A. PENDAHULUAN
Kehidupan Modern kini menuntut segala sesuatu serba instant dan cepat. Baik dalam
aktivitas pekerjaan, kehidupan rumah tangga dan makanan sehari-hari. Bahkan tidak
sedikit diantara kita yang sering mengonsumsi makanan cepat saji (fastfood).
Perkembangan tekhnologi komunikasi dan transportasi serasa memperpendek jarak dan
mempersingkat waktu. Manusia seolah-olah dimana dalam kehidupannya.
Seiring dengan itu semua, ternyata kita harus membayar mahal dengan kesehatan kita.
Pemakaian peptisida, limbah beracun, polusi udara, zat additive (pewarna, perasa,
pengawet) di dalam makanan adalah beberapa faktor yang apabila dikonsumsi terus
menerus dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas kesehatan tubuh kita. Radikal
bebas, karsionogen (gen penyebab kanker), zat beracun adalah beberapa istilah yang
semakin sering kita dengar. Bahkan kanker, diabetes, kolesterol, stroke, asam urat, alergi,
ada di kanan – kiri kita.
Selain hal –hal eksternal itu, kebiasaan hidup juga sangat berpengaruh bagi kesehatan
tubuh kita. Makanan yang tidak bergizi seimbang, sedikit olahraga dan kurangnya
istirahat akan mendukung terjangkitnya penyakit.
Stroke merupakan salah satu akibat dari pola hidup yang mengikuti gaya modern, dan
tetap menjadi permasalahn kesehatan yang utama sampai saat ini. Stroke mampu
memengaruhi kehidupan dan ekonomi. Insidensinya diperkirakan >700 .000 di Amerika
Serikat setiap tahun dan menyebabkan > 160.000 orang meninggal tiap tahun, dengan
sekitar 4,8 juta orang penderita stroke yang dapat bertahan sampai saat ini.
Meskipun terdapat 60 % angka penurunan pada mortalitas akibat stroke selama 29
tahun ini sejak 1968 sampai dengan 1996, rata-rata penurunan baru dimulai pada tahun
1990 secara lambat dan kemudian mengalami stabilitas. Walaupun secara keseluruhan
telah terjadi penurunan sebesar 3,4 % dari jumlah mortalitas pada penderita stroke antara
tahun 1991 hingga 2001, namun jumlah kematian sebenarnya akibat stroke tetap tinggi,
yakni sekitar 7,7 %. Stroke menempati peringkat ke 3 penyebab kematian. Insidensis
stroke mungkin meningkat. Sejak tahun 1988 hingga 1997, rata-rata penderita stroke yang
di rawat di Rumah Sakit meningkat 18,6 % (dari 580 menjadi 664 per 100.000),
sedangkan total dari penderita stroke yang membutuhkan perawatan di Rumah Sakit
meningkat 38,6 % (dari 592.811 menjadi 821.760 tiap tahun). Pada tahun 2004, biaya
yang diperlukan untuk perawatan stroke diperkirakan sekitar 53,6 miliar dolar ( biaya
langsung dan tidak langsung), dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan sekitar 140.048
dolar seumur hidup. (AHA,2004).
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecendrungan meningkatnya
jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Terdapat kecendrungan
penyakit ini menyeranggenerasi muda yang masih produktif. Hal ini akan berdampak
terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya
aktifitas sosial ekonomi keluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia
identik dengan lifestyle ( gaya hidup) masyarakat, diantaranya olahraga, merokok,
menenggak alkohol, pola makan, kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau
kolesterol yang melanda di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia, stroke
merupakan penyakit nomor 3 yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan,
menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor 1 di Rumah Sakit
pemerintah di seluruh penjuru Indonesia.
Stroke juga menjadi penyebab utama dari gangguan fungsional. Sebanyak 20 % dari
penderita stroke yang dapat bertahan membutuhkan perwatan pada institusi khusu selama
3 bulan dan 15 % - 30 % menjadi kecacatan permanen.
Stroke menyebabkan perubahan pola hidup yang berpengaruh tidak hanya pada
penderitanya, tetapi juga pada seluruh keluarga dan orang yang merawatnya. Analisis
manfaat menunjukkan bahwa lebih dari separuh kasus stroke memberi risiko yang lebih
buruk terhadap kematian. Walaupun telah ditemukan pengobatan yang berguna pada
pasien dengan stroke iskemik akut menggunakan aktivator plasminogen intravena dan
terapi lain untuk fase akut yang cukup menjanjikan, namun tindakan prevensi yang efektif
merupakan pengobatan terbaik mengurangi risiko stroke.
