Anda di halaman 1dari 23

STROKE DAN KEHIDUPAN MODERN

A. PENDAHULUAN
Kehidupan Modern kini menuntut segala sesuatu serba instant dan cepat. Baik dalam
aktivitas pekerjaan, kehidupan rumah tangga dan makanan sehari-hari. Bahkan tidak
sedikit diantara kita yang sering mengonsumsi makanan cepat saji (fastfood).
Perkembangan tekhnologi komunikasi dan transportasi serasa memperpendek jarak dan
mempersingkat waktu. Manusia seolah-olah dimana dalam kehidupannya.
Seiring dengan itu semua, ternyata kita harus membayar mahal dengan kesehatan kita.
Pemakaian peptisida, limbah beracun, polusi udara, zat additive (pewarna, perasa,
pengawet) di dalam makanan adalah beberapa faktor yang apabila dikonsumsi terus
menerus dalam jangka panjang dapat menurunkan kualitas kesehatan tubuh kita. Radikal
bebas, karsionogen (gen penyebab kanker), zat beracun adalah beberapa istilah yang
semakin sering kita dengar. Bahkan kanker, diabetes, kolesterol, stroke, asam urat, alergi,
ada di kanan – kiri kita.
Selain hal –hal eksternal itu, kebiasaan hidup juga sangat berpengaruh bagi kesehatan
tubuh kita. Makanan yang tidak bergizi seimbang, sedikit olahraga dan kurangnya
istirahat akan mendukung terjangkitnya penyakit.
Stroke merupakan salah satu akibat dari pola hidup yang mengikuti gaya modern, dan
tetap menjadi permasalahn kesehatan yang utama sampai saat ini. Stroke mampu
memengaruhi kehidupan dan ekonomi. Insidensinya diperkirakan >700 .000 di Amerika
Serikat setiap tahun dan menyebabkan > 160.000 orang meninggal tiap tahun, dengan
sekitar 4,8 juta orang penderita stroke yang dapat bertahan sampai saat ini.
Meskipun terdapat 60 % angka penurunan pada mortalitas akibat stroke selama 29
tahun ini sejak 1968 sampai dengan 1996, rata-rata penurunan baru dimulai pada tahun
1990 secara lambat dan kemudian mengalami stabilitas. Walaupun secara keseluruhan
telah terjadi penurunan sebesar 3,4 % dari jumlah mortalitas pada penderita stroke antara
tahun 1991 hingga 2001, namun jumlah kematian sebenarnya akibat stroke tetap tinggi,
yakni sekitar 7,7 %. Stroke menempati peringkat ke 3 penyebab kematian. Insidensis
stroke mungkin meningkat. Sejak tahun 1988 hingga 1997, rata-rata penderita stroke yang
di rawat di Rumah Sakit meningkat 18,6 % (dari 580 menjadi 664 per 100.000),
sedangkan total dari penderita stroke yang membutuhkan perawatan di Rumah Sakit
meningkat 38,6 % (dari 592.811 menjadi 821.760 tiap tahun). Pada tahun 2004, biaya
yang diperlukan untuk perawatan stroke diperkirakan sekitar 53,6 miliar dolar ( biaya
langsung dan tidak langsung), dengan rata-rata biaya yang dikeluarkan sekitar 140.048
dolar seumur hidup. (AHA,2004).
Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), terdapat kecendrungan meningkatnya
jumlah penyandang stroke di Indonesia dalam dasawarsa terakhir. Terdapat kecendrungan
penyakit ini menyeranggenerasi muda yang masih produktif. Hal ini akan berdampak
terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat mengakibatkan terganggunya
aktifitas sosial ekonomi keluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia
identik dengan lifestyle ( gaya hidup) masyarakat, diantaranya olahraga, merokok,
menenggak alkohol, pola makan, kegemukan akibat pola makan kaya lemak atau
kolesterol yang melanda di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia, stroke
merupakan penyakit nomor 3 yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan,
menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor 1 di Rumah Sakit
pemerintah di seluruh penjuru Indonesia.
Stroke juga menjadi penyebab utama dari gangguan fungsional. Sebanyak 20 % dari
penderita stroke yang dapat bertahan membutuhkan perwatan pada institusi khusu selama
3 bulan dan 15 % - 30 % menjadi kecacatan permanen.
Stroke menyebabkan perubahan pola hidup yang berpengaruh tidak hanya pada
penderitanya, tetapi juga pada seluruh keluarga dan orang yang merawatnya. Analisis
manfaat menunjukkan bahwa lebih dari separuh kasus stroke memberi risiko yang lebih
buruk terhadap kematian. Walaupun telah ditemukan pengobatan yang berguna pada
pasien dengan stroke iskemik akut menggunakan aktivator plasminogen intravena dan
terapi lain untuk fase akut yang cukup menjanjikan, namun tindakan prevensi yang efektif
merupakan pengobatan terbaik mengurangi risiko stroke.
Prevensis primer sangat penting karena > 70 % dari stroke merupakan serangan
pertama. Insidensi stroke pada umur tertentu di Oxfordshire, United Kingdom ( Inggris),
menurun sampai 40 % selama 20 tahun berhubungan dengan peningkatan penggunaan
terapi preventif dan pengendalian faktor risiko. Seperti yang telah didiskusikan
sebelumnya, individu dengan risiko tinggi atau yang cenderung mengalami stroke saat ini
dapat diidentifikasi dan ditargetkan untuk mendapat perhatian khusus.
Stroke merupakan suatu kematian secara tiba-tiba dari sel-sel pada area otak yang
spesifik disebabkan oleh aliran darah yang tidak adekuat. Stroke terjadi ketika aliran darah
ke suatu bagian dari otak terhambat, baik oleh karena pembuluh darah di otak pecah
maupun karena adanya sumbatan oleh gumpalan darah.. tergantung pada daerah kerusakan
yang ditimbulkan, stroke dapat menyebabkan paralysis, kehilangan penglihatan, gangguan
berbicara, kehilangan daya ingat dan daya pikir, koma, kematian.

