Makalah Pai Sumber Hukum Islam
Makalah Pai Sumber Hukum Islam
O
L
E
H
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan atau dasar yang utama dalam
pengambilan hukum Islam. Sumber hukum Islam, artinya sesuatu yang menjadi , dasar,
acuan, atau pedoman dari ajaran islam. Sumber hukum Islam bersifat dinamis, benar, dan
mutlak, serta tidak pernah mengalami kemandegan, kefanaan, atau kehancuran.
Dalam hukum Islam, Al-Quran merupakan sumber hukum yang pertama dan
utama, tidak boleh ada satu aturan pun yang bertentangan dengan Al-Quran,
sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa [4] ayat 105 berikut.
b. Kedudukan Al Quran
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surah An Nisa [4] ayat 59 sebagai berikut.
Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bersabda
sebagai berikut.
Al Quran merupakan sumber hukum pertama yang dapat mengantarkan umat
manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Al Quran akan
membimbing manusia ke jalan yang benar.
2. Hadis
a. Pengertian Hadis
Menurut para ahli, hadis identik dengan sunah, yaitu segala perkataan,
perbuatan, takrir (ketetapan), sifat, keadaan, tabiat atau watak, dan sirah (perjalanan
hidup) Nabi Muhammad SAW, baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun
tidak, namun menurut bahasa, hadis berarti ucapan atau perkataan. Adapun menurut
istilah, hadis adalah ucapan, perbuatan, atau takrir Rasulullah SAW yang diikuti
(dicontoh) oleh umatnya dalam menjalani kehidupan.
b. Kedudukan Hadis
Selain itu, hadis yang diriwayatkan Imam Malik dan Hakim menyebutkan
bahwa Tasulullah meninggalkan dua hal yang jika berpegang teguh kepada keduanya
manusia tidaka akan tersesat. Dua hal tersebut, yaitu Al Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW atau Hadis.
Barangsiapa yang memegang teguh kedua pusakan tersebut, dia akan selamat
di dunia dan di akhirat. Manusia yang berpedoman kepada hadis akan selamat.
Maksudnya, ia senantiasa menjalankan kehidupan ini sesuai dengan Al Quran dan
hadis Rasulullah SAW .
Berbeda dengan Al Quran yang sempai saat ini tidak ada pembagian
ayat sahih dan ayat maudu’, karena semua ayat dalam Al Quran adalah benar.
Ditinjau dari segi kualitas perawinya, hadis dapat dibagi menjadi empat, yaitu sebagai
berikut.
1. Hadis Shaih
Hadis Shaih adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat
hafalannya, tajam penelitiannya, sanad yang bersambung, tidak cacat, dan tidak
bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya.
2. Hadis Hasan
Hadis Hasan adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang
kuat ingatannya, sanad-nya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan.
3. Hadis Da’if
Hadis Da’if adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat yang dipenuhi
hadis sahih atau hasan.
4. Hadis Maudu’
Hadis Maudu’ adalah hadis palsu yang dibuat orang atau dikatakan orang sebagai
hadis, padahal bukan hadis.
Pada definisi lain seperti yang dikatakan ath-thibi mendifinisikan dengan :”lafazh-
lafazh hadits yang didalamnya megandung makna makna tertentu”.
Jadi dari pegertian diatas semua, dapat kita simpulkan bahwa yang disebut matan
ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah
sanad dan sebelum rawi.
Faktor yang paling utama perlunya dilakuakan penelitian ini, ada dua hal yaitu:
pertama, karena beredarnya hadits palsu (manudhu) pada kalangan masyarakat;
kedua hadits-hadits tidak ditulis secara resmi pada masa rasul SAW (berbeda
dengan al-quran), sehinga penulisan hanya bersifat individul (tersebar di tangan
pribadi sahabat) dan tidak meyeluruh.
