Makalah Stratifikasi Kelompok 5
Makalah Stratifikasi Kelompok 5
PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Sosiologi
1.3.2. Untuk mengetahui konsep stratifikasi sosial
1.3.3. Untuk mengetahui sistem stratifikasi sosial terbukan dan tertutup
1.3.4. Untuk mengetahui mobilitas sosial
1.3.5. Untuk mengetahui jumlah lapisan sosial dalam masyarakat
1.3.6. Untuk mengetahui dimensi sosial
1.3.7. Untuk mengetahui kelas sosial
1.3.8. Untuk mengetahui pandangan mengenai adanya stratifikasi
1.3.9. Untuk mengetahui dampak stratifikasi bagi masyarakat
1.3.10. Untuk mengetahui cara mempelajari stratifikasi sosial
1.3.11. Untuk mengetahui upaya masyarakat untuk mengurangi ketidaksamaan
1.4. Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dan keanggotaan dalam kelompok tertentu, seperti kasta dan kelas. Berdasarkan
status yang diperoleh ini, kita menjumpai berbagai macam stratifikasi.
a. Stratifikasi Usia
Dalam sistem ini anggota masyarakat yang mempunyai usia yang lebih
muda mempunyai hak dan kewajiban berbeda dengan anggota masyarakat yang
lebih tua. Dalam hukum adat masyarakat tertentu, misalnya anak sulung
memperoleh prioritas dalam pewarisan harta atau tahta. Elizabaeth, putri Raja
Inggris George mewarisi tahta kerajaan Inggris tatkala ayahnya meninggal dunia
pada tahun 1952.
4
dipensiunkan dan tidak dapat dipertimbangkan untuk jabatan guru besar, apa pun
gelar akademik yang dimilikinya dan apa pun prestasi dan sumbangan-nya
dalam bidang keahliannya.
5
a. Stratifikasi Pendidikan
b. Stratifikasi Pekerjaan
c. Stratifikasi Ekonomi
6
sedangkan stratifikasi sosial yang tertutup ditandakan dengan keadaan manakala
setiap anggota masyarakat tetap berada pada status yang sama dengan orang tuanya.
Dalam sistem pelapisan yang terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai
kesempatan untuk berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan, atau
bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan
bawahnya. Pada umumnya pelapisan terbuka ini memberi perangsang yang lebih
besar kepada setiap anggota masyarakat untuk memperkembangkan kecakapannya,
dan karena itu, maka sistem tersebut lebih sesuai untuk dijadikan landasan
pembangunan masyarakat daripada sistem yang tertutup.
Dalam sistem pelapisan yang tertutup, kedudukan orang-perorangan ditentukan
oleh kelahirannya; seorang Charles di negeri Inggris adalah seorang pangeran dan
calon raja Inggris, dan dia ada seperti itu karena orang tuanya adalah ratu Inggris.
Kita juga mengenal sistem sosial yang berlaku di India adalah berdasarkan kasta,
yang mengacu pada sistem pelapisan tertutup. Seorang tokoh sosiologi India, M. N.
Srinivas, (1952) menguraikan bahwa sistem kasta di India (yang diberi nama varna)
sebenarnya terdiri atas ribuan jati, suatu kelompok endogen yang mempraktekan
suatu pekerjaan tradisional dan mempunyai otonomi tertentu dalam bidang budaya,
ritual, dan hukum. Srinivas mengamati bahwa kadangkala hubungan hipergami antar
kasta dimungkinkan, walaupun itu selalu terwujud dalam pernikahan seorang laki-
laki dari kasta yang lebih tinggi dengan seorang perempuan dari kasta lebih rendah
dan tidak sebaliknya. Srinivas pun menguraikan bahwa suatu kelompok kasta rendah
sering dapat pindah status ke kasta lebih tinggi dengan jalan meniru gaya kasta yang
lebih tinggi itu, suatu proses yang oleh Srinivas disebut sebagai sanskritization,
meskipun proses ini terjadi dalam beberapa generasi. Adanya proses sanskritization
ini sudah merupakan indikasi bahwa warga kasta lebih rendah tidak selalu menerima
status mereka yang rendah.
