Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat perbedaan antara individu satu


dengan individu lainnya atau pun kelompok masyarakat satu dengan kelompok
masyarakat lainnya. Perbedaan didasarkan pada usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan,
pendidikan, agama, dan lain-lain. Hal tersebut akan menyebabkan perbedaan peran
setiap individu. Individu yang berstatus tinggi akan cenderung dihormati oleh individu
lain.

Dalam kenyataan, kita sering menjumpai perbedaan tersebut, misalnya dalam


dimensi ekonomi: terdapat masyarakat yang hidup dalam kemewahan sedangkan di
sisi lain hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Dalam dimensi lain, misalnya
kekuasaan: sebagian anggota masyarakat memiliki kekuasaan sedangkan sisanya
dikuasai. Kebanyakan orang yang menguasai ialah orang yang memiliki status lebih
tinggi dari pada orang yang dikuasai. Pembedaan masyarakat ini dalam sosiologi
dinamakan stratifikasi sosial.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana konsep stratifikasi sosial?
1.2.2. Bagaimana sistem stratifikasi sosial tertutup dan terbuka?
1.2.3. Bagaimana perpindahan status dalam stratifikasi sosial?
1.2.4. Bagaimana lapisan sosial dalam masyarakat?
1.2.5. Bagaimana dimensi dalam stratifikasi sosial?
1.2.6. Bagaimana kelas sosial dalam masyarakat?
1.2.7. Bagaimana pandangan mengenai adanya statifikasi dalam kehidupan
masyarakat?
1.2.8. Bagaimana dampak stratifikasi bagi masyarakat?
1.2.9. Bagaimana cara mempelajari stratifikasi sosial?
1.2.10. Bagiamana upaya masyarakat untuk mengurangi ketidaksamaan?

1
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Sosiologi
1.3.2. Untuk mengetahui konsep stratifikasi sosial
1.3.3. Untuk mengetahui sistem stratifikasi sosial terbukan dan tertutup
1.3.4. Untuk mengetahui mobilitas sosial
1.3.5. Untuk mengetahui jumlah lapisan sosial dalam masyarakat
1.3.6. Untuk mengetahui dimensi sosial
1.3.7. Untuk mengetahui kelas sosial
1.3.8. Untuk mengetahui pandangan mengenai adanya stratifikasi
1.3.9. Untuk mengetahui dampak stratifikasi bagi masyarakat
1.3.10. Untuk mengetahui cara mempelajari stratifikasi sosial
1.3.11. Untuk mengetahui upaya masyarakat untuk mengurangi ketidaksamaan

1.4. Manfaat

Secara teoritis, makalah ini memiliki manfaat sebagai acuan untuk


mengetahui konsep stratifikasi sosial, sistem stratifikasi sosial terbuka dan tertutup,
mobilitas sosial, jumlah lapisan sosial dalam masyarakat, dimensi stratifikasi,
penjelasan bagi adanya stratifikasi, dampak stratifikasi, cara mempelajari
stratifikasi, upaya masyarakat unutk mengurangi ketidaksamaan. Sehingga
pembaca dapat mengetahui bagaimana stratifikasi sosial itu.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Konsep Stratifikasi Sosial

Dari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu bentuk variasi kehidupan


mereka yang menonjol adalah fenomena stratifikasi (tingkatan-tingkatan) sosial.
Perbedaan itu tidak semata-mata ada, tetapi melalui proses; suatu bentuk kehidupan
(bisa berupa gagasan, nilai, norma, aktifitas sosial, maupun benda-benda) akan ada
dalam masyarakat karena mereka menganggap bentuk kehidupan itu benar, baik dan
berguna untuk mereka. Fenomena dari stratifikasi sosial ini akan selalu ada dalam
kehidupan manusia, sesederhana apapun kehidupan mereka, tetapi bentuknya
mungkin berbeda satu sama lain, semua tergantung bagaimana mereka
menempatkannya.
Stratifikasi sosial berasal dari istilah Social Stratification yang berarti sistem
berlapis-lapis dalam masyarakat; kata Stratification berasal dari stratum (jamaknya :
strata) yang berarti lapisan. Karena itu stratifikasi sosial (social stratification) sering
diterjemahkan dengan pelapisan masyarakat. Sejumlah individu yang mempunyai
kedudukan (status) yang sama menurut ukuran masyarakatnya, dikatakan berada
dalam suatu lapisan (stratum). Stratifikasi sosial adalah sistem pembedaan individu
atau kelompok dalam masyarakat, yang menempatkannya pada kelas-kelas sosial
yang berbeda-beda secara hierarki dan memberikan hak serta kewajiban yang
berbeda-beda pula antara individu pada suatu lapisan dengan lapisan lainnya.
Menurut Robert M. Z. Lawang, stratifikasi sosial adalah penggolongan orang-orang
yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis
menurut dimensi kekuasaan, privilege, dan prestise. Sedangkan menurut Horton dan
Hunt, stratifikasi sosial berarti sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu
masyarakat.
Sejak lahir orang memperoleh status tanpa memandang perbedaan individu
atau kemampuan. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya ini, anggota
masyarakat dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan,

3
dan keanggotaan dalam kelompok tertentu, seperti kasta dan kelas. Berdasarkan
status yang diperoleh ini, kita menjumpai berbagai macam stratifikasi.

a. Stratifikasi Usia

Dalam sistem ini anggota masyarakat yang mempunyai usia yang lebih
muda mempunyai hak dan kewajiban berbeda dengan anggota masyarakat yang
lebih tua. Dalam hukum adat masyarakat tertentu, misalnya anak sulung
memperoleh prioritas dalam pewarisan harta atau tahta. Elizabaeth, putri Raja
Inggris George mewarisi tahta kerajaan Inggris tatkala ayahnya meninggal dunia
pada tahun 1952.