B. DEFINISI STROKE
Terdapat beberapa definisi yang berusaha menjelaskan mengenai pengertian stroke.
Stroke adalah gangguan pembuluh darah otak (GPDO) / Cerebro Vascular Disease(CVD)
merupakan suatu kondisi kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh
gangguan suplei darah kebagian otak (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Chandra B.
(1986), stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah otak, yang secara mendadak (dalam beberapa detik ) atau secara cepat
(dalam beberapa jam) timbul gejalah dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak
yang terganggu. Stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi serebral baik fokal
(bahasa latin, letak kelainan di otak) maupun menyeluruh (global) yang berlangsung
dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa
ditemukannya penyebab lain kecuali dari gangguan vaskular (PERDOSSI, 2006).

Menurut World Health Organization (WHO), stroke adalah manifestasi klinis dari
gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung
dengan cepat, dengan gejala yang berlangsung dengan cepat, dengan gejala yang
berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab
selain gangguan vaskuler.

Stroke menurut WHO, Task Force in Stroke and other Cerebrovascular


Diseaseadalah gangguan fungsi neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan
peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau setidak –
tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala – gejala dan tanda – tanda yang
sesuai dengan dengan daerah fokal otak yang terganggu (Konsensus Nasional Pengenalan
Stroke di Indonesia, 1999).

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa stroke adalah :

1. Timbulnya kelainan saraf yang sifatnya mendadak


2. Kelainan saraf yang ada harus sesuai dengan daerah atau bagian dari otak yang
terganggu.
Hal ini berarti manifestasikan klinis dari stroke tidak harus dan tidak hanya berupa
hemiparesis maupun hemiplegi saj, melainkan dapat timbul dalam bentuk lain seperti
kebutaan pada salah satu mata, afasia atau bahkan kelumpuhan dari keempat anggota
badan. Semuanya ini tergantung kepada daerah atau bagian dari otak yang terganggu.

C. EPIDEMIOLOGI STROKE

Usia merupakan faktor risiko yang paling penting bagi semua jenis stroke. Insidan
stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambanya usia. Di Oxfordshire, selama
tahun 1981 – 1986, tingkat insiden (kasus baru per tahun) stroke pada kelompok usia 54
– 54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk dibandingkan 1987 kasus per 100.000
penduduk pada kelompok usia 85 tahun keatas (Lumbantobing, 2001). Adapun di
Auckland, Selandia baru, insiden stroke pada kelompok usia 55 – 64 tahun ialah 20 per
10.000 penduduk dan di Soderhamn, Swedia, insiden stroke pada kelompok usia yang
sama, 32 per 10.000 penduduk. Pada kelompok usia di atas 85 tahun dijumpai insiden
stroke dari 184 per 10.000 di Rochester, Minnesota, dan 397 per 10.000 penduduk di
Soderhamn, Swedia (Fieschi, et al, 1998)

Berdasarkan jenis kelamin, insidens stroke di Amerika Serikat 270 per 100.000 pada
pria dan 201 per 100.000 pada wanita. Di Denmark, insidens stroke 270 per 100.000
pada pria dan 189 per 100.000 pada wanita. Di Inggris insiden stroke 174 per 100.000
pada pria dan 233 per 100 pada wanita. Di Swedia insiden stroke 221 per 100 pada pria
dan 196 per 100.000 pada wanita (Fieschi, et al, 1998).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar ( RISKESDAS) 2008, prevalensi
penderita stroke di Indonesia sekitar 8,3 % per 1.000 penduduk dan Propinsi Sulawesi
Selatan menempati urutan ke – 17 dengan jumlah penderita 7,4 %. Dari data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2007, stroke merupakan penyebab kematian terbesar
dari penyakit jantung dan pembuluh darah dengan jumlah kematian sebesar 4.884 (
36,7 %) (Depkes, 2009). Di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, dilaporkan 316
penderita stroke (20,5 %) dari seluruh penderita rawat inap di Bagian Saraf pada tahun
2010 yang di dominasi oleh stroke iskemik yaitu 180 penderita (16,74%) (Data 10
penyakit terbesar RSWS Tahun 2010).

