Anda di halaman 1dari 7

STUNTING

Stunting adalah gangguan pertumbuhan kronis pada anak akibat kekurangan


nutrisi dalam waktu lama. Anak stunting umumnya bertubuh lebih pendek
dibanding anak seusianya. Seorang anak yang bertahan dengan kondisi ini,
cenderung memiliki kemampuan belajar yang rendah dan lebih rentan terhadap
penyakit.

Terlepas dari konsensus global tentang cara mendefinisikan dan mengukurnya,


stunting adalah kondisi yang sering tidak diakui di masyarakat di mana kondisi
pendek adalah sesuatu yang normal dan sering kali tidak menjadi perawatan
kesehatan primer.

Padahal, pertumbuhan tinggi seorang anak berfungsi sebagai penanda berbagai


kelainan patologis yang terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas,
hilangnya potensi pertumbuhan fisik, penurunan perkembangan saraf dan fungsi
kognitif serta peningkatan risiko penyakit kronis di masa dewasa. Saat ini
stunting diidentifikasi sebagai prioritas kesehatan global yang paling utama.

Penyebab Stunting pada Anak

Memahami penyebab stunting adalah hal yang dapat dilakukan sejak janin di
dalam kandungan. Berikut adalah penyebab stunting yang harus Anda tahu, di
antaranya:

1. Asupan Nutrisi Ibu

Penyebab stunting yang pertama dipengaruhi oleh asupan nutrisi ibu hamil. Ibu
hamil yang kurang mengonsumsi makanan bergizi seperti asam folat, protein,
kalsium, zat besi, dan omega-3 cenderung melahirkan anak dengan kondisi kurang
gizi. Kemudian saat lahir, anak tidak mendapat ASI eksklusif dalam jumlah yang
cukup dan MPASI dengan gizi yang seimbang ketika berusia 6 bulan ke atas.

2. Kurangnya Asupan Makanan Sehat dan Bergizi sebagai Makanan


Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping yang tidak cukup dan kekurangan nutrisi penting
di samping asupan kalori murni adalah salah satu penyebab pertumbuhan pada
anak terhambat. Anak-anak perlu diberi makanan yang memenuhi persyaratan
minimum dalam hal frekuensi dan keragaman makanan untuk mencegah
kekurangan gizi.

3. Kebersihan Lingkungan

Ada kemungkinan besar hubungan antara pertumbuhan linier anak-anak dan


praktik sanitasi rumah tangga. Kontaminasi jumlah besar bakteri fecal
coliform oleh anak-anak ketika meletakkan jari-jari kotor atau barang-barang
rumah tangga di mulut mengarah ke infeksi usus. Kondisi ini memengaruhi status
gizi anak dengan cara mengurangi nafsu makan (2), mengurangi penyerapan
nutrisi (3), dan meningkatkan kehilangan nutrisi (1).

Penyakit-penyakit yang berulang seperti diare dan infeksi cacing usus


(helminthiasis) yang keduanya terkait dengan sanitasi yang buruk telah terbukti
berkontribusi terhadap terhambatnya petumbuhan anak.

Enviromental enterophaty adalah infeksi usus halus pada anak yang disebabkan
oleh sanitasi yang buruk. Infeksi kronis yang terjadi akibat lingkungan yang kotor
dan sanitasi buruk menyebabkan fungsi usus halus terganggu.

Selain beberapa penyebab stunting seperti di atas, hal-hal lainnya yang bisa
berkontribusi pada stunting adalah konflik sosial, kondisi iklim, harga dan
ketersediaan pangan yang pada gilirannya berkontribusi menyebabkan stunting.

Dampak Stunting pada Anak

Umumnya stunting adalah gangguan yang sering ditemukan pada balita,


khususnya usia 1-3 tahun. Pada rentang usia tersebut, ibu dapat mengenal
apakah anak mengalami stunting atau tidak. Dampak stunting yang bisa terlihat
antara lain:

1. Mengganggu Pertumbuhan Tinggi dan Berat anak

Stunting adalah salah satu dari berbagai penyebab anak lebih pendek
dibandingkan dengan rata-rata anak seusianya. Berat badannya pun cenderung
jauh di bawah rata-rata anak sebayanya.
2. Tumbuh Kembang Anak Tidak Optimal

Stunting juga bisa terlihat pada tumbung kembang anak di mana anak menjadi
terlambat jalan atau kemampuan motoriknya kurang optimal.