Asas senioritas yang dijumpai dalam stratifikasi berdasarkan usia ini


dijumpai pula dalam bidang pekerjaan. Dalam berbagai organisasi modern,
misalnya, kita sering melihat adanya hubungan erat antara usia karyawan dengan
pangkat mereka dalam organisasi, atau persamaan usia antara karyawan yang
memangku jabatan sama. Ini terjadi karena dalam organisasi tersebut pada
asasnya karyawan hanya dapat memperoleh kenaikan pangkat setelah berselang
suatu jangka waktu tertentu–misalnya dua tahun, atau empat tahun; karena
jabatan dalam organisasi hanya dapat dipangku oleh karyawan yang telah
mencapai suatu pangkat minimal tertentu; dan karena dalam hal terdapat suatu
lowongan jabatan baru, karyawan yang dipertimbangkan untuk mengisinya ialah
mcreka yang dianggap paling senior. Sistem yang dianut di kalangan pegawai
negeri kita, misalnya, merupakan perpaduan antara merit system (sistem
penghargaan terhadap prestasi) dan sistem senioritas. Oleh sebab itu tidaklah
terlalu mengherankan bilamana kita menjumpai bahwa jabatan yang dipangku
dosen di dalam struktur organisasi pcrguruan tinggi negeri (seperti jabatan ketua
jurusan, pembantu dekan, dekan dan sebagainya) serta jabatan fungsional
mereka (seperti asisten ahli, lektor, guru besar) memperlihatkan hubungan erat
dengan usia para pemangku jabatan, meskipun usia memang hukan satu-satunya
ukuran yang dipakai untuk mengusulkan scorang pemangku jabatan.

Masih pentingnya asas senioritas dijumpai pula dalam sistem kenaikan


pangkat dosen. Dosen tetap pada perguruan tinggi negeri yang tidak berhasil
naik pangkat ke golongan IV sebelum mencapai usia tertentu, misalnya, akan

4
dipensiunkan dan tidak dapat dipertimbangkan untuk jabatan guru besar, apa pun
gelar akademik yang dimilikinya dan apa pun prestasi dan sumbangan-nya
dalam bidang keahliannya.

b. Stratifikasi Jenis Kelamin

Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) pun didasarkan pada faktor


perolehan: sejak lahir laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan kewajiban
yang berbeda, dan perbedaan tersebut sering mengarah ke suatu herarki. Dalam
banyak masyarakat, status laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki
sering memperoleh pendidikan formal lebih tinggi daripada perempuan.
Partisipasi perempuan dalam dunia kerja relatif lebih terbatas, dan dibandingkan
dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih banyak tcrdapat di
strata yang rendah, dengan status di bidang administratif, dan sering mcnerima
upah atau gaji lebih rendah daripada laki-laki.

c. Stratifikasi Hubungan Kekerabatan


Perbedaan hak dan kewajiban antara anak, ayah, ibu, paman, kakek dan
sebagainya sering mengarah ke suatu herarki.
d. Stratifikasi Keanggotaan

Ada pula sistem stratifikasi yang didasarkan atas keanggotaan dalam


kelompok tertentu, seperti stratifikasi keagamaan (religious stratification),
stratifikasi etnik (ethnic stratification) atau stratifikasi ras (racial stratification).
Pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan warna kulit atau
kebudayaan kita jumpai antara lain di di Israel, di mana orang Palestina dan
Arab tidak mempunyai hak yang sama, dengan orang Yahudi. Di Jepang
dijumpai perbedaan antara hak dan kewajiban orang Jepang asli dan orang
keturunan Korea. Tatkala di Afrika Selatan masih berlaku sistem Apartheid,
dijumpai pembedaan hak dan kewajiban antara orang Kulit Hitam dan orang
Kulit Putih; suatu pembedaan yang di masa lalu pernah dilaksanakan pula di
Amerika Serikat dan beberapa negara Amerika Selatan.

Selain berdasarkan status yang diperoleh, stratifikasi sosial juga dibedakan


berdasarkan status yang diraih, sehingga menghasilkan berbagai jenis
stratifikasi, diantaranya sebagai berikut.

5
a. Stratifikasi Pendidikan

Hak dan kewajiban warga masyarakat sering dibeda-bedakan atas dasar


tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka raih.

b. Stratifikasi Pekerjaan

Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang


mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya pembedaan antara
manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif; antara asisten dosen,
lektor, dan guru besar; antara tamtama, bintara, perwira pertama, perwira
menengah, perwira tinggi.

c. Stratifikasi Ekonomi

Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu pembedaan warga


masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, pun merupakan suatu
kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini kita mengenal, antara lain, pembedaan
warga masyarakat berdasarkan penghasilan dan kekayaan mereka menjadi kelas
atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Dalam masyarakat kita terdapat
sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum
manusia untuk hidup layak karena penghasilan dan miliknya sangat terbatas,
tetapi ada pula warga yang seluruh kekayaan pribadinya bemilai di atas Rp 1
miliar. Di kalangan pertanian di pedesaan kita menjumpai pembedaan antara
petani pemilik tanah dan buruh tani. Kita masih ingat bahwa Marx memakai
kriteria pemilikan atas alat produksi untuk membedakan antara kaum borjuis dan
kaum proletar.

2.2. Sistem Stratifikasi Sosial Terbuka dan Tertutup


Dalam sosiologi, sistem pelapisan masyarakat ini sekurangnya
menggambarkan dua bentuk, yaitu stratifikasi sosial tertutup (closed stratification)
dan stratifikasi sosial terbuka (open social stratification). Menurut J. Milton Yinger
(1966), secara teoritis, keterbukaan suatu sistem stratifikasi diukur oleh mudah-
tidaknya dan sering-tidaknya seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh
status dalam strata yang lebih tinggi, setiap anggota masyarakat dapat menduduki
status yang berbeda dengan status orang tuanya, bisa lebih tinggi bisa lebih rendah;

