Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH PESANTREN PERSATUAN ISLAM

Pada dekade 1900-an banyak lahir organisasi ke-Islaman yang bercorak modernis.
Diantaranya Al-Irsyad, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan lain-lain. Dari semua organisasi
keagamaan yang disebut tadi seluruhnya terpengaruh oleh pemikiran pembaharuan di Dunia
Islam (Timur Tengah). Misalnya pemikiran Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Abdul
Wahab, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Dalam konteks pembaharuan Islam yang dilakukan
oleh Persatuan Islam di Bandung, tidak akan lepas dari para tokoh-tokohnya yaitu M.Natsir dan
A.Hassan. kedua tokoh itulah, yang nantinya merintis Pesantren Persatuan Islam pada tahun
1936 sebelumnya sudah terselenggara Pendis (Pendidikan Islam) hasil prakarsa M.Natsir.
Tentunya diselenggarakan Pesantren Persatuan Islam ini, sebagai pencetak kader-kader
Persatuan Islam di masa yang akan datang. Dari misi inilah, Persatuan Islam merancang
kurikulum dan bahan pengajaran tersendiri berbeda dengan kaum tradisionalis dalam
menyesuaikan jiwa jamannya ketika itu. Di samping itu, Hubungan kiai dan santrinya yang
berbeda dengan pesantren-pesantren tradisional. Seluruh keunikan itu terbingkai dalam masa
penjajahan Hindia Belanda dan masa pendudukan Jepang.

A. Sejarah dan Pengertian Pesantren


Ditinjau dari segi sejarah, belum ditemukan data sejarah, kapan pertama kali berdirinya
pesantren, ada pendapat mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam
ke Indonesia, sementara yang lain berpendapat bahwa pesantren baru muncul pada masa
Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan
pesantren.[1]
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya agama Islam telah ada
lembaga pendidikan Jawa kuno yang praktik kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga
pendidikan Jawa kuno itu bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Ajar dengan
cantrik. Ki Ajar orang yang mengajar cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal
disatu komplek dan di sini terjadilah proses belajar mengajar.[2]
Dengan menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantern, sebetulnya tidak
terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantern itu telah tumbuh sejak awal perkembangan Islam
di Indonesia khususnya di Jawa. Sebab model pendidikan pesantern itu telah ada sebelum Islam
masuk yaitu pawiyatan. Dengan masuknya Islam, maka diperlukan sarana pendidikan, tentu saja
model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan mengubah sistem yang ada ke sistem pendidikan
Islam.[3]
Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya
mata pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Setelah anak didik telah memiliki
kecerdasan tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga
diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus membagi pesantren
pada tahap-tahap awal itu kepada empat tingkatan, yaitu : tingkat dasar, menengah, tinggi, dan
takhassus.[4]
Sistem pendidikan pesantren baik metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masih
bersifat tradisional. Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh
pemerintah kolonial Belanda, non-klasikal, metodenya sorogan, wetonan hafalan. Menurut
Zamaksyari Dhofier ada lima unsur pokok pesantren: kiai, santri, masjid, pondok dan pengajaran
kitab-kitab klasik.[5]
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pesantren. Pertama, sebagai lembaga
pendidikan; dan kedua, sebagai lembaga penyiaran agama. Kendatipun kini telah banyak
perubahan yang terjadi, namun inti fungsi utama itu masih melekat pada pesantren. Sampai kini,
fungsi asli tersebut tetap dipelihara oleh pesantren dari pengaruh apa yang disebut modernisasi.
Ini mungkin dilakukannya karena pesantren mempunyai “wilayah sosial” yang mengandung
daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi.[6]
Di zaman kolonial dahulu pondok pesantren memegang peranan aktif dalam menentang
penetrasi kolonialisme dengan uzlah yakni menutup diri dari pengaruh luar. Peran ini tetap
dilanjutkannya, juga beberapa waktu setelah Indonesia merdeka. Oleh karena sifatnya yang
tertutup di masa yang lampau itu dahulu, pesantren sebagai lembaga pendidikan, kurang dikenal
secara nasional.[7]
Namun demikian, ketika membicarakan model pendidikan yang terbaik untuk bangsa
Indonesia, pemimpin- pemimpin Indonesia, antara bulan Oktober 1935 sampai dengan bulan
April 1936, pernah bertukar pikiran melalui majalah Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli
dan Wasita, yang kemudian dikumpulkan oleh Akhdiyat K. Mihardja dalam buku Polemik
Kebudayaan (1948).[8]
Yang menarik dalam Polemik Kebudayaan itu adalah pikiran - pikiran yang dikemukakan
oleh Ki Hadjar Dewantara dan Dr. Sutomo, pemimpin golongan nasionalis, bukan pemimpin
Islam, yang menginginkan agar pesantren dijadikan sebagai model pendidikan nasional. Menurut
pendapat mereka, pendidikan yang diselenggerakan di pesantren, lebih sesuai bagi bangsa
Indonesia. Pesantren adalah warisan budaya Indonesia, karena itu seyogyanya pendidikan
pesantren dijadikan model dalam menyusun perguruan nasional.[9]
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami dinamika yang menjadikan
pesantren berkembang dari yang tradisional ke modern. Sesuai dengan kemajuan dan
perkembangan zaman, terutama setelah Indonesia merdeka, telah timbul perubahan-perubahan