Dalam kenyataannya ternyata agak sukar menemukan bentuk masyarakat yang
sistem pelapisannya benar-benar tertutup ataupun benar-benar terbuka. Dalam satu
penelitiannya, Yinger memperkirakan bahwa dalam bentuk masyarakat yang paling
terbuka, yaitu masyarakat industri modern, hanya sepertiga anggota masyarakat yang
statusnya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang tuanya, sedangkan dua pertiganya
adalah sama; keadaan ini sebenarnya bisa mengindikasikan bahwa nilai-nilai yang
ditanam orang tua terhadap diri anak-anak mereka masih dijadikan sebagai suatu
7
ukuran kehidupan, mereka masih mengidentifikasikan diri terhadap segala gagasan,
sikap, dan tindakan orang tuanya, walaupun mungkin prosesnya berlangsung tanpa
secara disadari.
8
2) Dialami oleh manusia baik sebagai individu maupun kelompok
3) Terjadi dampak sosial atas kelas sosial baru yang diperoleh
9
yang sama. Mobilitas intragenerasi terbagi menjadi dua bentuk umum,
yaitu mobilitas intragenerasi naik dan intragenerasi turun.
2) Mobilitas Sosial Antargenerasi
Mobilitas sosial antargenerasi adalah perpindahan kedudukan sosial
yang terjadi di antara beberapa generasi dalam satu garis keturunan.
Mobilitas ini dibedakan menjadi dua, yaitu mobilitas sosial
intergenerasi naik dan mobilitas sosial intergenerasi turun.
10
mereka masing-masing. Kondisi ekonomi yang membaik dapat
memberikan dorongan untuk melakukan ekspansi dalam berbagai macam
usaha. Kondisi ekonomi yang buruk juga dapat memengaruhi orang untuk
melakukan berbagai macam tindakan antisipatif dalam mencegah
kejadian-kejadian yang tidak mereka inginkan.
d. Pertambahan penduduk
11
secara terus-menerus dapat mengakibatkan suasana masyarakat menjadi
lebih buruk dan menimbulkan perpecahan. Kondisi inilah yang dinamakan
disorganisasi sosial.
c. Timbulnya Konflik
Mobilitas sosial merupakan pola-pola tertentu yang mengatur organisasi
suatu kelompok sosial. Kelompok sosial dalam suatu masyarakat
memungkinkan terjadi konflik, seperti konflik antarkelas sosial, kelompok
sosial, dan kemungkinan terjadinya penyesuaian. Konflik adalah suatu
proses sosial yang terjadi karena orang perorangan atau kelompok manusia
berusaha memenuhi tujuan hidup dengan jalan menentang pihak lawan
disertai ancaman/kekerasan. Penyebab terjadinya pertentangan antara lain,
perbedaan pendiriian atau perasaan, kebudayaan, kepentingan, dan sosial.
Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelas sosial, antarkelompok
sosial, dan antargenerasi.
d. Mendorong seseorang untuk maju
e. Menyebabkan kerenggangan hubungan dalam kelompok primer
f. Menimbulkan stress, trauma, kecemasan, dan ketakutan
12
misalnya, kita menjumpai rentang yang sangat lebar dalam hal penghasilan. Di
bagian terbawah kita menjumpai penghasilan di bawah Rp100.000 per bulan atau
Rp1,2 juta per tahun; di Jakarta awal tahun 90-an, misalnya, kita dapat menjumpai
pegawai negeri dengan gaji Rp50.000 per bula, buruh pabrik yang penghasilannya
sekitar Rp16.000 per minggu, pabrik yang memberikan upah minimum buruh sebesar
Rp1.750 per hari (atau sekitar Rp45.000 per bulan), dan pembantu rumah tangga
yang berpenghasilan sekitar Rp35.000 per bulan. Di bagian teratas stratifikasi di
bidang penghasilan, di pihak lain, kita akan menjumpai penghasilan yang mencapai
antara Rp800 juta dan Rp1 miliar per tahun, atau sekitar Rp66.7 juta sampai ke
Rp83,3 juta per bulan. Di bidang kepangkatan pegawai negeri rentang antara pangkat
terendah, golongan IA dan pangkat tertinggi, golongan IVd adalah 16 jenjang;
artinya, antara pangkat seorang pegawai negeri yang menduduki jenjang terendah
dengan pangkat tertinggi terdapat 16 jenjang. Di bidang kekayaan dalam masyarakat
kita kita dijumpai rentang yang sangat besar pula; antara keadaan tuna wisma yang
tidak mempunyai apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya, dan pengusaha
yang kekayaan pribadinya berjumlah di atas Rp1 miliar. Konsep rentang memberikan
kepada kita petunjuk mengenai besarnya kesenjangan ataupun ketidaksamaan (atau
kecilnya pemerataan) dalam masyarakat.