6
sedangkan stratifikasi sosial yang tertutup ditandakan dengan keadaan manakala
setiap anggota masyarakat tetap berada pada status yang sama dengan orang tuanya.
Dalam sistem pelapisan yang terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai
kesempatan untuk berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan, atau
bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan
bawahnya. Pada umumnya pelapisan terbuka ini memberi perangsang yang lebih
besar kepada setiap anggota masyarakat untuk memperkembangkan kecakapannya,
dan karena itu, maka sistem tersebut lebih sesuai untuk dijadikan landasan
pembangunan masyarakat daripada sistem yang tertutup.
Dalam sistem pelapisan yang tertutup, kedudukan orang-perorangan ditentukan
oleh kelahirannya; seorang Charles di negeri Inggris adalah seorang pangeran dan
calon raja Inggris, dan dia ada seperti itu karena orang tuanya adalah ratu Inggris.
Kita juga mengenal sistem sosial yang berlaku di India adalah berdasarkan kasta,
yang mengacu pada sistem pelapisan tertutup. Seorang tokoh sosiologi India, M. N.
Srinivas, (1952) menguraikan bahwa sistem kasta di India (yang diberi nama varna)
sebenarnya terdiri atas ribuan jati, suatu kelompok endogen yang mempraktekan
suatu pekerjaan tradisional dan mempunyai otonomi tertentu dalam bidang budaya,
ritual, dan hukum. Srinivas mengamati bahwa kadangkala hubungan hipergami antar
kasta dimungkinkan, walaupun itu selalu terwujud dalam pernikahan seorang laki-
laki dari kasta yang lebih tinggi dengan seorang perempuan dari kasta lebih rendah
dan tidak sebaliknya. Srinivas pun menguraikan bahwa suatu kelompok kasta rendah
sering dapat pindah status ke kasta lebih tinggi dengan jalan meniru gaya kasta yang
lebih tinggi itu, suatu proses yang oleh Srinivas disebut sebagai sanskritization,
meskipun proses ini terjadi dalam beberapa generasi. Adanya proses sanskritization
ini sudah merupakan indikasi bahwa warga kasta lebih rendah tidak selalu menerima
status mereka yang rendah.
Dalam kenyataannya ternyata agak sukar menemukan bentuk masyarakat yang
sistem pelapisannya benar-benar tertutup ataupun benar-benar terbuka. Dalam satu
penelitiannya, Yinger memperkirakan bahwa dalam bentuk masyarakat yang paling
terbuka, yaitu masyarakat industri modern, hanya sepertiga anggota masyarakat yang
statusnya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang tuanya, sedangkan dua pertiganya
adalah sama; keadaan ini sebenarnya bisa mengindikasikan bahwa nilai-nilai yang
ditanam orang tua terhadap diri anak-anak mereka masih dijadikan sebagai suatu

7
ukuran kehidupan, mereka masih mengidentifikasikan diri terhadap segala gagasan,
sikap, dan tindakan orang tuanya, walaupun mungkin prosesnya berlangsung tanpa
secara disadari.

2.3. Mobilitas Sosial


2.3.1. Pengertian Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial pada dasarnya adalah perubahan susunan status orang-
orang dalam masyarakat baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Mobilitas sosial menggambarkan gerakan perubahan kedudukan dan peran
dari orang-orang yang ada dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Secara
epistomologis kata mobilitas sosial berasal dari kata mobilis (bahasa Latin)
yang berarti bergerak dan social (bahasa Inggris) yang berarti masyarakat.
Jadi mobilitas sosial berarti gerakan masyarakat.
Definisi mobilitas sosial menurut beberapa ahli :
a. Soerjono Sukanto mengartikan mobilitas sosial sebagai suatu gerak
dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi
suatu kelompok sosial.
b. Horton dan Hunt mengartikan mobilitas sosial sebagai gerak perpindahan
dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya.
c. William kornblum mengartikan mobilitas sosial sebagai perpindahan
individu-individu, keluarga-keluarga, dan kelompok sosialnya dari satu
lapisan ke lapisan sosial lainnya.
d. Michael S. Bassis mengartikan mobilitas sosial sebagai perpindahan ke
atas atau ke bawah lingkungan sosial ekonomiyang mengubah status
sosial seseorang dalam masyarakat
e. H. Edward Ranssford mengartikan mobilitas sosial sebagai perpindahan
ke atas atau ke bawah dalam lingkungan sosial secara hierarki.
f. Kimball Young dan Raymon W. Mack mengartikan mobilitas dalam
struktur sosial sebagai pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu
kelompok sosial.
Dari definisi-definisi di atas, dapat diambil 3 hal pokok menyangkut
mobilitas sosial yaitu:
1) Perubahan kelas sosial, baik ke atas maupun ke bawah

8
2) Dialami oleh manusia baik sebagai individu maupun kelompok
3) Terjadi dampak sosial atas kelas sosial baru yang diperoleh

2.3.2. Jenis-Jenis Mobilitas Sosial


a. Berdasarkan Tipe
1) Mobilitas Sosial Vertikal
Mobilitas sosial vertikal yaitu perpindahan individu atau obyek dari
suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak
sederajat. Mobilitas sosial vertikal dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Mobilitas sosial vertikal naik (social climbing mobility/upward
mobility)
Mobilitas sosial vertikal naik terjadi apabila seseorang mengalami
peningkatan kedudukan menuju tingkatan yang lebih tinggi.
b) Mobilitas sosial vertikal turun (social sinking)
Mobilitas sosial vertikal turun terjadi apabila seseorang
mengalami penurunan kedudukan menuju tingkatan yang lebih
rendah.
2) Mobilitas Sosial Horisontal
Mobilitas sosial horisontal yaitu perpindahan individu atau
obyek dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang
sederajat.
3) Mobilitas Sosial Lateral (Mobilitas Geografis)
Mobilitas sosial lateral yaitu perpindahan individu atau obyek
dari suatu tempat ke tempat lain yang berpengaruh pada kedudukan
sosialnya.
4) Mobilitas Sosial Struktural
Moblitas sosial struktural meliputi kesatuan yang luas dan
kompleks yang disebabkan oleh hal-hal yang positif maupun negatif.
b. Berdasarkan Ruang Lingkupnya
1) Mobilitas Sosial Intragenerasi
Mobilitas sosial intragenerasi adalah perpindahan kedudukan sosial
seseorang atau anggota masyarakat yang terjadi dalam satu generasi

9
yang sama. Mobilitas intragenerasi terbagi menjadi dua bentuk umum,
yaitu mobilitas intragenerasi naik dan intragenerasi turun.
2) Mobilitas Sosial Antargenerasi
Mobilitas sosial antargenerasi adalah perpindahan kedudukan sosial
yang terjadi di antara beberapa generasi dalam satu garis keturunan.
Mobilitas ini dibedakan menjadi dua, yaitu mobilitas sosial
intergenerasi naik dan mobilitas sosial intergenerasi turun.

