Anda di halaman 1dari 5

Filosofi Segitiga Problematika Mahasiswa (Kuliah, Organisasi Dan Romantisme)

“kami ingin bisa menghadapi setiap bahaya, tetapi di sana terdapat bahaya terselubung yang
mengintai kita. Dari mana bahaya itu datang, dan di mana sembunyinya, tak seorang pun
mengetahuinya. Sebab bahaya itu adalah sebuah perkumpulan rahasia yang tersusun rapi.
Bahkan orang yang telah lama terjun ke dalam organisasi itu juga tidak bisa mengetahui secara
pasti”
---Guiseppe Mazzini (1805-1872), tokoh nasionalis Italia---
Sengaja saya kutip pernyataan dari tokoh nasionalis Italia di atas sebagai pembuka pada
tulisan ini, karena secara jelas pernyataan yang disampaikan pada abad ke-19 itu mengandung
sebuah pertanyaan mendasar bagi sebagian orang yang mau berfikir dan mendalami setiap
perubahan sosial, budaya, politik dan ekonomi global. Menurut hemat saya pun sudah sewajarnya
jika kemudian kutipan itu coba kita jadikan landasan dalam membangun kerangka berfikir kita
dalam menganalisa persoalan yang saat ini menjadi bahan hangat untuk kita kembali diskusikan.
Tulisan ini sebenarnya lahir karena beberapa hal yang mendasari, salah satunya adalah
karena setelah adanya talak dari dunia akademis kampus, rasa sepi seolah menyelimuti setiap
langkah dan gaya berfikir saya. Banyak fenomena-fenomena yang tak sesuai dengan apa yang
kemudian sering saya perbincangkan dengan kawan-kawan, terlebih kawan satu perjuangan di
perantauan. Yang kedua, pemantauan saya terhadap organisasi yang dahulu sempat membesarkan
hati dan pikiran saya pun setelah saya tengok dari jauh ternyata malah menyisakan sesak yang
berkelebihan, seolah tak terima dengan kondisi itu, maka dengan sengaja dan sadar saya
berinisiatif untuk mencoba melempar bola panas yang kemudian nanti bisa sama-sama kita olah
untuk menjadi apapun juga sesuai dengan keinginan dan kebutuhan bersama.
Adapun beberapa poin penting yang coba saya tawarkan sebagai obat batuk-batuk ringan
organisasi adalah sebagai berikut. Walaupun kemudian mungkin ini tak juga bisa menyembuhkan
total, akan tetapi bisa hanya meringankan saja sudah cukup menggembirakan.
a. Mengenal filosofi tebu ala manusia jawa
Dalam pandangan folk etymology jawa, tebu berasal dari kata antebing kalbu. Kalbu berarti
hati, antebing kalbu berarti kemantapan hati. Hati yang matap menjadi dasar bagi setiap manusia
untuk bisa mengembangkan apapun saja yang telah Tuhan anugerahkan kepadanya. Akan tetapi,
pada kesempatan ini bukan tentang tebu sebagai istilah manusia jawa yang akan kita coba kupas
dan bahas, tetapi lebih kepada aksiologi dari tebu itu yang akan sama-sama kita once’i
menggunakan pisau analisa masing-masing.
Mungkin sudah sering kita dengar istilah “habis manis sepah di buang”, itu adalah sebuah
idiom yang digunakan oleh kalangan masyarakat untuk menyimbolkan segala sesuatu yang sudah
tidak layak pakai dan kemudian dihempaskan dan diacuhkan begitu saja. Jika kita cermati sesaat,
seolah istilah itu menjadi sesuatu yang melegitimasi kebiadaban dan ketidaktahudirian seseorang.
Stigma negatif yang mengakar pada istilah itu menjadikan kita kemudian senantiasa menggunakan
logika bias yang harus memberdayakan apapun juga walau sudah tak bernilai lagi hanya untuk
“agar” tak dilabeli sebagai orang yang hanya bisa “habis manis sepah di buang”. Akan tetapi,
rasionalitas kita sebagai kaum intelektual tentu akan dengan segera menyantap wacana ini dengan
dalih yang lebih masuk di akal dan kehidupan nyata sebenarnya. Bukankah sudah selayaknya dan
sepantasnya jika sesuatu yang sudah tidak menguntungkan lagi harus kita musiumkan atau kita
gudangkan? Seperti tebu, setelah kita peras air manis kehidupan saripatinya hingga sudut-sudut
terdalam dan kemudian setelah itu yang tersisi hanyalah rasa sepoh dan ketidak menarikannya lagi,
