 12 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp / - Inj. Ranitidin 1 amp / - Inj. Ranitidin 1 amp
12 jam 12 jam / 12 jam

Divisi Kardiologi Divisi Kardiologi Divisi Kardiologi


- Valsartan 1 x 80 mg - Valsartan 1 x 80 mg - Valsartan 1 x 80 mg
- Amlodipin 1 x 5 mg - Amlodipin 1 x 5 mg - Amlodipin 1 x 5 mg

Divisi Endokrin Divisi Endokrin Divisi Endokrin


- Diet 1700 kkal/hari - Diet 1700 kkal/hari - Diet 1700 kkal/hari
- SC Novorapid 6-6-6 - SC Novorapid 6-6-6 - SC Novorapid 6-6-6
unit unit unit
- SC Levemir 0-0-0-10 - SC Levemir 0-0-0-10 - SC Levemir 0-0-0-
unit unit 10 unit

24
Tgl 11/01/2016 12/01/2016 13/01/2016
S batuk(+), sesak (+) Sesak (-), batuk Sesak (-), batuk
sesekali sesekali
O Vital sign/ Vital sign/ Vital sign/
Kes : compos mentis Kes : compos mentis Kes : compos mentis
TD : 130/80 mmHg TD : 120/70 mmHg TD : 120/80 mmHg
N : 90 x/i N : 86 x/i N : 80 x/i
RR : 25 x/i RR : 20 x/i RR : 20 x/i
T : 36,0OC T : 36,5OC T : 36,5OC
PF/ PF/ PF/
 Thoraks : Simetris,  Thoraks : Simetris,  Thoraks : Simetris,
retraksi (-), ekspirasi retraksi (-), rh (-/-), retraksi (-), rh (-/-),
memanjang (+), rh (- wh (-/-) berkurang wh (+/+) berkurang
/-), wh (+/+)
bekurang
A  PPOK eksaserbasi  PPOK eksaserbasi  PPOK eksaserbasi
akut akut akut
 CAP  CAP  CAP
 Hipertensi stage I  Hipertensi stage I  Hipertensi stage I
 DM tipe II  DM tipe II  DM tipe II

P Th/ Th/ Th/


Divisi Pumonologi Divisi Pumonologi Divisi Pumonologi
- Tirah baring semi - Tirah baring semi - Tirah baring semi
fowler fowler fowler
- O2 4 liter/menit nasal - O2 4 liter/menit nasal - O2 4 liter/menit nasal
kanul kanul kanul
- IVFD RL 20 - IVFD RL 20 - IVFD RL 20
tetes/menit tetes/menit tetes/menit
- Nebule combivent 1 - Nebule combivent 1 - Nebule combivent 1
respul / 6 jam respul / 8 jam respul / 8 jam
- Inj. Ceftazidime 1 gr - Inj. Ceftazidime 1 gr / - Inj. Ceftazidime 1 gr
/ 12 jam 12 jam / 12 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp / - Inj. Ranitidin 1 amp / - Inj. Ranitidin 1 amp
12 jam 12 jam / 12 jam
- Nebule pulmicort 1 - Nebule pulmicort 1 - Nebule pulmicort 1
respul / 12 jam respul / 12 jam respul / 12 jam

Divisi Kardiologi Divisi Kardiologi Divisi Kardiologi


- Valsartan 1 x 80 mg - Valsartan 1 x 80 mg - Valsartan 1 x 80 mg
- Amlodipin 1 x 5 mg - Amlodipin 1 x 5 mg - Amlodipin 1 x 5 mg

Divisi Endokrin Divisi Endokrin Divisi Endokrin


- Diet 1700 kkal/hari - Diet 1700 kkal/hari - Diet 1700 kkal/hari
- SC Novorapid 6-6-6 - SC Novorapid 6-6-6 - SC Novorapid 6-6-6
unit unit unit
- SC Levemir 0-0-0-10 - SC Levemir 0-0-0-10 - SC Levemir 0-0-0-
unit unit 10 unit

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang laki-laki berusia 67 tahun di


RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 10 Januari 2016 dengan
keluhan utama sesak napas dengan keluhan tambahan batuk berdahak, demam
yang hilang timbul, dan mudah lelah. Pasien didiagnosa dengan PPOK
eksaserbasi akut, pneumonia, hipertensi, diabetes militus tipe II. Diagnosa
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pasien datang ke IGD RSUD Zainoel Abidin dengan keluhan sesak napas.
Keluhan ini dirasakan sejak + 1 minggu yang lalu dan bertambah berat sejak 1
hari sebelum masuk rumah. Sesak napas dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang hilang timbul selama + 3 tahun, dahak
berwarna putih dan kadang-kadang kekuningan. Dahak tidak berdarah, berbau
ataupun berbusa. Pasien tidak memiliki riwayat batuk berdarah. Keluhan demam
yang hilang timbul juga dirasakan oleh pasien.
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas sejak + 1 minggu
yang lalu dan bertambah berat sejak 1 hari sebelum masuk rumah. Sesak napas
dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Berdasarkan gejala klinik PPOK eksaserbasi
akut adalah sesak napas yang timbul progresif. Mula-mula sesak napas dirasakan
ringan dan bertambah berat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas
perifer menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual
fungsional. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan
mekanisme utama timbulnya sesak napas pada aktivitas.(5)
Keluhan batuk berdahak sejak + 3 tahun yang hilang timbul. Biasanya
dahak berwarna putih dan kadang-kadang kekuningan. Dahak tidak berdarah,
berbau ataupun berbusa. Pasien tidak memiliki riwayat batuk berdarah. Gejala
batuk kronis dengan sputum bertambah purulen merupakan gejala PPOK
eksaserbasi akut. Batuk merupakan reaksi tubuh terhadap iritasi saluran
pernapasan oleh benda-benda asing, misalnya infeksi mikroorganisme dan cara
tubuh untuk mengeluarkan benda asing. Bila partikel infeksi masuk dalam saluran

26
pernapasan akan menempel di dalam saluran napas dan parenkim paru. Akumulasi
sekret pada saluran pernapasan membuat saluran pernapasan tidak efektif dan
mengakibatkan respon batuk serta mengakibatkan gejala batuk kronis. (22,25)
Gejala lain yang juga dirasakan pasien yaitu demam hilang timbul.
Berdasarkan teori, infeksi berulang pada saluran pernapasan sering terjadi pada
pasien PPOK eksaserbasi akut, akibat proses inflamasi tersebut sehingga keluhan
demam muncul. Keadaan ini dapat di picu oleh infeksi bakteri atau virus. Pada
umumnya pasien PPOK memiliki resiko infeksi berulang yang bisa terjadi sebagai
akibat reaksi inflamasi pada pleura parietal dan pergesekan pleura viseral dan
parietal akibat pertambahan volume paru atau hiperinflasi. (5)
Pasien seorang laki-laki berumur 67 tahun. Pasien pernah perokok pada usia
18 tahun, merokok sebanyak 2 batang sehari, namun sudah lama berhenti. Pasien
juga mempunyai kebiasaan membakar sampah rumah tangga di rumahnya
sehingga sering terpapar asap pembakaran sampah. Berdasarkan riwayat
kebiasaan, pasien memiliki faktor risiko terjadinya PPOK dimana risiko PPOK
pada perokok bergantung pada usia mulai merokok, dosis rokok yang dihisap,
jumlah batang rokok yang dihisap per hari dan lamanya merokok. Kebiasan lain
pasien yaitu sering membakar sampah dirumah juga berpengaruh terhadap faktor
risiko terjadinya PPOK seperti paparan asap pembakaran sampah.(5)
Kerusakan struktur paru akibat respon inflamasi terjadi saat pajanan gas
beracun seperti asap rokok yang mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel
saluran pernapasan sehingga membentuk faktor kemotaktik. Selanjutnya faktor
kemotaktik tersebut akan menginduksi infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru
yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Respon epitel saluran
pernapasan juga berpengaruh terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa
peningkatan jumlah kemokin seperti Interleukin 8 (IL-8), Macrophage
Inflamatory Protein-1 α (MIPI-α) dan Monocyte Chemoattractant Protein-1
(MCP).(29) Sumber oksidan termasuk asap rokok, oksigen reaktif, dan nitrogen
yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan
oksidan dan antioksidan dari stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan
inaktivasi antiprotease atau stimulasi produksi mukosa. Peningkatan stres
oksidatif pada PPOK stabil berlanjut menjadi PPOK eksaserbasi akut. (5,17,22)