2.3.3. Faktor Pendorong Terjadianya Mobilitas Sosial


a. Faktor Perubahan Situasi Politik
Situasi politik pada dasarnya adalah kondisi stabilitas pemerintahan
termasuk bagaiman dukungan rakyat pada umumnya terhadap struktur
pemerintahan yang baru dalam masyarakat tersebut. Melalui dorongan-
dorongan politik seorang individu ingin menduduki posisi-posisi tertentu
dalam rangka mengembangkan organisasi politik mereka, biasanya
aktivitas ini didukung oleh orang-orang yang mempunyai kesamaan
kepentingan politik. Dalam struktur pemerintahan biasanya didukung oleh
orang-orang parpol yang duduk di dewan perwakilan rakyat misalnya
kedudukan sebagai gubernur, bupati atau walikota, camat, lurah, dan lain-
lain. Inilah contoh faktor-faktor yang mendorong terjadinya mobilitas
sosial secara vertikal dari sisi politik.
b. Faktor Perubahan Sosial Budaya
Dalam masyarakat senantiasa terjadi perubahan baik dalam struktur
sosial, interaksi sosial, maupun dalam sistem tata nilai. Perubahan-
perubahan ini dapat memberikan dorongan kepada individu dalam
masyarakat untuk melakukan penyesuaian terhadap tuntutan perubahan,
sehingga mengakibatkan keinginan yang kuat bagi seorang individu untuk
melakukan social climbing. Kemajuan teknologi misalnya, dapat
membuka kemungkinan timbulnya mobilitas ke atas dan perubahan
ideologi dapat menimbulkan stratifikasi baru.
c. Faktor Perubahan Ekonomi
Situasi ekonomi dalam masyarakat dapat memberikan dorongan
bagi individu ataupun kelompok individu untuk meningkatkan kedudukan

10
mereka masing-masing. Kondisi ekonomi yang membaik dapat
memberikan dorongan untuk melakukan ekspansi dalam berbagai macam
usaha. Kondisi ekonomi yang buruk juga dapat memengaruhi orang untuk
melakukan berbagai macam tindakan antisipatif dalam mencegah
kejadian-kejadian yang tidak mereka inginkan.
d. Pertambahan penduduk

2.3.4. Faktor Penghambat Mobilitas Sosial


a. Adanya perbedaan ideologi
b. Adanya perbedaan kepentingan
c. Adanya perbedaan suku dan asal daerah
d. Adanya diskriminasi jenis kelamin
e. Adanya perbedaan ras
f. Adanya perbedaan tujuan politik
g. Pengaruh sosialisasi yang sangat kuat
h. Kemiskinan
2.3.5. Dampak Mobilitas Sosial
a. Terjadinya Peningkatkan Integritas dan Tata Kerja
Melalui mobilitas sosial sering kali menimbulkan gairah kerja yang baru
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja. Roling jabatan yang
ada di bawahnya yang dapat memberi angin baru dalam dunia kerja juga
dapat menimbulkan peningkatan integritas dan tata kerja. Mobilitas sosial
berarti menimbulkan perubahan status baik meningkat, menurun, atau
bergeser secara sejajar. Perubahan status ini memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian dari kedua belah pihak yaitu yang mendatangi
maupun yang didatangi dalam lingkungan sosial tertentu.
b. Timbulnya Disorganisasi Sosial
Salah satu pengaruh yang negatif dari mobilitas sosial adalah mobilitas
sosial justru merusak keharmonisan yang telah ada. Mobilitas sosial akan
menimbulkan disintegrasi sosial manakala kebijakan-kebijakan yang baru
tidak disepakati oleh kalangan masyarakat luas yang terkait sehingga
menimbulkan gejolak protes dan rasa tidak puas terhadap perubahan itu.
Kondisi ini dinamakan disintegrasi sosial. Apabila hal ini berlangsung

11
secara terus-menerus dapat mengakibatkan suasana masyarakat menjadi
lebih buruk dan menimbulkan perpecahan. Kondisi inilah yang dinamakan
disorganisasi sosial.
c. Timbulnya Konflik
Mobilitas sosial merupakan pola-pola tertentu yang mengatur organisasi
suatu kelompok sosial. Kelompok sosial dalam suatu masyarakat
memungkinkan terjadi konflik, seperti konflik antarkelas sosial, kelompok
sosial, dan kemungkinan terjadinya penyesuaian. Konflik adalah suatu
proses sosial yang terjadi karena orang perorangan atau kelompok manusia
berusaha memenuhi tujuan hidup dengan jalan menentang pihak lawan
disertai ancaman/kekerasan. Penyebab terjadinya pertentangan antara lain,
perbedaan pendiriian atau perasaan, kebudayaan, kepentingan, dan sosial.
Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelas sosial, antarkelompok
sosial, dan antargenerasi.
d. Mendorong seseorang untuk maju
e. Menyebabkan kerenggangan hubungan dalam kelompok primer
f. Menimbulkan stress, trauma, kecemasan, dan ketakutan

2.4. Jumlah Lapisan Sosial dalam Masyarakat


Sejumlah ilmuan sosial membedakan jumlah lapisan sosial antara tiga atau
lebih. Misalnya, pembedaan antara kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah.
Warner merinci tiga kelas ini menjadi enam kelas: kelas atas atas (upper-upper), atas
bawah (lower-upper), menengah atas (upper middle), menengah bawah (lower
middle), bawah atas (upper lower) dan bawah bawah (lower lower). Dalam
penelitiannya di daerah Simalungun, Sumatra Utara R. William Liddle membedakan
antara elite pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten atau kotamadia, dan provinsi.
Sajogyo membagi petani miskin di Jawa dalam tiga lapisan: petani lapisan III
(cukup), yang luas tanahnya di atas 0,5 ha; lapisan II (miskin), yang luas tanahnya
antara 0,25 dan 0,5 ha; dan lapisan I (miskin sekali), yang luas tanahnya di bawah
0,25 ha atau buruh tani yang tidak mempunyai tanah.
Bernard Barner memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep
stratifikasi. Salah satu di antaranya ialah konsep rentang (span), yang mengacu pada
perbedaan antara kelas teratas dengan kelas terbawah. Dalam masyarakat kita,

