Anda di halaman 1dari 41

SKENARIO “NYERI PERUT”

KELOMPOK : B-10

NAMA NPM
Muhammad Ginaldi Scorpinda (1102013180)
Mutia Khaerani (1102013188)
Regi Tri Hantika (1102014224)
Nadilla Yasinta (1102015154)
Nahdira (1102015155)
Nazhira Nur Amaliya (1102015165)
Raudha Kasmir (1102015190)
Reysaharif Yuansafikri (1102015197)
Rizki Maulana Syukur (1102015203)
Siti Hartina Rahmawati Hasna (1102015224)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2017

I. SKENARIO

0
Nyeri Perut

Nn A, 20 tahun, mengeluh nyeri perut sejak 3 bulan yang lalu. Pada


pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan di epigastrium. Dokter menduga
terdapat gangguan saluran cerna bagian atas, sehingga menganjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan gastroskopi. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan
gastritis dan duodenitis, sehingga dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mengetahui penyebab keadaan tersebut. Pasien diberikan obat dan makanan yang
sesuai untuk mencegah komplikasi dari penyakit tersebut.

II. BRAINSTORMING

1
Kata Sulit
1. Pemeriksaan Gastroskopi
Pemeriksaan pada bagian perut dengan menggunakan endoskop yang
dimasukkan melalui mulut, esofagus dan duodenum.
2. Gastritis
Proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung
3. Duodenitis
Peradangan mukosa duodenum
4. Epigastrium
Daerah abdomen bagian tengah atas yang terletak di dalam angulus
intrasternal

III. Pertanyaan
1. Mengapa terjadi nyeri tekan pada bagian epigastrium?
2. Mengapa dokter menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan
gastroskopi?
3. Apa saja obat dan makanan yang aman untuk pasien ini?
4. Apa komplikasi yang dapat terjadi?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan?
6. Apa penyebab penyakit pada pasien?
7. Apa hasil pemeriksaan gastroskopi yang menunjukkan pasien mengalami
gastritis dan duodenitis?
8. Apa diagnosis pasien?

IV. Jawaban
1. Karena adanya peradangan pada lambung dan duodenum
2. Untuk menegakkan diagnosis dan mengetahui ada atau tidaknya ulkus dan
lokasi ulkus tersebut
3. Diet yang dianjurkan untuk pasien adalah makan dengan porsi sedikit
tetapi sering dan menghindari konsumsi alkohol, kafein, makanan yang
mengandung susu, krim dan makanan pedas.
Obat yang dapat diberikan untuk pasien : Proton Pump Inhibitor (PPI),
antasida
4. Kanker lambung, ulkus peptikum
5. Pemeriksaan bilas lambung, serologi, darah samar, USG, endoskopi
6. Infeksi Helicobacter pylori, sering mengkonsumsi OAINS, peningkatan
sekresi asam lambung
7. Adanya ulkus, eritem
8. Sindroma dispepsia

Hipotesis

2
Infeksi Helicobacter pylori, sekresi asam lambung yang tinggi atau
penggunaan OAINS dalam jangka panjang dapat menimbulkan sindroma
dispepsia. Tanda dan gejala dari sindroma ini adalah nyeri epigastrium, mual,
muntah, kembung. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis diantaranya adalah gastroskopi, pemeriksaan serologi, darah samar,
USG dan endoskopi. Tatalaksana yang dapat diberikan yaitu proton pump
inhibitor (PPI) dan antasida. Pasien dianjurkan untuk menghindari makanan yang
mengandung kafein, asam, alkohol, pedas, susu dan krim.

Sasaran Belajar

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster

3
LO.1.1. Makroskopis
LO.1.2. Mikroskopis

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Gaster


LO.2.1. Proses Pencernaan Makanan
LO.2.2. Mekanisme Sekresi Asam Lambung
LO.2.3. Fungsi Gaster
LO.2.4. Fungsi Asam Lambung
LO.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Pencernaan

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Biokimia Gaster


LO.3.1. Enzim-enzim Pencernaan

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Sindroma Dispepsia


LO.4.1. Definisi Sindroma Dispepsia
LO.4.2. Etiologi Sindroma Dispepsia
LO.4.3. Epidemiologi Sindroma Dispepsia
LO.4.4. Klasifikasi Sindroma Dispepsia
L.O.4.5 Patofisiologi Sindroma Dispepsia
L.O.4.6 Manifestasi Klinis Sindroma Dispepsia
L.O.4.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Sindroma Dispepsia
L.O.4.8 Tatalaksana Sindroma Dispepsia
L.O.4.9 Komplikasi Sindroma Dispepsia
L.O.4.10 Pencegahan Sindroma Dispepsia
L.O.4.11 Prognosis Sindroma Dispepsia

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Gaster


LO.1.1. Makroskopis

4
A. Anatomi Lambung
Lambung terletak pada regio epigastrium sinistra dan hipokondrium
sinistra dan sebagian pada regio umbilical cranio lateral sinistra. Dalam
keadaan kosong lambung menyerupai tambung bentuk J, dan bila penuh,
berbentuk seperti buah pir. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai 2 L.
Pada bagian superior, lambung berbatasan dengan bagian distal esofagus,
sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan duodenum.
Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri
ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.
b. Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura angularis,
suatu lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura minor.
c. Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk lambung.
Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricum. Rongga
pylorus dinamakan canalis pyloricus.
Curvatura minor membentuk pinggir kanan lambung dan terbentuk dari
ostium cardiacum sampai pylorus. Omentum minus terbentang dari curvatura
minor sampai hati. Curvatura major jauh lebih panjang dari curvatura minor
dan terbentang dari sisi kiri ostium cardiacum, melalui kubah fundus dan
kemudian mengitarinya dan menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus.
Ligamentum (omentum) gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura
major sampai limpa, dan omentum majus terbentang dari bagian bawah
curvatura major sampai colon transversum.
Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga
bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung
ke oesophagus.
Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya sekitar
2,5 cm. Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal di sini dan secara
anatomis dan fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Pylorus terletak pada
bagian transpilorica dan posisinya dapat dikenali dengan adanya sedikit
kontraksi pada permukaan lambung. Sphincter pyloricum mengatur kecepatan
pengeluaran isi lambung ke duodenum.
Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan
yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan
makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung
memasuki esofagus kembali. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi,
makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan
mencegah terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung.

5
Membran mukosa lambung tebal, banyak mengandung pembuluh darah
dan terdiri atas lipatan atau rugae yang arahnya longitudinal. Lipatan tersebut
akan memendek bila lambung teregang.
Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut
sirkular dan serabut oblik. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan
paling banyak sepanjang curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam
mengelilingi fundus lambung dan sangat menebal pada pylorus untuk
membentuk sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang sekali ditemukan pada
daerah fundus. Serabut oblik membentuk lapisan otot yang paling dalam.
Serabut ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding anterior dan
posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum mengelilingi
lambung secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda
yang dikenal sebagai omentum.

B. Perdarahan dan Persarafan Gaster


1. Pembuluh Arteri
Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus :
a. Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan
ke atas dan kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun
sepanjang curvatura minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3
bawah oesophagus dan bagian atas kanan gaster.
b. Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir
atas pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini
mendarahi bagian kanan bawah gaster.

6
c. Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi
fundus.
d. Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum
lienale dan berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk
mendarahi gaster sepanjang bagian atas curvatura major.
e. Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang
merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri
dan mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.
2. Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica sinistra dan
dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica brevis dan
V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra
bermuara dalam V.mesenterica superior.
3. Persarafan Gaster
Saraf-saraf lambung, berasal dari plexus symphaticus coeliacus dan dari
N.vagus kanan dan kiri. Truncus vaginalis anterior, yang dibentuk dalam
thorax terutama berasal dari N.vagus kiri. Truncus ini masuk abdomen pada
permukaan anterior oesophagus. Truncus yang mungkin tunggal atau multipel,
kemudian membelah menjadi cabang-cabang yang mempersarafi permukaan
anterior lambung. Rami hepatici berjalan sampai hati dan dari sini ramus
pylorica berjalan turun ke pylorus.

