Anda di halaman 1dari 19

Makalah Pendidikan Agama Islam

dan Budi Pekerti


Tentang

Sumber Hukum Islam

O
L
E
H

Naila Qonia Tsabita Ardian


X MIPA 2
SMA Negeri 1 Kota Solok
Tahun Pelajaran 2019 / 2020
A. Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber adalah rujukan dasar atau asal muasal. Sumber yang baik adalah sumber
yang memiliki sifat dinamis dan tidak pernah mengalami kemandegan. Sumber yang benar
bersifat mutlak, artinya terhindar dari nilai kefanaan.

Ia menjadi pangkal, tempat kembalinya sesuatu. Ia menjadi pusat, termpat


mengalirnya sesuatu. Ia menjadi sentral dari tempat bergulirnya suatu percikan. Ia juga
menjadi pokok dari pencahnya partikel-partikel yang berserakan.

Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan atau dasar yang utama dalam
pengambilan hukum Islam. Sumber hukum Islam, artinya sesuatu yang menjadi , dasar,
acuan, atau pedoman dari ajaran islam. Sumber hukum Islam bersifat dinamis, benar, dan
mutlak, serta tidak pernah mengalami kemandegan, kefanaan, atau kehancuran.

B. Macam – Macam Sumber Hukum Islam


1. Al-Quran
a. Pengertian Al-Quran

Al-Quran merupakan wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi


Muhammad SAW sebagai pedoman hidup umat manusia. Secara bahasa Al-Quran
artinya bacaan, yaitu bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bagi umat Islam,
membaca Al-quran merupakan ibadah.

Dalam hukum Islam, Al-Quran merupakan sumber hukum yang pertama dan
utama, tidak boleh ada satu aturan pun yang bertentangan dengan Al-Quran,
sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa [4] ayat 105 berikut.
b. Kedudukan Al Quran

Al Quran merupakan sumber hukum yang pertama dalam Islam sehingga


semua penyelesaian persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Berbagai
persoalan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat harus
diselesaikandengan berpedoman pada Al Quran.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nisa [4] ayat 59 sebagai berikut.

Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bersabda
sebagai berikut.
Al Quran merupakan sumber hukum pertama yang dapat mengantarkan umat
manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Al Quran akan
membimbing manusia ke jalan yang benar.

Al Quran sebagai Asy-Syifa merupakan obat penawar yang dapat menenangkan


dan menentramkan batin. Al Quran sebagai An Nur merupakan cahaya yang dapat
menerangi manusia dalam kegelapan. Al Quran sebagai Al Furqon merupakan sumber
hukum yang dapat membedakan antara yang hak dan batil. Selain itu, Al Quran
sebagai Al Huda merupakan petunjuk ke jalan yang lurus. Al Quran juga merupakan
rahmat bagi orang yang selalu membacanya.

2. Hadis
a. Pengertian Hadis

Menurut para ahli, hadis identik dengan sunah, yaitu segala perkataan,
perbuatan, takrir (ketetapan), sifat, keadaan, tabiat atau watak, dan sirah (perjalanan
hidup) Nabi Muhammad SAW, baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun
tidak, namun menurut bahasa, hadis berarti ucapan atau perkataan. Adapun menurut
istilah, hadis adalah ucapan, perbuatan, atau takrir Rasulullah SAW yang diikuti
(dicontoh) oleh umatnya dalam menjalani kehidupan.

b. Kedudukan Hadis

Sebagai sumber hukum Islam, kedudukan hadis setingkat di bawah Al Quran.


Allah berfirman dalam Surah Al Hasyr [59] ayat 7 sebagai berikut.

Selain itu, hadis yang diriwayatkan Imam Malik dan Hakim menyebutkan
bahwa Tasulullah meninggalkan dua hal yang jika berpegang teguh kepada keduanya
manusia tidaka akan tersesat. Dua hal tersebut, yaitu Al Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW atau Hadis.

Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al Quran. Dalam


perkembangan dunia yang serba global ini, berbagai ketidakpastian selalu menerpa
kehidupan umat manusia sehingga banyak orang yang bingung dan menemui
kesesatan.
Rasulullah SAW sudah mengantisipasinya dengan menurunkan atau
mewasiatkan dua pusaka istimewa, yaitu Kitabullah (Al Quran) dan Suanah (hadis).