12
misalnya, kita menjumpai rentang yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Di
bagian terbawah kita menjumpai penghasilan di bawah Rp100.000 per bulan atau
Rp1,2 juta per tahun; di Jakarta awal tahun 90-an, misalnya, kita dapat menjumpai
pegawai negeri dengan gaji Rp50.000 per bula, buruh pabrik yang penghasilannya
sekitar Rp16.000 per minggu, pabrik yang memberikan upah minimum buruh sebesar
Rp1.750 per hari (atau sekitar Rp45.000 per bulan), dan pembantu rumah tangga
yang berpenghasilan sekitar Rp35.000 per bulan. Di bagian teratas stratifikasi di
bidang penghasilan, di pihak lain, kita akan menjumpai penghasilan yang mencapai
antara Rp800 juta dan Rp1 miliar per tahun, atau sekitar Rp66.7 juta sampai ke
Rp83,3 juta per bulan. Di bidang kepangkatan pegawai negeri rentang antara pangkat
terendah, golongan IA dan pangkat tertinggi, golongan IVd adalah 16 jenjang;
artinya, antara pangkat seorang pegawai negeri yang menduduki jenjang terendah
dengan pangkat tertinggi terdapat 16 jenjang. Di bidang kekayaan dalam masyarakat
kita kita dijumpai rentang yang sangat besar pula; antara keadaan tuna wisma yang
tidak mempunyai apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya, dan pengusaha
yang kekayaan pribadinya berjumlah di atas Rp1 miliar. Konsep rentang memberikan
kepada kita petunjuk mengenai besarnya kesenjangan ataupun ketidaksamaan (atau
kecilnya pemerataan) dalam masyarakat.
Konsep terkait lainnya yang dilakukan Barber ialah kosep bentuk (shape), yang
mengacu pada proporsi orang yang terletak di kelas sosial yang berlainan. Suatu
stratifikasi dapat berbentuk segi tiga. Ini berarti bahwa semakin tinggi posisi dalam
stratifikasi, semakin sedikit jumlah posisi yang tersedia. Stratifikasi yang mendekati
bentuk piramida ini kita jumpai, misalnya dalam stratifikasi jabatn pimpinan dalam
pemerintahan daerah: jumlah kepala desa atau lurah melebihi jumlah camat, jumlah
camat melebihi jumlah bupati atau walikota, dan jumlah bupati atau walikota
melebihi jumlah gubernur.
Stratifikasi tidak selalu berbentuk segi tiga atau piramida karena kita sering
menjumpai situasi yang di dalamnya terdapat sejumlah besar posisi rendah dan
sejumlah kecil posisi tinggi. Situasi kesenjangan besar ini sering dijumpai dalam
masyarakat yang sedang berkembang.
Di bidang pendidikan formal, dalam masyarakat kita pun dijumpai kesenjangan
besar antara mereka yang berpendidikan dasar dan menengah dengan mereka yang
berpendidikan tinggi. Data sensus 1971 dari BPS, misalnya, menunjukkan bahwa

13
pada tahun 1971 di kalangan penduduk berusia 10 tahun ke atas 41.01% tidak
bersekolah, 52.35% berpendidikan dasar (32.97% tidak selesai), 4.3% berpendidikan
SLP, 2.03% berpendidikan SLA dan hanya 0.31% berpendidikan tinggi.
Dalam masyarakat industri maju dapat dijumpai stratifikasi yang berbentuk
intan: posisi di lapisan bawah dan atas berjumlah relatif sedikit bila dibandingkan
dengan posisi di lapisan menengah. Dalam studi yang dilakukan Warner di kota
“Jonesville”Amerika Serikat, misalnya, kelas atas berjumlah 2.7%, menengah atas
11%, menengah bawah 31%, bawah atas 41% dan bawah bawah 14%. Data ini
menunjukkan bahwa stratifikasi masyarakat kota “Jonesville” berbentuk intan ;
mayoritas penduduk berada pada kelas menengah bawah dan bawah atas.

2.5. Dimensi Stratifikasi


Sistem startifikasi sosial berpokok pada pertentangan dalam masyarakat.
Dengan demikian sistem stratifikasi sosial hanya mempunyai arti khusus bagi
masyarakat-masyarakat tertentu yang menjadi obyek penyelidikan. Dalam sistem
startifikasi sosial dapat dianalisa dalam ruang lingkup unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, distribusi hak-hak istimewa yang obyektif seperti misalnya kekayaan.
Kedua, sistem yang diciptakan oleh masyarakat yaitu sebuah wibawa (prestige) dan
penghargaan. Ketiga, kriteria sistem pertentangan baik yang terjadi pada individu
maupun kelompok. Keempat, lambang-lambang kehidupan seperti tingkahlaku
hidup, dan cara berpakaian. Kelima, solidaritas diantara individu maupun kelompok
yang terjadi dari interaksi, kesadaran akan kedudukan masing-masing individu
maupun kelompok dan aktifitas.
Bentuk-bentuk startifikasi sosial: suatu pelapisan sosial itu terjadi berdasarkan
suatu kriteria tertentu, dan dengan berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, maka
dapatlah bentuk-bentuk strata sosial antara lain sebagai berikut: Pertama, kriteria
biologis. Pada kriteria ini dibagi atas kriteria menurut jenis kelaminya yaitu laki-laki
dan perempuan, dan kriteria menurut umurnya yaitu golongan anak-anak, dewasa
dan golongan tua. Kedua, kriteria geografis. Pada kriteria ini dapat digolongkan atas:
masyarakat desa dan masyarakat kota. Masyarakat kota terbagi atas masyarakat kota
kecil, kota madya dan kota besar.
Antonina Yermakova, dan Ratnikov Valentine menyebutkan bahwa bentuk-
bentuk startifikasi sosial terbentuk dari: Pertama, kriteria ekonomis. Kriteria