dalam dunia pesantren. Telah banyak di antara pesantren yang telah menyesuaikan diri dengan
kemajuan zaman tersebut, kendatipun di sana sini masih ditemukan juga pesantren yang masih
bersifat konservatif.[10]
Sebagai suatu lembaga pendidikan yang hidup di tengah-tengah arus modernisasi, maka
agar eksistensinya tetap bisa dipertahankan maka ada baiknya dikutip pendapat Nurcholish
Madjid : pesantren diwajibkan oleh tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya
dengan perkembangan zaman untuk membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata
yang dapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Dibagian
ini pun sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang harus tersedia kemungkinan mengadakan
pilihan-pilihan jurusan bagi anak didik sesuai dengan potensi buat mereka. Jadi tujuan
pendidikan pesantren kiainya berada disekitar terbentuknya manusia yang memilki kesadaran
setingi-tingginya akan bimbingan agama islam.[11]
Menurut Manfred Ziemek menyebutkan bahwa asal etimologi dari pesantren adalah
pesantrian berarti “tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat
pelajaran dari pemimpin pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz). Pelajaran
mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. [12]
B. Sejarah Berdirinya Persatuan Islam
Secara historis-kronologis, Persatuan Islam ini lahir dari kelompok tadarusan atau
diskusi (kajian keagamaan Islam) yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan H. Muhammad Yunus
berpusat di kota Bandung. H. Zamzam ini adalah seorang alumnus Dar al-Ulum Mekkah yang
sejak tahun 1910-1912 menjadi guru agama di sekolah agama Dar al-Muta’alimin. Sedangkan,
H. Muhammad Yunus adalah seorang saudagar sukses, yang ketika mudanya memperoleh
pendidikan agama secara tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga mampu autodidak
melalui kitab-kitab kuning, mereka berdua sama-sama kelahiran Palembang, bahkan mereka itu
bersaudara. Dalam silsilahnya, mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari
Palembang sekitar abad ke-18. Ikatan kekeluargaan mereka memang sangat erat, berkat
hubungan perkawinan, perdagangan dan pertemuan kajian agama.[13]
Tema diskusi biasanya mengenai beberapa masalah di sekitar gerakan keagamaan yang
tengah berkembang saat itu, atau masalah agama yang dimuat dalam majalah al-Munir terbitan
Padang dan majalah al-Manar terbitan Mesir, yang telah lama menjadi bacaan dan perhatian
mereka. Suatu saat diskusi mereka berlangsung seusai acara kenduri di rumah salah seorang
anggota keluarga yang berasal dari Sumatera tetapi telah lama tinggal di Bandung. Materi diskusi
itu adalah mengenai perselisihan paham keagamaan antara al-Irsyad dan Jami’at Khair. Sejak
saat itu, pertemuan-pertemuan berikutnya menjelma menjadi kelompok penelaah, semacam studi
club untuk kajian keislaman. Diskusi mereka juga dilakukan dengan para jamaah shalat Jum’ah,
sehingga frekuensi bertambah dan pembahasannya semakin mendalam. Jumlah mereka tidak
banyak sekitar 12 orang. Diskusi tersebut semakin intensif dan menjadi tidak terbatas dalam
persoalan keagamaan saja terutama dikotomi tradisional-modernis, tetapi juga menyentuh pada
masalah-masalah komunisme yang menyusup ke dalam Syarikat Islam (SI), dan juga usaha-
usaha orang Islam yang berupaya untuk menghadapi pengaruh komunisme tersebut.[14]
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok
diskusi ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam.[15] Adapun,
segolongan kelompok yang mengajukan nama yaitu Pemufakatan Islam. Organisasi yang
didirikan di Bandung ini untuk menampung kaum muda maupun kaum tua, yang memiliki
perhatian pada masalah-masalah agama. Kegiatan intinya adalah diskusi. Sampai awal tahun
1926, Persatuan Islam masih belum menampakkan sebagai organisasi pembaharu dalam Islam,
karena di dalamnya masih bergabung kaum muda dan kaum tua.[16]
Setelah A.Hassan bergabung dengan Persatuan Islam, pemikirannya yang radikal sangat
mewarnai organisasi ini. Alam pemikiran Persatuan Islam yang khas dan keras menemukan
bentuk ketika A.Hassan bergabung. A.Hassan melontarkan pemikirannya di dalam organisasi ini
berakibat perbedaan sikap antara kaum muda dan kaum tua. Sehingga pada perkembangannya,
beberapa anggotanya dari golongan kaum tua memisahkan diri dan membentuk kelompok
tandingan yang diberi nama “Permufakatan Islam”. Sedangkan, golongan kaum muda tetap di
Persatuan Islam bahkan menyatakan diri sebagai gerakan pembaharu Islam di Indonesia.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1926.[17]
Dengan demikian, periodesasi Persatuan Islam sebagai organisasi gerakan pembaharu
Islam di Indonesia perlu untuk disusun. Periode pertama, pra-pembentukan Persatuan Islam
(1920-an) ditandai dengan terbentuknya kelompok tadarusan atau diskusi tentang kajian
keislaman yang berkembang di dunia Islam sampai fokus kajiannya Islam di Indonesia. Periode
kedua, pembentukan Persatuan Islam (1923-1926), sebagai gerakan penampung aspirasi kaum
muda dan kaum tua tentang kajian keislaman –yang belum resmi menyatakan diri sebagai
gerakan pembaharu. Periode ketiga, Persatuan Islam (1926-sekarang) sebagai gerakan murni
pembaharu di Indonesia, ditandai oleh bergabungnya A.Hassan dan memisahkan diri kaum tua
dari Persatuan Islam kemudian membuat organisasi tandingan yakni “Pemufakatan Islam”.
