Anda di halaman 1dari 2

Pernyataan RG selain cacat logika juga cacat secara Filosofis.

Sekedar melihat pembagian proposisi dari segi subjeknya, yakni: sykhsiyah, muhmalah dan mahsurah
tidak serta merta membenarkan bahwa salah satu diantara bentuk proposisi ini benar atau salah.
Pembagian ini hanya menjelaskan bentuk2 proposisi tanpa memberikan penilaian.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah proposisi muhmalah itu benar atau tidak? Apakah
standar proposisi itu disebut proposisi yg benar? Dan apakah manfaat proposisi itu? Bagaimana hubungan
antara kata-kata yg ada dalam proposisi itu apakah benar2 sinkron atau tidak? Dll.

Dalam logika kita tidak hanya diajarkan bagaimana menyusun sebuah proposisi tapi juga menentukan
proposisi yang benar dari yang salah. Misalnya salah satu unsur kebenaran satu proposisi adalah
subjeknya harus jelas. Kenapa? Karena harus diberikan penilaian dan tasdiq. Jika subjeknya tidak jelas
(mubham), atau tidak ada atau belum ada maka penilaian pada subjek itu tidaklah dikatakan benar dan
tidak berguna. Misalnya proposisi “cucu sy adalah seorang pilot” atau “bapak nabi isa bisa merokok” dll.
Proposisi ini tidak benar karena subjeknya tidak atau belum jelas. Jadi subjeknya harus jelas dulu, apakah
di pikiran ataukah di alam realitas. Jika subjeknya tidak jelas maka akan terjatuh pada kesalahan berpikir
fallazy (mugahalatah). Ini dilihat dari segi subjek proposisi.

Kemudian di lihat dari segi mahmul (predikatnya) juga harus jelas apa maksudnya. Karena menilai sesuatu
dengan sesuatu yg tidak dipahami / tidak jelas juga adalah tidak benar. Jadi, sekedar terlihat seperti cocok
antara subjek dengan predikatnya tidak serta merta proposisi itu menjadi benar. Sebagai contoh apakah
benar proposisi “ Sesuatu itu adalah sesuatu yg lain”. Ini juga tidak benar. Karena penilaiannya apa tidak
jelas. nah, proposisi “kitab suci adalah fiksi” juga seperti itu. Subjek dan predikatnya sama-sama tidak
jelas. kitab suci apa yg dimaksud tidak jelas. Fiksi yg dimaksud itu juga tidak jelas. ya, mungkin saja fiksi yg
dimaksud itu mendatangkan imajinasi bagi seseorang tapi tidak bagi orang lain. jadi proposisinya ini tidak
bisa digeneralkan. Misalnya bagi orang yg menganggap kitab suci dan bahasa2 agama itu taabbudiyah.
Sorga dan neraka itu ada atau tidak ada dia tidak peduli, yang pasti kebaikan itu pasti berbalas dengan
kebaikan. Terlebih lagi bagi agama yg anti nalar dan anti imajinasi, bahwa bahasa2 kitab suci itu tidak
boleh pakai akal, cukup yakini saja. Jadi penilaian atau predikat juga harus jelas dipahami.

Syarat proposisi itu disebut benar juga adalah proposisi itu harus memiliki faedah dan manfaat. Bukan
Cuma sekedar kata2 yg dicocok2an. Misalnya proposisi “Sesuatu itu adalah sesuatu yg lain”. apakah
proposisi ini benar? Ya benar susunan kata2nya, bahwa subjek beda dengan predikat. Tapi tidak ada
manfaatnya. Tidak ada informasi yg mau disampaikan karena subjek dan predikatnya tidak jelas dan
mubham. Jadi proposisi ini tidak bisa disebut benar.

Syarat dari proposisi juga harus singkron. Apakah cocok subjek dan predikat ketika disandingkan? Cocok
dan terlihat nyeleneh, tapi tidak nyambung dan tidak koresponden pd proposisi juga tidak menjadikannya
proposisi yg baner . Seperti mnyandingkan A adalah B, padahal keduanya tidaklah singkron. padahal A
adalah A dan A bukanlah B, atau menyandingkan sesuatu yg bertolak belakang.

Jadi sekedar mengeluarkan kata2 proposisi yg seperti nyambung dan tidak jelas adalah salah satu
kesalahan berpikir atau fallazy atau mughalatah yang banyak mengecoh sebagian orang.
Ini dari segi logika. Di lihat dari segi filsafat, pun proposisinya tidak bisa disebut argumentasi filosofis.
Karena proposisi dalam filsafat adalah proposisi yg berangkat dari Burhan. Yakni proposisi yg pasti yang
tidak ada ihtimal (kemungkinan) salah di dalam proposisi itu. Sementara melihat proposisi “KITAB SUCI itu
FIKSI” sangat banyak ikhtilaf kesalahan di dalamnya.

Membenarkan kesalahan proposisi, KITAB SUCI itu FIKSI dengan mengambil sampel pernyataan salah dari
Marx, Nice atau Gusdur atau siapa saja yg salah2 berpikir untuk membenarkan kesalahan proposisi RG
juga adalah bentuk kesalahan berpikir. Jadi tugas filosof adalah membenarkan dan meluruskan
pernyataan yg salah bukan membenarkan pernyataan yg salah dengan mengambil sampel pernyataan
seorang Tokoh.

Inilah yg saya katakan sophis tapi mencoba mencederai filsafat.

Anda mungkin juga menyukai