LO.1.2. Mikroskopis
A. Lapisan-lapisan yang menyusun lambung yaitu :
1. Lapisan Mukosa
Lapisan mukosa merupakan lapisan yang tersusun atas lipatan-lipatan
longitudinal, disebut juga rugae. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan,
yakni epitel, lapisan propria, dan muskularis mukosa. Pada epitel
permukaannya menekuk dengan kedalamaan berbeda ke dalam lamina propria
membentuk sumur lambung (gastric pits). Lamina propria tersusun atas
jaringan pengikat longgar diselingi otot polos dan sel-sel limfoid. Juga terdapat
muskularis mukosa, yakni lapisan yang memisahkan mukosa dan submukosa
yang masih merupakan lapisa notot polos (Junquiera dan Carneiro, 2003) .
Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-lekuk
(foveolae gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik.
Kelenjar pada daerah cardiac dan pylorus hanya memproduksi mukus,
sedangkan kelenjar pada daerah corpus dan fundus memproduksi mukus, asam
klorida danenzim proteolitik. Karena itu pada kelenjar corpus dan fundus
ditemukan 3 jenissel, yaitu sel yang memproduksi mukus yaitu sel mukus, sel
yang menghasilkan HCl yaitu sel parietal, sel yang menghasilkan enzim
proteolitik yaitu sel epitel mukosa (Sukirno, 2008).
Lamina propria terdiri atas anyaman serat retikuler dan kolagen, serta
sedikit elastin. Juga anyaman fibrosa yang mengandung limfosit, eosinofil,
selmast, dan sel plasma. Kontraksinya berhubungan dengan pengeluaran sekret
pada mukosa (Bloom dan Fawcett, 2002) .

7
Lapisan muskularis mukosa terdiri atas lapisan otot polos tipis yang
tersusun sirkuler di bagian dalam serta lapisan longitudinal di bagian
luar (Eroschenko, 2003) .
2. Lapisan Submukosa
Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang
menghubungkan lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini
memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik. Pada lapisan
ini banyak mengandung pleksus saraf (Plexus Meissner), pembuluh darah, dan
saluran limfe (Price danWilson, 2006).
3. Lapisan Muskularis Eksterna
Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga
lapis dan bukan dua lapis otot polos : lapisan longitudinal di bagian luar,
lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut
otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang
diperlukan untuk mencegah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil,
mengaduk daan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan
mendorongnya ke arah duodenum.
4. Lapisan Serosa
Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan
muskularis. Merupakan lapisan paling luar yang merupakan bagian dari
peritonium visceralis. Jaringan ikat yang menutupi peritonium visceralis
banyak mengandung sel lemak (Eroschenko, 2003).

B. Histologi Bagian-bagian Lambung


1. Esophagus Cardia

Pada bagian esophagus


cardia terjadi peralihan dari
epitel berlapis gepeng
menjadi epitel selapis
silindris. Saat mencapai
cardia kelenjer esophagus
di submucosa tidak ada
lagi.

2. Fundus Gaster

Mukosa diliputi oleh epitel selapis torak.


Foveola gastrica sepertiga tebal mukosa
(dangkal) sedangkan kelenjernya (fundus) dua
pertiga tebal mukosa, terletak di lamina propria.
Ada beberapa macam kelenjer yang terdapat
disini antara lain :
a. Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)

8
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung dan meluas ke dalam
sumur-sumur atau foveola. Epitel selapis silindris ini berawal di cardia, di
sebelah epitel berlapis gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan diri
menjadi epitel usus (epitel selapis silindris). Pada tepian muka yang
menghadap lumen, terdapat mikrovili gemuk dan pendek-pendek. Mukus
glikoprotein netral yang disekresikan oleh sel-sel epitel permukaan membentuk
lapisan tipis, melindungi mukosa terhadap asam. Tanpa adanya mukus ini,
mukosa akan mengalami ulserasi.
b. Sel zimogen (Chief cell)
Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung, dan menunjukkan ciri-ciri sel
yang mensekresi protein (zimogen). Sel zimogen mengeluarkan pepsinogen,
yang dalam suasana asam di lambung akan diubah menjadi pepsin aktif dan
berfungsi menghidrolisis protein menjadi peptida yang lebih kecil.
c. Sel parietal (oksintik)
Sel ini tersebar satu-satu dalam kelompokan kecil di antara jenis sel lainnya,
mulai dari ismus sampai ke dasar kelenjar lambung, tetapi paling banyak di
daerah leher dan ismus. Pada keadaan isitirahat, terdapat banyak gelembung
tubulosa, dan kenalikuli melebar dengan relatif sedikit mikrovili. Sewaktu
mensekresi asam, mikrovili bertambah banyak dan gelembung tubulosa
berkurang, yang menunjukkan adanya pertukaran membran di antara
gelembung tubulosa di dalam sitoplasma dan mikrovili pada permukaan,
sekresi asam HCl terjadi pada permukaan membran yang luas ini. Sel ini juga
mensekresikan faktor intrinsik, suatu glikoprotein yang terikat dengan vitamin
B12 dan membantu absorbsi vitamin ini di usus halus. Vitamin B 12 diperlukan
untuk pembentukan sel darah merah. Kekurangan vitamin B12 akibat kurangnya
faktor ini dapat menyebabkan anemia pernisiosa.
d. Sel mukus leher
Sel ini terletak di daerah leher kelenjar lambung, dalam kelompok kecil atau
satu-satu. Bentuknya cenderung tidak teratur, seakan-akan terdesak oleh sel-sel
disekitarnya (terutama sel parietal). Sel ini memiliki mikrovili apikal yang
gemuk dan pendek berisi filamen halus yang tampak kabur. Sel ini
menghasilkan mukus asam, berbeda dengan mukus netral yang dibentuk oleh
sel mukus permukaan.
e. Sel enteroendokrin
Beberapa jenis sel enteroendokrin ditemukan di dalam kelenjar lambung.
Sel-sel ini berjumlah banyak, terutama di daerah antrum pylorik, dan umumnya
ditemukan pada dasar kelenjar. Sel-sel enteroendokrin serupa dengan sel
endokrin yang mensekresi peptida. Sel ini juga ditemukan di dalam epitel usus
halus dan besar, kelenjar oesophagus bagian bawah (cardia), dan dalam jumlah
terbatas pada ductus utama hati dan pankreas.
Sel enteroendokrin menghasilkan beberapa hormon peptida murni (sekretin,
gastrin, kolesitokinin); semuanya melalui peredaran darah untuk mencapai
organ sasaran pankreas, lambung, dan kandung empedu. Walaupun sistem saraf
mengendalikan aktivitas sekretoris dan gerakan otot dalam saluran cerna,
terdapat interaksi yang rumit dengan kebanyakan hormon yang dihasilkan oleh
sel enteroendokrin ini.

9
3. Pylorus

Memiliki foveola gastrica yang lebih


dalam. Sel-sel kelenjer hamper homogeny,
semua sel mucus kelenjer pylorus sering
berkelok-kelok di dalam lamina propria.
Tunika muskularis dengan lapisan sirkular
amat tebal membentuk sfingter.

4. Gaster Duodenum

Tunika mukosa epitel


selapis torak pada gaster
akan memiliki sel goblet
ketika memasuki daerah
duodenum.