Prevensis primer sangat penting karena > 70 % dari stroke merupakan serangan
pertama. Insidensi stroke pada umur tertentu di Oxfordshire, United Kingdom ( Inggris),
menurun sampai 40 % selama 20 tahun berhubungan dengan peningkatan penggunaan
terapi preventif dan pengendalian faktor risiko. Seperti yang telah didiskusikan
sebelumnya, individu dengan risiko tinggi atau yang cenderung mengalami stroke saat ini
dapat diidentifikasi dan ditargetkan untuk mendapat perhatian khusus.
Stroke merupakan suatu kematian secara tiba-tiba dari sel-sel pada area otak yang
spesifik disebabkan oleh aliran darah yang tidak adekuat. Stroke terjadi ketika aliran darah
ke suatu bagian dari otak terhambat, baik oleh karena pembuluh darah di otak pecah
maupun karena adanya sumbatan oleh gumpalan darah.. tergantung pada daerah kerusakan
yang ditimbulkan, stroke dapat menyebabkan paralysis, kehilangan penglihatan, gangguan
berbicara, kehilangan daya ingat dan daya pikir, koma, kematian.
B. DEFINISI STROKE
Terdapat beberapa definisi yang berusaha menjelaskan mengenai pengertian stroke.
Stroke adalah gangguan pembuluh darah otak (GPDO) / Cerebro Vascular Disease(CVD)
merupakan suatu kondisi kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh
gangguan suplei darah kebagian otak (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Chandra B.
(1986), stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak, yang secara mendadak (dalam beberapa detik ) atau secara cepat
(dalam beberapa jam) timbul gejalah dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak
yang terganggu. Stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral baik fokal
(bahasa latin, letak kelainan di otak) maupun menyeluruh (global) yang berlangsung
dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa
ditemukannya penyebab lain kecuali dari gangguan vaskular (PERDOSSI, 2006).
Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi klinis dari
gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung
dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung dengan cepat, dengan gejala yang
berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab
selain gangguan vaskuler.
C. EPIDEMIOLOGI STROKE
Usia merupakan faktor risiko yang paling penting bagi semua jenis stroke. Insidan
stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambanya usia. Di Oxfordshire, selama
tahun 1981 – 1986, tingkat insiden (kasus baru per tahun) stroke pada kelompok usia 54
– 54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk dibandingkan 1987 kasus per 100.000
penduduk pada kelompok usia 85 tahun keatas (Lumbantobing, 2001). Adapun di
Auckland, Selandia baru, insiden stroke pada kelompok usia 55 – 64 tahun ialah 20 per
10.000 penduduk dan di Soderhamn, Swedia, insiden stroke pada kelompok usia yang
sama, 32 per 10.000 penduduk. Pada kelompok usia di atas 85 tahun dijumpai insiden
stroke dari 184 per 10.000 di Rochester, Minnesota, dan 397 per 10.000 penduduk di
Soderhamn, Swedia (Fieschi, et al, 1998)
Berdasarkan jenis kelamin, insidens stroke di Amerika Serikat 270 per 100.000 pada
pria dan 201 per 100.000 pada wanita. Di Denmark, insidens stroke 270 per 100.000
pada pria dan 189 per 100.000 pada wanita. Di Inggris insiden stroke 174 per 100.000
pada pria dan 233 per 100 pada wanita. Di Swedia insiden stroke 221 per 100 pada pria
dan 196 per 100.000 pada wanita (Fieschi, et al, 1998).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar ( RISKESDAS) 2008, prevalensi
penderita stroke di Indonesia sekitar 8,3 % per 1.000 penduduk dan Propinsi Sulawesi
Selatan menempati urutan ke – 17 dengan jumlah penderita 7,4 %. Dari data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2007, stroke merupakan penyebab kematian terbesar
dari penyakit jantung dan pembuluh darah dengan jumlah kematian sebesar 4.884 (
36,7 %) (Depkes, 2009). Di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, dilaporkan 316
penderita stroke (20,5 %) dari seluruh penderita rawat inap di Bagian Saraf pada tahun
2010 yang di dominasi oleh stroke iskemik yaitu 180 penderita (16,74%) (Data 10
penyakit terbesar RSWS Tahun 2010).