14
ekonomis yaitu kriteria berdasarkan hak milik penduduk. Kriteria ekonomis ini
terdiri atas tiga kelas: ekonomi tinggi, ekonomi menengah, dan ekonomi rendah.
Kedua, kriteria status/jabatan. Pada kriteria jabatan ini terdapat berbagai lapisan
yaitu: golongan status sosial tinggi dan golongan status sosial menengah. Serta
golongan status sosial rendah, dan golongan bukan pegawai dan pejabat.
Sanapiah Faisal menyebutkan bahwa bentuk-bentuk startifikasi sosial terbentuk
dari: Pertama, kriteria politis. Dalam kriteria politis yang utama adalah golongan
yang menganut aliran politik yaitu anggota partai politik dan gerakan masa, yang lain
adalah golongan non partai. Dari golongan partai politik ini terdapat starta sosial: 1)
golongan pemegang kekuasaan politik tingkat pusat (pemimpin pusat) berkedudukan
di ibu kota negara. 2) golongan pemegang kekuasaan politik tingkat daerah (Tk. 1/
propinsi). Kedua, golongan pimpinan partai tingkat cabang. Dimensi startifikasi
sosial modern terbagi menjadi tiga golongan yaitu: 1) golongan tinggi, 2) golongan
menengah, dan 3) golongan rendah.
Abdul Aziz menyebutkan bahwa bentuk-bentuk startifikasi sosial terbentuk
dari: Pertama, kriteria kehormatan. Kehormatan terlepas dari ukuran kekayaan dan
kekuasaan. Orang yang paling disegani karena kelebihanya, dihormati, dan mendapat
tempat teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat
tradisional, pada golongan tua atau orang yang pernah berjasa kepada masyarakat.
Kedua, kriteria ilmu pengetahuan atau pendidikan. Kriteria atas dasar pendidikan
terdapat strata sosial yaitu: 1) golongan yang berpendidikan tinggi, 2) golongan yang
berpendidikan menengah, 3) golongan yang berpendidikan rendah. Ketiga, kriteria
agama. Dilihat dari segi agama, dalam masyarakat terdapat lapisan-lapisan yang
berdasarkan keagamaan yaitu: 1) golongan orang Islam dan bukan Islam. Golongan
ini terdiri dari golongan Islam yang mendalam dan yang masih dangkal (abangan)
dan golongan bukan Islam. 2) golongan orang yang beragama dan orang yang tidak
beragama (atheis). Sementara golongan bukan Islam dibedakan lagi menjadi: 1)
golongan penganut Budha, 2) golongan penganut Hindu Bali, 3) golongan penganut
Katholik, dan golongan penganut Protestan.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dilihat dalam struktur sosial,
sebagaimana yang dikemukakan darmansyah sebagai berikut: Pertama, strata itu
terbentuk berdasarkan latar belakang kemajuan kebudayaan yang diaktualisasikan
dalam bentuk kualitas individu dan kelompok. Kedua, setelah strata terbentuk

15
kemudian lahirlah kelompok-kelompok yang dipandang inferior dan superior.
Ketiga, adanya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh kaum superior.
Dari sudut pandang sosialisme, kriteria fundamental yang membedakan kelas-
kelas adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi social, dan konsekuensinya
menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Ukuran stratifikasi sosial lebih
menonjol pada kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh individu atau kelompok
masyarakat. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat berdasarkan dimensi
ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah kepemilikan atas alat
produksi. Seperti yang selalu ia katakana dalam berbagai tulisan-tulisanya,
pembagian kerja yang merupakan sumber ketidak adilan sosial timbul saat
memudarnya masyarakat komunal primitif.
Dalam analisis fungsional, masyarakat terbagi ke dalam beberapa kelompok
sosial yang masing-masing dibedakan sesuai karakteristik dan motifnya. John L.
Gillin membagi kelompok atas dasar fungsionalnya sebagai berikut: Pertama,
kelompok persamaan darah (blood group), misalnya keluarga, klas dan kasta. Kedua,
kelompok berdasarkan karakteristik jasmaniah atau mental, sama jenis seksnya, sama
umur, sama rasnya. Ketiga, kelompok proximitas, crowds, mobs, communitu,
kelompokkelompok territorial. Keempat, kelompok berdasarkan interest kulturil,
yaitu congenialitas, ekonomi, teknologi, agama, asthetik, intelektuil, pendidikan,
politik, rekreasi, dan sebagainya.
Perbedaan kelompok-kelompok dalam masyarakat menjadi sebuah indikator
bagi klasifikasi dalam stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial dapat terjadi dari sudut
pandang blood group, karakteristik jasmaniah atau mental, proximitas, dan interest
cultural. Analisis fungsional terhadap varian kelompok tersebut saling melengkapi
dalam stuktur sosial masyarakat kompleks. Sistem sosial dalam hal kekuasaan
biasanya ditentukan oleh kelompok blood group, atau interest cultural dan lain-lain.

2.6. Kelas Sosial


Konsep kelas merupakan suatu konsep yang sudah lama digunakan dalam ilmu
sosial, makna yang diberikan pada konsep tersebut berbeda-beda; meskipun konsep
itu menduduki posisi sangat penting dalam teori Karl Marx, namun ia tidak pernah
mendefinisikannya secara tegas, yang jelas ia mengaitkannya dengan pemilikan alat
produksi. Demikian juga dengan Max Weber (1958), ia tidak membatasi konsep

16
tersebut pada pemilikan alat produksi tetapi membeikan makna yang lebih luas,
sehingga selain mencakup penguasaan atas barang meliputi pula peluang untuk
memperoleh penghasilan. Menurut Giddens (1989), peluang untuk memperoleh
pekerjaaan dan penghasilan yang dimaksud Weber tersebut ini tidak hanya berupa
penguasaan atas barang tetapi dapat pula berupa keterampilan dan kemampuan yang
antara lain tercermin dalam ijazah.
Peter L Berger (1978), seorang ahli sosiologi modern, menganggap sistem
kelas sebagai tipe stratifikasi yang menjadi salah satu dasar posisi-posisi yang umum
dalam masyarakat menurut ukuran-ukuran ekonomi; dari perumusannya ini tampak
bahwa konsep kelas ini dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat
sehubungan dengan kriteria kemampuannya secara ekonomi.
Apabila kita menelaah istilah kelas sebagaimana yang dipergunakan dalam
teori Marxisme, maka terdapat perbedaan prinsipil dengan pengertian umum tentang
kelas yang dipakai dalam sosiologi, perbedaan itu mencakup :
Dalam Marxisme, istilah kelas cenderung hanya digunakan dalam kerangka
ekonomi saja; walaupun dengan adanya kelas-kelas tersebut ternyata berpengaruh
besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan dalam masyarakat. Dalam
kerangka ini, Marxisme membagi kelas dalam masyarakat menjadi dua bentuk;
pertama, kelas yang memiliki tanah dan alat-alat produksi, dan kedua kelas yang
tidak memiliki itu dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan dalam proses
pruduksi. Menurut konsep Marxisme, kelas itu senantiasa berada dalam
pertentangan untuk berebutan kekuasaan, sedangkan sosiologi lebih menekankan
pada hubungan antara dan bekerja sama tanpa pertentangan, Marxisme cenderung
menekankan prediksi keterbentukan masyarakat itu ditandai dengan hilangnya semua
kelas dalam masyarakat sehingga terjadi suatu classless society (masyarakat tanpa
kelas), sedangkan menurut sosiologi bahwa kelas itu akan ada sepanjang masa dalam
tiap masyarakat yang hidup teratur
Pada beberapa masyarakat di dunia, terdapat kelas-kelas yang tegas sekali, oleh
karena segenap anggota warga masyarakat itu memperoleh sejumlah hak-hak dan
kewajibankewajiban yang dilindungi oleh hukum yang berlaku disana. Warga-warga
masyarakat semacam itu seringkali mempunyai kesadaran dan konsepsi yang jelas
tentang seluruh susunan lapisan dalam masyarakatnya. Kelompok ‘abdi dalem’
seperti yang ada di keraton Yogyakarta, adalah orang-orang yang menjadi abdi raja