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Gaster


LO.2.1. Proses Pencernaan Makanan

10
Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian lambung/gastric filling,
(2) penyimpanan lambung/gastric storage, (3) pencampuran lambung/gastric
mixing, dan (4) pengosongan lambung/gastric emptying.
1. Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan.
Akomodasi perubahan volume yang besarnya hingga 20 kali lipat tersebut akan
menimbulkan ketegangan pada dinding lambung dan sangat meningkatkan
tekanan intralambung jika tidak terdapat dua faktor berikut ini:
a. Plastisitas otot lambung. Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos
lambung mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang panjang
yang lebar, tidak seperti otot rangka dan otot jantung, yang
memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan demikian, saat serat-serat
otot polos lambung teregang pada pengisian lambung, serat-serat tersebut
melemas tanpa menyebabkan peningkatan ketegangan otot.
b. Relaksasi reseptif lambung. Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks
lambung sewaktu menerima makanan. Relaksasi ini meningkatkan
kemampuan lambung mengakomodasi volume makanan tambahan dengan
hanya sedikit mengalami peningkatan tekanan. Tentu saja apabila lebih
dari 1 liter makanan masuk, lambung akan sangat teregang dan individu
yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif dipicu oleh
tindakan makan dan diperantarai oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom
dan berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung
di daerah fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial
gelombang lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju
sphincter pylorus dengan kecepatan tiga gelombang per menit. Pola
depolarisasi spontan ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar atau BER (basic
electrical rhythm) lambung, berlangsung secara terus menerus dan mungkin
disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.
Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan
corpus lalu ke antrum dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan
corpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut lemah. Pada saat
mencapai antrum, gelombang menjadi jauh lebih kuat disebabkan oleh lapisan
otot di antrum yang jauh lebih tebal.
Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat,
makanan yang masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif tenang
tanpa mengalami pencampuran. Daerah fundus biasanya tidak menyimpan
makanan, tetapi hanya berisi sejumlah gas. Makanan secara bertahap
disalurkan dari corpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran
makanan.
3. Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan
bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap
gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke depan ke arah sphincter
pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas keluar, gelombang
peristaltik sudah mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan sphincter

11
tersebut berkontraksi lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran
kimus lebih lanjut ke dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum yang
terdorong ke depan, tetapi tidak dapat didorong ke dalam duodenum dengan
tiba-tiba berhenti pada sphincter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam
antrum, hanya untuk didorong ke depan dan tertolak kembali pada saat
gelombang peristaltik yang baru datang. Gerakan maju-mundur tersebut, yang
disebut retropulsi, menyebabkan kimus bercampur secara merata di antrum.
4. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung
juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah
kimus yang lolos ke dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik
sebelum sphincter pylorus tertutup erat terutama bergantung pada kekuatan
peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat bervariasi di bawah
pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan demikian,
pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung.
Faktor lambung utama yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah
kimus di dalam lambung. Apabila hal-hal lain setara, lambung mengosongkan
isinya dengan kecepatan yang sesuai dengan volume kimus setiap saat.
Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas lambung melalui efek
langsung peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan plexus intrinsik,
nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu, derajat keenceran
(fluidity) kimus di dalam lambung juga mempengaruhi pengosongan lambung.
Semakin cepat derajat keenceran dicapai, semakin cepat isi lambung siap
dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung.
Walaupun terdapat pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang lebih
penting untuk mengontrol kecepatan pengosongan lambung. Duodenum harus
siap menerima kimus dan dapat bertindak untuk memperlambat pengsongan
lambung dengan menurunkan aktivitas peristaltik di lambung sampai
duodenum siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan, sewaktu lambung
teregang dan isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak dapat
mengosongkan isinya sampai duodenum siap menerima kimus baru.

LO.2.2. Mekanisme Sekresi Asam Lambung


Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung
lambung yang kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi
lambung turun sampai serendah 2 akibat sekresi HCl. Ion hidrogen dan ion
klorida secara aktif ditansportasikan oleh pompa yang berbeda di membran
plasma parietal. Ion hidrogen secara aktif dipindahkan melawan gradien
konsentrasi karena itu diperlukan banyak energi, sel-sel parietal memiliki
banyak mitokondria. Klorida juga disekresikan secara aktif tetapi melawan
gradien kosentrasi jauh lebih kecil.
Ion hidrogen yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal
dari proses-proses metabolisme di dalam sel parietal. Apabila disekresikan,
netralitas interior di pertahankan oleh pembentukan dari asam karbonat untuk
menggantikan yang keluar tersebut.

12
H2O +CO2 dibantu oleh Carbonat Anhidrase
menjadi H2CO3-

H+ masuk ke lumen lambung melalui H+K+ATPase

HCO3 bertukar dengan Cl- di plasma
-


H berikatan dengan Cl-
+


Membentuk HCl

LO.2.3. Fungsi Gaster


Fungsi Lambung :
1. Menyimpan makanan yang masuk untuk nantinya disalurkan ke usus halus.
2. Lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCl) dan enzim yang memulai
pencernaan protein.
3. Gerakan pencampuran makanan dengan sekresi lambung utnuk
menghasilkan campuran cairan kental yang disebut kimus.
Berikut ini empat aspek motilitas lambung :
1. Pengisian lambung melibatkan relaksasi reseptif
Ketika kosong lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi volume
dapat bertambah hingga 1 L saat makan. Peningkatan volume ini tidak
mengalami perubahan tegangan di dindingnya dan sedikit peningkatan tekanan
intralambung dikarenakan adanya relaksasi reseptif. Mekanisme relaksasi
reseptif yaitu ketika kita makan lipatan-lipatan di dalam lambung menjadi lebih
kecil dan nyaris mendatar sewaktu lambung sedikit melemas setiap kali
makanan masuk. Namun, jika makanan yang ditampung lebih dari 1 L maka
lambung melangami peregangan yang berlebihan dan tekanan intralambung
meningkat sehingga timbul rasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif diperantai
oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan makanan di corpus fagus

13
Kontraksi pada daerah fundus dan corpus lemah ini dikarenakan lapisan
otot yang tipis. Karena kontraksi yang lemah ini maka makanan disimpan di
bagian korpus yang relatif lebih tenang tanpa mengalami pencampuran.
Sedangkan, pada daerah fundus biasanya tidak menyimpan makanan tetapi
hanya mengandung kantung gas.
3. Pencampuran makanan berlangsung di antrum
Kontraksi peristaltik antrum yang kuat mencampur makanan dengan
sekresi lambung untuk menghasilkan kimus. Gelombang peristaltik
menyebabkan kimus terdorong ke sfingter pilorus. Akan tetapi, kontraksi tonik
sfingter pilorus menyebabkan sfingter ini nyaris tertutup mengakibatkan lubang
yang kecil untuk dilewati kimus kental. Maka untuk melewatinya kimus harus
didorong dengan gerak peristaltik antrum yang kuat. Masa kimus antrum yang
terdorong maju tetapi tidak dapat masuk ke duodenum tertahan mendadak di
sfingter yang tertutup dan memantul kembali ke antrum. Gerak maju mundur
ini mencampur kimus secara merata di antrum.
4. Pengosongan lambung umumnya dikontrol oleh faktor di duodenum

Fungsi Pencernaan dan Sekresi


1. Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus
(massa homogen setengah cair berkadar asam tinggi yang berasal dari
bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum.
2. Digesti protein. Lambung mulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan
asam klorida.
3. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barrier
setebal 1 mm untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan
sekresinya sendiri.
4. Produksi faktor intrinsik : faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi
sel parietal. Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna di lambung,
terikat pada faktor intrinsik. Kompleks faktor intrinsik vitamin B12 dibawa
ke ileum usus halus, tempat vitamin B12 diabsorbsi.
5. Absorbsi, nutrien yang berlangsung dalam lambung hanya sedikit. Beberapa
obat larut lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding lambung. Zat
terlarut dalam air terabsorbsi dalam jumlah yang tidak jelas.