Periodisasi ini menjadi hipotesa awal dari kajian organisasi Persatuan Islam.
C. Sejarah Perkembangan Pesantren Persatuan Islam Pada Masa Penjajahan (1936-1944)
Tepatnya tanggal 1 Dzulhijjah 1354 (Maret 1936) atas inisiatif A.Hassan di Bandung
didirikan sebuah lembaga pendidikan yang menekankan pada pengkajian agama yang dinamai
“Pesantren Persatuan Islam”. Keputusan untuk mendirikan pesantren ini diambil setelah
diadakan pertemuan di Mesjid Persatuan Islam di Jl. Pangeran Soemedang, Bandung pada bulan
itu juga. Tujuan utamanya memang untuk mencetak kader-kader mubaligh yang nantinya
diharapkan dapat menyebarkan ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang dipahami oleh Persis.
Melihat namanya, rupanya Pesantren Persatuan Islam merupakan lembaga pendidikan yang
secara resmi dimiliki oleh Persatuan Islam sebagai organisasi, berlainan dengan Pendidikan
Islam yang lebih terlihat sebagai upaya individu Natsir dan beberapa orang aktivis Persis.
Pesantren Persatuan ini pun tidak didirikan oleh kiayi-nya seperti kebanyakan kasus pendirian
pesantren tradisional. Pesantren dan segenap komponennya murni miliki jami’yyah.[18]
Saat pertama kali dibuka, terdapat 40 orang santri yang belajar di Pesantren Persatuan
Islam. Mereka berasal dari berbagai tempat di kepulauan Indonesia. bahkan ada murid yang
berasal dari Thailand. Mereka umumnya para pemuda yang memiliki keinginan besar untuk
belajar agama. Oleh sebab itu, pesantren ini dinamai “Pesantren Besar” yang dikepalai langsung
oleh A. Hassan dibantu oleh beberapa orang pengajar seperti M. Natsir dan R. Abdul Qadir.
Untuk anak-anak dibuka “Pesantren Kecil” pada sore hari dikepalai oleh Hasan Hamid yang
sebelumnya menjadi guru di sekolah Al-Irsyad di Jakarta. Selain Hasan Hamid, turut pula
menjadi pengajar di “Pesantren Kecil” E. Abdurrahman yang kemudian menjadi tokoh sentral
Persatuan Islam pada tahun-tahun 60-80an.[19]
Pada pendaftaran pertama, tercatat 100 anak yang belajar Pesantren Kecil. Pesantren
Besar dan Pesantren Kecil untuk pertama kalinya menempati gedung Persatuan Islam di Jalan
Pangeran Soemedang (sekarang Jalan Otista). Lama pengajaran untuk Pesantren Besar
direncanakan selama empat tahun. Belum ada penjenjangan kelas pada saat pertama kali
diselenggarakan hanya saja sistem pengajaran sudah dilaksanakan secara klasikal (madrasi).
Penentuan kelas tidak didasarkan lagi pada penguasaan kitab tertentu hingga tidak ada penentuan
lama belajar seperti di pesantren-pesantren tradisional pada umumnya, tetapi berdasarkan
kemampuan santri menyelesaikan satuan-satuan pelajaran yang disusun sedemikian rupa untuk
setiap tahun ajaran. Dengan cara ini setiap santri dimungkinkan dapat menyelesaikan studi sesuai
dengan lamanya belajar. Artinya, setiap tahun santri dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Model kelas seperti ini hampir mirip dengan sistem persekolahan Belanda.[20]
Seiring dengan sistem kelas di atas, model belajar sorogan dan bandongan (wetonan) pun
sudah mulai ditinggalkan sejak awal berdirinya pesantren ini. Hal ini merupakan konsekwensi
dari bahan pelajaran yang diberikan kepada santri. Santri tidak hanya mengkaji buku-buku bahan
ajar berbahasa Arab, tapi juga buku-buku yang ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa
Indonesia. Penekanan bukan lagi pada penguasaan verbal pada materi pelajaran, tapi pemahaman
pada substansi pengajaran. Oleh sebab itu, metode diskusi sudah mulai dikembangkan, bahkan
menjadi sesuatu yang khas mengingatkan karakter Persatuan Islam yang keras dan senang
berdiskusi dengan siapa pun.[21]
Sejak pertama didirikan Pesantren Persatuan Islam itu tidak hanya mengajarkan ilmu-
ilmu agama, tapi juga mengajarkan pengetahun umum kepada para santrinya. Porsinya memang
lebih sedikit dibandingkan pengajaran ilmu-ilmu agama, sebab tujuannya hanya sekedar
memberikan pengetahuan saja, tidak sampai pada penguasaan dan pendalaman. Tujuan utamanya
tetap untuk mencetak ahli-ahli agama yang akan menjadi muballigh. Sebagai contoh, saat itu
selain A.Hassan yang ahli agama, turut pula mengajar R.Abdul Kadir (tamatan Sekolah Tehnik
Bandung) dan M.Natsir, R.Abdul Kadir mengajar ilmu teknik sedangkan M. Natsir mengajar
ilmu pendidikan.[22]
Belum lagi genap empat tahun pelajaran seperti yang direncanakan, timbul peristiwa
yang menjadi titik awal munculnya babak baru dalam sejarah Pesantren Persatuan Islam,
khusunya dan Persatuan Islam pada umumnya. A.Hassan diminta oleh Bibi Wantee untuk pindah
dari Bandung, karena melihat penghidupannya di Bandung kurang menggembirakan dari sudut
pandang materi; semestara ia dapat meneruskan perjuangannya di mana saja ia berada. Semula
A.Hassan akan pindah ke Surabaya, namun mendapatkan tanah di Bangil.[23]
Akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke Bangil dan di atas tanah yang dimilikinya itu
ia membuka pesantren yang kemudian dikenal sebagai Pesantren Persatuan Islam Bangil pada
bulan Maret 1940. Kepindahan A. Hassan diikuti oleh 25 dari 40 orang muridnya yang semula
belajar di Bandung. Sementara sisanya tetap di Bandung dan belajar di bawah bimbingan E.