3) Rawi Hadits
Kata rawi atau arawi, berati orang yang meriwayatkan atau yang memberitakan
hadits. Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang merawikan/meriwayatkan,
dan memindahkan hadits.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang hampir sama.
Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap thabaqah atau tingkatannya juga disebut para
rawi. Begitu juga setiap perawi pada tiap-tiap thabaqah-nya merupakan sanad bagi
yabaqah berikutnya. Akan tetapi yang membedakan kedua istilah diatas ialah, jika
dilihat dari dalam dua hal yaitu:
Kedua: dalam penyebutan silsilah hadits, untuk susunan sanad, berbeda dengan
peyebutan silsilah susunan rawi. Pada silsilah sanad, yang disebut sanad pertama
adalah orang yang lasung meyampaikan hadits tersebut kepada penerimanya.
Sedangkan pada rawi yang disebut rawi pertama ialah para sahabat Rasul SAW.
Dengan demikian penyebutan silsilah antara kedua istilah ini merupakan
sebaliknya. Artinya rawi pertama sanad terakhir dan sanad pertama adalah rawi
terakhir.
4) Takhrij Hadits
Pegertian menurut bahasa, Kata “takrhij” dari kata kharaja,yakharruju,yang
secara bahasa mempunyai bermacam-macam arti. Menurut mahmud ath-
tahhan,asal kata takhrij ialah;”berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam
satu persoalan”.
3. Ijtihad
a. Pengertian Ijtihad
b. Kedudukan Ijtihad
Ijtihan merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al Quran dan Hadis.
Ijtihad dilakukan jika suatu permasalahan sudah dicari dalam Al Quran maupun hadis,
tetapi tidak ditemukan hukumnya.
Namun, hasil ijtihad tetap tidak bleh bertentangan dengan Al Quran maupun
hadis. Orang yang melakukan ijtihad (mujtahid) dengan benar, dia akan mendapat dua
pahala. Adapun jika ijtihadnya slalah, dia tetap mendapatkan satu pahala.
Ijtihad dilakukan jika ada suatu masalah yang harus diterapkan hukumnya,
tetapi tidak dijumpai dalam Al Quran maupun hadis. Meskipun demikian, ijtihad tidak
bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orng-orang yang memenuhi syarat yang
boleh berijtihad.
c. Bentuk Ijtihad
Bentuk ijtihad dapat dikelompokkan menjadi tida macam, yaitu sebagai berikut.
1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid dalam memutuskan suatu perkara
atau hukum. Ijama dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak
disebutkan secara khusus dalam kitab Al Quran dan Sunah.
2. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu maslah yang belum ada kedudukan
hukumnya dengan maslah lama yang pernah karena ada alasan yang sama.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah merupakan cara dalam menetapkan hukum yang berdasarkan
atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Dilihat dari prosesnya, ijtihad dapat dibagai menjadi dua. Pertama, ijtihad
insya’i yang dilakukan oleh seseorang untuk menyimpulkan hukum mengenai
peristiwa baru yang belum pernah diselesaikan oleh hujtahid sebelumnya.
Kedua, ijtihad tarjihi atau ijtihad intiqa’i yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para mujtahidin terdahulu mengenai
masalah tertentu. Kemudian, menyelesaikan pendapat mana yang memiliki dalil lebih
kuat serta relevan dengan kondisi saat ini.
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat kerena telah menjadi kebiasaan
dan menyatu dengan kebiasaan mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan
Macam-macam Uruf
Uruf ada 2 . yaitu uruf am ( Umum ) dan uruf Khas ( Khusus ) , masing-masing dari
mEpunyai 2 bagian, ada uruf shahih ( benar sesuai syariat ),contoh acara tahlilan
disertai dengan makan-makan bersama. dan uruf fasid ( salah menurut syariat )seperti
kebiasaan masyarakat berupa memberikan sesajen pada jin.