LO.2.4. Fungsi Asam Lambung


Meskipun HCl tidak mencerna apapun, zat ini melakukan fungsi-fungsi
spesifik yang membantu pencernaan :
1. HCl mengaktifkan prekursor enzim pepsinogen menjadi enzim aktif,
pepsin dan membentuk medium asam yang optimal bagi aktivitas pepsin
2. Membantu memecahkan jaringan ikat dan serat otot, mengurangi ukuran
partikel makanan besar menjadi lebih kecil
3. Menyebabkan denaturasi protein, yaitu menguraikan protein dari bentuk
akhirnya yang sangat berlipat sehingga ikatan peptida lebih terpajan ke
enzim
4. Bersama lisozim liur, HCl mematikan sebagian besar mikroorganisme
yang tertelan bersama makanan, meskipun sebagian tetap lolos dan tetap
tumbuh dan bermultiplikasi di usus besar.

14
Tabel 2-1. Stimulasi Sekresi
Lambung

LO.2.5. Faktor
yang
Mempengaruhi
Pencernaan
Kontrol sekresi
lambung
1. Fase sefalik
Memikirkan,
mencicipi,
mencium,
mengunyah dan
menelan
makanan
meningkatkan sekresi lambung oleh aktivitas vagus melalui dua cara:
a. Stimulasi vagus tehadap plexus intrinsik mendorong peningkatan
sekresi Ach, yang menyebakan peningkatan sekresi HCl.dan
pepsinogen oleh sel sekretorik.
b. Stimulus vagus pada sel G di dalam area kelenjar pilorus (PGA)
menyebabkan pembebasan gastrin, yang dapat menyebakan
peningkatan sekresi HCl dan pepsinogen, dengan efek HCl mengalami
potensiasi (diperkuat) oleh pelepasan histamin yang dipicu gastrin.
2. Fase Lambung
Rangsangan yang bekerja di lambung yaitu protein khususnya potongan
peptida, peregangan, kafein dan alkohol meningkatkan sekresi lambung melalui
jalur eferen yang tumpan tindih. Contoh, protein di lambung merangssang
kemoreseptor yang mengaktifkan pleksus saraf intrinsik yang akan merangsang
sel sekretorik dan pengaktifan serat vagus ekstrinsik ke lambung. Aktivitas
vagus dan protein memicu pelepasan gastrin. Gastrin merangsang sekresi HCl
dan pepsinogen lalu menyebabkan pengeluaran histamin.
3. Fase usus
Fase ini bersifat inhibitor yaitu menghentikan aliran getah lambung seaktu
kimus milai mengalir ke dalam usus halus.
a. Sewaktu makanan mengalir ke duodenum, protein di lambung lenyap.
b. pH lambung menurun karena makanan meninggalkan lambung dan
tidak adanya protein di lumen. Ini mengakibatkan perangsangan
somatostatin.
c. Refleks enterogastrik dan enterogastron menekan sel-sel sekretorik
lambung sementara keduanya secara bersamaan mengurangi
eksitabilitas sel otot polos lambung.

15
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Pengosongan Lambung
1. Volume Kimus
Faktor utama di lambung yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah
jumlah kimus di lambung. Jika hal-hal lain setara maka lambung
mengosongkan isinya dengan kecepatan yang sebanding dengan volume kimus
di dalamnya setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas
lambung melalui efek langsung peregangan pada otot polos serta melalui
keterlibatan pleksus intrinsic, saraf vagus, dan hormone lambung gastrin.
2. Derajat Fluiditas (Keenceran)
Derajat fluiditas kimus di lambung mempengaruhi pengosongan lambung.
Isi lambung harus diubah menjadi bentuk cair kental merata sebelum
disalurkan ke duodenum. Semakin cepat tingkat keenceran yang sesuai
tercapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.
3. Lemak, Asam, Hipertonisitas dan Peregangan Duodenum
Lemak dicerna dan diserap lebih lambat daripada nutrient lain. Selain itu,
pencernaan dan penyerapan lemak berlangsung hanya di dalam lumen usus
halus. Karena itu, ketika lemak sudah ada di duodenum, pengosongan lambung
lebih lanjut ke duodenum terhenti sampai usus halus selesai memproses lemak
yang ada di dalamnya.
Asam, karena lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCl), maka kimus
yang masuk ke duodenum sangat asam. Kimus ini dinetralkan oleh natrium
bikarbonat yang disekresikan ke dalam lumen duodenum terutama dari
pancreas. Asam yang belum dinetralkan akan mengiritasi mukosa duodenum
dan menginaktifkan enzim-enzim pencernaan pancreas yang disekresikan ke
dalam lumen duodenum.
Sewaktu molekul-molekul protein dan tepung dicerna di lumen duodenum
terjadi pembebasan sejumlah besar molekul asam amino dan glukosa. Jika
penyerapan molekul asam amino dan glukosa ini tidak mengimbangi kecepatan
pencernaan protein dan karbohidrat maka sejumlah besar molekul akan tetap
berada di kimus dan meningkatkan osmolaritas duodenum. Akibat dari
peningkatan osmolaritas ini dapat menyebabkan air dari plasma berdifusi
menembus dinding duodenum. Air dalam jumlah besar yang masuk ke usus
dari plasma akan menyebabkan peregangan usus dan, yang lebih penting,
gangguan sirkulasi karena berkurangnya volume plasma. Untuk mencegah
efek-efek ini, pengosongan lambung secara reflex dihambat jika osmolaritas isi
duodenum mulai meningkat.
Peregangan yang berlebihan pada duodenum terjadi jika kimus terlalu
banyak yang menghambat pengosongan isi lambung lebih lanjut agar
duodenum memiliki waktu untuk memproses kelebihan volume kimus yang
sedang ditampungnya sebelum duodenum menerima kimus tambahan.
4. Emosi
Faktor lain yang tidak berkaitan dengan sistem pencernaan, misalnya emosi,
juga dapat mengubah motilitas lambung dengan bekerja melalui saraf otonum

16
untuk memengaruhi derajat eksitabilitas otot polos lambung. Kesedihan dan
rasa takut umumnya cenderung mengurangi motilitas, sementara kemarahan
dan agresi cenderung meningkatkannya.
5. Nyeri Hebat

Efek pada motilitas


Faktor Cara regulasi dan pengosongan
lambung

Volume kimus Peregangan menimbulkan Peningkatan volume


efek langsung pada merangsang motilitas
eksitabilitas otot polos dan pengosongan
lambung, serta bekerja
melalui oleksus intrinsik,
saraf vagus dan gastrin.

Derajat fluiditas Efek langsung; isi harus Peningkatan fluiditas


(keenceran) berbentuk cair sebelum mempercepat
dievakuasi. pengosongan.

Adanya lemak, Memulai refleks Faktor-faktor ini


asam, hipertonisitas enterogastrik atau memicu menghambat motilitas
atau peregangan. pelepasan enterogastron dan pengosongan
(kolesistokinin,sekretin) lambung lebih lanjut
sampai duodenum
mengatasi faktor yang
ada.

Emosi Mengubah keseimbangan Merangsang atau


otonom menghambat motilitas
dan pengosongan

Nyeri hebat Menigkatkan saraf simpatis Menghambat motilitas


dan pengsongan

Nyeri hebat dari bagian tubuh manapun cenderung menghambat motilitas,


tidak hanya di lambung tetapi di seluruh saluran cerna. Respons ini
ditimbulkan oleh peningkatan aktivitas simpatis.