Abdurrahman. Ke-25 orang muridnya itu berasal dari luar Bangil. Selain mereka, ikut juga
bersama A. Hassan, Hasan Hamid, dan Muhammad yang semula mengelola Pesantren Kecil
bersama E. Abdurrahman. kepindahan ini sama artinya dengan kepindahan Pesantren Besar ke
Bangil, sebab di Bandung, hanya tersisa Pesantren Kecil yang kini dikelola oleh E. Abdurrahman
dan O. Qamaruddin pada sore hari.[24]
Setelah pesantren dibuka di Bangil, murid-muridnya bertambah dengan beberapa orang
yang datang dari berbagai pulau di Indonesia. Untuk menampung murid-murid perempuan, pada
bulan Februari 1941 dibuka pesantren khusus putri. Murid pertama pesantren putri ini berjumlah
12 orang yang semuanya berasal dari luar Bangil. Untuk menampung murid-murid yang hampir
semuanya dari luar Bangil, maka disediakan asrama oleh pihak pesantren.[25]
Secara umum, materi pelajaran dan metode pengajaran tidak jauh berbeda dengan
Pesantren Persatuan Islam di Bandung. Perbedaan yang tidak terlalu mencolok terjadi pada
perkembangan selanjutnya saat Persantren Persatuan Islam Bangil dibuka kembali tahun 1951
setelah ditutup oleh penguasa Jepang pada awal tahun 1942. Perbedaan terjadi lebih dikarenakan
adanya perubahan pola pesantren di Bandung dari konsep awal yang diletakkan oleh A.Hassan.
Akan tetapi, ini hanya terjadi pada jenjang pendidikan, bukan pada substansi materi
pengajaran.[26]
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 membawa perubahan yang cukup
signifikan dalam kehidupan bangsa Indonesia, umumnya, dan umat Islam, khususnya. Perubahan
itu bermula dari usaha Japanisasi Indonesia oleh penguasa militer Jepang di Indonesia seperti
yang dilakukannya dengan sukses terhadap Taiwan, Korea, dan Manchuria.[27]
Dalam bidang pendidikan, kebijakan Jepang menganggap bahwa pendidikan merupakan
instrumen paling penting untuk melakukan penetrasi ide dan kebudayaan Jepang di tengah-
tengah kehidupan masyarakat Indonesia. kebijakan pertama diambil dalam bidang pendidikan
adalah menutup semua sekolah yang ada di Indonesia untuk membersihkan pengaruh Barat dan
Arab, sambil mempersiapkan program Japanisasi di sektor pendidikan. Kebijakan tersebut
dikeluarkan tanggal 7 Maret 1942. Tanggal 29 April, hari kelahiran Kekaisaran Jepang, Jepang
kembali mengizinkan dibukanya sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Indonesia atau
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Sementara sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa
Arab sebagai bahasa pengantar tidak diperkenankan untuk dibuka kembali. Di sekolah-sekolah
agama atau pesantren sekalipun, bahasa Arab tidak boleh diajarkan.[28]
Sekolah-sekolah Persatuan Islam juga mengalami masa-masa itu. Pendidikan Islam
(Pendis) ditutup oleh Jepang persis pada tanggal diundangkannya kebijakan penutupan semua
sekolah oleh Jepang. Ketika sekolah-sekolah swasta lain diizinkan untuk dibuka kembali dengan
mengikuti pola pendidikan yang telah dipersiapkan Jepang untuk mewujudkan ambisinya.