Barangsiapa yang memegang teguh kedua pusakan tersebut, dia akan selamat
di dunia dan di akhirat. Manusia yang berpedoman kepada hadis akan selamat.
Maksudnya, ia senantiasa menjalankan kehidupan ini sesuai dengan Al Quran dan
hadis Rasulullah SAW .

Al quran sudah dijamin kemurniannya oleh Allah. Namun, tidak demikian


dengan hadis. Oleh karena itu, sampai saat ini Anda mengenal adanya hadis sahih
(benar) dan hadis maudu’ (palsu).

Berbeda dengan Al Quran yang sempai saat ini tidak ada pembagian
ayat sahih dan ayat maudu’, karena semua ayat dalam Al Quran adalah benar.

c. Fungsi Hadis terhadap Al Quran

Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah Allah bertugas menjelaskan ajaran


yang diturankan Allah SWT melalui Al Quran kepada umat manusia. Sunah
Rasulullah SAW tersebut mendukung atau menguatkan dan menjelaskan hukum
yang ada dalam Al Quran.

Fungsi hadis terhadap Al Quran dapat dikelompokkan sebagai berikut.

 Menjelaskan ayat-ayat Al Quran yang bersifat umum. Contohnya, dalam Al


Quran terdapat ayat tentang shalat. Ayat tersebut dijelaskan oleh hadis sebagai
berikut : “Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”.
 Memperkuat pernyataan yang ada dalam Al Quran. Contohnya, dalam Al Quran
ada ayat sebagai berikut : “Barangsiapa di antara kamu yang melihat bulan maka
berpuasalah”. Ayat tersebut diperkuat olah hadis Rasulullah sebagai berikut
: “Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan”.
 Menerangkan maksud dan tujuan ayat. Contohnya, dalam Surah At Taubah [9]
ayat 34 dikatakan :
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak
membelanjakannya di jalan Allah, gembirakanlah mereka degan azab yang
pedih.” Ayat tersebut dijelaskan oleh hadis berikut :
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu
yang sudah dizakati.”.
 Menerapkan hukum atau aturan yang tidak disebutkan secara zahir dalam Al
Quran.
d. Macam-macam Hadis

Diriwayatkan dari segi banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan (perawi),


hadis dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Hadis Mutawatir
Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak sahabat. Kemudian,
diteruskan oleh generasi berikutnya yang tidak memungkinkan mereka sepakat
untuk berdusta. Hal ini disebabkan banyaknya orang yang meriwayatkannya.
2. Hadis Mayhur
Hadis Mayhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih
yang tidak mencapai derajat mutawatir. Namun, setelah itu tersebar dan
diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in yang mencapai
derajat mutawatir sehingga tidak memungkinkan jumlah tersebut akan sepakat
berbohong.
3. Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang saja,
sehingga tidak mencapai derajat mutawatir.

Ditinjau dari segi kualitas perawinya, hadis dapat dibagi menjadi empat, yaitu sebagai
berikut.

1. Hadis Shaih
Hadis Shaih adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat
hafalannya, tajam penelitiannya, sanad yang bersambung, tidak cacat, dan tidak
bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya.
2. Hadis Hasan
Hadis Hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang
kuat ingatannya, sanad-nya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan.
3. Hadis Da’if
Hadis Da’if adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat yang dipenuhi
hadis sahih atau hasan.
4. Hadis Maudu’
Hadis Maudu’ adalah hadis palsu yang dibuat orang atau dikatakan orang sebagai
hadis, padahal bukan hadis.

e. Unsur – Unsur Hadis


1) Sanad hadits
Kata sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang berati
mutamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau
yang sah). Dikatakan demikian karena, karena hadits itu bersandar kepadanya dan
dipegangi atas kebenaranya.
Secara temionologis,difinisi sanad ialah: ”silsilah orang-orang yang mehubungkan
kepada matan hadits”.