Konsep terkait lainnya yang dilakukan Barber ialah kosep bentuk (shape), yang
mengacu pada proporsi orang yang terletak di kelas sosial yang berlainan. Suatu
stratifikasi dapat berbentuk segi tiga. Ini berarti bahwa semakin tinggi posisi dalam
stratifikasi, semakin sedikit jumlah posisi yang tersedia. Stratifikasi yang mendekati
bentuk piramida ini kita jumpai, misalnya dalam stratifikasi jabatn pimpinan dalam
pemerintahan daerah: jumlah kepala desa atau lurah melebihi jumlah camat, jumlah
camat melebihi jumlah bupati atau walikota, dan jumlah bupati atau walikota
melebihi jumlah gubernur.
Stratifikasi tidak selalu berbentuk segi tiga atau piramida karena kita sering
menjumpai situasi yang di dalamnya terdapat sejumlah besar posisi rendah dan
sejumlah kecil posisi tinggi. Situasi kesenjangan besar ini sering dijumpai dalam
masyarakat yang sedang berkembang.
Di bidang pendidikan formal, dalam masyarakat kita pun dijumpai kesenjangan
besar antara mereka yang berpendidikan dasar dan menengah dengan mereka yang
berpendidikan tinggi. Data sensus 1971 dari BPS, misalnya, menunjukkan bahwa
13
pada tahun 1971 di kalangan penduduk berusia 10 tahun ke atas 41.01% tidak
bersekolah, 52.35% berpendidikan dasar (32.97% tidak selesai), 4.3% berpendidikan
SLP, 2.03% berpendidikan SLA dan hanya 0.31% berpendidikan tinggi.
Dalam masyarakat industri maju dapat dijumpai stratifikasi yang berbentuk
intan: posisi di lapisan bawah dan atas berjumlah relatif sedikit bila dibandingkan
dengan posisi di lapisan menengah. Dalam studi yang dilakukan Warner di kota
“Jonesville”Amerika Serikat, misalnya, kelas atas berjumlah 2.7%, menengah atas
11%, menengah bawah 31%, bawah atas 41% dan bawah bawah 14%. Data ini
menunjukkan bahwa stratifikasi masyarakat kota “Jonesville” berbentuk intan ;
mayoritas penduduk berada pada kelas menengah bawah dan bawah atas.
14
ekonomis yaitu kriteria berdasarkan hak milik penduduk. Kriteria ekonomis ini
terdiri atas tiga kelas: ekonomi tinggi, ekonomi menengah, dan ekonomi rendah.
Kedua, kriteria status/jabatan. Pada kriteria jabatan ini terdapat berbagai lapisan
yaitu: golongan status sosial tinggi dan golongan status sosial menengah. Serta
golongan status sosial rendah, dan golongan bukan pegawai dan pejabat.
Sanapiah Faisal menyebutkan bahwa bentuk-bentuk startifikasi sosial terbentuk
dari: Pertama, kriteria politis. Dalam kriteria politis yang utama adalah golongan
yang menganut aliran politik yaitu anggota partai politik dan gerakan masa, yang lain
adalah golongan non partai. Dari golongan partai politik ini terdapat starta sosial: 1)
golongan pemegang kekuasaan politik tingkat pusat (pemimpin pusat) berkedudukan
di ibu kota negara. 2) golongan pemegang kekuasaan politik tingkat daerah (Tk. 1/
propinsi). Kedua, golongan pimpinan partai tingkat cabang. Dimensi startifikasi
sosial modern terbagi menjadi tiga golongan yaitu: 1) golongan tinggi, 2) golongan
menengah, dan 3) golongan rendah.
Abdul Aziz menyebutkan bahwa bentuk-bentuk startifikasi sosial terbentuk
dari: Pertama, kriteria kehormatan. Kehormatan terlepas dari ukuran kekayaan dan
kekuasaan. Orang yang paling disegani karena kelebihanya, dihormati, dan mendapat
tempat teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat
tradisional, pada golongan tua atau orang yang pernah berjasa kepada masyarakat.
