Anda di halaman 1dari 25

qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui

opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfgh
jklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvb
nmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwer
Studi Politik Hukum
Agraria/Pertanahan Bagi
tyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas
Investasi Bidang Perkebunan
dfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx
FIRMAN MUNTAQO

cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq
wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuio
pasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghj
klzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbn
mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrty
uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdf
ghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc
vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqw
ertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiop
asdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjkl
0

zxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
Studi Politik Hukum Agraria/Pertanahan
Bagi Investasi Bidang Perkebunan
(Pengaturan Investasi Bidang Perkebunan di Indonesia dan
Kompleksitas Permasalahnya)

A. Pengaturan Investasi Perkebunan

I. Zaman Kolonial
Keberhasilan pengusaha Belanda menanamkan modalnya di Indonesia di
bidang perkebunan tidak terlepas dari kemenangan kaum liberal Eropa
(khususnya di negeri Belanda) yang berhasil memaksa pemerintah (yang
cenderung bersifat konservatif) untuk memberikan akses usaha dan perdagangan
komoditas perkebunan di Indonesia yang pada waktu itu laku keras di pasaran
internasional, seperti karet, kelapa sawit, tebu, tembakau yang selama ini menjadi
monopoli negara.
Untuk memfasilitasi pengusaha dalam memperoleh tanah bagi kegiatan
investasi di bidang perkebunan, pemerintah kolonial mengundangkan Agrarisch
Wet Stb. 1870 No.55 (selanjutnya disebut AW) yang terdiri dari 5 ayat, sebagai
tambahan terhadap Pasal 62 Regerings Reglement tahun 1854 yang pada mulanya
hanya terdiri dari 3 ayat sehingga menjadi 8 ayat. Berdasarkan ayat 4 AW,
pemerintah kolonial Belanda dapat memberikan tanah dengan Hak Erfacht1 untuk
waktu tidak lebih dari 75 tahun bagi pengusaha perkebunan. Pasal 724 KUH Pdt
menentukan, pemilik hak Erfacht berhak menyerahkan usahanya pada orang lain,
membebaninya dengan hipotik dan membebani tanah usahanya dengan
pengabdian untuk waktu selama usahanya.
Figur hak erfacht dapat memenuhi kebutuhan pengusaha Belanda dalam
menjalankan usaha perkebunan, karena selain jangka waktunya lama (75 tahun),
juga dapat dijadikan jaminan (Hipotik) untuk memperoleh kredit dalam jumlah
besar.

1
Pasal 720 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPdt) sebagai:
“Hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik
orang lain, dengan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan
kemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan”.

1
Berdasarkan pasal 1 Koninklijk Besluit2 (yang lebih dikenal dengan
Pernyataan Pemilikan/Domein Verklaring hak atas tanah oleh negara) dari
Stb.1870 No.118 (yang lebih dikenal dengan Agrarisch Besluit dan selanjutnya
disingkat AB), maka pemberian hak Erfacht yang derajatnya lebih rendah dari hak
milik negara (staatsdomein) bagi pengusaha perkebunan tidak menjadi masalah
bagi pemerintah kolonial Belanda, karena pemerintah tidak melanggar azas “nemo
plus iuris” yang terdapat dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law
System). Pemerintah kolonial Belanda dapat leluasa memanfaatkan tanah manapun
di Indonesia, karena asas pembuktian terbalik yang menjadi dasar pembuktian
pemilikan hak atas tanah yang diatur pada pasal 1 AB tidak akan pernah dapat
menjadi sarana pembuktian penguasaan/pemilikan tanah atas dasar hukum adat
sebagai eigendom.
Walaupun demikian, pemerintah kolonial (yang tercermin dalam AW)3, masih
menaruh penghormatan terhadap tanah bumi putra, baik yang berupa tanah
komunal (Hak Ulayat/Beschikkingrect) maupun hak milik adat (hak atas tanah adat
yang bersifat individual).