Silsilah orang maksudnya adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang


meyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada
Rasul SAW, yang perbuatan, perkataan, taqrir, dan lainya merupakan materi atau
matan hadits. Dengan pegertian diatas maka sebutan sanad hanya berlaku pada
serangkaian orang-orang bukan dilihat dari sudut pribadi secara perorangan.
2) Matan Hadits
Kata matan atau al-matan menurut bahasa berarti ma shaluba wa irtafa’amin al-
aradhi(tanah yang meninggi). Secara temonologis, istilah matan memiliki
beberapa difinisi, yang mana maknanya sama yaitu materi atau lafazh hadits itu
sendiri. Pada salah satu definisi yang sangat sederhana misalnya, disebutkan
bahwa matan ialah ujung atau tujuan sanad . Dari definisi diatas memberi
pengertian bahwa apa yang tertulis setelah (penulisan) silsilah sanad adalah matan
hadits.

Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-
lafazh hadits yang didalamnya megandung makna makna tertentu”.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan
ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah
sanad dan sebelum rawi.

Penelitian Sanad dan Matan Hadits


Penelitian terhadap sanad dan matan hadits (sebagai dua unsur pokok
hadits)sangat diperlukan, bukan karena hadits itu diragukan otentisitasnya.
Penelitian ini dilakukan untuk meyaring unsur-unsur luar yang masuk kedalam
hadits baik yang disegaja maupun yang tidak disegaja,baik yang sesuai dengan
dalil-dalil naqli lainya atau tidak sesuai.maka dengan penelitian terhadap kedua
unsur hadits diatas, hadits-hadits masa rasul SAW dapat terhindar dari segala yang
megotorinya.

Faktor yang paling utama perlunya dilakuakan penelitian ini, ada dua hal yaitu:
pertama, karena beredarnya hadits palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat;
kedua hadits-hadits tidak ditulis secara resmi pada masa rasul SAW (berbeda
dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul (tersebar di tangan
pribadi sahabat) dan tidak meyeluruh.

3) Rawi Hadits
Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan
hadits. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan,
dan memindahkan hadits.

Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama.
Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para
rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi
yabaqah berikutnya. Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika
dilihat dari dalam dua hal yaitu:

Pertama, dalam hal pembukuan hadits. Orang-orang yang menerima hadits


kemudian megumpulkanya dalam suatu kitab tadwin disebut dengan rawi. Dengan
demikian perawi dapat disebutkan dengan mudawwin, kemudian orang-orang
yang menerima hadits dan hanya meyampaikan kepada orang lain, tanpa
membukukannya disebut sanad hadits. Berkaitan dengan ini dapat disebutkan
bahwa setiap sanad adalah perawi pada setiap tabaqagnya, tetapi tdak setiap
perawi disebut sanad hadits karena ada perawi yang langsung membekukanya.

Kedua: dalam penyebutan silsilah hadits, untuk susunan sanad, berbeda dengan
peyebutan silsilah susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama
adalah orang yang lasung meyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya.
Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasul SAW.
Dengan demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan
sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi
terakhir.

4) Takhrij Hadits
Pegertian menurut bahasa, Kata “takrhij” dari kata kharaja,yakharruju,yang
secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut mahmud ath-
tahhan,asal kata takhrij ialah;”berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam
satu persoalan”.

Pegertian secara terminologi, Menurut Mahmud ath-tahhan pegertian takhrij


adalah, “Petunjuk tentang tempat atau letak hadits pada sumber aslinya, yang
diriwayatkan dengan meyebutkan sanadnya, kemudian di jelaskan martabat atau
kedudukanya manakala di perlukan.”

Bedasarkan definisi diatas, maka men-takhrij berati melakukan dua hal


Pertama, berusaha menemukan para penulis hadits itu sendiri dengan rangkaian
silsilah sanad-nya.
Kedua, memberikan penilaian kulitas hadits apakah hadits tersebut itu shahih atau
tidak.

3. Ijtihad
a. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti


mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurunkan bahasa,
ijtihadd aritinya bersunggu-sunggu dalam mencurahkan pikiran.

Adapun menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan


pikiran secara bersungguh-sunggu untuk menetapkan suatu hukum.Oleh karena itu,
tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu perkerjaan.

Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan


untuk mencari syariat melalui metode tertentu.

b. Kedudukan Ijtihad
Ijtihan merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al Quran dan Hadis.
Ijtihad dilakukan jika suatu permasalahan sudah dicari dalam Al Quran maupun hadis,
tetapi tidak ditemukan hukumnya.

