LP Lupus
LP Lupus
LUPUS
A. ANATOMI FISIOLOGI
5. Respon imun
Respon imun alami non spesifik= natural= b. Respons imun didapat spesifik=
innate= alamiah adaptive=acquired
B. Definisi
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit autoimun artinya
tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang akhirnya merusak organ
tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit dan
organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang
masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan
organ tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk berlebihan.
Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit ini bisa membuat
kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). Pada kasus lain ketika
sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan
(lupus SLE).
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi
yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada di tubuh, tetapi
dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak organ tubuh sendiri. Organ
tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, paru, otak, dan sistem
pembuluh darah. Semakin lama proses perusakan terjadi, semakin berat kerusakan
tubuh. Jika penyakit lupus melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan
menurun dan pada keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah
C. ETIOLOGI
Faktor penyebab hadirnya lupus di tubuh belum diketahui secara pasti. Namun
beberapa penelitian kemungkinan lupus hadir melalui beberapa faktor diantarnya :
1. Faktor Lingkungan
a. Infeksi
b. Stress
c. Makanan
d. Antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin)
e. Ultraviolet
2. Faktor Genetik
Sampai saat ini, tidak diketahui gen – gen yang menjadi penyebabnya. Lupus
diturunkan angkanya relatif kecil kemungkinan hanya 10%.
3. Faktor Hormonal
Faktor hormonal bisa menjelaskan mengapa kaum hawa lebih sering terkena
dibandingkan pria. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit lupus sebelum
periode menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung keyakinan bahwa
hormon khususnya estrogen menjadi pencetus lupus.
4. Faktor Sinar Matahari
Sinar matahari memancarkan sinar ultraviolet yang dapat merangsang
peningkatan hormon estrogen yang cukup banyak sehingga mempermudah
terjadinya reaksi autoimun.
5. Faktor Obat-obatan
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu diminum dalam
jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, etildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
D. KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit. Lesi
berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.
2. Systemic Lupus Erythematosus
Adalah penyakit lupus yang menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti
kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Terbentuknya autoantibodi
terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan
fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanime pengaktivan
komplemen.
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat
dihentikan.
E. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American College of
Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas kriteria tersebut antara
lain:
1. Ruam malar : Malar rash (baterflay rash) merupakan tanda sepesifik pada SLE yaitu
bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan nasolabial dan di tandai
dengan adanya ruam pada hidung yang menyambung dengan ruam yang ada di pipi.
2. Ruam discoid : Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema
yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap.
3. Fotosensitifitas (Sensitivitas pada cahaya)
4. ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau perikarditis
(radang perikardium)
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten >0.5 gr/hari
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia
10. kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti DNA positif
11. adanya antibodi antinuklear.
Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara lain penurunan berat
badan, demam, dan kelainan tulang seperti pada arthritis.
12. Pembengkakan sendi
13. Nyeri tekan
14. Rasa nyeri ketika bergerak
15. Rasa kaku pada pagi hari.
gangguan imunoregulasi
penyakit SLE
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada
beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga
pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi
namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan
kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Tidak ada
pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan
yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk
SLE. ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel
Crithidia luciliae memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari
aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun
terhubung lebih baik dengan nephritis
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE
a. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang
terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa
ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear,
harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda.
Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak
semua penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan
dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu
dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b. Ruam kulit atau lesi yang khas
c. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
d. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung
e. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
f. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
g. Biopsi ginjal
h. Pemeriksaan saraf.
J. PENATALAKSANAAN
1. Kelompok Ringan
Gejala : Panas, artritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan, kelelahan,
dan sakit kepala
Penatalaksanaan untuk SLE derajat Ringan;
a. Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.
b. Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-
steroid
c. Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
d. Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)
e. Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari.
f. Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
g. Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat
bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata
2. Kelompok Berat
Gejala : efusi pleura perikard masif, penyakit ginjal, anemia hemolitik,
trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut, miokarditis, pneumonitis
lupus, dan perdarahan paru.
Penatalaksanaan untuk SLE derajat berat;
a. Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik,
penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf
pusat) perlu ditangani oleh ahlinya
b. Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai
kelainan organ sasaran yang terkena.
c. Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa
diberikan obat penekan sistem kekebalan
d. Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan
sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap
kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
3. Penatalaksanaan Umum :
a. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
b. Hindari Merokok
c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
d. Hindari stres dan trauma fisik
e. Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
f. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
g. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen
4. Pengobatan Pada Keadaan Khusus
a. Anemia Hemolitik
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari), dapat ditingkatkan sampai 100-
200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu belum ada perbaikan
b. Trombositopenia autoimun
Prednison 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/kg BB/hari). Bila tidak ada respon dalam 4
minggu,
ditambahkan imunoglobulin intravena (IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari
selama 5 hari berturut-turut
c. Perikarditis Ringan
Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak efektif dapat
diberikan prednison 20-40 mg/hari
d. Perkarditis Berat
Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
e. Miokarditis
Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat dikombinasikan
dengan siklofosfamid
f. Efusi Pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi pleura/drainase
g. Lupus Pneunomitis
Prednison 1-1,5 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu
h. Lupus serebral
Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan dengan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat diberikan
metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut-turut
K. INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
Nyeri berhubungan 1. Melaporkan adanya 1. Kaji lokasi dan tingkat nyeri klien
dengan proses penurunan tingkat untuk menentukan rencana tindakan
inflamasi dan nyeri yang tepat
kerusakan jaringan 2. Melakukan 2. Berikan analgesic sesuai indikasi
aktivitas sehari-hari dan pantau efek obat
tanpa merasa nyeri 3. Gunakan intervensi untuk
menurunkan nyeri non parmakologi
seperti tekhnik relaksasi napas dalam