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Biokimia Gaster


LO.3.1. Enzim-enzim Pencernaan
Peran enzim-enzim pencernaan

17
Pencernaan makanan secara kimiawi terjadi dengan bantuan zat kimia
tertentu. Enzim pencernaan merupakan zat kimia yang berfungsi memecahkan
molekulbahan makanan yang kompleks dan besar menjadi molekul yang lebih
sederhanadan kecil. Molekul yang sederhana ini memungkinkan darah dan
cairan getah bening ( limfe ) mengangkut ke seluruh sel yang membutuhkan.
Secara umum enzim memiliki sifat : bekerja pada substrat tertentu,
memerlukansuhu tertentu dan keasaman (pH) tertentu pula. Suatu enzim tidak
dapat bekerjapada substrat lain. Molekul enzim juga akan rusak oleh suhu yang
terlalu rendahatau terlalu tinggi. Demikian pula enzim yang bekerja pada
keadaan asam tidakakan bekerja pada suasana basa dan sebaliknya. Macam-
macam enzim pencernaan yaitu:

1. Enzim ptyalin
Enzim ptialin terdapat di dalam air ludah, dihasilkan oleh kelenjar ludah.
Fungsi enzim ptialin untuk mengubah amilum (zat tepung) menjadi glukosa .
2. Enzim amylase
Enzim amilase dihasilkan oleh kelenjar ludah ( parotis ) di mulut dan
kelenjar pankreas. Kerja enzim amilase yaitu : Amilum sering dikenal dengan
sebutan zat tepung atau pati. Amilum merupakan karbohidrat atau sakarida
yang memiliki molekul kompleks. Enzim amylase memecah molekul amilum
ini menjadi sakarida dengan molekul yang lebih sederhana yaitu maltosa.
3. Enzim maltase
Enzim maltase terdapat di usus dua belas jari, berfungsi memecah molekul
maltosa menjadi molekul glukosa . Glukosa merupakan sakarida sederhana
(monosakarida ). Molekul glukosa berukuran kecil dan lebih ringan dari
padamaltosa, sehingga darah dapat mengangkut glukosa untuk dibawa ke
seluruh selyang membutuhkan.
4. Enzim pepsin
Enzim pepsin dihasilkan oleh kelenjar di lambung berupa pepsinogen.
Selanjutnya pepsinogen bereaksi dengan asam lambung menjadi pepsin.
Carakerja enzim pepsin yaitu : Enzim pepsin memecah molekul protein yang
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yaitu pepton. Molekul pepton
perlu dipecah lagi agar dapat diangkut oleh darah.
5. Enzim tripsin
Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan dialirkan ke dalam usus
dua belas jari (duodenum). Cara kerja enzim tripsin yaitu: Asam amino
memiliki molekul yang lebih sederhana jika dibanding molekul pepton.
Molekul asam amino inilah yang diangkut darah dan dibawa ke seluruhsel
yang membutuhkan. Selanjutnya sel akan merakit kembali asam amino-asam
amino membentuk protein untuk berbagai kebutuhan sel.
6. Enzim renin
Enzim renin dihasilkan oleh kelenjar di dinding lambung. Fungsi enzim
renin untuk mengendapkan kasein dari air susu. Kasein merupakan protein

18
susu, sering disebut keju. Setelah kasein diendapkan dari air susu maka zat
dalam air susudapat dicerna.
7. Asam khlorida (HCl)
Asam khlorida (HCl) sering dikenal dengan sebutan asam lambung,
dihasilkanoleh kelenjar didalam dinding lambung. Asam khlorida berfungsi
untukmembunuh mikroorganisme tertentu yang masuk bersama-sama
makanan.Produksi asam khlorida yang tidak stabil dan cenderung berlebih,
dapat menyebabkan radang lambung yang sering disebut penyakit ”mag”.
8. Cairan empedu
Cairan empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung dalam kantong empedu.
Empedu mengandung zat warna bilirubin dan biliverdin yang menyebabkan
kotoran sisa pencernaan berwarna kekuningan. Empedu berasal dari
rombakansel darah merah (erithrosit) yang tua atau telah rusak dan tidak
digunakan untuk membentuk sel darah merah yang baru. Fungsi empedu yaitu
memecah molekul lemak menjadi butiran-butiran yang lebih halus sehingga
membentuk suatu emulsi . Lemak yang sudah berwujud emulsi ini selanjutnya
akan dicerna menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana lagi.
9. Enzim lipase
Enzim lipase dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan kemudian dialirkan ke
dalam usus dua belas jari (duodenum). Enzim lipase juga dihasilkan oleh
lambung, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Cara kerja enzim lipase yaitu : Lipid
(seperti lemak dan minyak) merupakan senyawa dengan molekul kompleks
yang berukuran besar. Molekul lipid tidak dapat diangkut oleh cairan getah
bening, sehingga perlu dipecah lebih dahulu menjadi molekul yang lebih kecil.
Enzim lipase memecah molekul lipid menjadi asam lemak dan gliserol yang
memiliki molekul lebih sederhana dan lebih kecil. Asam lemak dan gliserol
tidak larut dalam air, maka pengangkutannya dilakukan oleh cairan getah
bening (limfe ).

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Sindroma Dispepsia


LO.4.1. Definisi Sindroma Dispepsia
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein
(pencernaan). Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical
Investigations, dispepsia didefinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman
yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas.
Sindroma dispepsia merupakan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat
kenyang, rasa perut penuh, sendawa.

LO.4.2. Etiologi Sindroma Dispepsia


Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan
dispepsia fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus
peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas,
iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia
fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.

19
LO.4.3. Epidemiologi Sindroma Dispepsia
1. Umur
Dispepsia terdapat pada semua golongan umur dan yang paling beresiko
adalah diatas umur 45 tahun. Penelitian yang dilakukan di Inggris ditemukan
frekuensi anti Helicobacter pylori pada anak-anak di bawah 15 tahun kira-kira
5% dan meningkat bertahap antara 50%-75% pada populasi di atas umur 50
tahun. Di Indonesia, prevalensi Helicobacter pylori pada orang dewasa antara
lain di Jakarta 40-57% dan di Mataram 51%-66%.3
2. Jenis Kelamin
Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki.
Perbandingan insidennya 2 : 1.5 Penelitian yang dilakukan Tarigan di RSUP.
Adam Malik tahun 2001, diperoleh penderita dispepsia fungsional laki-laki
sebanyak 9 orang (40,9%) dan perempuan sebanyak 13 orang (59,1%).
3. Etnik
Di Amerika, prevalensi dispepsia meningkat dengan bertambahnya usia,
lebih tinggi pada kelompok kulit hitam dibandingkan kelompok kulit putih. Di
kalangan Aborigin frekuensi infeksi Helicobacter pylori lebih rendah
dibandingkan kelompok kulit putih, walaupun kondisi hygiene dan sanitasi
jelek. Penelitian yang dilakukan Tarigan di Poliklinik penyakit dalam sub
bagian gastroenterology RSUPH. Adam Malik Medan tahun 2001, diperoleh
proporsi dispepsia fungsional pada suku Batak 10 orang (45,5%), Karo 6 orang
(27,3%), Jawa 4 orang (18,2%), Mandailing 1 orang (4,5%) dan Melayu 1
orang (4,5%). Pada kelompok dispepsia organik, suku Batak 16 orang (72,7%),
Karo 3 orang (13,6%), Nias 1 orang (4,5%) dan Cina 1 orang (4,5%).15
4. Golongan Darah
Golongan darah yang paling tinggi beresiko adalah golongan darah O yang
berkaitan dengan terinfeksi bakteri Helicobacter pylori.
LO.4.4. Klasifikasi Sindroma Dispepsia

20
Batasan dispepsia terbagi atas dua yaitu:
1. Dispepsia organik, dyspepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Dispepsia organic dikategorikan menjadi :
a. Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia).
Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri di ulu hati.
Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan,
pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya
dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak
lambung atau di duodenum.
b. Dispepsia bukan tukak.
Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan
pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan
tanda-tanda tukak.
c. Refluks gastroesofageal.
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di dada dan
regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan
tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat
disebut sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.
d. Penyakit saluran empedu.
Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa
nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung
dan bahu kanan.
e. Karsinoma.
Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma
dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan
bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang
menurun.
f. Pankreatitis.
Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa
makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma
dispepsi juga ada.
g. Dispepsia pada sindroma malabsorbsi.
Pada penderita ini—di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut,
nausea, anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang
mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan.
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di
daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat
golongan NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis,
antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh
karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan
dispepsia.
i. Gangguan metabolisme.
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan
lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan
lekas kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut
dan vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas

21
lambung. Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea,
vomitus, dan anoreksia.

2. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus
(DNU), Dispepsia yang tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional dibagi
atas 3 sub grup yaitu:
a. Dispepsia mirip ulkus (ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominan
adalah nyeri ulu hati;
b. Dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) bila gejala
dominan adalah kembung, mual, cepat kenyang
c. Dyspepsia non-spesific

L.O.4.5 Patofisiologi Sindroma Dispepsia


Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial
berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung,
infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas
viseral.
1. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat sekresi
asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan
stimulasi pentagastrin. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
2. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia
fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima.
3. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada
dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
adanya hipomotilitas antrum. Tapi harus dimengerti bahwa proses
motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks,
sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak dapat mutlak mewakili hal
tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor,
termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan
studi, tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral
terhadap disetensi balon di gaster atau duodenum.
5. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya
neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian
proximal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan
gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung
pada pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa
kasus dispepsia fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.
7. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan,
progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot
polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

22
8. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih
sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal
dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus
stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi
autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan
kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini,
walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa
kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan
psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas,
zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres,
pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong,
kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan
antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan
peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam
pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls
muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.

23
L.O.4.6 Manifestasi Klinis Sindroma Dispepsia
a. Nyeri perut (abdominal discomfort),
b. Rasa perih di ulu hati,
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah,
d. Nafsu makan berkurang,
e. Rasa lekas kenyang,
f. Perut kembung,
g. Rasa panas di dada dan perut,
h. Regurgitasi (keluar cairan dari gaster secara tiba-tiba).

Klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang dominant


membagi dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia akibat gangguan motilitas
Perasaan kembung, rasa penuh ulu hati stelah makan, cepat merasa
kenyang disertai sendawa.
2. Dispepsia akibat refluks
Perasaan nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar.
3. Dispepsia akibat tukak
Tukak peptik memberikan keluhan nyeri ulu hati, rasa tidak nyaman
disertai muntah.
Tukak duodeni rasa sakit timbul saat pasien merasa lapar, rasa sakit dapat
hilang setelah makan dan minum obat antasida. Sedangkan tukak gaster,
rasa sakit timbul stelah makan dan rasa sakit disebelah kiri.
Tukak akibat obat OAINS/ usia lanjut biasanya tidak menimbulkan
keluhan, hanya diketahui bila terjadi komplikasi.
4. Dispepsia tidak spesifik.

Gambaran alarm sign untuk dispepsia :


Umur ≥ 45 tahun (onset baru)
Perdarahan dari rektal atau melena
Penurunan berat badan >10%
Anoreksia
Muntah yang persisten
Anemia atau perdarahan
Massa di abdomen atau limfadenopati
Disfagia yang progresif atau odinofagia
Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas

Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya


Riwayat ulkus peptikum
Kuning (Jaundice)
L.O.4.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Sindroma Dispepsia

24
Cara mendiagnosis sindrom dispepsia yaitu :
A. Anamnesis
Menganamnesa secara teliti dapat memberikan gambaran keluhan yang
terjadi, karakteristik dan keterkaitannya dengan penyakit tertentu, keluhan bisa
bersifat lokal atau bisa sebagai manifestasi dari gangguan sistemik. Harus
menyamakan persepsi antara dokter dengan pasien untuk menginterpretasikan
keluhan tersebut.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra
lumen yang padat misalnya: tumor, organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai
dengan adanya rangsangan peritoneal/peritonitis.
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi
seperti lekositosis, pankreatitis (amilase/lipase) dan keganasan saluran
cerna.
2. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan
seperti: batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hepatis dan sebagainya.
3. Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi) sangat dianjurkan bila
dispepsia itu disertai oleh keadaan yang disebut alarm symtomps yaitu
adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan
adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung
lama dan terjadi pada usia lebih dari 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah
pada gangguan organik terutama keganasan, sehingga memerlukan
eksplorasi diagnosis secepatnya. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi
dengan akurat adanya kelainan struktural atau organik intra lumen saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak/ulkus, tumor dan sebagainya, juga
dapat disertai pengambilan contoh jaringan (biopsi) dari jaringan yang
dicurigai untuk memperoleh gambaran histopatologiknya atau untuk
keperluan lain seperti mengidentifikasi adanya kuman Helicobacter pylori.
4. Pemeriksaan radiologi dapat mengidentifikasi kelainan struktural
dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
gambaran yang mengarah ke tumor. Pemeriksaan ini bermanfaat terutama
pada kelainan yang bersifat penyempitan/stenotik/obstruktif dimana skop
endoskopi tidak dapat melewatinya.
5. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif.
Akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan
diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek
samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi pasien yang berat
sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma
dispepsia terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas,
kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan di oesophagus dan lambung.
6. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus
dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
muntah, penurunan berat badan ataumengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan.
7. Rapid Urea Test yaitu tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea.
Enzim urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat,membuat
suasana menjadi basa,yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi

25
dari mukosa lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau
medium padat yang mengandung urea dan pH indikator, jika
terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut maka akan diubah menjadi
ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna.
8. Histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4 sampel untuk
2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3 kuadran dari dasar,
pinggir dan sekitar tukak (min. 6 sampel).
9. Urea breath test, mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan
urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondiokasida diproduksi di dalam
perut dan diarbsobsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan
akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan.
10. Stool Antigen test digunakan untuk mengidentifikasikan adanya infeksi
H.pylori melalui mendeteksi keadaan antigen H.pylori dalam feces.

D. Diagnosis Banding
1. Dispepsia non ulcer atau dispepsia idiopatik adalah dispepsia kronis atau
berulang berlangsung lebih dari 1 bulan dan sedikitnya selama 25 % dalam
kurun waktu tersebut gejala dispepsia muncul, tidak ditemukan penyakit
organik yang bisa menerangkan gejala tersebut secara klinis, biokimia,
endoskopi (tidak ada ulkus,tidak ada oesofagitis dan tidak ada keganasan)
atau radiografi
2. Gastritis, merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat
akut,kronik,difus atau loka,.Gejala-gejalanya tidak khas dapat berupa nyeri
dan panas pada uluhati diserta mual dan muntah.Diagnosa ditegakkan
dengan endoskopi.Didapatkan mukosa memerah,edematosa ditutpi oleh
mukus yang melekat.
3. Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di
dada, perut kembung, perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard
dinding inferior juga sering memberikan keluhan rasa sakit perut di atas,
mual, kembung, kadang-kadang penderita angina mempunyai keluhan
menyerupai refluks gastroesofageal.
4. Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus
halus, akan sering memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut
sering ditemukan pada penderita SLE, terutama yang banyak mengkonsumsi
kortikosteroid.
5. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

26
dapat menjadi salah satu diagnosis banding. Umumnya, penderita penyakit
ini sering melaporkan nyeri abdomen bagian atas epigastrum/ulu hati yang
dapat ataupun regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel
syndrome (IBS) yang ditandai dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren,
yang berhubungan dengan buang air besar (defekasi) yang tidak teratur dan
perut kembung. Kurang lebih sepertiga pasien dispepsia fungsional
memperlihatkan gejala yang sama dengan IBS. Sehingga dokter harus selalu
menanyakan pola defekasi kepada pasien untuk mengetahui apakah pasien
menderita dispepsia fungsional atau IBS. Pankreatitis kronik juga dapat
dipikirkan. Gejalanya berupa nyeri abdomen atas yang hebat dan konstan.
Biasanya menyebar ke belakang. Obat-obatan juga dapat menyebabkan
sindrom dispepsia, seperti suplemen besi atau kalium, digitalis, teofilin,
antibiotik oral, terutama eritromisin dan ampisilin. Mengurangi dosis
ataupun menghentikan pengobatan dapat mengurangi keluhan dispepsia.
Penyakit psikiatrik juga dapat menjadi penyebab sindrom dispesia. Misalnya
pada pasien gengan keluhan multisistem yang salah satunya adalah gejala di
abdomen ternyata menderita depresi ataupun gangguan somatisasi.
Gangguan pola makan juga tidak boleh dilupakan apalagi pada pasien usia
remaja dengan penurunan berat badan yang signifikan. Diabetes Mellitus
(DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul
keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Lebih
jauh diabetik radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri
abdomen bagian atas. Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan
hiperkalsemia juga dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.
Penyakit jantung iskemik kadang-kadang timbul bersamaan dengan gejala
nyeri abdomen bagian atas yang diinduksi oleh aktivitas fisik. Nyeri dinding
abdomen yang dapat disebabkan oleh otot yang tegang, saraf yang tercepit,
ataupun miositis dapat membingungkan dengan dispepsia fungsional.
Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan
menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan meregangkan otot-otot abdomen.