Namun, hasil ijtihad tetap tidak bleh bertentangan dengan Al Quran maupun
hadis. Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) dengan benar, dia akan mendapat dua
pahala. Adapun jika ijtihadnya slalah, dia tetap mendapatkan satu pahala.

Ijtihad dalam kehidupan modern memang sangat diperlukan mengingat


dinamika kehidupan masyarakat yang selalu berkembang sehingga persoalan yang
dihadapi pun semakin kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut Rasulullah SAW
bersabda.
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah
SAW bersabda sebagai berikut.

Ijtihad dilakukan jika ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya,
tetapi tidak dijumpai dalam Al Quran maupun hadis. Meskipun demikian, ijtihad tidak
bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orng-orang yang memenuhi syarat yang
boleh berijtihad.

Orang yang berijtihad harus memiliki syarat sebagai berikut :

a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam;

b. Memiliki pemahamaan mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul


fiqh, dan tarikh (sejarah);

c. Harus mengenal cara meng-istimbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan


qiyas;

d. Memiliki akhlaqul qarimah.

c. Bentuk Ijtihad

Bentuk ijtihad dapat dikelompokkan menjadi tida macam, yaitu sebagai berikut.

1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara
atau hukum. Ijama dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak
disebutkan secara khusus dalam kitab Al Quran dan Sunah.
2. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu maslah yang belum ada kedudukan
hukumnya dengan maslah lama yang pernah karena ada alasan yang sama.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah merupakan cara dalam menetapkan hukum yang berdasarkan
atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.

Dilihat dari prosesnya, ijtihad dapat dibagai menjadi dua. Pertama, ijtihad
insya’i yang dilakukan oleh seseorang untuk menyimpulkan hukum mengenai
peristiwa baru yang belum pernah diselesaikan oleh hujtahid sebelumnya.

Kedua, ijtihad tarjihi atau ijtihad intiqa’i yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para mujtahidin terdahulu mengenai
masalah tertentu. Kemudian, menyelesaikan pendapat mana yang memiliki dalil lebih
kuat serta relevan dengan kondisi saat ini.

c. Syarat – Syarat Mujtahid


Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Selain harus Islam, baligh,
berakal dan adil, ada lagi beberapa syarat terkait penguasaan ilmu yang harus dimiliki
oleh seorang Mujtahid. Jadi tidak sembarang orang yang bisa melakukan proses
ijtihad. Berikut syarat-syarat utama yang harus dipenuhi;
1) Menguasai pengetahuan tentang al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
mashadirus syariah tentu saja memegang peranan penting sebagai sumber hukum
Islam. Maka, seorang Mujtahid, ketika hendak menggali hukum dari ayat-ayat al-
Qur’an harus menguasai ilmu-ilmu terkait dengan al-Qur’an itu sendiri. Yakni ilmu
seputar makna teks al-Qur’an, illat dan tujuan yang terdapat di dalamya, asbabun
nuzul, nasikh-mansukh dan mampu mengidentifikasi ayat-ayat hukum.
2) Menguasai pengetahuan tentang Sunnah Kenabian. Hadis dan sunnah kenabian
merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an. Maka, ketika hendak menggali hukum
Islam dari teks-teks hadis, seorang Mujtahid harus menguasai seluruh ilmu terkait
dengan hadis. Mulai dari menguasai mustalahul hadis, kritik sanad dan matan hadis,
ilmu jarh wat ta’dil, dan berbagai macam ilmu dalam diskursus pemahaman hadis.
3) Menguasai Ilmu Bahasa Arab. Al-Qur’an dan Hadis sampai kepada kita dengan
media Bahasa Arab. Seorang Mujtahid tidak akan mampu memahami teks tersebut
ketika dia tidak menguasai Bahasa Arab. Nahwu, Shorrof, Balaghah, Manthiq dan
ilmu kebahasaan lainnya mutlak harus dikuasai.
4) Menguasai Ushul al-Fikih. Ushul Fikih adalah tiang ijtihad. Di dalamnya ada
sekumpulan teori dan konsep, berikut kaidah-kaidah untuk menggali hukum Islam.
Maka sudah sepatutnya seorang Mujtahid mesti menguasai ilmu ini. Tidak boleh
tidak!
5) Mengetahui hal-hal terkait Ijma’. Setelah al-Qur’an dan Hadis, Ijma’ adalah sumber
syariat ketiga dalam Islam. Ijma’ berkaitan dengan kesepakatan yang telah
dilakukan oleh para ulama terkait suatu hukum tertentu. Ijma’ ulama termasuk dalil
qath’I (yang pasti), yang harus dirujuk oleh Mujtahid ketika hendak menentukan
sebuah hukum.
d. ‘Uruf