maka wajar-wajar saja jika kita kemudian mencari tebu-tebu lain untuk kita nikmati saripatinya
yang lebih segar dan menggairahkan.
Ibarat itulah kita saat ini, kita adalah tebu-tebu yang baru saja tumbuh dan berkembang.
Kita seolah tebu yang diberikan keleluasaan sebesar-besarnya untuk memilih tumbuh di tanah
yang bagaimana, untuk memilih pupuk apa yang kita inginkan dan juga diberi kewenangan untuk
melihat pada diri sendiri tentang penyakit dan hama apa yang saat ini sedang menyerang. Pada
waktunya, kita akan sama-sama diperas oleh zaman, dinikmati manis saripatinya sehingga zaman
itu akan penuh dengan kebermanfaatan kita karena manis yang kita tebarkan, entah dengan ilmu
pengetahuan ataupun dengan segala sesuatu apapun juga yang bersama-sama bisa bermanfaat
untuk masyarakat banyak. Akan tetapi, hidup adalah bagian dari pilihan-pilihan yang harus kita
pahami, jika dalam masa berkembang dan tumbuh sebagai tebu ini kita tidak sigap untuk memilih
tanah yang berkualitas, kita tidak paham terhadap pupuk yang sesuai denga konstruk tanah terlebih
kemudian kita buta terhadap penyakit dan hama yang menyerang. Maka bersiaplah untuk terbuang,
jangan terlalu berharap menjadi sepah, karena belum juga diperas tebu-tebu seperti ini akan
dibabat dan disingkirkan kemudian dibakar untuk menjaga tebu-tebu yang berkualitas tumbuh
subur. Mari bersama-sama kita ingat, bahwa suatu ketika kita akan pasti menjadi sepah. Setelahnya
kita akan dijadikan pupuk karena eman untuk dibuang atau malah diacuhkan begitu saja, semua
itu tergantung kebijaksanaan kita masing-masing.
Dalam kaitannya dengan peran serta organisasi kita ini, tentu bisa kita mencoba
menggunakan filosofi tebu sebagai bahan evaluasi yang walaupun tidak terlalu komprehensif
dalam memandang structural-kultural antara senior-junior, akan tetapi mungkin dengan ini akan
terbentuk ranah produktivitas bagi junior dan kebijaksanaan bagi senior.
b. Degradasi identitas dan nilai-nilai luhur
Setelah di atas kita sedikit coba mengulas sesuatu yang seolah-olah bisa kita jadikan
pegangan, selanjutnya kita akan bersama-sama memproyeksikan kembali segala hal yang perlu
kita benahi. Identitas yang termaksud dalam tulisan ini adalah segala hal yang melekat pada diri
seseorang secara pribadi dan golongan yang secara sadar ataupun tidak telah bersama-sama
menjadi cermin. Artinya, akan ada kausalitas yang terjadi dan merupakan konsekuensi dari
berbagai macam perbuatan-perbuatan individu ataupun kelompok yang dimaksud. Selanjutnya
prihal degradasi, secara sederhana degradasi dapat dipahami sebagai suatu kemerosotan atau
kemunduran. Jika kita coba mengaitkan antara keduanya, maka akan tersirat sebuah gambaran
tentang kemerosotan identitas seseorang atau kelompok yang tentu memiliki dampak yang
signifikan. Sementara prihal nilai-nilai luhur tersebut di atas, dapat juga dipahami sebagai sebuah
perjanjian-perjanjian yang menurut alam bawah sadar telah disepakati dan diaminkan oleh masing-
masing individu atau kelompok. Berangkat dari dasar kerangka berfikir di atas, mari bersama-
sama kita olah satu persatu masalah-masalah yang terjadi secara nasional ataupun secara regional.
Ada sebuah celetukan dari seorang animator yang membuat saya terkejut dan agak tersipu
malu, “untuk apa memiliki sabang sampai merauke kalau pemudanya tak memiliki idealisme”,
begitu tulisnya. Tentu idealisme adalah barang berharga yang wajib didapatkan oleh pemuda
terlebih mahasiswa. Banyak kasus akhir-akhir ini yang mencoreng wajah kakak generasi kita yang
telah terlebih dahulu menggeluti rasanya berlayar pada samudera yang luasnya tak terukur oleh
mata. Banyak diantara mereka yang terseret arus kencang dari materialisme dan tergoda juga oleh
rayuan manis kapitalisme sehingga akhir kisahnya tersandung gundukan yang bernama KPK.
Selain itu, juga tak sedikit pula diantaranya malah dengan terang-terangan ditelajangi harga dirinya