Kehujjahan Uruf
Kehujjahan Uruf sebagai landasan hukum bisa dibuktikan dengan adanya rekomendasi
nash al-Qur’an dan hadis serta qaul-qaul ulama
Firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 199 : ض ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْْر ُخذ َ ْال َجاهليْنَ َعن باْْلعُ ْرف
ْ ْواَعْر
Firman Allah : َح َرج م ْن الديْن فى َعلَ ْي ُك ْم للاُ َما َجعَ َل. artinya Allah tidak membuat agama ini
susah/sempit bagi kalian .
Sabda Rasulullah saw : “ Apa yang dipandang baik oleh kaum muslim , maka menurut
Allah juga digolongkan perkara yang baik “
Imam as-Sarkhasi dalam kitab “ al-Mansuth “ berkata ; “ Apa yang ditetapkan
berdasarkan adat ( yang benar ) , maka statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan
nash “ .perkataan as-Sarkhasi juga senada dengan apa yang dikatakan oleh ulama
madzhab Hanafi dan Maliky.
Kaidah pertama : Sebuah adat istiadat bisa dijadikan landasan hukum syara’dengan
ketentuan adat tersebut tidak bertentangan dengan syariat/dalil. Adat yang sesuai
dengan syariat disebut uruf shahih/benar , sedangkan ayat yang bertentangan dengan
syariat disebut uruf fasid/rusak.
Kaidah kedua :maksud kaidah ini adalah bahwa hukum-hukum fiqh yang tadinya
dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik (al-Urfu) , hukum itu akan berubah
bilamana adat istiadat itu berubah.
Kaidah ketiga : Maksud kaidah ini adalah meninggalkan sebuah adat istiadat yang
benar dari suatu masyarakat maka akan menimbulkan sebuah permusuhan.Misal,
disuatu desa sudah biasa dengan acara pembacaan tahlil bersama, kan tahlil bersama
tidak dianggap menyalahi syara’ , maka apabila kita datang kedesa tersebut kemudian
kita menyalahkan tradisi mereka dan tidak turut kumpul bersama maka hal tersebut
akan menyebabkan permusuhanantar sesama muslim.
Syarat Uruf agar Sah Menjadi Syariat
1. Uruf/adat tersebut shahih dalam arti tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan
Hadist
2. Uruf harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas
penduduk suatu Negara
3. Uruf harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
pada uruf tersebut
4. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihar terkait yang berlainan dengan ketentuan uruf
tersebut,sebab jika kedua pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat
dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah kebiasaan itu,
bukan uruf.
e. Sabda Zara’i
1) Pengertian
Secara etimologi dzariah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” . Ada
juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa
kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Akan tetap, Ibn Qayyim al-
Juziyah (691-751 H/1292-1350 M) ahli fiqh Hambali), mengatakan bahwa
pembatasan pengertian dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan.
Oleh sebab itu menurutnya pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan
yang bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu : yang
dilarang, disebut dengan saad al- dzari’ah dan yang menuntut untuk dilaksanakan
disebut faht al-dzari’ah.
Di bawah ini akan dikemukakan uraian ke dua bentuk dzari’ah dimaksud.
Saad al- Dzari’ah
Imam al-Syathibi mendefenisikan dzari’ah dengan :
“Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk
menuju kepada suatu kemafsadatan”
Berdasarkan arti hadits terebut di atas dapat penulis pahami bahwa
seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena
mengandung kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir pada suatu
kemafsadatan.
Sebagai contoh misalnya :
Pada dasarnya jual beli itu adalah halal, karena jua beli merupakan salah
satu sarana tolong menolong untukmemenuhikebutuhan hidup manusia.
Seseorang membeli sebuah kendaraan seharga tiga puluh juga rupiah secara kredit
adalah sah karena pihak penjual memberi keringan kepada pembeli untuk tidak
segera melunasinya. Akan tetapi, bila kendaraan itu yang dibeli dengan kredit
sebesar tiga puluh juga rupiah-dijual kembali kepada penjual (pemberi kredit)
dengan harga tunai sebesar lima belas juga rupiah, maka tujuan ini akan
membawa kepada suatu kemafsadan, karena seakan-akan barang yang diperjual
belikan tidak ada dan pedangang kendaraan itu tinggal menunggu keuntungan
saja.
