Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam DHF (Dengue Hemorrhagic Fever )

2.1.1. Pengertian DHF (Dengue Hemorrhagic Fever )

Demam berdarah dengue merupakan salah penyakit menular yang di


sebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang
ditandai dengan demam mendadak selama 2-7 hari tanpa penyebab yang jelas
disertai dengan lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda perdarahan di
kulit berupa bintik merah, lebam (echymosis) atau ruam (purpura). kadang-
kadang disertai dengan mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran
menurun atau renjatan (syok) (Depkes RI, 2010b).

Menurut Depkes RI (2013), Demam berdarah dengue (DBD)


merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang
terinfeksi dengan salah satu dari empat virus dengue. Virus tersebut dapat
menyerang bayi, anak-anak dan orang dewasa. Sedangkan menurut Depkes RI
(2011), Demam berdarah dengue adalah penyakit akut yang disebabkan oleh
Virus DBD dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (Aedes
aegypti atau Aedes albopictus) yang terinfeksi virus DBD.

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah masalah kesehatan


masyarakat di Indonesia. Pada tahun 2011 tercatat terjadi 65.432 kasus dengan
595 kematian di Indonesia dengan angka Case Fatality Rate (CFR) DBD
sebesar 0,91% dan IR27,56/100.000 penduduk dengan daerah terjangkit
mencapai lebih dari 78% kabupaten/kota. Tiga provinsi dengan kasus DBD
tertinggi adalah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa
Tengah (Depkes RI, 2012a).

4
5

2.1.2. Etiologi

Penyebab demam berdarah adalah virus dengue sejenis arbovirus yang


dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti sebagai vektor ke tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk tersebut. Virus dengue penyebab demam berdarah termasuk
group B Arthopod borne virus (arbovirusess) dan sekarang dikenal sebagai
genus flavirus, family flaviridae dan mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1,
DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Ternyata DEN 2 dan DEN 3 merupakan serotipe
yang paling banyak sebagai penyebab. Dalam hal ini penularan melibatkan
tiga faktor yaitu manusia, virus dan virus perantara. Nyamuk – nyamuk
tersebut dapat menularkan virus dengue kepada manusia baik secara
langsung, yaitu setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia,
maupun secara tidak langsung setelah mengalami masa inkubasi dalam
tubuhnya selama 8 – 10 hari. Pada manusia diperlukan waktu 4 – 6 hari atau
13 – 14 hari sebelum menjadi sakit setelah virus masuk dalam tubuh
(Nursalam,2005).

Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes


Albopictus sebagai vector ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
tersebut. Infeksi pertama kali dapat memberi gejala sebagai demam
dengue. Apabila orang itu mendapat infeksi berulang oleh tipe virus
dengue yang berlainan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. DHF dapat
terjadi bila seseorang yang telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat
infeksi berulang virus dengue lainnya (Mansjoer, 2000).

2.1.3. Patogenesis

a. Proses perjalanan penyakit


Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti dimana virus tersebut akan masuk ke aliran darah, maka terjadilah
viremia (virusdalam aliran darah). Kemudian aliran darah beredar ke seluruh
6