2
Pasal 1 Koninlijk Besluit dirumuskan: “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan
Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai eigendomnya (sebagaimana yang karena negara adalah pemilik
(eigenaar) hak atas tanah sebagaimana dinyatakan pada diatur dalam pasal 570 KUHPdt, (kursif
penulis) , adalah domein (milik) Negara”,
3
Berdasarkan rumusan AW, maka : Gubernur Jendral dapat:
1. menjual tanah yang tidak luas untuk perluasan desa, kota, dan usaha kerajinan;
(vide ayat 1 dan 2)
2. Menyewakan tanah menurut ketentuan ordonansi, namun tidak boleh
menyewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi yang diperoleh atas dasar
pembukaan hutan, tempat penggembalaan umum, atau tanah lain yang merupakan kepunyaan
desa; (vide ayat 3)
3. Berdasarkan ordonansi dapat memberikan hak erfacht untuk waktu tidak lebih
75 tahun; (Vide ayat 4)
4. Dalam pemberian tanah tidak boleh melanggar hak-hak rakyat pribumi (vide
ayat 5)
5. Tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat, baik atas dasar
pembukaan hutan, tempat penggembalaan, tanah kepunyaan desa , kecuali atas dasar Pasal 133
atau untuk keperluan penanaman tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa
menurut peraturan-peraturan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak (vide ayat
7)
6. Dapat memberikan hak agrarisch eigendom bagi tanah adat atas permohonan
pemiliknya, dan sekaligus membebaninya dengan berbagai pembatasan, kewajiban kepada desa
dan negara serta kewenangan untuk menjual kepada non pribuni;
7. Mengatur persewaan atau serah pakai tanah dari orang-orang pribumi kepada
non-pribumi dengan ordonansi.(vide ayat 8).

2
Berdasarkan AW, maka dalam pengadaan tanah investasi pemerintah kolonial
bersikap:
1. Memberikan penghormatan minimum terhadap tanah-tanah
bumi putra, baik berupa hak komunal (Beschikkingsrecht) maupun hak milik
adat (hak individual berdasarkan hukum adat) walaupun hanya diakui sebagai
hak pakai atas tanah yang bersifat turun temurun (Vide Pasal 7 AW).
2. Memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah adat, karena
walaupun pengambilan tanah-tanah pribumi dimungkinkan, namun harus
dilakukan hanya demi kepentingan umum atas dasar pasal 133 IS, atau
penanaman tanaman tertentu atas perintah penguasa menurut peraturan-
peraturan yang berlaku, dan dengan syarat pemberian ganti rugi yang layak.
Uraian di atas menunjukkan, walaupun pemerintahan kolonial berfaham
Individualis, Liberalis dan Meterialis dan menganut pembuktian formal sehingga
negara harus dapat menempatkan dirinya sebagai pemilik tanah tertinggi (Staat
Domein) dan menempatkan tanah jelas-jelas sebagai komoditas perdagangan
(sebagai salah satu faktor produksi selain buruh, modal dan teknologi) yang
interaksinya diserahkan pada mekanisme pasar bebas sepenuhnya, namun dalam
pemberian tanah bagi investasi masih menghormati dan melindungi keberadaan
tanah adat. Sebagai contoh, ketika pemerintah kolonial memerlukan tanah
masyarakat adat berupa tanah Marga yang telah dimanfaatkan sejak zaman
kerajaan Sriwijaya, pemerintah kolonial menggantinya dengan tanah lain.
Penggantian tersebut dituangkan dalam surat (sebagai bukti formal) yang oleh
masyarakat dikenal dengan “Proses Verbal”.4
Selain dengan memberikan hak erfacht, untuk memenuhi kebutuhan tanah
bagi perkebunan, AW juga memungkinkan adanya persewaan dari rakyat oleh
perusahaan perkebunan besar, terutama untuk perusahaan gula dan tembakau,
karena kedua komoditas tersebut sangat dibutuhkan pasar dalam maupun luar
negeri.
AW mengharuskan pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan
untuk dapat memberikan hak erfacht, yaitu:

4
Munawaroh Hasibuan, 2000. “Studi Terhadap Sengketa Penguasaan Hutan Rimbo
Sekampung dan Hutan Perladangan Adat antara PT.Musi Hutan Persada dengan Warga Benakat
Muara Enim”, “Skripsi”, Fakultas Hukum UNSRI, Palembang, hal. 63.