Adapun maksud dan tujuan dari hal tersebut di atas dapat kita pahami secara
bersama-sama yakni pembeli pada saat membeli kendaraan mendapatkan uang
sebesar lima belas juta rupiah, tetapi ia tetap harus melunasi hutangnya (kretid
kendaraan itu) sebsar tipa puluh juta rupiah. Jual beli seperti ini dalam fiqih
disebut dengan hay’u all-aj’al.
Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh
syara’, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan
tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari
kewajiban-yaitu membayar zakat-maka perbuatan ini dilarang.
Seorang ahli fiqh Iman al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhu,
sehingga suatu perbuatan itu dilarang, yaitu :
1. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemanfsadatan
2. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan
3. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya lebih
banyak
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa seseorang
melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung
kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berakhir pada suatu kemafsadatan
dan kegunaan yang dilakukan membawa kemafsadatan
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis pahami bahwa pandangan kita hanya
ditujukan kepada patokan dasar jual beli, maka jual beli seperti itu boleh, karena
rukun dan syaratnya terpenuhi. Jadi di sanalah letak kedudukan itu ada.
Ada tiga alasan yang dikemukakan Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal
dalam mendukung pendapatnya, yaitu:
1. Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang membawa kepada riba,
sekalipun sifatnya fhilbah al zhann (dugaan berat), karena dalam banyak kasus,
Syari’ sendiri sering mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah al-
zhann
2. Dalam bay’u al-ajal terdapat dua dsar yang bertentangan, yaitu bahwa jual beli
pada dasarnya dibolehkan, selama rukun dan syaratnyaterpenuhi danm bahwa
seseorang harus terhindar dari segala bentuk kemudaratan.
3. Banyak sekali nash yang menunjukkan dilarangnya perbuatan-perbuatan yang
membawa kepada kemafsadatanya.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah dari segi ini terbagi kepada:
Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum
minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu
kemafsadatan
Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi
dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan
tujuan yang disengaja atau tidak.
Kedua macam dzari’ah ini oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah dibagi lagi kepada :
1. Yang kemaslahatan pekerjaan itu lebih kuat dari kemaslahatannya
2. Yang kemafsadatannya lebih besar ari kemaslahatannya
"Dan janganlah kamu memaki sesambahan yang mereka sembah selain Allah
karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tenpat pengetahuan."
Sedangkan ulama lain seperti Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syiah dapat menerima
ad-dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam
kasus-kasus lain.
Ada dua sisi cara memandang dzari’ah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,
yaitu :
1. Dari sisi motivasi yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baok
bertujuan untuk yang halal maupun yang haram
2. Dari sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa dampak negative
f. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk
mengerjakan ataupun meninggalkan suatu perbuatan. Hukum taklifi terdiri atas
beberapa macam sebagai berikut.
1. Al-Ijab (Wajib)
Al-ijab atau hukum wajib adalah tuntutan pasti atau perintah untuk dikerjakan.
Pengertian wajib yang lain adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan
pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Jika seseorang
meninggalkan tuntutan yang sudah pasti tersebut, dikenai sanksi atau hukuman.
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyebutkan perintah Allah di
antaranya ditunjukkan dengan adanya tanda perintah atau dalam tata bahasa Arab
dikenal dengan fi’il amr.
Contohnya pada ayat yang berbunyi, ” . . . . dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat .
. . ” (Q.S. al-Baqarah[2]: 110). Dengan perintah itu, hukum salat dan zakat adalah
wajib. Meskipun demikian, kadang bentuk perintah juga berarti sunah.