D. KLASIFIKASI STROKE
Klasifikasi stroke dikenal berbagai macam. Semuanya berdasarkan pada
gambaran klinik , patologi anatomi, sistem pembuluh darah dan stadiumnya (WHO,
1989; Ali et al, 1996; Misbach, 1999; Widjaja, 1999).
Dasar klasifikasi yang berbeda – beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke
mempunyai cara pengobatan, preventif, dan prognosis yang berbeda, walaupun
patogenisnya serupa (Ali et al, 1996; Misbach, 1999). Adapun klasifikasi tersebut,
antara lain : (Misbach, 1999).

Gambar 1.2 Klasifikasi Stroke Menurut Frekuensinya. Dikutip dari Daal, 2003
a. Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya
1. Stroke Iskemik
a. TIA
b. Trombosis Serebri
c. Emboli Serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan IntraSerebral
b. Perdarahan Subarakhnoid
b. . Berdasarkan Stadium / Pertimbangan Waktu :
1. Serangan iskemik sepintas / TIA
a. Pada bentuk ini gejala neurologi yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam
2. RIND
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari
24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu
3. Prognosis stroke atau stroke in evalution
a. Gejala neurologik yang makin lama makin berat
4. Completed stroke
Gejala klinis sudah menetap

c. Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah

Sistem Karotis dan Sistem Vertebro – Besiler


Adapun penggunaan klinis yang lebih praktis lagi adalah klasifikasi dari
New York Neurological Institute, yang menempatkan stroke menurut
mekanisme terjadinya dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu: stroke Iskemik
(85 %) yang terdiri atas : trombosis 75 – 80 %, emboli 15 – 20 %, lain – lain 2
% : vaskulitis, koagulopati, hipoperfusi dan stroke hemoragik (10 – 15 %)
yang terdiri atas : intraserebral (parenchymal) dan subarachnoid (WHO, 1989;
Ozer, et al, 1994; Iswadi, 1999; Widjaja, 1999; Caplan, 2000).
Anatomi Fisiologi Otak Manusia
A. Struktur Anatomi Otak Manusia
Berat otak manusia sekitar 1.400 gram dan tersusun oleh kurang lebih
100 triliun neuro. Otak terdiri atas empat bagian besar yaitu: serebrum (otak
besar), serebelum (otak kecil), brain stem (batang otak), dan diensefalon
(Stuart D. Cook, M.D., 2012).

B. Sirkulasi Darah Otak


Secara anatomi otak mendapat darah dari 3 arteri besar dileher yaitu 2
arteri karotis internal kanan – kiri di sebelah arterior dan arteri basilaris di
sebelah posterior. Dari sejumlah darah yang diperlukan otak 80 % dibawa
melalui arteri korotis internal kanan dan kiri, sedangkan 20 % sisanya dibawa
oleh arteri basilaris. Ketiganya bersama – sama membentuk sirkulus Willisi
yang merupakan sirkulus kolateral (Brogren H., et al, 2004).
Sirkulus Willisi adalah area, tempat percabangan arteri basilar dan
korotis internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua arteriserebral, arteri
komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua arteri
komunikans anterior. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi
dari satu hemisfer ke hemisfer yang lain dari bagian anterior ke posterior
otak. Sistem ini yang memungkinkan terjadinya sirkulasi kolateral jika satu
pembuluh darah mengalami penyumbatan. (Ardakani K.S., 2008).

C. Patofisiologi Stroke Iskemik


Dalam keadaan fisiologi otak yang beratnya 1.200 – 1.400 gram (2 %
dari berat badan) merupakan organ tubuh yang sangat sensitif . demi
kelangsungan hidupnya membutuhkan ogsigen dan glukosa yang konstan
dalam jumlah tertentu. Sekitar 20 % dari volume darah yang dipompakan
jantung dalam 1 menit atau 700 cc darah per menit mengalir ke otak untuk
mempertahankan fungsi metabolismenya.
Jumlah tersebut dalam satu kesatuan waktu disebut sebagai Cerebral
Blood Flow (CBF). Apabila mengalami penurunan atau hambatan dari
suplain tersebut akan menimbulkan berbagai macam koplikasi, yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kematian jaringan (infark) (Mannila MN,
Eriksson P, Leander K,. 2007). Darah yang mengalir dalam pembuluh darah
otak untuk mempertahankan CBF ini dipengaruhi oleh 3 faktor. Faktor –
faktor tersebut yaitu permasalahan pada pembuluh darah (vaskular), jantung
dan komponen dari darah sendiri (Uitte de Willige S, de Visser MC,
Houwing – Duistermaat J,. 2005).
Pengetahuan tentang patomekanisme stroke iskemik penting untuk dapat
melakukan pencegahan dan intervensi terapi pada stroke. Infark
aterotrombotik mempunyai patomekanisme genetik, lingkungan, dan
berbagai macam tipe (Liu. Y, J. Q. Pan, et al, 2002).
Penelitian tentang patofisiologi stroke dimulai dengan meneliti
perubahan aliran darah otak di tingkat mikrosirkulasi otak dan melakukan
pemelitian mendalam mengenai aspek perubahan seluler maupun subseluler.
Akibat iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap (Sjahrir, 2003), yaitu:
Tahap 1: Penurunan aliran darah
a. Pengurangan O2
b. Kegagalan energi
c. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 :Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion spreading depression
Tahap 3: Inflamasi
Tahap 4: Apoptosis
Pengetahuan tentang patomekanisme stroke iskemik penting untuk dapat
melakukan pencegahan dan intervensi tetapi pada penderita stroke. Infark
aterotrombotik mempunyai patomekanisme genetik, lingkungan, dan
berbagai macam tipe (Liu. Y, J. Q. Pan, et al, 2002).
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat
obstruksi atau bekuan pada satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi
serebrum (Sah S.,(2011). Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus)
yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh organ distal
(Atri A, 2009). Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau
mungkin terbentuk di dalam suatu organ jantung, dan kemudian dibawa
melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus.
Aterosklerosis merupakan penyebab pada sebagian besar kasus stroke
trombotik, dan embolus dari pembuluh besar dan jantung merupakan
penyebab tersering stroke iskemik (Wardlaw JM., 2001).
D. Penyebab Stroke Iskemik
(Rodgers, G.M.,2004)
1. Trombus
Aterosklerosis (tersering)
Vaskulitis: arteritis temporalis, poliarteritis nodosa
Robeknya arteri: karotis, vertebralis (spontan atau traumatik)
Gangguan darah : polistemia, hemoglobinopati.