Pendidikan Islam tidak dibuka kembali. Kemungkinan besar karena muatan Islam yang begitu
kental, penguasa Jepang tidak memperkenankan Pendis dibuka kembali. Natsir sendiri yang
memimpin Pendis kemudian terjun ke dalam dunia politik.[29]
Tidak berbeda dengan Pendis, Pesantren Persatuan Islam (saat di Bandung bernama
Pesantren Besar), baik putra maupun putri, yang baru saja dibawa pindah oleh A.Hassan dari
Bandung ke Bangil juga di tutup Jepang. Selama pendudukan Jepang tidak ada aktivitas berarti
yang dilakukan oleh Pesantren Persatuan Islam Bangil sampai sekitar tahun 50-an, selain
menyelenggarakan “Pesantren Kecil” seperti di Bandung pada masa A. Hassan memanfaatkan
para pelajar pesantren dari luar Pulau Jawa yang tidak dapat pulang. Pesantren kecil ini sifatnya
tidak lebih dari sekolah agama (diniyyah) dan hanya bertahan sekitar tiga tahun.[30]
Pada saat semua sekolah Persis ditutup, Pesantren Kecil di Bandung yang dipimpin oleh
E. Abdurrahman dapat tetap bertahan, bahkan berkembang lebih baik. Sebelum kedatangan
Jepang, Pesantren Kecil dibuka sore hari khusus untuk anak-anak. Ketika Jepang datang dan
menutup semua sekolah Persis, Persantren Kecil mendapat tambahan santri cukup banyak, yaitu
sisa Pesantren Besar yang pindah ke Bangil awal tahun 1940-an dan murid-murid sekolah
Pendidikan Islam yang ditutup Jepang. Mereka tidak mau berhenti belajar sehingga kemudian
ikut bergabung bersama Pesantren Kecil. Pesantren Kecil kemudian membuka kelas untuk
menampung bekas murid-murid Pesantren Besar dan Pendis. Oleh karena statusnya kini bukan
hanya sekedar sekolah agama pada sore hari sebagai sekolah tambahan, untuk kelas pagi
Pesantren Persatuan Islam mempersiapkan kurikulum yang disiapkan untuk sebuah sekolah
penuh. Hanya saja, kelas dibuka baru pada tingkat Ibtidaiyyah (dasar), mengingat secara umum
pengawasan Jepang terhadap seolah agama tingkat dasar tidak terlalu ketat.[31]
Tetap bertahannya Pesantren Kecil, mungkin juga ada kaitannya dengan M.Natsir yang
saat itu menjadi Kepala Biro Pendidikan Kota Bandung dan kebijakan Jepang yang agak longgar
terhadap pendidikan Islam (madrasah) di Bandung, dimana penguasa Jepang tidak mencampuri
urusan madrasah. Mereka beranggapan bahwa itu urusan agama yang sensitif. Urusan itu
diserahkan sepenuhnya kepada pihak Balai Kota Bandung. Kesempatan yang longgar inilah,
barangkali, yang membuat E. Abdurrahman dan Rusyad Nurdin, yang mengelolanya, berani
untuk terus mengembangkan pesantren. Bertahannya Pesantren Kecil merupakan prestasi
tersendiri di tengah kevakuman aktivitas Persatuan Islam yang lainnya.[32]
D. Tradisi dan Sistem Pesantren Persatuan Islam
Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam Klasik dan kyai adalah lima elemen dasar
tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga
memiliki kelima elemen tersebut berubah statusnya menjadi pesantren. Di seluruh Indonesia,
orang biasanya membedakan kelas-kelas pesantren dalam tiga kelompok, yaitu pesantren kecil,
menengah, dan besar.[33]
a) Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di
mana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang
lebih dikenal dengan sebutan “kiyai”. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan
komplek pesantren di mana kiyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk
beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek
pesantren ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk menjaga keluar dan masuknya pada santri
sesuai dan tamu-tamu (orang tua santri, keluarga yang lain, dan tamu-tamu masyarakat luas)
dengan peraturan yang berlaku.[34]
Dalam kasus pesantren Pesatuan Islam keberadaan asrama pada awal berdirinya di
Bandung, tidak diketahui apakah saat itu sudah ada pondok atau belum. Akan tetapi, menururt
keterangan H.M. Atang AS dan H. Abdul Qadir, saat mereka nyantri di Pesantren Persatuan
Islam pada tahun 50-an, tidak ada asrama khusus. Mereka yang berasal dari luar Bandung
menginap di rumah salah seorang ustadz. Terkadang yang rumahnya dekat pun ikut pula
menginap. Di rumah ustadz tersebut, biasanya pada malam hari mereka dibimbing mengulangi
pelajaran yang telah diberikan sebelumnya di kelas. Berdasarkan keterangan ini, dimungkinkan
belum ada pondok yang secara khusus disediakan pesatren untuk keperluan menginap para
santri. Di Bangil semua santri, baik yang jauh maupun yang dekat, harus tinggal di pondok.