Ciri-ciri lainnya dengan menggunakan lafal farada, kutiba, atau wajaba yang
semuanya mengandung arti diwajibkan. Selain itu, ketentuan al-ijab bisa
ditunjukkan dengan kalimat berita yang bermakna menyuruh. Hukum wajib ini
dibagi menjadi beberapa macam. Agar lebih jelas, Anda dapat memperhatikan tabel
berikut ini.
2. An-Nadb (Sunah)
An-nadb atau sunah adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi
tidak secara pasti atau harus. Sunah yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan akan
mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Jika
seseorang meninggalkan tuntunan tersebut tidak mendapat dosa. Contohnya ayat
berbunyi:
”. . . Apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan
hendaklah kamu menuliskannya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282).
Kata hendaklah atau utamanya menunjukkan tuntunan, meskipun bukan menjadi
keharusan. Hukum an-nadb dapat ditunjukkan dengan penggunaan kata yang berarti
sunah, seperti yusannu kaza atau yundabu kaza. Bisa juga ditunjukkan dengan
menggunakan kata perintah yang bermakna sunah, seperti penjelasan dalam Surah
al-Isra’ [17] ayat 79 tentang sunahnya salat tahajud.
3. Al-Ibahah (Mubah)
Al-ibahah atau mubah adalah penetapan Allah yang mengandung kebolehan
memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang boleh dipilih ini
dikenal juga dengan mubah. Contohnya pada ayat
yang artinya, ”Apabila telah dilakukan salat, maka bertebaranlah kamu ke muka
bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah . . . .” (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10). Dalam
ayat ini penjelasan carilah karunia Allah, misalnya dengan berdagang, hukumnya
dibolehkan. Ciri-ciri lain yaitu menggunakan kalimat lajunaha, laharaja, laisma, dan
lainnya yang berarti tidak dilarang atau tidaklah berdosa. Dapat juga dengan tanda
penggunaan kata uhilla yang artinya dihalalkan.
4. Karahah (Makruh)
Karahah adalah tuntunan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tidak bersifat
pasti atau harus sehingga jika melaksanakannya tidaklah berdosa. Perbuatan
tersebut disebut dengan makruh. Contohnya sabda Rasulullah dalam riwayat Abu
Daud yang menjelaskan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah
adalah talak. Meskipun talak halal, tetapi dibenci oleh Allah sehingga hukumnya
makruh. Tanda-tanda karahah misalnya jika terdapat lafal karaha yang berarti
dimakruhkan atau adanya lafal berbentuk perintah, tetapi yang tidak menghalalkan.
5. Tahrim (Haram)
Tuntunan atau perintah untuk tidak mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang
dilarang tersebut dikenal dengan istilah haram.
Contohnya dalam ayat yang menjelaskan, ”. . . diharamkan bagimu bangkai, . . .”
(Q.S. al-Ma’idah[5] ayat 3). Contoh perbuatan haram lainnya adalah meminum
minuman keras, berzina, durhaka kepada orang tua, berjudi, dan perbuatan-
perbuatan tercela lainnya.
Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna pengharaman,
seperti kata harrama, hurrima, atau layahillu, yang seluruhnya mengandung makna
pengharaman atau tidak dihalalkan. Tanda lainnya, yaitu adanya kalimat yang
berbentuk fi’il nahi atau kata kerja yang berarti larangan atau kata perintah untuk
menjauhi.
g. Hukum Wad’i
Penerapan hukum taklifi sebagaimana dijelaskan di atas juga sangat terkait dengan
ketentuan hukum wad‘i. Hukum wad‘i adalah ketetapan Allah yang mengandung
pengertian bahwa terjadinya suatu hukum adalah karena adanya sebab, syarat, ataupun
penghalang. Sebagai contoh, ibadah salat yang hukumnya wajib dikerjakan, dalam
kondisi-kondisi tertentu justru harus ditinggalkan. Misalnya ketika terjadi haid. Haid
menjadi penghalang diwajibkannya salat bagi perempuan.