2. Emboli
Sember utama dari jantung : fibrilasi atrium (penyebab tersering), infark
miokardium, penyakit jantung katup, katup protetik, dan kardiomiopati.
Sumber tromboeboli adanya aterosklerotik arteri : bifurkatiokarotis
komunis, dan arteri vertebralis distal. Keadaan hiperkoagulasi
kontrasepsi hormonal, dan karsinoma.

3. Vasokonstriksi
Vasospaame serebrum setelah PSA (Perdarahan Sub - Arachnoid).
Secara garis besar iskemia otak dapat disebabkan oleh tiga kelompok
penyebab utama yaitu permasalahan pada pembuluh darah (vaskular),
jantung, dan komponen dari darah itu sendiri.
Trombosis adalah keadaan ketika terjadi pembentukan massa
bekuan darah intravaskular yang berasal dari konstituen darah pada
orang yang masi hidup. Dalam pengertian yang luas, trombus dapat
bersifat fisiologik disebut sebagai hemostatic trombus yang berguna
untuk menutup kerusakan dinding pembuluh darah setelah injury, dapat
juga bersifat patologik, disebut sebagai pathologic trombus yang justru
dapat menyumbat lumen pembuluh darah (Rosenberg RD, Aird WC,
1997).
Pada umumya yang dimaksud dengan trombosis ialah
pembentukan pathologic trombus. Trombosis dapat terjadi pada arteri,
disebut sebagai trombosis arteri (artherial thrombosis), dapat juga terjadi
pada vena tersebut sebagai trombosis vena (venous thrombosis).
Trombus arteri berbeda sifatnya dengan trombus vena. Komponem
trombus arteri sebagian besar terdiri atas platelet (trombosit) diselingi
oleh anyaman fibrin, komponen eritrositnya sangat rendah sehingga
trombus berwarna putih disebut sebagai white trombus.Adapun trombus
vena sebagian besar terdiri atas sel darah merah di sela – sela anyaman
fibrin, komponen trobosit sangat sedikit, trobus berwarna merah disebut
sebagai red trombus (Deitcher S.R., Rodgers G.M., 2004).
STRATEGI MANAJEMEN STROKE

A. Penatalaksanaan Umum

M enurut pedoman penatalaksanaan stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf


Indonesia (PERDOSSI, 2007) yaitu sebagai berikut :

1. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Gawat Darurat dan
merupakan tindakan resusitasi serebro – kardio – pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2
L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin
dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT- Scan otak, elektrokardiografi, photo
thorax, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/ INR, APTT,
glukosa darah,kimia darah (termasuk elektrolit), jika hipoksia dilakukan analisis
gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap
tenang.

2. Stadium Akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor- faktor etiologi maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis
serta telaan sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi
kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan
keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.

3. Terapi Stroke Iskemik

a. Terapi umum
Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik
sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1 – 2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi.
Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan
kateter intermitten).

b. Pemberian Nutrisi dengan Cairan Isotonik


Kristaloid atau kolid 1500 – 2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan ,
hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui
slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas
gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-
3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau <80mg%
dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 400 % IV sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah
diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala.
Takanan darah perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik
> 220mmHg diastolik >120mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP)
>130 MHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau
didapatkan infrak miokard akut, gagal jantung kongestif, serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20 %, dan obat yang
direkomendasikan : natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa – beta
penyekat AC, atau antogonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik <90 MMHg, diastolik
<70MMHg, diberi Nacl 0,9 % 250ml selama 1 jam, dilanjutkan 500 mm
selama 4 jam dan 500 ml selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi jika
belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih <90 MMHg, dapat diberi
dopamin 2 – 20 µ / kg/menit sampai tekanan darah sistolik < 110 MMHg.
Jika kejang, diberi diazepan 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3
menit,maksimal 100mg perhari;di lanjutkan pemberian anticonvulsan per oral
(fenitoin,karbamazebin).jika kejam muncul setelah 2 minggu,di berikan
anticonvulsan per oral jangka panjang.
Jika di dapatkan tekanan intrakranial meningkat,diberi manitol bolus
inravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB/30 menit,dan jika di curigai fenomena
rebound atau keadaan umum memburuk,dilanjutkan 0,25g/kgBB/30 menit
setiap 6 jam selamat 3-5 hari.harus di lakukan pemantauan osmolalitas (<320
mmol);sebagai alternatif dapat di berikan larutan hipertonik (NaCl 3 %)atau
forosemid.