D. KLASIFIKASI STROKE
Klasifikasi stroke dikenal berbagai macam. Semuanya berdasarkan pada
gambaran klinik , patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya (WHO,
1989; Ali et al, 1996; Misbach, 1999; Widjaja, 1999).
Dasar klasifikasi yang berbeda – beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke
mempunyai cara pengobatan, preventif, dan prognosis yang berbeda, walaupun
patogenisnya serupa (Ali et al, 1996; Misbach, 1999). Adapun klasifikasi tersebut,
antara lain : (Misbach, 1999).
Gambar 1.2 Klasifikasi Stroke Menurut Frekuensinya. Dikutip dari Daal, 2003
a. Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya
1. Stroke Iskemik
a. TIA
b. Trombosis Serebri
c. Emboli Serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan IntraSerebral
b. Perdarahan Subarakhnoid
b. . Berdasarkan Stadium / Pertimbangan Waktu :
1. Serangan iskemik sepintas / TIA
a. Pada bentuk ini gejala neurologi yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam
2. RIND
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari
24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu
3. Prognosis stroke atau stroke in evalution
a. Gejala neurologik yang makin lama makin berat
4. Completed stroke
Gejala klinis sudah menetap
2. Emboli
Sember utama dari jantung : fibrilasi atrium (penyebab tersering), infark
miokardium, penyakit jantung katup, katup protetik, dan kardiomiopati.
Sumber tromboeboli adanya aterosklerotik arteri : bifurkatiokarotis
komunis, dan arteri vertebralis distal. Keadaan hiperkoagulasi
kontrasepsi hormonal, dan karsinoma.
3. Vasokonstriksi
Vasospaame serebrum setelah PSA (Perdarahan Sub - Arachnoid).
Secara garis besar iskemia otak dapat disebabkan oleh tiga kelompok
penyebab utama yaitu permasalahan pada pembuluh darah (vaskular),
jantung, dan komponen dari darah itu sendiri.
Trombosis adalah keadaan ketika terjadi pembentukan massa
bekuan darah intravaskular yang berasal dari konstituen darah pada
orang yang masi hidup. Dalam pengertian yang luas, trombus dapat
bersifat fisiologik disebut sebagai hemostatic trombus yang berguna
untuk menutup kerusakan dinding pembuluh darah setelah injury, dapat
juga bersifat patologik, disebut sebagai pathologic trombus yang justru
dapat menyumbat lumen pembuluh darah (Rosenberg RD, Aird WC,
1997).
Pada umumya yang dimaksud dengan trombosis ialah
pembentukan pathologic trombus. Trombosis dapat terjadi pada arteri,
disebut sebagai trombosis arteri (artherial thrombosis), dapat juga terjadi
pada vena tersebut sebagai trombosis vena (venous thrombosis).
Trombus arteri berbeda sifatnya dengan trombus vena. Komponem
trombus arteri sebagian besar terdiri atas platelet (trombosit) diselingi
oleh anyaman fibrin, komponen eritrositnya sangat rendah sehingga
trombus berwarna putih disebut sebagai white trombus.Adapun trombus
vena sebagian besar terdiri atas sel darah merah di sela – sela anyaman
fibrin, komponen trobosit sangat sedikit, trobus berwarna merah disebut
sebagai red trombus (Deitcher S.R., Rodgers G.M., 2004).
STRATEGI MANAJEMEN STROKE
A. Penatalaksanaan Umum
1. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Gawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro – kardio – pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2
L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin
dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT- Scan otak, elektrokardiografi, photo
thorax, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/ INR, APTT,
glukosa darah,kimia darah (termasuk elektrolit), jika hipoksia dilakukan analisis
gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang.
2. Stadium Akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor- faktor etiologi maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis
serta telaan sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi
kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan
keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.
a. Terapi umum
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik
sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1 – 2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi.
Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan
kateter intermitten).
4. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan,
terapi bicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat
perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif
pasca stroke di Rumah Sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti,
memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder.
B. Pencegahan Stroke
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia ,
upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke , yaitu :
1. Pencegahan primordial
Tujuuan pencegahan primordial dalah mencegah timbulnya factor
risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai factor risiko.
Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakuan promosi
kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke
dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian
masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan
adalah program memberikan informasi tentang penyakit stroke melalui
ceramah, media cetak, media elektronik, dan billboard (Atherosclerosis
and trombus Formation. Stroke Center of Washington at Saint Louis,
School of Medicine. 29 juli 2011).