3. Memengaruhi Kecerdasan dan Kemampuan Belajar Anak

Menurut sebuah penelitian, stunting adalah salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap IQ anak lebih rendah dibanding anak seusianya. Anak akan sulit belajar
dan berkonsentrasi akibat kekurangan gizi.

4. Mudah Terserang Penyakit

Jika anak mengalami stunting kemungkinan besar anak akan mengalami kondisi
yang membuat anak mudah terserang penyakit dan berisiko terkena berbagai
penyakit saat dewasa seperti diabetes, jantung, kanker dan stroke. Bahkan
stunting pada anak juga bisa berujung pada kematian usia dini.

Stunting dan Terganggunya Proses Persalinan

Selain mengganggu perkembangan seorang anak ketika sudah dilahirkan, stunting


juga bisa meningkatkan risiko kematian janin saat melahirkan jika ibu hamil
ternyata mempunyai riwayat stunting. Hal ini bisa terjadi karena ibu yang memiliki
riwayat stunting umumnya memiliki tinggi badan di bawah normal,
sehingga cenderung memiliki ukuran panggul yang kecil, dan akhirnya kondisi ini
mempersempit jalan lahir.

dengan tinggi di bawah normal cenderung memiliki ukuran panggul yang kecil.
Kondisi ini kemudian mempersempit jalan lahir bayi.

Akibat proporsi ukuran yang tidak sesuai inilah, mengakibatkan ibu dengan postur
tubuh yang pendek sulit untuk melakukan persalinan normal. Jika dipaksakan,
kondisi ini bisa meningkatkan risiko kematian dan gangguan kesehatan pada bayi
jangka pendek maupun jangka panjang.

Perbedaan Stunting dan Wasting

Kebanyakan orang awam menyamaratakan ciri stunting (pendek) dan wasting


(balita kurus), padahal hal ini adalah dua bentuk malnutrisi terpisah yang
memerlukan intervensi berbeda untuk pencegahan dan pengobatannya.
Akan tetapi, kedua bentuk malnutrisi ini memiliki hubungan yang erat dan sering
terjadi bersama dalam populasi yang sama dan sering pada anak yang sama.
Keduanya dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, terutama ketika keduanya
hadir pada anak yang sama.

Massa otot yang berkurang merupakan karakteristik dari kurus yang parah, tetapi
ada bukti tidak langsung bahwa itu juga terjadi pada stunting. Berkurangnya
massa otot meningkatkan risiko kematian selama infeksi dan juga dalam banyak
situasi patologis lainnya.

Fokus Penanganan

Berkurangnya massa otot dapat mewakili mekanisme umum yang


menghubungkan wasting dan stunting. Hal ini menunjukkan bahwa untuk
mengurangi angka kematian terkait gizi buruk, intervensi harus bertujuan untuk
mencegah wasting dan stunting, yang sering kali memiliki penyebab yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pengobatan harus fokus pada anak-anak
yang wasting dan stunting yang memiliki defisit terbesar dalam massa otot,
daripada berfokus pada kekurangan gizi saja.

Penurunan massa lemak sering terjadi tetapi tidak konsisten dalam stunting.
Lemak mengeluarkan banyak hormon, termasuk leptin, yang mungkin memiliki
efek stimulasi pada sistem kekebalan tubuh.

Perlu diketahui juga bahwa leptin memiliki efek pada pertumbuhan tulang. Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa anak-anak kurus dengan simpanan lemak rendah
berdampak pada tinggi badannya yang tetap rendah.