tubuh maka virus tersebut dapat dengan mudah menyerang organ tubuh
manusia. Paling banyak organ yang terserang adalah system gastrointestinal,
hepar, pembuluh darah dan pada reaksi imunologi. Jika virus masuk ke dalam
system gastrointestinal maka tidak jarang pasien mengeluh mual, muntah dan
anoreksia. Bila virus menyerang organ hepar, maka virus dengue tersebut
mengganggu system kerja hepar, dimana salah satunya adalah tempat sintesis
dan oksidasi lemak, namun karena hati terserang virus dengue maka hati tidak
dapat memecahkan asam lemak tersebut menjadi benda – benda keton,
sehingga akan menyebabkan pembesaran hepar atau hepatomegali, dimana
pembesaran hepar ini akan menekan abdomen dan menyebabkan distensi
abdomen. Virus dengue juga masuk ke pembuluh darah dan menyebabkan
peradangan pada pembuluh darah vaskuler atau terjadi vaskulitis yang mana
akan menurunkan jumlah trombosit (trombositopenia) dan faktor koagulasi
merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat. Dapat terjadi
kebocoran plasma yang akan menyebabkan hipoksia jaringan, asidosis
metabolik dan berakhir dengan kematian. Bila virus bereaksi dengan antibody
maka mengaktivasi system komplemen untuk melepaskan histamine dan
merupakan mediator faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh
darah atau terjadi demam, dimana dapat terjadi DHF dengan derajat I, II, II,
IV (Mansjoer, 2000).
b. Manifestasi klinik
i. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsunng 2-7 hari kemudian turun
menuju suhu normal atu lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsung
demam, gejala – gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia. Nyeri
punggung, nyeri tulang dan persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah dapat
menyetainya (Soedarto, 1990 ; 39)
ii. Perdarahan

Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dan 3 dari demam dan umumnya
terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tocniquet yang positif mudah terjadi
7

perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia dan purpura. (Soedarto, 1990 ;
39). Perdarahan ringan hingga sedang dapat terlihat pada saluran cerna bagian
atas hngga menyebabkan haematemesis. (Nelson, 1993 ; 296). Perdarahan
gastrointestinal biasanya didahului dengan nyeri perut yang hebat. (Ngastiyah,
1995 ; 349).

iii. Hepatomegali

Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba, meskipun pada anak
yang kurang gizi hati juga sudah. Bila terjadi peningkatan dari hepatomegali
dan hati teraba kenyal harus diperhatikan kemungkinan akan terjadi renjatan
pada penderita. (Soederita, 1995 ; 39)

iv. Renjatan (syok)

Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakitnya penderita,


dimulai dengan tanda – tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin
pada ujung hidung, jari tangan, jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila
syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukkan pragnosis yang
buruk. (Soedarto ; 39)

c. Klasifikasi
Berdasarkan derajat beratnya DHF secara klinis dibagi sebagai berikut
(Mansjoer, 2005):
i. Derajat I (ringan)
Terdapat demam mendadak selama 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain
dengan manifestasi perdarahan teringan yaitu uji tourniquet positif.
ii. Derajat II (sedang)
Ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan yang
lebih hebat seperti: ptikie, purpura, ekimosis dan perdarahan
konjugtiva
8

iii. Derajat III


Didapatkan perdarahan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah tekanan
menurun (20 mmHg) hipotens, sianosis disekira mulut, kulit dingin
dan lembab, gelisah.
iv. Derajat IV
Terdapat dengue syok syndrome (DSS) dengan nadi dan tekanan darah
yang tidak terukur.

d. Komplikasi DHF
Menurut (Soedarto 2012) komplikasi DHF ada 6 yaitu:
i. Komplikasi susunan sistem syaraf pusat
ii. Infeksi
iii. Kerusakan hati
iv. Kerusakan otak
v. Resiko syok
vi. Kejang – kejang

2.2. Rasionalitas Obat

Penggunaan Obat secara Rasional (POR) merupakan suatu kampanye yang


disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya, WHO
menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang
sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya
yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kunci
yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu dan biaya yang sesuai, POR merupakan
upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari
pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Tujuan dari penggunaan obat
9

rasional yaitu untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai


dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang
terjangkau.