2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya factor risiko
stroke pada individu yang mempunyai factor risiko dengan cara
melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain (Geets WH, dkk
2004):
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditunjukkan bagi mereka yang pernah menderita
stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita
stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan
adalah (Geets WH, dkk 2004):
a. Obat-obatan yang digunakan : asetosal (asam atesil salisilat) digunakan
sebagai obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis
berkisar antara 80 – 320 Mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada
penderita dengan factor risiko penyakit jantung (fibrilasi atrium, infrak
miokard aakut, kelainan katup ) dan kondisi koagulopati yang lain.
b. Clopidogrel dengan dosis 1 X 75 mg. merupakan pilihan obat
antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau
mempunyai kontra indikasi terhadap asetosal (aspirin).
c. Modifikasi gaya hidup dan factor risiko stroke, misalnya
mengkonsumsi obat anti hipertensi yang sesuai pada penderita
hipertensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita diabete,
diet rendah lemak, dan mengonsumsi obat antidislipidemia pada
penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti mengkonsumsi
alcohol, hindari kelebihan berat badan, dan kurang bergerak.
4. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita
strokeagar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan
mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktifitas
kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk
rehabilitasi fisik, mental, dan social. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim
yang terdiri dari atas Dokter, Perawat, Ahli Fisioterapi, Ahli Bicara dan
Bahasa, Ahli Okufasional, Petugas Sosial, dan peran serta Keluarga (Geets
WH, dkk 2004):
a. Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat
membantu proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang
diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk
mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah
kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan
serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi
okupasional (occupational therapist atau OT ), diberikan untuk melatih
kemampuan penderita dalam melakukan aktifitas sehari-hari seperti
mandi, memakai baju, makan, dan buang air. Terapi yang ketiga adalah
terapi bicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan
penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta
dapat berkomunikasi dengan orang lain
b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional
yang dapa mempengaruhi mental mereka misalnya reaksi sedih, mudah
tersinggung, tidak bahagia, murung, dan depresi. Masalah emosional
yang mereka alami akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi
untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu
mendapatkan terapi mental dengan melakukan konsultasi dengam
psikiater atau ahli psikologi klinis (Geets WH, dkk 2004):
c. Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas social berperan untuk membantu
penderita stroke menghadapi masalah social seperti mengatasi
perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktifitas
selain itu petugas social akan memberikan informasi mengenai layanan
komunitas local dan badan-badan bantuan social (Geets WH, dkk
2004).
MANAJEMEN STROKE SAAT EMERGENSI
Rakhmad Hidayat
Stroke Unit RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Divisi Neurovaskular dan Neurosonologi, Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia
2. Pemeriksaan fisik
Meliputi penilaian A-B-C, nadi, oksimetri dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan
leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit korotis dan siphon, dan
tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung
paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
4. Studi diagnostik yang dianjurkan segera segera dilakukan kepada setiap penderita
stroke akut diruang gawat daruratmeliputi pemeriksaan CT scan tanpa kontras, kadar
gula darah, elektrolit, tes fungsi ginjal, elektrokardiografi (EKG), penanda iskemik
jantung, hitung darah lengkap, (termasuk trombosit), PT/INR, Aptt, saturasi oksigen.
Bila CT scan tidak tersedia, mungkin dapat digunakan skoring klinis untuk
mendiagnosis iskemik atau perdarahan. Pada penderita tertentu, diperlukan
pemeriksan tes fungsi hati, toksikologi, kadar alkohol dalam darah, tes kehamilan,
analisis gas darah, foto rontgen toraks walaupun mungkin sebagian besar pasien
stroke tidak memerlukan foto rontgen toraks pada evaluasi awal. Tindakan pingsi
lumbal dapat dilakukan bila ada dugaan perdarahan subaraknoid, sedangkan CT scan
tidak menunjukkan adanya perdarahan (sebagian beras pasien stroke tak memerlukan
lumbal pungsi), elektro – ensefalografi (EEG) bila ditemukan kejang dan pemeriksaan
kemampuan menelan.
5. Pencitraan otak pada stroke iskemik dianjurkan sebelum melakukan terapi spesifik.
Interpretasi gambaran pencitraan dilakukan oleh dokter pakar dibanding pembacaan
CT/MRI. CT dan MRI multimodal sangat membantu dalam diagnosis strok iskemik.