c. Terapi Khusus Stroke Iskemik


Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antilatelet seperti aspirin dan
antikoagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitit rt-PA (rekombinant
tissue plasminogen actifator)terapi stroke dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
Antikoagulan dan Antiplatelet.
Join Guideline Statemente From The AHA and The AAN
merekomendasikan :
a. Aspirin 160 – 325 mg / hari harus diberikan pada pasien stroke iskemik
dalam 48 jam setelah onset untuk menurunkan morditas dan mortalitas
(pada pasien yang tidak diterapi dengan trombolisi rt-PA intravena).
b. Subkutan unfractionated heparin, low molecujular wight heparin dan
heparinoid dapat dipertimbangkan sebagai terapi profilaksis pada pasien
dengan risiko DVT (Dep Vein Trombosis). Efektfitasnya dalam mencegah
edema fulmonal belum terbukti. Sehingga perlu dipertimbangkan risiko
perdarahan yang dapat ditimbulkan.
c. Pemakaian subkutan unfractionatec heparin untuk menurunkan risiko
kematian, morbitas dan kekambuhan tidak direkomendasikan.
d. unfractionated heparin dengan dosis yang disesuaikan juga tidak
direkomendasikan untuk menurunkan morbilitas, mortalitas dan
kekambuhan pada pasien dengan struk akut (48 jam pertama) karena bukti-
bukti menunjukkan terapi ini tidak efektif dan meningkatkan risiko
perdarahan. LMWH /Heparinoid dosis tinggi juga tidak direkomendasikan.
e. IV unfractionated heparin, LMWH/heparinoid dosis tinggi tidak
direkomendasikan pada pasien stroke iskemik akut dengan kardioemboli,
aterosklerotik pembuluh darah besar, vertebrobasiler ataupun progressing
stroke karena data-data yang mendukung dianggap masih kurang

4. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan,
terapi bicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat
perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif
pasca stroke di Rumah Sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti,
memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder.

Terapi fase subkutan

1. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,


2. Petalaksanaan komplikasi
3. Restorasi / rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi
wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi.

B. Pencegahan Stroke
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia ,
upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke , yaitu :

1. Pencegahan primordial
Tujuuan pencegahan primordial dalah mencegah timbulnya factor
risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai factor risiko.
Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakuan promosi
kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke
dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian
masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan
adalah program memberikan informasi tentang penyakit stroke melalui
ceramah, media cetak, media elektronik, dan billboard (Atherosclerosis
and trombus Formation. Stroke Center of Washington at Saint Louis,
School of Medicine. 29 juli 2011).

2. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya factor risiko
stroke pada individu yang mempunyai factor risiko dengan cara
melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain (Geets WH, dkk
2004):

3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditunjukkan bagi mereka yang pernah menderita
stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita
stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan
adalah (Geets WH, dkk 2004):
a. Obat-obatan yang digunakan : asetosal (asam atesil salisilat) digunakan
sebagai obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis
berkisar antara 80 – 320 Mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada
penderita dengan factor risiko penyakit jantung (fibrilasi atrium, infrak
miokard aakut, kelainan katup ) dan kondisi koagulopati yang lain.
b. Clopidogrel dengan dosis 1 X 75 mg. merupakan pilihan obat
antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau
mempunyai kontra indikasi terhadap asetosal (aspirin).
c. Modifikasi gaya hidup dan factor risiko stroke, misalnya
mengkonsumsi obat anti hipertensi yang sesuai pada penderita
hipertensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita diabete,
diet rendah lemak, dan mengonsumsi obat antidislipidemia pada
penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti mengkonsumsi
alcohol, hindari kelebihan berat badan, dan kurang bergerak.

4. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita
strokeagar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan
mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktifitas
kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk
rehabilitasi fisik, mental, dan social. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim
yang terdiri dari atas Dokter, Perawat, Ahli Fisioterapi, Ahli Bicara dan
Bahasa, Ahli Okufasional, Petugas Sosial, dan peran serta Keluarga (Geets
WH, dkk 2004):

a. Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat
membantu proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang
diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk
mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah
kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan keseimbangan
serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi
okupasional (occupational therapist atau OT ), diberikan untuk melatih
kemampuan penderita dalam melakukan aktifitas sehari-hari seperti
mandi, memakai baju, makan, dan buang air. Terapi yang ketiga adalah
terapi bicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan
penderita dalam menelan makanan dan minuman dengan aman serta
dapat berkomunikasi dengan orang lain

b. Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional
yang dapa mempengaruhi mental mereka misalnya reaksi sedih, mudah
tersinggung, tidak bahagia, murung, dan depresi. Masalah emosional
yang mereka alami akan mengakibatkan penderita kehilangan motivasi
untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh sebab itu, penderita perlu
mendapatkan terapi mental dengan melakukan konsultasi dengam
psikiater atau ahli psikologi klinis (Geets WH, dkk 2004):

c. Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas social berperan untuk membantu
penderita stroke menghadapi masalah social seperti mengatasi
perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan aktifitas
selain itu petugas social akan memberikan informasi mengenai layanan
komunitas local dan badan-badan bantuan social (Geets WH, dkk
2004).
MANAJEMEN STROKE SAAT EMERGENSI