Tidak boleh ada santri yang tinggal di luar pondok atau di rumah sendiri, sekalipun jarak ke
rumah hanya beberapa kilometer. Penerimaan jumlah santri, ditentukan oleh daya tampung
pondok, bila daya tampung pondok sudah tidak mencukupi, pendaftaran santri baru akan
ditutup.[35]
b) Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari pesantren dan dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik shalat lima
waktu, khutbah dan shalat Jum’at, dan pengajaran kitab Islam klasik.[36]
Di pesantren Persatuan Islam, mesjid juga menjadi salah satu komponen penting yang
selalu harus ada, saat pertama kali dibuka, Pesantren Persatuan Islam no. 1-2 Pajagalan Bandung
memanfaatkan mesjid di Jalan Pangeran Soemedang (sekarang Jln Otista) yang sebelumnya
tidak digunakan untuk penyiaran agama Islam oleh Persatuan Islam. Besar kemungkinan mesjid
digunakan sebagai tempat belajar, mengingat gedung Persatuan Islam yang didirikan di samping
mesjid juga digunakan sebagai pusat aktivitas Persatuan Islam yang lain. Akan tetapi, tidak juga
menutup kemungkinan digunakannya gedung tersebut, terutama setelah dibuka Pesantren Kecil
untuk anak-anak yang santrinya mencapai 100 orang. Keadaan ini berlangsung sampai pecah
revolusi tahun 1945.[37]
Demikian pula halnya di Bangil, komplek pesantren putra dan putri yang terletak
berjauhan (sekitar 2 km), masing-masing dilengkapi dengan sebuah cukup besar yang cukup
untuk menampung seluruh santri yang didirikan sejak tahun 40-an, dan dibangun kembali tahun
1951 (putra) dan 1960 (putri).[38]
c) Komposisi Pelajaran dan Pengajaran Islam Klasik
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia, pesantren pada
dasarnya hanya mengajarkan agama Islam, sedangkan kajian atau mata pelajaran yang
diajarkannya ialah kitab – kitab dalam bahasa Arab yang biasa disebut dengan kitab kuning.
Pelajaran yang dikaji di pesantren meliputi pengkajian Al-Quran dengan tajwid dan tafsirnya,
aqa’id dan ilmu kalam, fiqih plus ushul fiqih, hadist dengan mushthalah hadist, bahasa Arab
dengan gramatikalnya (nahwu, balaghah dsb), tarikh, mantiq, dan tasawuf.[39]
Adapun metode yang lazim digunakan dalam lembaga pendidikan pesantren ialah :
1) Metode Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan
duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing
dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu – waktu tertentu, yaitu sebelum atau
sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan,
sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqoh.
2) Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri menghadap kiai seorang demi seorang
dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang
paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut
kesabaran, kerajian, ketaatan, dan kesidiplinan pribadi santri, kendatipun demikian, metode ini
diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya
jawab langsung.
3) Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari
kitab kuning yang sedang dikaji.[40]
Di pesantren Persatuan Islam sendiri, disiplin ilmu-ilmu keagamaan tradisional seperti
fiqh, tafsir, hadist, akhlaq, tauhid, dan alat (gramatika bahasa Arab) masih tetap mendominasi.
Oleh karena itu, Persatuan Islam tetap mempertahankan nama “pesantren” untuk menamai
lembaga pendidikan keagamaannya. Hal ini sesuai dengan tujuannya sebagai pencetak kader-
kader muballigh yang siap diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat menyebarkan ajaran agama
Islam.[41]
Namun demikian, terdapat kekhasan tersendiri dalam pengajaran keagamaan di pesantren
Persatuan Islam. Pengajaran keagamaan di pesantren Persatuan Islam yang pada awalnya
didirikan oleh A. Hassan untuk mencetak muballigh yang akan menyebarkan paham Persatuan
Islam lebih banyak mencerminkan sikap dan pemikiran A. Hassan mengenai berbagai masalah
keagamaan. Inti pemikirannya adalah “kembali kepada al-Quran dan As-Sunnah”. Pemikiran ini
banyak berseberangan dengan pemikiran-pemikiran ulama-ulama tradisional di Indonesia
sehingga sering diidentifikasi sebagai sumber penyebab sering terjadinya friksi antara kelompok
Islam tradisional dan Islam modernis.[42]
Pandangan keagamaan semacam ini sangat besar pengaruhnya pada penyusunan
kurikulum di pesantren Persatuan Islam, terutama pemilihan buku ajar (textbook/muqqarrar).