L.O.4.8 Tatalaksana Sindroma Dispepsia

27
A. Terapi Farmakologi
1. Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya
tinggi. Karbon dioksida yang terbentuk dalam lambung dapat menimbulkan
sendawa. Distensi lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi.
Selain menimbulkan alkalosis metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi
natrium dan edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai
antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi
urin, dan pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk
tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq
asam. Dosis yang dianjurkan 1-4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO 3 atau
CaCO3 bersama susu atau krim pada pengobatan tukak peptik dapat
menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrom)
2. Antasid Non-sistemik
a. Aluminium hidroksida-- Al(OH)3
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling
panjang. Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan
obat yang tidak larut lainnya. Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya
dapat bereaksi dengtan fosfat membentuk aluminium fosfat yang sukar
diabsorpsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat melalui urin berkurang
sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan
protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al tidak banyak
dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat
demulsen dan adsorben.
Efek samping : Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi
dengan memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi.
Gangguan absorbsi fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi
fosfat disertai osteomalasia. Al(OH)3 dapat mengurangi absorbsi bermacam-
macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH)3 lebih sering menyebabkan konstipasi
pada usia lanjut.

28
Indikasi : Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik,
nefrolitiasis fosfat dan sebagai adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia
dalam bentuk suspensi Al(OH)3 gel yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis
yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam bentuk tablet Al(OH) 3 yang
mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam.
Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.
b. Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya
cepat, maka daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan
saluran cerna dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena
tersebut bukan berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja
langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel
parietal mengeluarkan HCl (H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada malam
hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini.
Efek samping : hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia,
terutama terjadi pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan
antasid lain (milk alkali syndrom).Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk
tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21
mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.
c. Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini
praktis, tidak larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl
membentuk MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl
akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl yang disekresi
belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat
sama efektif dalam hal menetralkan HCl.Ion magnesium dalam usus akan cepat
diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal, hal ini akan membahayakan
pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang diabsorbi akan
bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria, tetapi
jarang alkalosis.

29
Efek samping : Pemberian kronik magnesium hidroksida akan
menyebabkan diare akibat efek katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak
diabsorbsi, tetapi tetap berada dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-
10% magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologik,
neuromuskular, dan kardiovaskular.
d. Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi
dalam lambung sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi
menutup tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi
melalui usus dan dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat
merupakan adsorben yang baik; tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga
protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium trisiklat lambat, untuk
menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan untuk
menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.
Efek samping : Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare.
Banyak dilaporkan terjadi batu silikat setelah penggunaan kronik magnesium
trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya yang dapat
menimbulakan toksisitas yang khas, kurang beralasan mengunakan obat ini
sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang
dianjurkan 1-4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang
mengandung sekurang-kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu
gram magnesium trisiklat dapat menetralkan 13-17 mEq asam.
3. Obat Penghambat Sekresi Lambung
a. Penghambat pompa proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung
yang lebih kuat dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam
lambung, lebih distal dari AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah
omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan
antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci piridin dan/atau
benzimidazol. Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan S.

30
Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang
mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik : Penghambat pompa proton adalah prodrug yang
memebutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk
ke sirkulasi sistemik, obat ini akan berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di
kanalikuli sekretoar, dan mengalami aktivasi di situ membentuk sulfonamid
tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+,
ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran sel
parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan enzim tersebut.
Produksi asam lambung berhenti 80%-95% setelah penghambatan pompa
poroton tersebut.
Farmakokinetik. Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam
sediaan salut enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam
suasana asam. Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-
availabilitasnya labih baik. Tablet yang dipecah dilambung mengalami aktivasi
lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan.
Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.
Indikasi, obat ini sama dengan AH 2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap
sindrom Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung
lebih baik pada AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu
mengganggu.
Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi,
flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit
kepala, dan ruam kulit.
Sediaan dan posologi. Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan
20 mg, diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam
bentuk salut enterik 20 mg dan 40 mg, serta sediaan vial 40 mg/10 ml.
Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.
b. Antagonis Reseptor H2
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung.
Burinamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H 2 yang pertama kali

31
ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor
H2 yang ada saat ini adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.
Farmakodinamik : Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor
H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang
sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin
sekresi cairan lambung dihambat.
Farmakokinetik : Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan.
Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat
pada pasien penyakit hati. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga
memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma
dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin secara oral, dan
yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar 70% dari ranitidin yang
diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin
Indikasi : Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.
Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid untuk
penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Juga bermanfaat untuk
hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.Penggunaan
antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali digunakan ranitidin atau
simetidin untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, sperti urtikaria
dan pruritus. Pada beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.
c. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid,
domperidon, cisapride.
d. Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat
ini dipakai untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal,
makanan yang dirasa tidak turun, transit oesophageal yang melantur,
gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya cukup banyak, terutama pada
aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit kepala, mata kabur, kejang

32
perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat. Oleh karena
itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.
e. Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang
mempunyai efek anti-dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini
berkhasiat sentral maupun perifer. Khasiat metoklopramid antara lain:
1) Meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion
kolinergik,
2) Merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
3) Merupakan reseptor antagonis dopamin
Efek samping : yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik,
iritabilitas atau sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek
antagonisme dopamin sentral dari metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada
anak dapat menyebabkan hipertonis dan kejang.
f. Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon
merupakan antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak,
maka tidak mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai
efek samping yang rendah daripada metoklopramid.
Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian
bawah sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan
meningkatkan koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung
yang sedang terganggu, yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta
menghambat relaksasi lambung sehingga pengosongan lambung akan lebih
cepat.
Indikasi : Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai
masa pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa,
gastroparesis. Demikian pula bermanfaat sebagai obat antiemetik pada
penderita pasca-bedah, bahkan efektif sebagai pencegah muntah pada penderita
yang mendapat kemoterapi.
Efek samping : lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering,
kulit gatal, diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi,

33
efeknya akan meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan
ginekomasti pada pria, serta galaktore dan amenore pada wanita.
g. Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik
baru yang mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna.
Obat ini mempunyai spektrum yang luas.
Efek samping : yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa
kejang di perut yang sifatnya sementar.
h. Sitoprotektive agent
Agen Cytoprotective merangsang produksi lendir dan meningkatkan aliran
darah ke seluruh lapisan saluran pencernaan. Agen ini juga bekerja dengan
membentuk lapisan yang melindungi jaringan ulserasi. Contoh agen
Cytoprotective termasuk misoprostol dan sukralfat.
1) Misoprostol (Cytotec)
Misoprostol merupakan analog prostaglandin yang dapat digunakan untuk
menurunkan kejadian tukak lambung dan komplikasi jangka panjang
pengguna NSAID yang berisiko tinggi.
2) Sukralfat (Carafate)
Sukralfat mengikat dengan protein bermuatan positif dalam eksudat dan
membentuk zat perekat kental yang melindungi lapisan GI terhadap
pepsin, asam lambung, dan garam empedu. Hal ini digunakan untuk
jangka pendek pengelolaan bisul.
4. Antibiotik H pylori
PPI regimen berbasis terapi tiga untuk H pylori terdiri dari PPI, amoksisilin,
dan clarithromycin selama 7-14 hari. Sebuah durasi yang lebih lama
tampaknya menjadi lebih efektif dan saat ini perawatan yang dianjurkan.
Amoksisilin harus diganti dengan metronidazol dalam penisilin-alergi pasien
saja, karena tingginya tingkat resistensi metronidazol. Pada pasien dengan
ulkus rumit disebabkan oleh H pylori, pengobatan dengan PPI di luar kursus 14
hari antibiotik dan sampai konfirmasi pemberantasan H pylori dianjurkan.
Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori. Yang paling
sering digunakan adalah kombinasi dari antibiotik dan penghambat pompa
proton. Terkadang ditambahkan pula bismuth subsalycilate. Antibiotik
berfungsi untuk membunuh bakteri, penghambat pompa proton berfungsi untuk