Definisi Uruf ( adat istiadat )

Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat kerena telah menjadi kebiasaan
dan menyatu dengan kebiasaan mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan

Macam-macam Uruf
Uruf ada 2 . yaitu uruf am ( Umum ) dan uruf Khas ( Khusus ) , masing-masing dari
mEpunyai 2 bagian, ada uruf shahih ( benar sesuai syariat ),contoh acara tahlilan
disertai dengan makan-makan bersama. dan uruf fasid ( salah menurut syariat )seperti
kebiasaan masyarakat berupa memberikan sesajen pada jin.

Kehujjahan Uruf
Kehujjahan Uruf sebagai landasan hukum bisa dibuktikan dengan adanya rekomendasi
nash al-Qur’an dan hadis serta qaul-qaul ulama
Firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 199 : ‫ض ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْْر ُخذ‬ َ ‫ْال َجاهليْنَ َعن باْْلعُ ْرف‬
ْ ‫ْواَعْر‬
Firman Allah :‫ َح َرج م ْن الديْن فى َعلَ ْي ُك ْم للاُ َما َجعَ َل‬. artinya Allah tidak membuat agama ini
susah/sempit bagi kalian .
Sabda Rasulullah saw : “ Apa yang dipandang baik oleh kaum muslim , maka menurut
Allah juga digolongkan perkara yang baik “
Imam as-Sarkhasi dalam kitab “ al-Mansuth “ berkata ; “ Apa yang ditetapkan
berdasarkan adat ( yang benar ) , maka statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan
nash “ .perkataan as-Sarkhasi juga senada dengan apa yang dikatakan oleh ulama
madzhab Hanafi dan Maliky.

Kaidah-kaidah dalam Uruf

Kaidah pertama : Sebuah adat istiadat bisa dijadikan landasan hukum syara’dengan
ketentuan adat tersebut tidak bertentangan dengan syariat/dalil. Adat yang sesuai
dengan syariat disebut uruf shahih/benar , sedangkan ayat yang bertentangan dengan
syariat disebut uruf fasid/rusak.

Kaidah kedua :maksud kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya
dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik (al-Urfu) , hukum itu akan berubah
bilamana adat istiadat itu berubah.

Kaidah ketiga : Maksud kaidah ini adalah meninggalkan sebuah adat istiadat yang
benar dari suatu masyarakat maka akan menimbulkan sebuah permusuhan.Misal,
disuatu desa sudah biasa dengan acara pembacaan tahlil bersama, kan tahlil bersama
tidak dianggap menyalahi syara’ , maka apabila kita datang kedesa tersebut kemudian
kita menyalahkan tradisi mereka dan tidak turut kumpul bersama maka hal tersebut
akan menyebabkan permusuhanantar sesama muslim.
Syarat Uruf agar Sah Menjadi Syariat

1. Uruf/adat tersebut shahih dalam arti tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan
Hadist
2. Uruf harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas
penduduk suatu Negara
3. Uruf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
pada uruf tersebut
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihar terkait yang berlainan dengan ketentuan uruf
tersebut,sebab jika kedua pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat
dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah kebiasaan itu,
bukan uruf.