27
Pemeriksaan fisik didapatkan pada inspeksi thoraks kesan barrel chest.
Barrel chest atau dada seperti tong merupakan gejala klinis yang umumnya
ditemukan pada penderita PPOK, dimana diameter antero-posterior sebanding dan
terjadi akibat hiperinflasi paru. Hiperinflasi merupakan terperangkapnya udara
akibat saluran pernapasan yang sempit atau menyempit. Pemanjangan eksipirasi
terjadinya pada mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 dalam paru.
Pada perkusi menunjukkan suara hipersonor akibat air trapping pada kedua
lapangan paru. Air trapping merupakan terperangkapnya udara didalam alveoli.
Pada auskultasi dijumpai suara vesikuler, suara mengi dan suara wheezing.
Berdasarkan teori pada emfisema terdapat bleb (rongga subpleura yang terisi
udara) dan bulla (rongga parenkim yang terisi udara). Biasanya bula timbul karena
adanya penyumbatan pada katup pengatur bronkiolus. Pada saat inspirasi dengan
bantuan otot-otot pernapasan, lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat
melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Namun,
sewaktu ekspirasi yang merupakan proses pasif, lumen bronkiolus tersebut
kembali menyempit sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara dan
akan terdengar suara wheezing dan ronki pada waktu ekspirasi.(22)
Pada hasil laboratorium, pemeriksaan darah rutin didapatkan peningkatan
nilai leukosit (10.600 /mm3). Peningkatan leukosit terjadi akibat infeksi saluran
pernapasan yang diderita pasien sehingga memicu terjadinya eksaserbasi. Dari
anamnesis didapatkan sesak, batuk dan demam, pemeriksaan fisik terdengar ronki,
wheezing pada kedua lapangan paru bawah serta foto toraks yang menunjukkan
adanya infiltrat pada parahiler kanan dan paracardial kanan kiri yang mengarah
pada pneumonia.(17)
Pemeriksaan gold standar penegakkan diagnosa PPOK menggunakan
pemeriksaan spirometri. Namun kondisi pasien yang sesak berat akibat
eksaserbasi akut tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan tersebut.
Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan fisik serta foto thoraks.
Namun, pemeriksaan spirometri adalah gold standart untuk menegakkan
diagnosis PPOK. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). Dikatakan obstruksi jika % VEP1(VEP1/VEP1 pred.) < 80%

28
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.(5)
Pemeriksaan radiologi seperti foto thoraks merupakan pemeriksaan yang
rutin dilakukan, dimana pada pasien PPOK eksaserbasi akut dapat di jumpai
tampak sela iga melebar dan gambaran hiperlusen pada seluruh permukaan paru
serta hiperventilasi paru. Namun, pada PPOK ringan umumnya di jumpai hasil
rontgen toraks dalam batas normal. Pemeriksaan radiologi rontgen toraks postero-
anterior (PA) dan lateral ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis
penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan
penderita.
PPOK eksaserbasi akut ditandai dengan sesak bertambah, produksi sputum
meningkat dan sputum menjadi purulen. Pada pasien ini didapatkan 3 dari gejala
tersebut sehingga pasien digolongkan PPOK eksaserbasi akut tipe III atau tipe
berat. Selama dirawat pasien diberikan terapi berupa tirah baring dengan posisi
semi flower dan pemberian oksigen 4 liter per menit nasal kanul. Pemberian terapi
oksigen berfungsi untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel dan jaringan karena hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan
dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.(22,25)
Pengobatan medikamentosa diberikan inhalasi beta-2 agonis kerja cepat
yaitu nebul combivent (Ipratropium Bromida 0,5 mg + Salbutamol sulphate 2,5
mg). Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi sesuai dengan
klasifikasi derajat beratnya penyakit serta diutamakan dalam bentuk obat inhalasi,
namun nebulisasi tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada PPOK
eksaserbasi akut derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat yang memiliki efek panjang (long acting). Pasien juga
mendapat nebul pulmicort 1 respul (Budesonide 0,5 mg) per 12 jam.
Pemberian antibiotik injeksi ceftazidime 1 gram per 12 jam diberikan sebagai
pengobatan infeksi bakteri. Ceftazidime merupakan golongan antibiotik sefalosporin.
Pemberian antibiotik pada PPOK eksaserbasi akut ditujukan pada pasien dengan
peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi purulen, serta peningkatan
sesak. Antibiotika diberikan secara empirik dan rasional, dengan memperhatikan
stratifikasi faktor risiko yang dimiliki pasien.(5)

29
DAFTAR PUSTAKA

30
1. Alldredge BK, Corelli RL, Ernst ME, Guglielmo BJ, Jacobson PA, Kradjan
WA, et al. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs. USA: Lippincott
Williams and Wilkins; 2013. p. 601-618.

2. Lopez AD, Murray CC. The global burden of disease, 1990-2020. Nat Med.
1998; 4(11): 1241-3.

3. Chan-Yeung M, Ait-Khaled N, White N, Tan WC.The burden and impact of


COPD in Asia and Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2004; 8(1): 2-14.