3
1. Untuk Jawa dan Madura, kecuali untuk daerah Swapraja, pemerintah kolonial
menerbitkan
a. Agrrisch Besluit Staadblad.1870-118 yang mengatur pemberian hak erfacht
pada pasal 9 sampai pasal 17;
b. Ordonansi yang termuat dalam Staatblad 1872-237 a yang beberapa kali
diubah, terakhir dengan Staadblad 1913 -699.
2. Untuk daerah luar Jawa dan Madura, kecuali daerah Swapraja, berlaku
beberapa ordonansi, yaitu:
a. S.1874f untuk Sumatera;
b. S. 1877-55 untuk keresidenan Manado;
c. S. 1888-58 untuk daerah Zuider-en Oosteafdeling Borneo. 5
Untuk daerah di luar Jawa Madura akhirnya pemerintah kolonal
mengundangkan satu ordonansi yang berlaku untuk semua daerah yang
berada di bawah pemerintahan langsung yang tertuang dalam S. 1914-367
dan dikenal dengan “Erfachtordonantie Buitengewesten”. Dengan
pengundangan S. 1914-367, semua ordonansi yang mengatur pemberian hak
erfacht untuk daerah Luar Jawa dan Madura yang berada di bawah
pemerintahan langsung ditarik, dengan pengecualian pasal 1 dari ordonansi-
ordonansi tersebut tetap berlaku.
3. Untuk daerah Swapraja di luar Jawa pemberian hak erfacht diatur dengan S-
1910-61 yang lebih dikenal dengan “Zelf besturende Landscshappe
Buitengewesten”, yang keberlakuannya di masing-masing Swapraja menurut
petunjuk Gubernur Jendral.
Sebelum berbagai ordonansi di atas diterbitkan, di daerah Swapraja
pengusaha perkebunan memperoleh tanah dengan cara menyewa tanah rakyat
dan untuk perkebunan besar kepada pengusaha dapat diberikan Hak Konsesi. Hak
Konsesi dan penyewaan tanah rakyat diatur dalam :
a. Grodhuurordonantie/S.1819-88 yang berlaku untuk Jawa dan
Madura kecuali Surakarta dan Yogjakarta;

5
Boedi Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Jilid I: Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan, Hal
38-41.

4
b. Vortenlands Grondhuur Reglement/S 1918-20 yang berlaku untuk
daerah Swapraja Surakarta dan Yogyakarta.
AW berhasil memberikan dukungan pada pengusaha perkebunan sehingga
berkembang perusahaan-perusahaan perkebunan besar di seluruh Indonesia yang
berlangsung sampai kekalahan Belanda dari Jepang Tahun 1942.
Selama pendudukan Jepang, tidak terdapat pengaturan terhadap usaha
perkebunan, karena pemerintah bala tentara Jepang disibukkan untuk
memenangkan Perang Asia Timur Raya. Selama pendudukannya, Jepang hanya
melakukan berbagai penyitaan asset pemerintah Belanda dan pengusaha asing.
Selama pendudukan Jepang, hanya terdapat satu Undang-Undang, yaitu
Undang-Undang Bala Tentara Dai Nippon Nomor 17 tanggal 1 Juni 1942 dan
Osamu Seirei Nomor 2 Tahun 1942. Menurut Pasal 1 UU Nomor 17 Tahun 1942,
Sekalian tanah partikelir menjadi kepunyaan Bala Tentara Dai Nippon sejak
Undang-Undang ini berlaku, tetapi tanah partikelir kepunyaan bangsa Indonesia
untuk sementara waktu keadaan tetap sebagaimana biasa.

II. 1945 – 1967 (Zaman Orde Lama)


Ditengah upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda
pertama dan ke dua, pemerintah belum dapat melakukan perombakan hukum
agraria, termasuk merombak peraturan pemanfaatan tanah untuk usaha perkebunan
yang ditinggalkan jepang, walaupun disadari bahwa peraturan pemanfaatan tanah
bagi penanaman modal di bidang perkebunan bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945.
Untuk mencegah kekosongan hukum (peraturan-pen), berdasarkan Pasal II
AP UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah tetap memberlakukan hukum
tanah yang lama, termasuk untuk pemanfaatan tanah bagi penanaman modal di
bidang perkebunan, namun pelaksanaanya didasarkan pada kebijakan dan
kebijaksanaan baru dan dengan memakai tafsir baru sesuai dengan Pancasila dan
Pasal 33 UUD 1945. Apabila dengan kebijaksanaan dan kebijakan baru, serta
penafsiran baru persoalan yang dihadapi tidak dapat diselesaikan, pemerintah