Rakhmad Hidayat
Stroke Unit RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Divisi Neurovaskular dan Neurosonologi, Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia

Penatalaksanaan di Ruangan Gawat Darurat


Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, evaluasi dan
diagnosis klinik harus dilakukan dengan cepat, sistematik dan cermat (AHA/ASA,Kelas I,
Tingkat evidensi B).
Evaluasi gejala dan tanda klinik stroke akut meliputi :
1. Anamnesis
Terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat serangan,
gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi,
diabetes,dan lain - lain). Dalam saat anamnesis, menentukan waktu pasien mengalami
gejala stroke sangat penting. Harus dibedakan juga dengan situasi ketika pasien sudah
stroke ketika bangun dari tidur (wake up stroke)

2. Pemeriksaan fisik
Meliputi penilaian A-B-C, nadi, oksimetri dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan
leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit korotis dan siphon, dan
tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung
paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.

3. Peneriksaan neurologik dan skala stroke


Pemeriksaan neurologik terutama pemeriksaan sarag kranialis, rangsang selaput otak,
sistem motorik, sikap dan cara jalan, refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif.
Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah National Institutes of Health Stroke Scale
(NIHSS)

4. Studi diagnostik yang dianjurkan segera segera dilakukan kepada setiap penderita
stroke akut diruang gawat daruratmeliputi pemeriksaan CT scan tanpa kontras, kadar
gula darah, elektrolit, tes fungsi ginjal, elektrokardiografi (EKG), penanda iskemik
jantung, hitung darah lengkap, (termasuk trombosit), PT/INR, Aptt, saturasi oksigen.
Bila CT scan tidak tersedia, mungkin dapat digunakan skoring klinis untuk
mendiagnosis iskemik atau perdarahan. Pada penderita tertentu, diperlukan
pemeriksan tes fungsi hati, toksikologi, kadar alkohol dalam darah, tes kehamilan,
analisis gas darah, foto rontgen toraks walaupun mungkin sebagian besar pasien
stroke tidak memerlukan foto rontgen toraks pada evaluasi awal. Tindakan pingsi
lumbal dapat dilakukan bila ada dugaan perdarahan subaraknoid, sedangkan CT scan
tidak menunjukkan adanya perdarahan (sebagian beras pasien stroke tak memerlukan
lumbal pungsi), elektro – ensefalografi (EEG) bila ditemukan kejang dan pemeriksaan
kemampuan menelan.

5. Pencitraan otak pada stroke iskemik dianjurkan sebelum melakukan terapi spesifik.
Interpretasi gambaran pencitraan dilakukan oleh dokter pakar dibanding pembacaan
CT/MRI. CT dan MRI multimodal sangat membantu dalam diagnosis strok iskemik.
Terapi, pencitraan multimodal tidak boleh menunda terapi emergensi. Sehingga pada
pasien yang direncanakan terapi definitif, CT scan digunakan untuk membedakan
adakah perdarahan atau tidak.

6. Pencitraan vaskular (CT angiografi) diperlukan untuk persiapan pemberian obat intra
– arteria, tindakan bedah atau intervensi edovaskular. Tetapi pencitraan ini tidak boleh
mengakibatkan penundaan terapi pada pasien stroke iskemik akut yang datang dalam
waktu 3 jam setelah awitan. Pada pasien yang datang melebihi waktu untuk dilakukan
terapi definitif, mungkin diperlukan dilakukan CT perfusi ataupun MRI diffussion
weighted imaging (DWI) / perfusionweighted imaging (PWI) untuk mementukan
penumbra pada pasien stroke iskemik yang nantinya dapat digunakan untuk
memperpanjang batas waktu pelaksanaan terapi definitif.

a. Terapi Umum (suportif)


 Stabilisasi Jalan Nafas dan Pernafasan

1. Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologik, nadi, tekanan


darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien
dengan defisit neurologis yang nyata
2. Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95 %
3. Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.
4. Pasien stroke iskemik akut yang non hipoksia, tidak memerlukan suplemen
oksigen
5. Intubasi endo trachel tube (ETT) atau laryngeal mask airway (LMA)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (PO2 < 60mmHg atau PCO2 >
50mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu, kalu lebih 2
minggu maka dianjurkan melakukan trakeostomi.
 Stabilisasi hemodinamik (sirkulasi)

1. Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pemberian cairan


hipotomik seperti glukosa).
2. Dianjurkan pemasangan central venous catheter (CVC), dengan tujuan
disamping dapat memantau kecukupan cairan, juga dapat sebagai sarana untuk
memasukkan cairan dan nutrisi.
3. Usahakan CVC 5 – 12mmHg.
4. Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus).
5. Bila tekanan darah sistolik dibawah 120mmHg, dan cairan sudah mencukupi
dapat diberikan obat – obat vasopressor secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/tinggi, nor – epinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah
sistolik berkisar 140mmHg.
6. Pemantauan jantung (cardiac monitoring ) harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah awitan serangan stroke
7. Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsul
kardiologi)
8. Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus
dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia jantung dan jantung yang
mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi

 Pemeriksaan Awal Fisik Umum


1. Tekanan darah
2. Pemeriksaan jantung
3. Pemeriksaan neurologi umum awal
- Derajat kesadaran
- Pemeriksaan pupil dan okulomotor
- Keparahan hemifaresis

 Pengendalian Peninggian TIK


1. Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus
dilakukan dengan memperhatikan pemburukan gejala dan tanda neurologic
pada hari-hari petama setelah serangan stroke (AHA / ASA, kelas 1 tingkat
evidensi B )
2. Bila ditemukan tanda peningkatan TIK berdasarkan klinis atau CT Scan, dapat
dipertimbangkan pemberian manitol
3. Penatalaksanaan penerita dengan peningkatan tekanan intakranial meliputi :
- Tinggikan posisi kepala 20 – 300
- Hindari penekanan vena jugular
- Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
- Hindari hipertermia
- Jaga normovolemia
- Osmoterapi atas indikasi :
o Manitol 0,25 – 0,50 gr/ kgBB selama >20 menit, diulangi setiap 4 –
6 jam dengan target < 310 mOsm / L . Osmolalitas sebaiknya
diperiksa dua kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
o Kalau perlu berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg /kgBB
i.v.
- Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40 mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif
- Kortikosteroid tidak direkomendasi untuk mengatasi edema otak dan
tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik. Namun, dapat diberikan
bila diyakini tidak ada kontra indikasi
- Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke
iskemik serebral
- Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar yang
menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan
nyawa dan memberikan hasil yang baik

 Penanganan transformasi hemoragik


Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimtomatik. Terapi
transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara
lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah
arterial secara hati-hati.

 Pengendalian kejang
1. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intyravena 5-20 mg. Jika kejang
belum berhenti dapat dilanjutkan oleh feniton dosis loading 15-20mg/kg bolus
dengan kecepatan maksimum 50mg/menit
2. Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU
3. Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang
tidak dianjurkan
4. Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi profilaksis,
selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang
selama pengobatan.

 Pengendalian suhu tubuh


1. Setiap penderita stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretik dan
diatasi penyebabnya. Berikan asetaminofen 650mg bila suhu lebih dari 38,5OC
atau 37,5OC menurut ESO.
2. Pada pasien febris atau berisiko infeksi, harus dilakukan kultur dan apusan
(trakeal, darah dan urine) dan berikan antibiotik. Jika memakai kateter
ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi
meningitis.
3. Jika didapatkan miningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik
 Pemeriksaan penunjang
1. EKG
2. Laboratorium: kimia darah, fungsi ginjal, hematologi dan faal hemostasis, kadar
gula darah, analisis urine, analisa gas darah dan elektrolit.
3. Bila perlu, lakukan pungsi lumbal pada suspek perdarahan subaraknoid untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal.
4. Pemeriksaan radiologi:
- Rontgen toraks
- CT scan

b. Penatalaksanaan umum di ruang rawat


1. Cairan
 Berikan cairan isotonis seperti 0,9% saline dengan tujuan menjaga euvolemi.
Tekanan vena sentral di pertahankan antara 5 – 12 mmHg
 Pada umumnya kebutuhan cairan 30ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
 Hitung keseimbangan cairan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urine sehari
ditambah 500ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi
300ml perderajat celcius pada penderita dengan demam)
 Elektrolit (natrium, kalium, magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti bila
terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
 Asinosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
 Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali
pada keadaan hipoglikemia.

2. Nutrisi
 Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam pertama,
nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
 Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan diberikan
melalui pipa nasogastrik.
 Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25 – 30kkal/kg/hari dengan komposisi:
- Kerbohidrat 30-40% dari total kalori.
- Lemak 20-35% (gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55%)
- Protein 20-30% (pada keadaan stresskebutuhan protein 1,4-
2.0g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal < 0,8g/kgBB/hari)
 Apabila memungkinkan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangan untuk gastrostomi.
 Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
 Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat obat – obatan yang
diberikan (misal: hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K
pada pasien yang menjadi warfarin).
3. Mencegah dan mengatasi komplikasi
 Mobilisasi dan penilaian diri untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi,pneumonia, deep vein thrombosis (DVT), emboli paru,
dekubitus, komplikasi ortopedik dan kontraktur perlu dilakukan
 Berikan antibiotika sesuai indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman
 Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/ atau memakai kasur
antidekubitus
 Pencegahan DVT dan emboli paru
 Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT perlu diberikan heparin
subkutan 5000IU dua kali sehari atau low-molecular-weight heparin
(LMWH) atau heparinoid. Perlu diperhatikan terjadinya risiko perdarahan
sistemik dan perdarahan intraserebral. Pada pasien imobilisasi tetapi tidak
bisa menerima antikoagulan, maka untuk mencegah DVT
direkomendasikan penggunaan stocking eksternal atau aspirin.