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria


(Kemenkes, 2011) :

a. Tepat diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga
tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

b. Tepat indikasi penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya


diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

c. Tepat pemilihan obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan


dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

d. Tepat dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.

e. Tepat cara pemberian


10

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik
tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga
menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

f. Tepat interval waktu pemberian

Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.

g. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing- masing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.

h. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah
setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan
pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan
tulang yang sedang tumbuh.

i. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena
resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
11

j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau

Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat
esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang
pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen
yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui
jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan
CPOB.

k. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi.

l. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya


tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami
efek samping.

m. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat
penyerahan obat di Puskesmas, apoteker atau asisten apoteker menyiapkan obat
yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada
pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar
pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga
petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.

n. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,

ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:


12

 Jenis dan jumlah obat yang diberikan terlalu banyak


 Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
 Jenis sediaan obat terlalu beragam
 Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
 Pasien tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang cukup mengenai
cara minum atau menggunakan obat
 Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau
efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa
diberikan penjelasan terlebih dahulu.

2.3. Antibiotik

2.3.1. Pengertian Antibiotik

Antibiotik adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh organisme


hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat secara
sintetik dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalm
kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme.

Pada awalnya antibiotik diisolasi dari mikroorganisme, tetapi sekarang beberapa


antibiotik tealh didapatkan dari tanaman tinggi atau binatang (Siswandono,
Soekadjo, B., 2008)

2.3.2. Penggolongan Antibiotik

Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya,

(Permenkes, 2011). yaitu:

a. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-


laktam (Penisilin, Sefalosporin, Monobaktam, Karbapenem, Inhibitor
Beta-Laktamase), Basitrasin, dan Vankomisin.
b. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya
Aminoglikosida, Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida (Eritromisin,
Azitromisin, Klaritromisin), Klindamisin, Mupirosin, dan Spektinomisin.
13

c. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolism folat, misalnya


Trimetoprim dan Sulfonamid.
d. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya
Kuinolon, Nitrofurantoin
Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja:
a. Obat yang menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri :
i. Penicillin
Penicillin merupakan anti bakterial pertama yang digunakan untuk terapi
(sweetman, 2009) dan termasuk dalam kelas beta-laktam. Semua obat
golongan penicillin memiliki struktur cincin kimia yang sama dan asam
mono-basic yang terbentuk dari garam dan ester. Contoh antibiotik
penicillin adalah Mericillin, Ampicillin, Amoksilin, Carbenicillin,
Tenocillin, dan Mecillinam (Sweetman, 2009).
ii. Sefalosporin
Sefalosporin adalah antibakterial semi sintesis yang berasal dari
antibakterial alami yaitu Cephalosporium acremonium. Golongan ini
bersifat bakterisida dan menghambat sintesis dari dinding sel, sama
seperti penicillin. Sefalosporin terbagi menjadi empat generasi. Generasi
pertama adalah Cefalotin; generasi kedua adalah Cefamandole,
Cefonicid, Ceforamide, dan Ceoftiam; generasi ketiga adalah
Cefotaxime, Cefixime, Ceftazidime, Cefoperazone, dan Cefpiramide; dan
generasi keempat adalah Cefepime, Cefpirome, Ceftobiprole. Selain itu
juga terdapat golongan semi sintesis dari sefalosporin yaitu Cephamycin
(Sweetman, 2009).

iii. Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai
aktivitas antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-laktam
lainnya. Yang termasuk karbapenem adalah Imipenem, Meropenem dan
Doripenem. Spektrum aktivitas: Menghambat sebagian besar Gram-
positif, Gram-negatif, dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap
14

beta-laktamase. Efek samping: paling sering adalah mual dan muntah,


dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP
atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem mempunyai
efikasi serupa imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang.
iv. Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida,
yang utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif,
Neisseria, H.influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat
ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak
untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada
beberapa sediaan, sering di kombinasi dengan neomisin dan atau
polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi
sistemik.
v. Vankomisin
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif
terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk
infeksi yang disebabkan oleh S.aureus yang resisten terhadap metisilin
(MRSA). Semua basil Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap
vankomisin. Vankomisin diberikan secara intravena, dengan waktu
paruh sekitar 6 jam. Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas,
demam, flushing dan hipotensi (pada infuse cepat), serta gangguan
pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.