Terapi, pencitraan multimodal tidak boleh menunda terapi emergensi. Sehingga pada
pasien yang direncanakan terapi definitif, CT scan digunakan untuk membedakan
adakah perdarahan atau tidak.
6. Pencitraan vaskular (CT angiografi) diperlukan untuk persiapan pemberian obat intra
– arteria, tindakan bedah atau intervensi edovaskular. Tetapi pencitraan ini tidak boleh
mengakibatkan penundaan terapi pada pasien stroke iskemik akut yang datang dalam
waktu 3 jam setelah awitan. Pada pasien yang datang melebihi waktu untuk dilakukan
terapi definitif, mungkin diperlukan dilakukan CT perfusi ataupun MRI diffussion
weighted imaging (DWI) / perfusionweighted imaging (PWI) untuk mementukan
penumbra pada pasien stroke iskemik yang nantinya dapat digunakan untuk
memperpanjang batas waktu pelaksanaan terapi definitif.
Pengendalian kejang
1. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intyravena 5-20 mg. Jika kejang
belum berhenti dapat dilanjutkan oleh feniton dosis loading 15-20mg/kg bolus
dengan kecepatan maksimum 50mg/menit
2. Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU
3. Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang
tidak dianjurkan
4. Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi profilaksis,
selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang
selama pengobatan.
2. Nutrisi
Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam pertama,
nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan diberikan
melalui pipa nasogastrik.
Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25 – 30kkal/kg/hari dengan komposisi:
- Kerbohidrat 30-40% dari total kalori.
- Lemak 20-35% (gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55%)
- Protein 20-30% (pada keadaan stresskebutuhan protein 1,4-
2.0g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal < 0,8g/kgBB/hari)
Apabila memungkinkan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangan untuk gastrostomi.
Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat obat – obatan yang
diberikan (misal: hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K
pada pasien yang menjadi warfarin).
3. Mencegah dan mengatasi komplikasi
Mobilisasi dan penilaian diri untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi,pneumonia, deep vein thrombosis (DVT), emboli paru,
dekubitus, komplikasi ortopedik dan kontraktur perlu dilakukan
Berikan antibiotika sesuai indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman
Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/ atau memakai kasur
antidekubitus
Pencegahan DVT dan emboli paru
Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT perlu diberikan heparin
subkutan 5000IU dua kali sehari atau low-molecular-weight heparin
(LMWH) atau heparinoid. Perlu diperhatikan terjadinya risiko perdarahan
sistemik dan perdarahan intraserebral. Pada pasien imobilisasi tetapi tidak
bisa menerima antikoagulan, maka untuk mencegah DVT
direkomendasikan penggunaan stocking eksternal atau aspirin.
Monitor tekanan darah tiap 15 menit selama terapi dan selama 2 jam
berikutnya, kemudian tiap 30 menit selama 6 jam, kemudian setiap
jam selama 16 jam. Pasien dapat diberikan obat hipertensi oral dalam
6 jam pertama sejak pasien datang
Neuroimaging pada Stroke Akut
Departemen Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
PENDAHULUAN
Stroke merupakan proses dinamik yang secara imaging dapat dibagi menjadi fase
hiperakut (<6 jam), akut (<24 jam), subakut (<1 minggu), subakut-kronik (1 minggu hingga 2
bulan), dan kronik (>2 bulan). Imaging yang berperan besar dalam diagnosis stroke adalah
CT scan dan MRI.
Pada fase hiperakut, imaging bermanfaat untuk menentukan subtipe stroke,
menentukan pasien dapat diberikan terapi trombolitik, mengeksklusi pasien dengan
kontraindikasi terapi trombolitik, dan mengidentifikasi pasien dengan kondisi lain yang tanda
dan gejalanya menyerupai stroke. Imaging pada pasien stroke hiperakut diperlukan untuk
memastikan ada tidaknya perdarahan intrakranial dan seberapa luas perubahan iskemik otak.
Pemeriksaan imaging yang lebih mutakhir seperti CT angiografi, CT perfusion, dan
MRI bermanfaat dalam memprediksi luas infark final, membedakan inti infark dengan
jaringan penumbra yang berisiko, mengidentifikasi risiko khusu dalam melakukan terapi
antitrombotik/trombolitik, menentukan lokasi oklusi pembuluh darah, dan mengetahui
morfologi plak karotis.