Kitab – kitab klasik yang sudah sejak lama diajarkan di pesantren – pesantren tradisional, bahkan
seolah-olah dianggap buku wajib yang tidak boleh berubah, banyak yang tidak lagi diajarkan di
pesantren-pesantren Persatuan Islam. Dalam pengajaran fiqh, umpamanya, kitab-kitab yang
banyak dipakai di pesatren-pesantren tradisional adalah kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i seperti
Safinah ash-Shalah, Safinah an-Najah, Kifayatul Akhyar, Taqrib, Fathul Mu’in dan Fathul
Wahhab, tidak diajarkan di pesantren-pesantren Persatuan Islam. Sebagai buku ajar fiqh,
pesantren Persatuan Islam lebih memilih kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar al
‘Asqalani yang di pesantren-pesantren diajarkan sebagai salah satu buku ajar hadist. Sebagai
pelengkap pengajaran fiqh diajarkan pula kitab Hady ar-Rasul, ringkasan salah satu kitab
rujukan fiqh madzhab Hanbali, Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairil Imad karangan Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah.[43]
Demikian pula halnya dalam pengajaran tafsir. Sebagai referensi dalam mengajar, para
ustadz seringkali menggunakan kitab-kitab tafsir kontemporer yang ditulis ulama-ulama
modernis seperti Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Manaar, dan Tafsir Fi Dzilal al-Quran. Dalam
bidang-bidang studi yang bersifat netral seperti ilmu alat (nahwu dan sharaf), terlihat adanya
pengaruh modernisasi. Sistem yang digunakan tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang
verbalistik dengan cara menghafal kaidah-kaidah dalam kitab-kitab dalam kitab-kitab tertentu
seperti Al-Maqshud ‘Awamil, Al-Ajrumiyyah Kaylani, Mutammimah dan Alfiyah Ibnu Malik, tapi
sudah mengadaptasi cara-cara baru yang lebih modern yang lebih menekankan pada peningkatan
keterampilan berbahasa, baik pasif maupun aktif. Untuk ilmu nahwu, yang biasa dipakai adalah
ah-Nahwu al-Wadhih, atau Safinatun Nuhah, kitab nahwu yang disusun oleh bahasa Mesir yang
lebih banyak menekankan latihan daripada hafalan. Sementara untuk ilmu sharf digunakan Kitab
at-Tashrief kitab ilmu sharf sebanyak 3 jilid yang disusun oleh A. Hassan dalam bahsa melayu
dengan menggunakan huruf Arab Pegon. Sekalipun banyak kitab-kitab pesantren tradisional
yang tidak lagi dipergunakan, namun beberapa kitab masih diajarkan seperti Minhatul Mughits,
as-Sulam al-Munawwaraq, Tafsir Jalalain, Bulughul Maram, Subussalam, Shahih Bukhari,
Khulashah Nurul Yaqin, dll.[44]
Sekalipun tradisi pengajaran kitab masih dipertahankan, cara pengajaran wetonan dan
sorogan tanpa pembatasan masa belajar hampir ditinggalkan sama sekali. Pesantren Persatuan
Islam telah menerapkan sistem madrasi (klasikal) semenjak pertama kali didirikan pada tahun
1936 oleh A. Hassan di Bandung. Kurikulum disusun sedemikian rupa agar dapat diselesaikan
oleh santri dalam jangka waktu tertentu yang direncanakan.[45]
Materi pelajaran agama yang diberikan, baik ibtidayyah atau diniyyah ula, adalah materi
pelajaran yang sangat dasar seperti belajar membaca al-Quran, membaca dan menulis huruf
Arab, dan menghafal surat-surat pendek. Belum ada kitab-kitab khusus yang diajarkan. Kelas ini,
terutama diniyyah ula, sebenarnya mirip dengan pengajian anak-anak di mesjid-mesjid yang
terdapat hampir di seluruh Indonesia. Untuk santri Ibtidaiyyah dan diniyyah, tidak disediakan
pondok. Mereka diharuskan tinggal di rumah masing-masing. Oleh sebab itu, pesantren
Persatuan Islam yang hanya memiliki jenjang pendidikan ibtidaiyyah atau diniyyah ula bisa
dipastikan tidak memiliki pondok.[46]
d) Kyai dan Santri
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu
pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Jawa dan Madura sosok kyai begitu sangat
berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan
pesantren. Di samping itu, kyai pondok pesantren biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan
pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika dalam
pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.[47]
Dalam kasus pesantren Persatuan Islam, sejak pertama kali didirikan unsur kiai tidak
begitu dominan. Kiai tidak lagi menjadi penguasa segalanya. Ketika pesantren pertama kali
didirikan, baik di Bandung ataupun di Bangil, prakarsa tidak sepenuhnya berasal dari A. Hassan.
Bangunan diberi oleh orang lain, bukan milik A. Hassan. Saat pembangunan pun dilibatkan
banyak orang dalam sebuah kepanitiaan. Alhasil, dari sini saja sudah terlihat adanya pembagian
kekuasaan di pesantren.[48]
Selain itu, sebagai lembaga pendidikan milik jam’iyyah (organisasi) keberadaanya secara
struktural berada di bawah koordinasi jam’iyyah. Kiai hanya berperan sebagai “manajer” dan
pengasuh pesantren. Pesantrennya sendrir adalah wakaf atas nama Persatuan Islam. Nomor
registrai pesantren, selain sebagai keperluan administrasi, juga menandakan bahwa pesantren
yang bersangkutan telah resmi diwakafkan kepada jam’iyyah.[49]
Santri datang ke pesantren memang tertarik oleh kemasyhuran dan kepandaian kiai,
namun tidak lagi menganggap kiai sebagai “wakil Tuhan” di bumi sehingga apa saja kata kiai
dianggap kebenaran yang tidak boleh dibantah; membatah kiai sama saja dengan menghilangkan
keberkahan dalam belajar. Kiai hanya dianggap sebagai guru yang ilmunya perlu diserap dan
dihormati sewajarnya sebagai guru. Sikap mengkultuskan kiai oleh para santri sama seklai tidak
terjadi. Hubungan dijalin secara rasional, bukan mistikal.[50]
Sedangkan, dalam soal santri di pesantren Persatuan Islam sendiri dapat dikategorikan
menjadi dua jenis seperti umumnya di pesantren-pesantren lain, yaitu santri mukim dan santri
kalong. Santri mukim adalah santri yang tinggal di pesantren selama 24 jam sedangkan santri
kalong adalah santri yang datang ke pesantren hanya untuk mengaji, selepas itu ia pulang
kembali ke rumah masing-masing. Di pesantren Persatuan Islam Bangil , semua santri
diharuskan bermukim di pesantren selama 24 jam, sedangkan Persantren Persis yang lain lebih
longgar. Di Pesantren Persatuan Islam Pajagalan Bandung, bahkan tidak disediakan asrama
untuk santri putra.[51]

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Tiar Anwar. 2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta : Pembela Islam.