5
menempuh tindakan meniadakan lembaga dan haknya ,mengubah, atau
melengkapi aturan-aturan lama6, antara lain:

1. Penghapusan lembaga konversi.


Lembaga konversi adalah lembaga penyewaan tanah di daerah swapraja,
misalnya di daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Di kedua daerah tersebut, semua tanah adalah milik raja dan kepada
kerabat serta orang-orang yang berjasa pada raja diberikan tanah sebagai nafkah
yang disertai pelimpahan hak raja atas bagian dari hasil tanah yang lebih dikenal
dengan Stelsel Apanage. Pada awal abad 19 Raja dan pemegang apanage banyak
menyewakan tanah yang dikuasainya pada perusahaan perkebunan asing, berikut
hak memungut sebagian dari hasil tanaman rakyat.
Pada masa itu, pengusaha perkebunan sebenarnya tidak memerlukan hasil
tanaman, yang mereka butuhkan adalah penguasaan atas tanah agar dapat ditanami
coklat, tebu, tembakau, indigo, karet dan komoditas perkebunan lain untuk dapat
memastikan keuntungan investasinya.
Untuk dapat memanfaatkan tanah bagi tanaman perkebunan yang laku di
pasaran, pengusaha yang menyewa tanah mengatur pemanfaatan tanah dengan
cara tidak mewajibkan petani untuk menyerahkan bagian dari hasil tanah, namun
seperdua atau sepertiga dari tanah diminta oleh pengusaha untuk ditanami sendiri
oleh pengusaha, selanjutnya untuk memungut hasil tanah, Raja atau pemegang
apanage menempatkan orang yang disebut bekel untuk memungut hasil dari
tanaman rakyat. Bekel mendapat seperlima dari tanah rakyat, maka tanah rakyat
tinggal empat perlima. Seperdua dari tanah rakyat diminta oleh pengusaha dan
tanah yang effektif diusahakan sendiri oleh rakyat hanya dua perlima.
Rakyat diwajibkan bekerja bagi pengusaha perkebunan dengan jumlah waktu
yang sama dengan waktu yang diperlukan untuk mengusahakan tanahnya.
Lembaga konversi sangat menguntungkan pengusaha perkebunan, karena
pengusaha memperoleh tanah dan tenaga kerja secara cuma-cuma, namun
menimbulkan penderitaan rakyat.

6
Ibid, hal 89.

6
Penguasaan tanah atas dasar hak konversi yang didasarkan Keputusan Raja
menimbulkan penderitaan rakyat dihapuskan berdasarkan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1948 yang mencabut Vorstenlandsch Groonhuur Reglement/S. 1918-20.
Namun, haknya baru dihapuskan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950
yang secara tegas menghapuskan hak konversi dan segala beban yang ada di
atasnya.

2. Penghapusan Tanah Partikelir.


Tanah partikelir adalah tanah yang sebagian besar dikuasai oleh badan-
badan hukum asing, berupa:
a. hak erfacht dengan luas lebih dari satu juta hektar;
b. hak konsesi perkebunan besar seluas lebih dari satu juta hektar;
c. hak eigendom, opstal dan erfacht perumahan lebih kurang 200.000.
bidang.
Penghapusan tanah partikelir didasarkan pada pertimbangan, pemilik tanah
mempunyai hak istimewa yang bersifat kenegaraan yang disebut dengan
“Landheerlijke rechten/Hak Pertuanan” yang memberikan kekuasaan demikian
luas, misalnya menerima atau mengesahkan pemilihan kepala desa, mewajibkan
kerja rodi dan sebagainya, seakan-akan tanah-tanah partikelir adalah negara dalam
negara.
Tanah partikelir dihapuskan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Penjelasan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1958 menentukan, sejak tanggal 24 Januari 1958 hak-hak pemilik tanah
partikelir atas tanahnya hapus dan tanah-tanah bekas tanah partikelir menjadi tanah
negara.

3. Pengaturan dan tindakan terhadap tanah perkebunan


Pada tahu 1956, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 56
tentang Peraturan dan Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan,
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1957 jo. 8 tahun
1960 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 8/Um/1958 yang juga
diberlakukan terhadap tanah konsesi.