17
di keraton Yogya, yang dibedakan dengan orang-orang biasa lainnya; sebagian besar
dari orang biasa atau rakyat pada umumnya menyadari bahwa ‘abdi dalem’ ini
tingkatan sosialnya lebih tinggi dari mereka, walau secara ekonomi mungkin tidak
demikian; kebanggaan dari seorang ‘abdi dalem’ bukan tentang materi, namun
kebanggaannya bahwa dia termasuk orang yang bisa mengabdikan diri kepada raja,
yang tidak semua orang bisa mencapai ini.
Apabila pengertian kelas ditinjau lebih mendalam, menurut Soerjono Soekanto
(1989) maka dalam masyarakat itu akan dijumpai beberapa kriteria yang tradisionil,
yaitu : 1.) Besarnya atau ukuran jumlah anggota-anggotanya, 2.) Kebudayaan yang
sama, ang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warganya, 3.)
Kelanggengan, 4.) Tanda atau lambang yang merupakan status symbol, 5.) Batas-
batas yang tegas (bagi kelompok itu, terhadap kelompok lain), 6.) Antagonisme
tertentu
Sehubungan dengan kriteria tersebut di atas, kelas menyediakan kesempatan-
kesempatan atau fasilitas-fasilitas hidup tertentu (life chances) bagi warga-warganya,
yaitu misalnya keselamatan atas hidup dan harta benda, kebebasan, standar hidup
yang tinggi dan sebagainya, yang dalam arti-arti tertentu tidak dimiliki oleh warga-
warga kelas lainnya. Kecuali daripada itu, kelas juga mempengaruhi gaya dan
tingkah-laku hidup (life style) masing-masing warganya. Oleh karena kelas-kelas
yang ada dalam masyarakat mempunyai perbedaan dalam kesempatan-kesempatan
menjalani jenis pendidikan atau rekreasi tertentu misalnya, maka ada perbedaan pula
dalam apa yang telah dipelajari warga-warganya, perikelakuannya dan sebagainya.
Dalam masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar, dikenal suatu pembedaan
antara golongan yang pernah mengalami pendidikan Barat (terutama pendidikan
Belanda) dengan golongan yang tidak pernah mengalaminya; tidak sembarang orang
bisa mendapatkan pendidikan ini, mereka yang bersekolah umumnya adalah orang
yang terpandang dalam masyarakat, kalau tidak orang yang secara ekonomis
berkecukupan, mereka adalah para keturunan penguasa setempat atau
pegawaipemerintahan.
Kamanto Sunarto (2004) menguraikan bahwa secara ideal sistem kelas
merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status didalamnya dapat diraih
melalui usaha pribadi; dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas
mempunyai ciri tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan

18
misalnya, lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama daripada
dengan orang dari kelas yang lebih rendah atau lebih tinggi.

2.7. Penjelasan bagi Adanya Stratifikasi Sosial

Menurut Moore dan Davis, stratifikasi ada karena dibutuhkan demi


kelangsungan hidup masyarakat. Dalam masyarakat terdapat status yang harus
ditempati agar kehidupan masyarakat dapat berlangsung. Anggota masyarakat perlu
diberi rangsangan agar mau menempati status tersebut dan bersedia menjalankan
peran sesuai dengan harapan masyarakat. Semakin penting status yang perlu
ditempati, dan semakin sedikit tersedia anggota masyarakat yang dapat
menempatinya, semakin besar pula imbalan yang diberikan masyarakat. Perbedaan
imbalan tersebut kemudian dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya
stratifikasi.[1]

Stratifikasi sosial ini biasanya digambarkan dalam bentuk piramida stratifikasi


sosial. Kriteria-kriteria yang dijadikan dasar untuk penentuan status seseorang antara
lain:[2]

a. Kekayaan
b. Kekuasaan
c. Kehormatan
d. Tingkat Pendidikan

Gambar 1 Piramida Stratifikasi


Sosial
Sumber :
https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sum
berbelajar/tampil/Pengelompokan-Sosial-dalam-
Masyarakat-Secara-Verti/konten5.html

2.8. Dampak Stratifikasi

Akibat adanya stratifikasi sosial mengakibatkan beberapa perbedaan gaya


hidup, yang dimaknai oleh para ahli sosiologi sebagai simbol status[1] Simbol status

19
adalah simbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat. Beberapa
contoh simbol status antara lain:

a. Pola berbusana;
b. Cara menyapa;
c. Gaya berbicara;
d. Komunikasi nonverbal;
e. Gelar, pangkat, dan jabatan;
f. Tipe dan letak tempat tinggal;
g. Destinasi Rekreasi; dsb.

Menurut Max Weber, status seseorang dikaitkan dengan life chance atau nasib.
Kekayaan dan pemilikan yang dimiliki seseorang dan keluarganya memang
mempunyai pengaruh besar terhadap peluang hidupnya. Beberapa ahli sosiologi juga
telah meneliti mengenai perbedaan kelas sosial dengan berbagai macam faktor, salah
satunya Notenstein dengan faktor perbedaan fertilitas.[3]

Hasil penelitian Notenstein menunjukkan terdapatnya hubungan negatif antara


tingkat pendidikan dan jumlah anak. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa
pasangan berpendidikan lebih tinggi cenderung mempunyai lebih sedikit anak
daripada pasangan yang pendidikannya lebih rendah.