4. World Health Organisation. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2010. p.


1 [cited 2015 December, 03]. Available from:
http://www.who.int/tobacco/research/copd/en/

5. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global


Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic
Obstructive Lung Disease. 2015. p. 1-8. [cited 2015 December, 03].
Available from: http://www.goldcopd.org

6. Buist AS, Mary AMB, William MV, Suzanne G, Peter B, David MM, et al.
International variation in the prevalence of COPD (The BOLD Study): a
population-based prevalence study. Lancet. 2007; 370(9589): 741-50.

7. Theresa RP, Pharm D, Suzanne G and Bollmeier PD. Chronic Obstructive


Pulmonary Disease Among Adults-United States. MMWR. 2012; 61(46):
938-43.

8. O'Donnell DE, Aaron CS, Bourbeau J, Hernandez P, Marciniuk DD, Balter


M, et al. Canadian Thoracic Society recommendations for management of
chronic obstructive pulmonary disease. Can Respir J. 2007; 14(Suppl B): 5B-
32B.

9. Fukuchi Y, Nishimura M, Ichinose M, Adachi M, Nagai A, Kuriyama T, et


al. COPD in Japan: the Nippon COPD Epidemiology study. Respirology.
2004; 9(4): 458-65.

10. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. p. 86-87.

11. Kementrian Kesehatan RI. Gambaran Penyakit Tidak Menular Di Rumah


Sakit Di Indonesia Tahun 2009 dan 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2012.
p. 10-1.

31
12. Nisa K. Prevalensi Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan Riwayat
Merokok di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM)
Medan Periode Januari-Desember 2009. Sumatera Utara: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2010. p. 45-48.

13. Husna A. Frekuensi Eksaserbasi Akut Pada Penderita Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh Tahun 2011. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala. 2011. p. 28-39.

14. Wong AWM, Gan WQBA, Burns J, Sin DD, Eedan SFV. Acute exacerbation
of chronic obstructive pulmonary disease: Influence of social factors in
determining length of hospital stay and readmission rates. Can Respir J. 2008;
15(7): 361-4.

15. Dewan NA, Rafique S, Kanwar B, Satpathy H, Ryschon K, Tillotson GS, et


al. Acute Exacerbation of COPD Factors Associated With Poor Treatment
Outcome. CHEST 2000; 117: 662–71.

16. Wang Y.S, Dahl K, Humerfelt FA, Haugen ST. Factors associated with a
prolonged length of stay after acute exacerbation of chronic obstructive
pulmonary disease (AECOPD). International journal of chronic obstructive
pulmonary disease. 2014; 9: 99-105.

17. Price LC, Lowe D, Hosker HS, Anstey K, Pearson MG, Roberts CM, et al.
UK National COPD Audit 2003: Impact of hospital resources and
organisation of care on patient outcome following admission for acute COPD
exacerbation. Thorax. British Thoracic Society and the Royal College of
Physicians Clinical Effectiveness Evaluation Unit (CEEu). 2006; 61(10): 837-
42.

18. Almagro P, Calbo E, Ochoa EA, Barreiro B, Quintana S, Heredia JL, et al.
Mortality after hospitalization for COPD. CHEST. 2002; 121(5): 1441-8.

19. Fruchter O and Yialga M. Cardiac-troponin-I predicts long-term mortality in


chronic obstructive pulmonary disease. COPD. 2009; 6(3): 155-61.

20. Ai-Ping C, Lee KH, Lim TK. In-hospital and 5-year mortality of patients
treated in the ICU for acute exacerbation of COPD. CHEST. 2005; 128(2):
518-24.

21. Chapman KR, Mannino DM, Soriano JB, Vermeire PA, Buist AS, Thun MJ,
et al. Epidemiology and costs of chronic obstructive pulmonary disease. The
European respiratory journal. 2006; 27(1): 188-207.

32
22. Currie GP. ABC of COPD. UK: BMJ; 2011. p. 1142-1263.

23. Wan CT and Tze P. COPD in Asia: where East meets West. CHEST. 2008;
133(2): 517-27.

24. Kon OM, Hansel TT, Barnes PJ. Cronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD). United States: Oxford University Press; 2008. p. 3-134.

25. Kumar P and Clark M. Clinical Medicine: Elsevier Health Sciences UK;
2012. p. 900-1.ruksi Kronik (PPOK). Penelitian Universitas Gadjah Mada.
2001; 33(1): 48-59.

33

Anda mungkin juga menyukai