e. Sabda Zara’i
1) Pengertian
Secara etimologi dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” . Ada
juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa
kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Akan tetap, Ibn Qayyim al-
Juziyah (691-751 H/1292-1350 M) ahli fiqh Hambali), mengatakan bahwa
pembatasan pengertian dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.
Oleh sebab itu menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan
yang bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu : yang
dilarang, disebut dengan saad al- dzari’ah dan yang menuntut untuk dilaksanakan
disebut faht al-dzari’ah.
Di bawah ini akan dikemukakan uraian ke dua bentuk dzari’ah dimaksud.
 Saad al- Dzari’ah
Imam al-Syathibi mendefenisikan dzari’ah dengan :
“Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk
menuju kepada suatu kemafsadatan”
Berdasarkan arti hadits terebut di atas dapat penulis pahami bahwa
seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir pada suatu
kemafsadatan.
Sebagai contoh misalnya :
Pada dasarnya jual beli itu adalah halal, karena jua beli merupakan salah
satu sarana tolong menolong untukmemenuhikebutuhan hidup manusia.
Seseorang membeli sebuah kendaraan seharga tiga puluh juga rupiah secara kredit
adalah sah karena pihak penjual memberi keringan kepada pembeli untuk tidak
segera melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu yang dibeli dengan kredit
sebesar tiga puluh juga rupiah-dijual kembali kepada penjual (pemberi kredit)
dengan harga tunai sebesar lima belas juga rupiah, maka tujuan ini akan
membawa kepada suatu kemafsadan, karena seakan-akan barang yang diperjual
belikan tidak ada dan pedangang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan
saja.
Adapun maksud dan tujuan dari hal tersebut di atas dapat kita pahami secara
bersama-sama yakni pembeli pada saat membeli kendaraan mendapatkan uang
sebesar lima belas juta rupiah, tetapi ia tetap harus melunasi hutangnya (kretid
kendaraan itu) sebsar tipa puluh juta rupiah. Jual beli seperti ini dalam fiqih
disebut dengan hay’u all-aj’al.

2) Kedudukan dan Hukumnya


Kedudukan dan hukum Dzari’ah dapat dilihat dari berbagai bentuk contoh seperti
: Masalah zakat, sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat hingga wajib
mengeluarkan zakatnya) datang. Seseorang yang memiliki sejumlah harta yang
wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga
berkurang nisbah harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat.

Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh
syara’, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan
tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari
kewajiban-yaitu membayar zakat-maka perbuatan ini dilarang.

Seorang ahli fiqh Iman al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhu,
sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu :
1. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemanfsadatan
2. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan
3. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya lebih
banyak
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa seseorang
melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir pada suatu kemafsadatan
dan kegunaan yang dilakukan membawa kemafsadatan

3) Pengelompokkan Sadduz Zariah


Ada dua pengelompokkan dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh
Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan dzari’ahnya dilihat dari segi
jenis kemafsadatannya.

a) Dzari’ah dilihat dari Segi Kualitas Kemafsadatannya


Imam al-Syathibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatanya,
dzari’ah erbagi kepada empat macam:
 Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan secara pasti
(qath’i).
 Perbuatan yang dilakukan ini boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada
kemafsadatan
 Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa
kepada kemafsadatan
 Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada
kemafsadatan

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis pahami bahwa pandangan kita hanya
ditujukan kepada patokan dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena
rukun dan syaratnya terpenuhi. Jadi di sanalah letak kedudukan itu ada.
Ada tiga alasan yang dikemukakan Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal
dalam mendukung pendapatnya, yaitu:
1. Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba,
sekalipun sifatnya fhilbah al zhann (dugaan berat), karena dalam banyak kasus,
Syari’ sendiri sering mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah al-
zhann
2. Dalam bay’u al-ajal terdapat dua dsar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli
pada dasarnya dibolehkan, selama rukun dan syaratnyaterpenuhi danm bahwa
seseorang harus terhindar dari segala bentuk kemudaratan.
3. Banyak sekali nash yang menunjukkan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang
membawa kepada kemafsadatanya.

b) Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya

Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah dari segi ini terbagi kepada:
 Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum
minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu
kemafsadatan
 Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi
dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan
tujuan yang disengaja atau tidak.

Kedua macam dzari’ah ini oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dibagi lagi kepada :
1. Yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari kemaslahatannya
2. Yang kemafsadatannya lebih besar ari kemaslahatannya

Kedua bentuk dzariah ini, menurutnya, ada empat bentuk yaitu :


1. Yang secara segaja ditujukan untuk suatu kemafsadatannya
2. Pekerjaan yang pada dasarnya diperbolehkan
3. Pekerjaan itu hukumnya boleh dan pelakunnya tidak bertujuan untuk suatu
kemafsadatan.
4. Suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan
4) Pandangan Ulama tentang Sadduz Zariah

Terdapat perbedaan pendapat ulama tehradap keberadaan sadd al dzari’ah sebagai


dalil dalam menetapkan hukumnya syara’, seperti salah satunya Ulama Malikiyah
dan ulama Hanabila menyatakan bahwa Sadd al-Dzari’’ah dapat diterima sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’:
Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah dalam surat al-An’am ayat 6 :
108.