Kedua, kriteria ilmu pengetahuan atau pendidikan. Kriteria atas dasar pendidikan
terdapat strata sosial yaitu: 1) golongan yang berpendidikan tinggi, 2) golongan yang
berpendidikan menengah, 3) golongan yang berpendidikan rendah. Ketiga, kriteria
agama. Dilihat dari segi agama, dalam masyarakat terdapat lapisan-lapisan yang
berdasarkan keagamaan yaitu: 1) golongan orang Islam dan bukan Islam. Golongan
ini terdiri dari golongan Islam yang mendalam dan yang masih dangkal (abangan)
dan golongan bukan Islam. 2) golongan orang yang beragama dan orang yang tidak
beragama (atheis). Sementara golongan bukan Islam dibedakan lagi menjadi: 1)
golongan penganut Budha, 2) golongan penganut Hindu Bali, 3) golongan penganut
Katholik, dan golongan penganut Protestan.
Stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dilihat dalam struktur sosial,
sebagaimana yang dikemukakan darmansyah sebagai berikut: Pertama, strata itu
terbentuk berdasarkan latar belakang kemajuan kebudayaan yang diaktualisasikan
dalam bentuk kualitas individu dan kelompok. Kedua, setelah strata terbentuk
15
kemudian lahirlah kelompok-kelompok yang dipandang inferior dan superior.
Ketiga, adanya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh kaum superior.
Dari sudut pandang sosialisme, kriteria fundamental yang membedakan kelas-
kelas adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi social, dan konsekuensinya
menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi. Ukuran stratifikasi sosial lebih
menonjol pada kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh individu atau kelompok
masyarakat. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat berdasarkan dimensi
ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah kepemilikan atas alat
produksi. Seperti yang selalu ia katakana dalam berbagai tulisan-tulisanya,
pembagian kerja yang merupakan sumber ketidak adilan sosial timbul saat
memudarnya masyarakat komunal primitif.
Dalam analisis fungsional, masyarakat terbagi ke dalam beberapa kelompok
sosial yang masing-masing dibedakan sesuai karakteristik dan motifnya. John L.
Gillin membagi kelompok atas dasar fungsionalnya sebagai berikut: Pertama,
kelompok persamaan darah (blood group), misalnya keluarga, klas dan kasta. Kedua,
kelompok berdasarkan karakteristik jasmaniah atau mental, sama jenis seksnya, sama
umur, sama rasnya. Ketiga, kelompok proximitas, crowds, mobs, communitu,
kelompokkelompok territorial. Keempat, kelompok berdasarkan interest kulturil,
yaitu congenialitas, ekonomi, teknologi, agama, asthetik, intelektuil, pendidikan,
politik, rekreasi, dan sebagainya.
Perbedaan kelompok-kelompok dalam masyarakat menjadi sebuah indikator
bagi klasifikasi dalam stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial dapat terjadi dari sudut
pandang blood group, karakteristik jasmaniah atau mental, proximitas, dan interest
cultural. Analisis fungsional terhadap varian kelompok tersebut saling melengkapi
dalam stuktur sosial masyarakat kompleks. Sistem sosial dalam hal kekuasaan
biasanya ditentukan oleh kelompok blood group, atau interest cultural dan lain-lain.
16
tersebut pada pemilikan alat produksi tetapi membeikan makna yang lebih luas,
sehingga selain mencakup penguasaan atas barang meliputi pula peluang untuk
memperoleh penghasilan. Menurut Giddens (1989), peluang untuk memperoleh
pekerjaaan dan penghasilan yang dimaksud Weber tersebut ini tidak hanya berupa
penguasaan atas barang tetapi dapat pula berupa keterampilan dan kemampuan yang
antara lain tercermin dalam ijazah.
Peter L Berger (1978), seorang ahli sosiologi modern, menganggap sistem
kelas sebagai tipe stratifikasi yang menjadi salah satu dasar posisi-posisi yang umum
dalam masyarakat menurut ukuran-ukuran ekonomi; dari perumusannya ini tampak
bahwa konsep kelas ini dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat
sehubungan dengan kriteria kemampuannya secara ekonomi.