Dalam kestabilan keluarga pun, Hollingshead mengamati hubungannya dengan


kelas sosial. Ia melihat bahwa keluarga kelas atas lebih stabil daripada keluarga kelas
bawah. Menurutnya keluarga kalangan kelas atas yang telah mapan cenderung lebih
stabil dari kelas atas baru. Keluarga kelas atas baru menurutnya lebih sering dilanda
perceraian, broken home, dan kecanduan minum keras.

2.9. Cara Mempelajari Stratifikasi Sosial

Menurut Zanden dalam sosiologi digunakan tiga pendekatan berlainan untuk


mempelajari stratifikasi sosial:[4]

a. Pendekatan objektif, menggunakan ukuran yangobjektif berupa variable yang


mudah diukur secara statistik seperti pendidikan, pekerjaan, atau penghasilan;

20
b. Pendekatan subyektif, melihat kelas sebagai suatu kategori sosial, sehingga
ditandai oleh kesadaran subyek penelitian.
c. Pendekatan reputational, subyek penelitian menilai status orang lain dengan
jalan menempatkan orang lain tersebut pada suatu skala tertentu.

2.10. Upaya Masyarakat untuk Mengurangi Ketidaksamaan


Terdapat berbagai pandangan yang berbeda mengenai bagaimana persamaan
yang dikehendaki oleh masyarakat. Ada beberapa masyarakat yang berpandangan
bahwa apa yang dapat diperoleh seorang masyarakat tergantung pada
kemampuannya. Ada juga masyarakat lain yang menekankan asas yang menyatakan
bahwa pemerataan berarti pemerataan pendapatan.
Untuk mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat pemerintah berbagai
negara menerapkan berbagai program. Dalam negara kita pun terdapat berbagai
usaha untuk membantu anggota masyarakat yang tidak mampu memenuhi keperluan
pokok mereka. Kita mengenal program pemerintah seperti Inppres Desa Tertinggal,
program beasiswa, penghapusan SPP dari sekolah-sekolah, Puskesmas, dan lain-lain.
Program-program tersebut membantu menjaga kesamaan antarkelas sosial.

21
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:


1) Stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyakakat berdasarkan status
yang dimilikinya dalam sosiologi. Anggota masyarakat dapat dibedakan
berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, keanggotaan dalam
kelompok tertentu, dan lain-lain.
2) Sistem stratifikasi sosial dibagi menjadi dua, yaitu sistem stratifikasi sosial
tertutup dan sistem stratifikasi sosial terbuka.
3) Mobilitas sosial adalah perpindahan status dalam stratifikasi sosial.
4) Lapisan sosial dalam masyarakat ada enam, yaitu kelas atas atas (upper upper),
kelas atas bawah (lower upper), menengah atas (upper middle), menengah
bawah (lower middle), bawah atas (upper lower), bawah bawah (lower lower).
5) Dimensi stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi usia, jenis kelamin, agama,
kelompok etnik, ras, pendidikan formal, pekerjaan, dan ekonomi serta
kehormatan.
6) Kelas sosial adalah sebuah tipe stratifikasi di mana posisi umum seseorang
pada dasarnya ditentukan oleh kriteria ekonomi.
7) Dalam sosiologi dijumpai berbagai pandangan berbeda mengenai sebab
musabab adanya stratifikasi dalam masyarakat.
8) Adanya stratifikasi sosial membawa berbagai dampak dalam masyarakat,
misalnya dampak pada harapan hidup.
9) Ada tiga pendekatan berlainan untuk mempelajari stratifikasi, yaitu pendekatan
objektif, subjektif, dan reputasional.
10) Terdapat berbagai upaya untuk mengurangi ketidaksamaan, misalnya,
membantu anggota masyakat yang tidak mampu untuk memenuhi keperluan
pokok mereka.

22
3.2. Saran
Stratifikasi sosial sudah menjadi hal yang umum dalam kehidupan masyakarat.
Untuk mengurangi ketidaksamaan yang timbul akibat adanya stratifikasi, sebaiknya
terdapat koordinasi antara pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan kondisi
masyarakat yang setara, misalnya dengan membebaskan masyarakat rendah dari beban
pajak dan membebani anggota masyarakat berpenghasilan tinggi dengan pajak yang
semakin berat.

23
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Bendix, Reihard dan Seymour Martin Lipset. 1965. Class, Status and Power. New York:
The Free Press.
Liddle, R. William. 1968. The Sociology of Marx. Diterjrmehkan dalam bahasa Prancis
oleh Nobert Guterman. New York Vintage Books.
Light, Donald, Suzanne Keller dan Craig Calhoun. 1989. Sociology. Edisi kelima. New
York: Alfred A. Knopf.

Moeis, Syarif. 2008. Bahan Ajar Struktur Sosial: Stratifikasi Sosial. Bandung.

Smelser, Neil J. dan James A. Davis (ed.).1973. Karl Marx on Society and Social Change.
Chicago: The University of Chicago Press.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Yinger, J. Militon. 1966. Sociology (Edisi Keempat). New York: Barkley Medallion.

Zanden, James Vander. 1979. Sociology (Edisi Keempat). New York: John Wiley and
Sons.

Sumber Web
https://www.scribd.com/doc/229626521/Mobilitas-Sosial-pdf (diakses pada tanggal 17
Februari).

https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sumberbelajar/tampil/Pengelompokan-Sosial-dalam-
Masyarakat-Secara-Verti/konten5.html (diakses pada tanggal 17 Februar).

Sumber Jurnal

Maimunah, Binti. 2015. Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif
Sosiologi Pendidikan (dalam Ta,alum Vol. 3 No. 01: 19-38).

Ransford, H. Edward. 1980. Age Stratification. Hlm. 233-245 dalam Jeffies Ransford (ed.,
Social Stratification.

24
Sajogyo. 1978. Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa. PRISMA 3
April: 3-14.

Warta Ekonomi. 1990. Daftar Gaji 50 Eksekutif. No. 23/II/5. November.

Warta Ekonomi. 1990. Daftar 15 Terkaya di ASEAN. No. 18/1/29. Januari.

Weber, Max. 1958. The Role of Ideas of History. Hlm. 40-42 dalam Etzioni-Halevi dan
Etzioni, Social Change.

25

Anda mungkin juga menyukai