Ini juga dapat menjelaskan keterkaitan stunting yang sering dikaitkan dengan
wasting. Bagaimanapun, stunting dapat terjadi tanpa adanya wasting dan bahkan
pada anak-anak yang kelebihan berat badan. Dengan demikian, suplementasi
makanan harus digunakan dengan hati-hati dalam populasi di mana stunting tidak
terkait dengan wasting dan simpanan rendah lemak.

Pencegahan Stunting pada Anak

Guna mencegah anak stunting, ibu bisa mencegahnya sejak masa kehamilan.
Beberapa tips yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting adalah:
1. Memperbaiki pola makan dan mencukupi kebutuhan gizi selama
kehamilan.
2. Memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung zat besi dan asam
folat untuk mencegah cacat tabung saraf.
3. Memastikan anak mendapat asupan gizi yang baik khususnya pada masa
kehamilan hingga usia 1000 hari anak.
4. Selain itu stunting adalah gangguan yang juga dapat dicegah dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan dan meningkatkan akses air bersih
di lingkungan rumah.

Hal penting yang harus dipahami, tidak ada solusi sederhana untuk mencegah
stunting. Namun, berfokus pada rentang waktu antara kehamilan ibu dan ketika
anak berusia dua tahun adalah kunci untuk memastikan perkembangan anak yang
sehat.

Stunting di Indonesia

Data Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi stunting terdiri atas balita yang
memiliki badan sangat pendek 11,5% sementara dengan tinggi badan pendek
mencapai 19,3%.

Prevalensi balita stunting pada 2018 naik dalam dua tahun terakhir dan berada di
level tertingginya sejak 2014. Menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan
mengalami masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting lebih dari 20% atau
balita kurus di atas 5%. Kurangnya asupan gizi serta pengetahuan orang tua akan
pentingnya kesehatan menjadi salah satu penyebab tingginya balita dengan tinggi
badan di bawah standar.

Kondisi Ibu dan Calon Ibu

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan memengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor
lainnya pada ibu yang memengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak
kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang
kurang pada saat kehamilan.

Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan
bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari
terjadinya stunting.
Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia
10-14 tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi
kehamilan pada remaja lebih banyak terdapat di perdesaan daripada perkotaan.

Sedangkan menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan
berumur 15-49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di
atas 20 tahun (usia ideal kehamilan).

Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada
usia 17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini menunjukkan
bahwa setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia mengalami
kehamilan pertama pada usia muda atau remaja.

Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi
badan) dan gizi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya
stunting. Remaja putri sebagai calon ibu di masa depan seharusnya memiliki
status gizi yang baik. Pada tahun 2017, persentase remaja putri dengan kondisi
pendek dan sangat pendek meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 7,9% sangat
pendek dan 27,6% pendek.

Dari sisi asupan gizi, 32% remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko
kekurangan energi kronik (KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas
rata-rata nasional. Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang akan
datang akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek
dan/atau kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya
prevalensi stunting di Indonesia.

Persentase Wanita Usia Subur (WUS) yang berisiko KEK di Indonesia tahun 2017
adalah 10,7%, sedangkan persentase ibu hamil berisiko KEK adalah 14,8%.
Asupan gizi WUS yang berisiko KEK harus ditingkatkan sehingga dapat memiliki
berat badan yang ideal saat hamil.

Sedangkan untuk ibu hamil KEK sudah ada program perbaikan gizi yang
ditetapkan pemerintah yaitu dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit
yang mengandung protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11
vitamin dan 7 mineral sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51
Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi.
Situasi Bayi dan Balita

Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi
menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses
penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.

Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) hal yang perlu
diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD
sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat
inisiasi menyusu dini.

Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh
(97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12
provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat
belum mengumpulkan data.

Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar
61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada
Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada
Papua (15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional. Oleh
karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu
ditingkatkan.

Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai
dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering)
yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia
mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan
protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit
ringan.

Guna memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian
makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun
PMT pabrikan yaitu biskuit khusus balita. Jika berat badan telah sesuai dengan
perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka makanan tambahan balita
kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang

Anda mungkin juga menyukai