"Dan janganlah kamu memaki sesambahan yang mereka sembah selain Allah
karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tenpat pengetahuan."

Sedangkan ulama lain seperti Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syiah dapat menerima
ad-dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam
kasus-kasus lain.

Ada dua sisi cara memandang dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,
yaitu :

1. Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baok
bertujuan untuk yang halal maupun yang haram
2. Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa dampak negative

Sedangkan ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Imam Al-Qarafi megnatakan


bahwa dzari’ah adakalanya di larang disebut dengan sadd al-dzariah, dan
adakalannya dianjurkan, disebut dengan fath al-dzariah adalah suatu perbuatan
yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara’.
Namun menurut Wahbah al-Zuhaili apa yang digambarkan ibn Qayyim al-Juaziyah
dan Imam al-Qarafi tersebut bukan termasuk dalam dzari’ah, tetapi termasuk dalam
kaidah yang oleh Jumhur ulama ushul fiqh disebuts ebagau muqaddimah
(pendahuluan) dari suatu pekerjaan.

f. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk
mengerjakan ataupun meninggalkan suatu perbuatan. Hukum taklifi terdiri atas
beberapa macam sebagai berikut.
1. Al-Ijab (Wajib)
Al-ijab atau hukum wajib adalah tuntutan pasti atau perintah untuk dikerjakan.
Pengertian wajib yang lain adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan
pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Jika seseorang
meninggalkan tuntutan yang sudah pasti tersebut, dikenai sanksi atau hukuman.
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyebutkan perintah Allah di
antaranya ditunjukkan dengan adanya tanda perintah atau dalam tata bahasa Arab
dikenal dengan fi’il amr.
Contohnya pada ayat yang berbunyi, ” . . . . dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat .
. . ” (Q.S. al-Baqarah[2]: 110). Dengan perintah itu, hukum salat dan zakat adalah
wajib. Meskipun demikian, kadang bentuk perintah juga berarti sunah.
Ciri-ciri lainnya dengan menggunakan lafal farada, kutiba, atau wajaba yang
semuanya mengandung arti diwajibkan. Selain itu, ketentuan al-ijab bisa
ditunjukkan dengan kalimat berita yang bermakna menyuruh. Hukum wajib ini
dibagi menjadi beberapa macam. Agar lebih jelas, Anda dapat memperhatikan tabel
berikut ini.

2. An-Nadb (Sunah)
An-nadb atau sunah adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi
tidak secara pasti atau harus. Sunah yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan akan
mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Jika
seseorang meninggalkan tuntunan tersebut tidak mendapat dosa. Contohnya ayat
berbunyi:
”. . . Apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan
hendaklah kamu menuliskannya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282).
Kata hendaklah atau utamanya menunjukkan tuntunan, meskipun bukan menjadi
keharusan. Hukum an-nadb dapat ditunjukkan dengan penggunaan kata yang berarti
sunah, seperti yusannu kaza atau yundabu kaza. Bisa juga ditunjukkan dengan
menggunakan kata perintah yang bermakna sunah, seperti penjelasan dalam Surah
al-Isra’ [17] ayat 79 tentang sunahnya salat tahajud.
3. Al-Ibahah (Mubah)
Al-ibahah atau mubah adalah penetapan Allah yang mengandung kebolehan
memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang boleh dipilih ini
dikenal juga dengan mubah. Contohnya pada ayat
yang artinya, ”Apabila telah dilakukan salat, maka bertebaranlah kamu ke muka
bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah . . . .” (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10). Dalam
ayat ini penjelasan carilah karunia Allah, misalnya dengan berdagang, hukumnya
dibolehkan. Ciri-ciri lain yaitu menggunakan kalimat lajunaha, laharaja, laisma, dan
lainnya yang berarti tidak dilarang atau tidaklah berdosa. Dapat juga dengan tanda
penggunaan kata uhilla yang artinya dihalalkan.