Daud, Muhammad Ali dan Habibah Daud Ali, S.H. 1995. Lembaga – lembaga Islam di Indonesia.
Jakarta : Raja Grafindo.

Dhofier, Zamaksyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai
Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. cet. IX.

Haedari, Amin, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press.

Khaeruman, Badri. 2010. Persatuan Islam Sejarah Pembaruan Pemikiran “Kembali Kepada Al-
Quran dan Al-Sunnah”, Bandung: FAPPI.
Mughni, Syafiq A. 1994. Hassan Bandung : Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu.

Nizar, Samsul (editor). 2008. Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasululloh sampai Indonesia.Jakarta : Kencana.
Putra, Haidar Daulay. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta : Kencana.
Wildan, Dadan. 1997. Yang Da’i Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wildan, Dadan. 2000. Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Potret Perjalanan
Sejarah Organisasi Persatuan Islam. Bandung: Persis Press.

[1] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 21.
[2] Ibid., hlm. 21.
[3] Ibid., hlm. 21 – 22.
[4] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009),hlm. 22.
[5] Ibid., hlm. 22.
[6] Prof. Muhammad Daud Ali dan Habibah Daud Ali, S.H, Lembaga – lembaga Islam di
Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 1995). hlm. 146.
[7] Ibid., hlm. 146.
[8] Ibid., hlm. 146.
[9] Ibid., hlm. 146.
[10] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009). hlm. 22.
[11]Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, M.A, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009). hlm. 75.
[12] Ibid., hlm. 61.
[13] Badri Khaeruman, Persatuan Islam Sejarah Pembaruan Pemikiran “Kembali Kepada Al-
Quran dan Al-Sunnah”, (Bandung: FAPPI, 2010). hlm. 45-46.
[14] Ibid.,
[15] Lihat, Dadan Wildan, Yang Da’i Yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997). hlm. 7.
[16] Badri Khaeruman, Persatuan Islam……, hlm. 46-47.
[17] Badri Khaeruman, Persatuan Islam Sejarah Pembaruan Pemikiran “Kembali Kepada Al-
Quran dan Al-Sunnah”, (Bandung: FAPPI, 2010). hlm. 47-49.
[18] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 42 – 43.
[19] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 45 – 46.
[20] Tiar Anwar Bachtiar.Op.cit., hlm. 46
[21] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 47 – 48.
[22] Syafiq A. Mughni. 1994. Hassan Bandung : Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu.
Hal. 69.
[23] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 49.
[24] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 49 – 50.
[25] Syafiq A. Mughni. 1994. Hassan Bandung : Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina Ilmu.
Hal. 71.
[26] Tiar Anwar Bachtiar., Op.cit., hal. 51.
[27] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 51.
[28] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 52-53.
[29] Tiar Anwar Bachtiar.Op.cit., Hal. 53-54.
[30] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 54-55.
[31] Dadan Wildan. 2000. Pasang Surut Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia: Potret
Perjalanan Sejarah Organisasi Persatuan Islam. Bandung: Persis Press. hal.164.
[32] Yusuf Abdullah Puar. 1978. Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-Kenangan Kehidupan
dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara. Hal. 66 – 68.
[33] Zamaksyari Dhofier. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. cet. IX. hal. 79.
[34] Zamaksyari Dhofier, Op.cit., hal. 79 – 80.
[35] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 48 dan 86.
[36] Zamaksyari Dhofier. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. cet. IX. Hal. 85.
[37] Tiar Anwar Bachtiar.2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 81 – 82.
[38] Tiar Anwar Bachtiar.Op.cit., Hal. 82 – 83.
[39] Prof.Dr.H. Samsul Nizar, M.Ag (editor), Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasululloh sampai Indonesia. Jakarta : Kencana, 2008. hlm 287.
[40] Prof.Dr.H. Samsul Nizar, M.Ag (editor), Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rasululloh sampai Indonesia. Jakarta : Kencana, 2008. hlm. 287.
[41] Tiar Anwar Bachtiar. 2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 95 – 96.
[42] Ibid.,. Hal. 96 – 97.
[43] Tiar Anwar Bachtiar. 2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 97 -98.
[44] Tiar Anwar Bachtiar. 2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 99-102.
[45] Tiar Anwar Bachtiar. 2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 104 – 105.
[46] Ibid., hal. 105 -106.
[47] Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press. hal. 28.
[48] Tiar Anwar Bachtiar. 2012. Sejarah Pesantren Persatuan Islam 1936-1983. Jakarta :
Pembela Islam. Hal. 112.
[49] Tiar Anwar Bachtiar. Op.cit., Hal. 112 – 113.
[50] Tiar Anwar Bachtiar. Op.cit., Hal. 116 – 117.
[51] Tiar Anwar Bachtiar. Op.cit., Hal. 117

Anda mungkin juga menyukai