Apabila kita menelaah istilah kelas sebagaimana yang dipergunakan dalam
teori Marxisme, maka terdapat perbedaan prinsipil dengan pengertian umum tentang
kelas yang dipakai dalam sosiologi, perbedaan itu mencakup :
Dalam Marxisme, istilah kelas cenderung hanya digunakan dalam kerangka
ekonomi saja; walaupun dengan adanya kelas-kelas tersebut ternyata berpengaruh
besar terhadap kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan dalam masyarakat. Dalam
kerangka ini, Marxisme membagi kelas dalam masyarakat menjadi dua bentuk;
pertama, kelas yang memiliki tanah dan alat-alat produksi, dan kedua kelas yang
tidak memiliki itu dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan dalam proses
pruduksi. Menurut konsep Marxisme, kelas itu senantiasa berada dalam
pertentangan untuk berebutan kekuasaan, sedangkan sosiologi lebih menekankan
pada hubungan antara dan bekerja sama tanpa pertentangan, Marxisme cenderung
menekankan prediksi keterbentukan masyarakat itu ditandai dengan hilangnya semua
kelas dalam masyarakat sehingga terjadi suatu classless society (masyarakat tanpa
kelas), sedangkan menurut sosiologi bahwa kelas itu akan ada sepanjang masa dalam
tiap masyarakat yang hidup teratur
Pada beberapa masyarakat di dunia, terdapat kelas-kelas yang tegas sekali, oleh
karena segenap anggota warga masyarakat itu memperoleh sejumlah hak-hak dan
kewajibankewajiban yang dilindungi oleh hukum yang berlaku disana. Warga-warga
masyarakat semacam itu seringkali mempunyai kesadaran dan konsepsi yang jelas
tentang seluruh susunan lapisan dalam masyarakatnya. Kelompok ‘abdi dalem’
seperti yang ada di keraton Yogyakarta, adalah orang-orang yang menjadi abdi raja
17
di keraton Yogya, yang dibedakan dengan orang-orang biasa lainnya; sebagian besar
dari orang biasa atau rakyat pada umumnya menyadari bahwa ‘abdi dalem’ ini
tingkatan sosialnya lebih tinggi dari mereka, walau secara ekonomi mungkin tidak
demikian; kebanggaan dari seorang ‘abdi dalem’ bukan tentang materi, namun
kebanggaannya bahwa dia termasuk orang yang bisa mengabdikan diri kepada raja,
yang tidak semua orang bisa mencapai ini.
Apabila pengertian kelas ditinjau lebih mendalam, menurut Soerjono Soekanto
(1989) maka dalam masyarakat itu akan dijumpai beberapa kriteria yang tradisionil,
yaitu : 1.) Besarnya atau ukuran jumlah anggota-anggotanya, 2.) Kebudayaan yang
sama, ang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warganya, 3.)
Kelanggengan, 4.) Tanda atau lambang yang merupakan status symbol, 5.) Batas-
batas yang tegas (bagi kelompok itu, terhadap kelompok lain), 6.) Antagonisme
tertentu
Sehubungan dengan kriteria tersebut di atas, kelas menyediakan kesempatan-
kesempatan atau fasilitas-fasilitas hidup tertentu (life chances) bagi warga-warganya,
yaitu misalnya keselamatan atas hidup dan harta benda, kebebasan, standar hidup
yang tinggi dan sebagainya, yang dalam arti-arti tertentu tidak dimiliki oleh warga-
warga kelas lainnya. Kecuali daripada itu, kelas juga mempengaruhi gaya dan
tingkah-laku hidup (life style) masing-masing warganya. Oleh karena kelas-kelas
yang ada dalam masyarakat mempunyai perbedaan dalam kesempatan-kesempatan
menjalani jenis pendidikan atau rekreasi tertentu misalnya, maka ada perbedaan pula
dalam apa yang telah dipelajari warga-warganya, perikelakuannya dan sebagainya.
Dalam masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar, dikenal suatu pembedaan
antara golongan yang pernah mengalami pendidikan Barat (terutama pendidikan
Belanda) dengan golongan yang tidak pernah mengalaminya; tidak sembarang orang
bisa mendapatkan pendidikan ini, mereka yang bersekolah umumnya adalah orang
yang terpandang dalam masyarakat, kalau tidak orang yang secara ekonomis
berkecukupan, mereka adalah para keturunan penguasa setempat atau
pegawaipemerintahan.