4. Karahah (Makruh)
Karahah adalah tuntunan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tidak bersifat
pasti atau harus sehingga jika melaksanakannya tidaklah berdosa. Perbuatan
tersebut disebut dengan makruh. Contohnya sabda Rasulullah dalam riwayat Abu
Daud yang menjelaskan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah
adalah talak. Meskipun talak halal, tetapi dibenci oleh Allah sehingga hukumnya
makruh. Tanda-tanda karahah misalnya jika terdapat lafal karaha yang berarti
dimakruhkan atau adanya lafal berbentuk perintah, tetapi yang tidak menghalalkan.

5. Tahrim (Haram)
Tuntunan atau perintah untuk tidak mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang
dilarang tersebut dikenal dengan istilah haram.
Contohnya dalam ayat yang menjelaskan, ”. . . diharamkan bagimu bangkai, . . .”
(Q.S. al-Ma’idah[5] ayat 3). Contoh perbuatan haram lainnya adalah meminum
minuman keras, berzina, durhaka kepada orang tua, berjudi, dan perbuatan-
perbuatan tercela lainnya.
Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna pengharaman,
seperti kata harrama, hurrima, atau layahillu, yang seluruhnya mengandung makna
pengharaman atau tidak dihalalkan. Tanda lainnya, yaitu adanya kalimat yang
berbentuk fi’il nahi atau kata kerja yang berarti larangan atau kata perintah untuk
menjauhi.

Penerapan Hukum Taklifi


Memahami ketentuan hukum taklifi sangat penting sehingga kita mengetahui
ketentuan hukum mengerjakan sesuatu. Adakalanya suatu perbuatan harus
dikerjakan, wajib ditinggalkan, dan boleh memilih antara mengerjakan atau
meninggalkannya. Sebagai contoh, pada saat kita membaca Surah al-Baqarah[2]
ayat 110, kita menjadi tahu bahwa mengerjakan ibadah salat hukumnya wajib.
Ketentuan wajib di sini berarti bahwa perbuatan tersebut harus dikerjakan jika
ditinggalkan akan mendapat dosa. Oleh karena mengetahui salat hukumnya wajib,
kita perlu menerapkannya dengan selalu mengerjakan ibadah salat dalam kehidupan
sehari-hari. Jika kita meninggalkan kewajiban salat tersebut, kita akan menanggung
dosa.

g. Hukum Wad’i
Penerapan hukum taklifi sebagaimana dijelaskan di atas juga sangat terkait dengan
ketentuan hukum wad‘i. Hukum wad‘i adalah ketetapan Allah yang mengandung
pengertian bahwa terjadinya suatu hukum adalah karena adanya sebab, syarat, ataupun
penghalang. Sebagai contoh, ibadah salat yang hukumnya wajib dikerjakan, dalam
kondisi-kondisi tertentu justru harus ditinggalkan. Misalnya ketika terjadi haid. Haid
menjadi penghalang diwajibkannya salat bagi perempuan.

Ketentuan hukum wad‘i secara lengkap adalah sebagai berikut:


1. Sebab
Sesuatu yang mendasari adanya hukum. Dengan adanya sebab maka ada hukum.
Contohnya terbitnya fajar menyebabkan wajibnya mengerjakan salat Subuh.
2. Syarat
Sesuatu yang berada di luar hukum, tetapi keberadaan hukum tergantung
kepadanya. Akan tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum
perbuatan. Contohnya sebelum salat disyaratkan berwudu terlebih dahulu. Akan
tetapi, orang yang berwudu tidak selalu harus mengerjakan salat.
3. Penghalang (mani’)
Keadaan yang dengan adanya penghalang ini, tidak menyebabkan adanya hukum.
Contohnya perempuan yang sedang haid menyebabkan tidak diwajibkannya
mengerjakan salat.
4. Sah
Perbuatan hukum yang telah terpenuhi aturannya, seperti syarat, sebab, dan tidak
adanya penghalang. Contohnya salat Subuh sah jika telah terbit fajar, dikerjakan
setelah berwudu, dan tidak ada penghalang bagi yang mengerjakan.
5. Batal
Terlepasnya hukum dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Contohnya
bertransaksi jual beli secara riba. Jual beli tersebut dianggap batal karena
mengandung fasad sehingga transaksinya pun dianggap tidak sah. (Satria Effendi
dan M.Zein.2005.Halaman 62–67)

Anda mungkin juga menyukai