7
Berbagai peraturan dikeluarkan pada waktu itu bertujuan agar pengusaha
mengusahakan kebunnya secara layak menurut ketentuan yang ditetapkan menteri.
Berdasarkan pertimbangan menteri pertanian dan menteri agraria, hak erfacht
perusahaan perkebunan dapat dibatalkan, apabila dinilai pemilik hak tidak berniat
untuk mengusahakan kebunnya sebagaimana mestinya. Tahun 1958 sebagian besar
tanah perkebunan telah diusahakan kembali oleh pemiliknya.
Pada tahun 1960, diundangkan Undang-Undang No.51 Prp tahun 1960
tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya yang
berlaku terhadap tanah perkebunan maupun bukan perkebunan. Berdasarkan Surat
Menteri Pertanian dan Agraria No. Sekr 9/2/4 tanggal 4 Mei 1962 dianjurkan agar
dalam melaksanakan UU No.51 Prp tahun 1960 dipergunakan kebijakan:
1. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang dikuasai langsung
oleh negara yang telah dipakai untuk kepentingan pemerintah supaya tetap
terjamin;
2. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang dikuasai langsung
negara, telah diduduki rakyat untuk perumahan dan perkampungan supaya
tetap terjamin;
3. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang dikuasai langsung
negara, namun telah dipakai untuk usaha pertanian, terutama yang telah
ditanami bahan makanan, jangan diadakan perubahan sebelum tanamannya
dipanen dan apabila diperlukan untuk usaha perkebunan harus
dimusyawarahkan dengan rakyat dan rakyat dicarikan alternatif ekonomi lain;
4. Tanah-tanah perkebunan, kehutanan dan lain-lain yang dikuasai langsung
negara telah digarap rakyat dan tidak diperlukan pemerintah atau instansi lain
dijadikan tanah pertanian dan dibagikan pada rakyat untuk meningkatkan
produksi pertanian rakyat sambil memperbaiki kondisi sosial ekonominya dan;
5. Berdasarkan hal-hal di atas, jika diperlukan supaya meninjau kembali
areal-areal yang dipakai oleh rakyat dan dipakai oleh instansi/perkebunan/
kehutanan yang bersangkutan, agar semua tanah digunakan secara tepat sesuai
dengan kepentingan nasional.
Meskipun pada masa Ode Lama, pengaturan usaha perkebunan lebih banyak
di dasarkan pada Pasal II AP dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, namun semangat

8
nasionalisme mendorong pemerintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat,
termasuk pemanfaatan tanah perkebunan yang pada saat itu banyak yang
diterlantarkan karena tidak kondusifnya kondisi ekonomi sebagai akibat kondisi
politik yang tidak stabil dan negara masih dalam suasana untuk mempertahankan
kemerdekaan.
 Hingga diundangkannya UUPA Tahun 1960, pemerintah Orde Lama
secara konsekuen melakukan perombakan agraria melalui Panca
Program Landreform yang mengutamakan pembangunan di bidang
pertanian melalui pemberdayaan rakyat tani, walaupun tindakan
tersebut pada dasarnya hanya didasarkan freise ermessen yang
bersumber pada upaya untuk mengisi kekosongan hukum
sebagaimana diatur pada Pasal II AP UUD 1945.
Bagi pembangunan perkebunan besar, industri, perdagangan, pariwisata,
jasa lainnya cukup disediakan sarananya, yang diutamakan pemerintah Orde
Lama adalah pembangunan di bidang pertanian, karena pembangunan bidang
lain hanya akan berhasil bila ditopang pertanian yang kokoh, dengan rakyat tani
yang kuat kedudukan ekonomi dan sosialnya7 Namun, belum sempat sepenuhnya
melaksanakan program yang direncanakan, terjadi tragedi nasional yang
melahirkan pemerintah Orde Baru.