b. Obat yang memodifikasi atau menghambat sintesis protein:


i. Aminoglikosida
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-
negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas
serius pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan
15

usia lanjut. Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik


maupun vestibular), blockade neuro muscular (lebih jarang).
ii. Tetrasiklin
Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Tetrasiklin,
Doksisiklin, Oksitetrasiklin, Minosiklin, dan Klortetrasiklin. Antibiotik
golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat
berbagai bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang bersifat aerob
maupun anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia,
Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria.
iii. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri
Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan
Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan
pada subu nitribosom 50S. Efek samping: supresi sumsum tulang, grey
baby syndrome, neuritisoptik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran
cerna, dan timbulnya ruam.
iv. Makrolida (Eritromisin, Azitromisin, Klaritromisin, Roksitromisin)
Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian
besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun
azitromisin dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan
klaritromisin dapat menghambat H.influenzae, tapi azitromisin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H.pylori.
Makrolida mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan
dengan subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi
peptida.
c. Obat anti metabolit yang menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme
folat:
Sulfonamid dan Trimetoprim Sulfonamid bersifat bakteriostatik. Trimetropim
dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar
patogen saluran kemih, kecuali P.aeruginosa dan Neressia sp. Kombinasi ini
16

menghambat S.aureus, Staphylococcus koagulase negatif, Streptococcus


hemoliticus, H.influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram-negatif aerob (E.coli dan
Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella Shigella, Yersinia, P.carinii.

d. Obat yang mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat :


i. Kuinolon
Kuinolon merupakan antibakteri sintesis yang digunakan untuk menyaingi
penggunaan antibakteri golongan beta-laktam dan makrolida dalam terapi.
Kuinolon memiliki sifat spektrum antibakteri untuk melawan bakteri gram
positif, gram negatif, dan patogen mikrobakterial anaerob.Kuinolon
mengalami perkembangan dan perubahan sehingga saat ini sudah banyak
agen kuinolon yang baru seperti asam nalidiksat (NA) dan nofloxacin (NLX)
(Takashasi, 2003). Terdapat empat golongan obat didalam kelompok
kuinolon. Kelompok I adalah Norloxacin, kelompok II adalah Enoxacin,
Ofloxacin, dan Ciprofloxacin, kelompok III adalah Levofloxacin, dan
kelompok IV adalah Moxifloxacin (Frank, 2012).
ii. Nitrofuran
Nitrofuran meliputi nitro furantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorpsi
melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan.
Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E.coli,
Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella
sp, Shigella sp, dan Proteus sp.

2.3.3. Penggunaan Antibiotik

Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat – obatan


yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Suatu
pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria
pemakaian obat secara rasional meliputi (DepKes RI, 1997) : tepat indikasi, tepat
obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian serta waspada efek samping.
17

Peresepan dan penggunaan antibiotik yang terlalu berlebihan dapat


memicu terjadinya resistensi antibiotik. Atas indikasinya penggunaan antibiotik
dapat digolongkan menjadi antibiotik untuk terapi definitif, terapi empiris dan
terapi profilaksis. Terapi secara definitif hanya digunakan untuk mengobati
infeksi karena bakteri, untuk mengetahui bahwa infeksi tersebut disebabkan
karena bakteri, dokter dapat memastikannya dengan kultur bakteri, uji sensitivitas,
tes serologi dan tes lainnya. Pada terapi empiris, pemberian antibiotik diberikan
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis kumannya seperti pada kasus gawat
karena sepsis, pasien imunokompromise dan sebagainya. Terapi antibiotic pada
kasus ini diberikan berdasarkan data epidemiologi kuman yang ada. Sedangkan
terapi profilaksis adalah terapi antibiotic yang diberikan untuk pencegahan pada
pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotic yang diberikan adalah antibiotic
yang berspektum sempit dan spesifik (Vindi, 2009)
18

Anda mungkin juga menyukai