34
meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan inflamasi dan meningkatkan
efektifitas antibiotik.
Terapi terhadap infeksi H. pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk
membunuh H. pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang
digunakan. Akan tetapi kombinasi dari tiga obat tampaknya lebih efektif
daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam jangka waktu yang lama (terapi
selama 2 minggu dibandingkan dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan
efektifitas.
Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan pemeriksaan
kembali setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan pernapasan dan pemeriksaan
feces adalah dua jenis pemeriksaan yang sering dipakai untuk memastikan
sudah tidak adanya H. pylori. Pemeriksaan darah akan menunjukkan hasil yang
positif selama beberapa bulan atau bahkan lebih walaupun pada kenyataanya
bakteri tersebut sudah hilang.

Terapi lini pertama :

Urutan prioritas

a. PPI + amoksisilin + klaritromisin


b. PPI + metronidazol + klaritromisin

c. PPI + metronidazol + tetrasiklin

Pengobatan dilakukan selama satu minggu.

Terapi lini kedua atau terapi kuadrupel :

Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini pertama. Kriteria
gagal adalah 4 minggu pasca terapi, kuman H.pylori tetap positif berdasarkan
pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi.

Urutan prioritas :

a. Collodial bismuth subcitrate + PPI + amoksisilin + kklaritromisin


b. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + klaritromisin

35
c. Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol + tetrasiklin

Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan
resistensi H.pylori dengan media transport MIU.

Pembedahan
a. Vagotomi
- Pemotongan n.vagus  menghilangkan fase sefalik
- Vagotomi trunkus konvensional: mengurangi sekresi lambung dan
motilitas serta pengosongan
- Vagotomi selektif : n.vagus cabang lambung saja yang dipotong
- Vagotomi superselektif: potong yang mempersarafi daerah penyekresi
asam di lambung
- Vagotomi trunkal posterior dan seromiotomi : dengan laparoskpi,denervasi
seluruh kurvatura minor dan kurangi sekresi asam
b. Antrektomi
- Pembuangan seluru antrum lambung
- Mengilangakan fase hormonal dan fase gastrik
c. Gastrektomi parsial
- Pembuangan 50-75% distal lambung
- Menyebabkan pembuang mukosa penyekresi asam dan pepsin
- Setelah itu dilakukan anastomosis lambung dengan duodenum
(gastroduodenostomi/billrothI) atau dengan jejunum
(gastrojejunostomi/bilroth II)
B. Terapi Non Farmakologi
Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai
ialah cara pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal
pula Sippy’s diet. Sekarang lebih dikenal dengan diet lambung yang sudah
disesuaikan dengan masyarakat Indonesia. Dasar diet tersebut ialah makan
sedikit dan berulang kali, makan makanan yang mengandung susu dalam porsi
kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak
merangsang, dan kemungkinan dapat menetralisir HCl. Pemberiannya dalam
porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, asam, alkohol.

L.O.4.9 Komplikasi Sindroma Dispepsia


Pada kebanyakan kasus, dyspepsia bersifat ringan dan hanya terjadi sesekali.
Tetapi, dyspepsia berat dapat menyebabkan komplikas, seperti:
a. Esofageal stricture

36
Dyspepsia kadang disebabkan oleh reflux asam lambung, yang terjadi
ketika asam lambung naik ke atas menuju esophagus dan mengiritasi
permukaannya. Jika iritasi ini bertambah seiring berjalannya waktu, dapat
menyebabkan esophagus menjadi terluka. Luka ini dapat menyebabkan
esophagus menyempit dan konstriksi (esophagus stricture). Gejala yang
dialami adalah:
- Susah menelan (dysfagia)
- Makanan tersangkut di kerongkongan
- Sakit dada
Esophagus stricture biasanya di terapi dengan operasi untuk memperlebar
esofagus
b. Stenosis pylorus
Disebabkan oleh iritasi jangka panjang permukaan system pencernaan
karena asam lambung. Ini terjadi ketika jalan antara lambung dan duodenum
(daerah pylorus) menjadi terluka dan menyempit. Ini dapat menyebabkan
muntah dan mencagah makanan yang dimakan dicerna sempurna. Pada
kebanyakan kasus, stenosis pylorus diterapi dengan operasi untuk
mengembalikan lebar awal pylorus.
c. Barret’s esophagus
Reflux asam lambung yang berulang dapat menyebabkan perubahan sel
permukaan esophagus bawah. Ini adalah kondisi Barret’s esophagus. Barret’s
esophagus biasanya tidak menyebabkan gejala seperti reflux asam lambung
lainnya. Tetapi, ada risiko kecil sel yang terkena Barret’s esophagus dapat
menjadi kanker dan memicu kanker esophagus.
d. Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum.
Perdarahan besar mendadak dapat mengancam jiwa. Ini terjadi ketika ulkus
mengikis salah satu pembuluh darah.
e. Perforasi (lubang di dinding)
Perforasi sering mengarah ke konsekuensi bencana. Erosi dinding gastro-
usus oleh ulkus menyebabkan tumpahan isi perut atau usus ke dalam rongga
perut. Perforasi pada permukaan anterior perut menyebabkan peritonitis akut,
awalnya kimia dan kemudian bakteri peritonitis. Tanda pertama adalah sering

37
nyeri perut tiba-tiba intens. Perforasi dinding posterior menyebabkan
pankreatitis, sakit dalam situasi ini sering menjalar ke punggung.
f. Penetrasi
Penetrasi adalah ketika ulkus berlanjut ke organ-organ yang berdekatan
seperti hati dan pankreas.
g. Jaringan parut dan pembengkakan
Terjadi karena ulkus menyebabkan penyempitan di duodenum dan
obstruksi lambung. Pasien sering menyajikan dengan muntah-muntah hebat.

L.O.4.10 Pencegahan Sindroma Dispepsia


Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut :
1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko
dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada
masyarakat mengenai :
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana
mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan
dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi
dan gizi dan penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang
diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu
yang diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang
beralkohol, kopi serta merokok.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan
pengobatan segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi
klinik meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau
ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang, pemeriksaan lengkap
dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat, muntah-muntah telah
berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih
dari 40 tahun. Untuk memastikan penyakitnya, disamping pengamatan
fisik perlu dilakukan pemeriksaan
b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)
1) Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut
adalah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus
lembek, mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan dalam lambung
dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCL.
2) Perbaikan keadaan umum penderita
3) Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.

38
4) Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan
untuk pengobatan penderita dispepsia adalah antasida, antikolinergik,
sitoprotektif dan lain-lain.
3. Pencegahan Tertier
Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia
terhadap masalah yang dihadapi.

L.O.4.11 Prognosis Sindroma Dispepsia


Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional
memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu
dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih
sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap
bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap
pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
gangguan psikiatris.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Dorland WAN. 2000. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan..Dispepsia.
http://www.kalbemed.com/portals/6/197_cme-dispepsia.pdf. Diakses pada : Senin,
8 Mei 2017 22.30
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2014. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit.Ed. 4. Jakarta : EGC

39
Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC
Sudoyono AW. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing.

40

Anda mungkin juga menyukai