a. Penatalaksanaan medis lain


 Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia
(kadar glukosa darah >180mg/dl) pada stroke akut harusdiobati
dengan titrasi insulin. Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50mg/dl) harus diobati
dengan dekstrosa 40 % intravea atau infus glukosa 10-20 %
 Jika gelisah, lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor
dan mayor tranquilizer seperti benzodiazepin short acting atau
propofol
 Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi
 Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdrahan lambung)
 Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lendir atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi tekanan intra
kranial
 Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil
 Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
keteterisasi intermitten
 Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium,
MRI, dupleks cerotid sonography, transcranial doppler,
transthoracic echocardiogram (TTE), transesophageal
echocaridiography (TEE) dan lai-lain sesuai dengan indikasi
 Rehabilitasi
 Edukasi keluarga
 Discharge planning (rencana pengeloaan pasien di luar Rumah
Sakit
Manajemen tekanan darah hipertensi emergensi
Jika tekanan darah sistolik > 230mmHg atau diastolik
>120mmHg maka dapat diberikan :
 Pastikan tidak ada faktor lain yang dapat menyebabkan tekanan darah
meningkat yaitu nyeri atau yang lainnya. Jika ada nyeri , silahkan beri
obat nyeri parenteral yang adekuat
 Dapat diberikan obat anti hipertensi parenteral yaitu :
o Labetatol 10 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang setiap 10-20
menit, dosis maksimum 300mg; atau
o Infus nikardipin, 5mg/jam, dititrasi hingga efek yang diinginkan
tercapai 2,5mg/jam tiap 5 menit, maksimum 15mg/jam
o Bila tekanan darah tidak terkontrol, pertimbangkan natrium
nitroprusid
Catatan : labetalol dan nitroprusid belum tersedia di Indonesia

 Monitor tekanan darah tiap 15 menit selama terapi dan selama 2 jam
berikutnya, kemudian tiap 30 menit selama 6 jam, kemudian setiap
jam selama 16 jam. Pasien dapat diberikan obat hipertensi oral dalam
6 jam pertama sejak pasien datang
Neuroimaging pada Stroke Akut

Reyhan Eddy yunus

Departemen Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

PENDAHULUAN

Stroke merupakan proses dinamik yang secara imaging dapat dibagi menjadi fase
hiperakut (<6 jam), akut (<24 jam), subakut (<1 minggu), subakut-kronik (1 minggu hingga 2
bulan), dan kronik (>2 bulan). Imaging yang berperan besar dalam diagnosis stroke adalah
CT scan dan MRI.
Pada fase hiperakut, imaging bermanfaat untuk menentukan subtipe stroke,
menentukan pasien dapat diberikan terapi trombolitik, mengeksklusi pasien dengan
kontraindikasi terapi trombolitik, dan mengidentifikasi pasien dengan kondisi lain yang tanda
dan gejalanya menyerupai stroke. Imaging pada pasien stroke hiperakut diperlukan untuk
memastikan ada tidaknya perdarahan intrakranial dan seberapa luas perubahan iskemik otak.
Pemeriksaan imaging yang lebih mutakhir seperti CT angiografi, CT perfusion, dan
MRI bermanfaat dalam memprediksi luas infark final, membedakan inti infark dengan
jaringan penumbra yang berisiko, mengidentifikasi risiko khusu dalam melakukan terapi
antitrombotik/trombolitik, menentukan lokasi oklusi pembuluh darah, dan mengetahui
morfologi plak karotis.

Gambaran neuroimaging pada stroke akut


CT scan adalah modalitas radiologi yang saat ini cukup banyak tersedia di Rumah
Sakit sehingga efektif untuk diagnosis pasien dengan strokeakut. CT Scan non kontras
merupakan pemeriksaan imaging inisial pada kasus stroke. Infark dengan perubahan yang
minimal dapat sulit dideteksi dengan CT Scan non kontras namun kesulitan ini dapat tidak
terlalu berarti mengingat target terapi trombolisis adalah pasien tanpa gambaran perdarahan
intrkranial dan pasien tanpa iskemik / infark luas berdasarkan pemeriksaan CT Scan.
Perdarahan intrakranial dapat terlihat jelas pada CT Scan, bahkan jika dibandingkan dengan
MRI sekalipun. Iskemik / infark luas dapat diidentifikasi dengan baik menggunakan CT Scan
dan menjadi perhatian karena risiko komplikasi yang lebih tinggi jika diberikan trombolisis.
Pada kasus iskemik / infark luas, CT Scan non kontras dapat memperhatikan
perubahan iskemik otak sekitar 45 menit setelah onset stroke . fenomena perubahan iskemik
ini diperhatikan dengan hilangnya hiperensiasi subtansia alba risea otak atau disebut sebagai
early ischemic signs. CT Scan non kontras dalam waktu 6 jam dapat memperhatikan area
hipodens pada subtansia grisea. Adanya early ischemic signs menandakan proses iskemik
yang ireversibel. Early ischemic signs diantaranya adalah hipodensitas jaringan otak,
hilangnya riverensiasi subtansia alba dan grisea, kesuraman basal ganglia, insular readborn,
caudate stripe, serta edema serebri dan penyempitan sulkus kortikal.

Anda mungkin juga menyukai