Kamanto Sunarto (2004) menguraikan bahwa secara ideal sistem kelas
merupakan suatu sistem stratifikasi terbuka karena status didalamnya dapat diraih
melalui usaha pribadi; dalam kenyataan sering terlihat bahwa sistem kelas
mempunyai ciri tertutup, seperti misalnya endogami kelas. Pergaulan dan pernikahan
18
misalnya, lebih sering terjadi antara orang-orang yang kelasnya sama daripada
dengan orang dari kelas yang lebih rendah atau lebih tinggi.
a. Kekayaan
b. Kekuasaan
c. Kehormatan
d. Tingkat Pendidikan
19
adalah simbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat. Beberapa
contoh simbol status antara lain:
a. Pola berbusana;
b. Cara menyapa;
c. Gaya berbicara;
d. Komunikasi nonverbal;
e. Gelar, pangkat, dan jabatan;
f. Tipe dan letak tempat tinggal;
g. Destinasi Rekreasi; dsb.
Menurut Max Weber, status seseorang dikaitkan dengan life chance atau nasib.
Kekayaan dan pemilikan yang dimiliki seseorang dan keluarganya memang
mempunyai pengaruh besar terhadap peluang hidupnya. Beberapa ahli sosiologi juga
telah meneliti mengenai perbedaan kelas sosial dengan berbagai macam faktor, salah
satunya Notenstein dengan faktor perbedaan fertilitas.[3]
20
b. Pendekatan subyektif, melihat kelas sebagai suatu kategori sosial, sehingga
ditandai oleh kesadaran subyek penelitian.
c. Pendekatan reputational, subyek penelitian menilai status orang lain dengan
jalan menempatkan orang lain tersebut pada suatu skala tertentu.
21
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
22
3.2. Saran
Stratifikasi sosial sudah menjadi hal yang umum dalam kehidupan masyakarat.
Untuk mengurangi ketidaksamaan yang timbul akibat adanya stratifikasi, sebaiknya
terdapat koordinasi antara pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan kondisi
masyarakat yang setara, misalnya dengan membebaskan masyarakat rendah dari beban
pajak dan membebani anggota masyarakat berpenghasilan tinggi dengan pajak yang
semakin berat.
23
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Bendix, Reihard dan Seymour Martin Lipset. 1965. Class, Status and Power. New York:
The Free Press.
Liddle, R. William. 1968. The Sociology of Marx. Diterjrmehkan dalam bahasa Prancis
oleh Nobert Guterman. New York Vintage Books.
Light, Donald, Suzanne Keller dan Craig Calhoun. 1989. Sociology. Edisi kelima. New
York: Alfred A. Knopf.
Moeis, Syarif. 2008. Bahan Ajar Struktur Sosial: Stratifikasi Sosial. Bandung.
Smelser, Neil J. dan James A. Davis (ed.).1973. Karl Marx on Society and Social Change.
Chicago: The University of Chicago Press.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Yinger, J. Militon. 1966. Sociology (Edisi Keempat). New York: Barkley Medallion.
Zanden, James Vander. 1979. Sociology (Edisi Keempat). New York: John Wiley and
Sons.
Sumber Web
https://www.scribd.com/doc/229626521/Mobilitas-Sosial-pdf (diakses pada tanggal 17
Februari).
https://sumberbelajar.belajar.kemdikbud.go.id/sumberbelajar/tampil/Pengelompokan-Sosial-dalam-
Masyarakat-Secara-Verti/konten5.html (diakses pada tanggal 17 Februar).
Sumber Jurnal
Maimunah, Binti. 2015. Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif
Sosiologi Pendidikan (dalam Ta,alum Vol. 3 No. 01: 19-38).
Ransford, H. Edward. 1980. Age Stratification. Hlm. 233-245 dalam Jeffies Ransford (ed.,
Social Stratification.
24
Sajogyo. 1978. Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa. PRISMA 3
April: 3-14.
Weber, Max. 1958. The Role of Ideas of History. Hlm. 40-42 dalam Etzioni-Halevi dan
Etzioni, Social Change.
25