di depan ribuan mata atau ada pula yang secara sadar melacurkan dirinya pada konstelasi
materialisme dan kapitalisme kehidupan.
Ada apa gerangan ini?
Kota malang sempat kebingungan karena wakil rakyatnya berjamaah dengan khusu’
banca’an uang rakyat, sebagian daerah dengan terpaksa harus dipenggal harga dirinya karena
kepala daerahnya tersandung kasus, hingga ada pula desa yang harus menjadi janda karena dipaksa
bercerai dengan ayahandanya oleh pengadilan negeri karena dana desa, itulah sedikit realitas
bangsa kita.
Inilah yang menurut Guiseppe Mazzini sebagai bahaya terselubung, bukan tentang
banyaknya wakil rakyat dan kepala daerah yang tersandung. Akan tetapi tentang mengapa semua
itu sampai terjadi. Sampai saat ini saya masih percaya dengan istilah power of culture, jika ingin
menguasai suatu bangsa maka kuasailah budayanya. Bangsa Inggris pada zaman dahulu kala
memiliki semboyan yang sangat teguh dipegang oleh rakyatnya, “jika ingin menguasai dunia maka
kuasailah lautan”, teori ini terbukti ampuh sehingga hari ini dengan sadar atau tidak Inggris telah
menjadi negara adidaya, terbukti dengan dijadikannya bahasa Inggris sebagai bahasa nomer wahid
di dunia. Setelah itu, freemasonry kemudian melakukan sebuah inovasi yang fenomenal yaitu
mengubah semboyan Inggris itu dengan semboyan baru yang lebih efektif. “Jika ingin menguasai
dunia maka kuasailah media”, itu adalah strategi paling jitu untuk mentranformasi kebudayaan
suatu bangsa. Wakil rakyat dan kepala daerah yang tersandung kasus itu menurut hemat saya
hanyalah efek kecil dari berubahnya nuansa budaya suatu bangsa dan hilangnya identitas ke-
Indonesiaannya.
Secara regional, tentu saya tidak bisa melihat terlalu jauh, karena dengan panuh kesadaran
saya menilai diri saya hanya wong cilik bukan siapa-siapa. Akan tetapi dengan modal optimisme
kita bisa bersama-sama membangun yang besar itu dari hal-hal yang kecil-kecil atau bisa juga kita
mengumpulkan wong cilik-cilik itu untuk bersama-sama menjadi besar. Organisasi yang saya
katakan membuat sesak itu tadi, tentu juga harus kita coba nilai bersama-sama kembali
menggunakan bahan evaluasi yang lebih komprehensif. Bisa dengan melihat kembali asas
kebermanfaatannya atau juga dengan menilik structural-kultural kader-kadernya. Sehingga dengan
begitu akan tercipta regenerasi dari penggerak roda-roda organisasi yang kokoh.
Segitiga problematika mahasiswa (kuliah, organisasi dan romantisme) tentu wajib menjadi
sorotan bagi kita terutama kader-kader dewasa. Secara teori, ketiga hal itu tentu merupakan suatu
privasi yang setiap individu berdaulat atasnya. Akan tetapi, dengan berlandaskan atas asas
kekeluargaan sudah barang tentu saling mengisi dan menasehati adalah bagian terpenting di dalam
menjalankan kehidupan perantauan. Segitiga adalah sebuah kerangka bangunan paling kokoh jika
didasarkan pada presisi setiap bagian bangunannya. Sehingga di antara kuliah, organisasi dan
romantisme tidak condong salah satunya yang kemudian perlahan dapat menghancurkan
keseimbangan kehidupan mahasiswa dalam mencari idealisme.

Terlalu miskin jika mahasiswa kuliah tanpa organisasi.


Terlalu hina jika organisasi hanya menjadi ruang eksklusif dalam mencari ilmu. Dan
Terlalu berharga jika organisasi hanya diisi semangat cinta laki-laki dan wanita.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan permohonan maaf yang
sebesar-besarnya kepada segenap senior-senior FKMT yang masih juga saya ta’dimi dan juga
kepada junior-junior yang selalu saya hargai. Tidak ada maksud apa-apa dalam penulisan ini
kecuali hanya dilandasi kesepian diri dan semangat untuk kembali membangun bersama-sama
organisasi kita dengan label yang lebih bisa memanusiakan manusia dengan motif keprihatinan
nasib Bangsa.

Ngenteni buko, 3 Juni 2019

Anda mungkin juga menyukai