III. 1967 – 1997 (Zaman Orde Baru)


Pemerintah Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin jatuh dengan
mewariskan keterpurukan kondisi ekonomi serta ketidakstabilan politik dan
keamanan. Oleh karena itu, dapat difahami jika Orde Baru menjadikan pembangunan
ekonomi dan stabilitas sebagai sasaran strategis pembangunan.
Orde Baru berpendapat bahwa tidak mungkin dapat dicapai pertumbuhan
ekonomi tanpa adanya: 1. Stabilitas politik dan keamanan, 2. Akumulasi modal dan;
3. Dukungan dari kekuatan soisial politik. Secara politis, Orde Baru tidak akan
mendapat dukungan apabila melaksanakan politik agraria populis atau neo-populis
yang diamanatkan UUPA, karena :
1. Pada saat itu UUPA dianggap sebagai produk komunisme;

7
Ibid, hal. 239.

9
2. Secara politis, Orde Baru tampil sebagai rejim yang berkuasa berkat
dukungan Militer (terutama Angkatan Darat), agamawan, pengusaha, birokrat dan
petani pemilik tanah yang luas (tuan tanah) di pedesaan yang menentang
dilaksanakannya Landreform.
Berdasarkan kondisi di atas, terdapat konsensus diantara pendukung Orde
Baru, bahwa perlu adanya stabilitas, rehabilitasi dan pembangunan ekonomi gaya
kapitalis. Kondisi demikian mengakibatkan Orde Baru menganut paradigma
Pembangunan (Developmentalis) yang didasarkan pada politik ekonomi kapitalis dan
strategi pemerataan berdasarkan teori Trickle Down Effect untuk dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan cepat.
Di bidang agraria/pertanahan hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan
strategi/politik agraria/pertanahan dari semula yang bersifat populis atau neo-
populis dan demokratis, kepada politik agraria/pertanahan kapitalis dan otoritarian,
yang ditujukan untuk menarik investasi dalam rangka akumulasi modal untuk
membiayai pembangunan, baik melalui penanaman modal asing maupun
penanaman modal dalam negeri.
Dalam upaya menarik investasi, pemerintah mengundangkan UU No.1 tahun
1967 tentang PMA dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN serta berbagai
peraturan pelaksanaanya yang pada dasarnya memberikan fasilitasi dan
kemudahan untuk meningkatkan investasi.
Untuk mempercepat pembangunan perkebunan yang diharapkan akan
meningkatkan penerimaan negara guna menggantikan penerimaan negara yang
terus menurun akibat jatuhnya harga minyak duni, pada tahun 1980an pemerintah
melaksanakan Program Agro Industri dengan memfasilitasi pengusaha perkebunan
untuk meningkatkan produksi perkebunan untuk keperluan ekspor.
Sebelum progran tersebut dilaksanakan, dalam rangka meningkatkan
investasi pemerintah antara lain mengeluarkan:
1. PMDN No.15 Tahun 1975 tentang Tata Cara Pembebasan Tanah;
2. PMDN No.2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah
Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.
Kedua PMDN di atas, walaupun bertujuan untuk mempermudah pengadaan
tanah bagi kegiatan investasi, termasuk di bidang perkebunan, namun secara

10
substansial bertentangan dengan asas-asas hukun agraria yang diamanatkan
UUPA, karena secara substansial tidak berbeda dengan pencabutan hak atas tanah
yang seharusnya hanya dapat dilakukan atas dasar kekuatan undang-undang, demi
kepentingan umum dan dilaksanakan dengan Keputusan Presiden sebagaimana
yang diatur dalam UU No.20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, sedangkan pengadaan tanah untuk
investasi adalah bukan demi kepentingan umum tetapi kepentingan perdata, oleh
karena itu harus dilakukan menurut prosedur hukum perdata dan tidak dapat
menggunakan prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Dalam melaksanakan Program Agro Industri yang memerlukan tanah yang
luas, pemerintah berdasarkan atas dasar Hak Menguasai Negara dan asas
Kepentingan Umum melakukan berbagai tindakan pengambilan, dengan dalil
bahwa, tanah adat dan tanah masyarakat hukum adat/Tanah Ulayat adalah tanah
yang termasuk tanah negara, karena Hak Ulayat masyarakat hukum adat telah
diangkat pada tingkat yang lebih tinggi pada level negara, sehingga penggunaan
dan pemanfaatannya berada pada tangan negara dan tidak lagi pada kesatuan
masyarakat hukum adat.
Apabila tanah adat yang berada dalam lingkup kewenangan HMN
dimanfaatkan pemerintah, maka kepada masyarakat yang bersangkutan akan diberi
Recognitie yang berfungsi untuk memutuskan hubungan hukum antara masyarakat
/individu yang memanfaatkannya dengan tanah.
Dalih lain yang dikemukakan oleh negara/pemerintah adalah, sejak Indonesia
merdeka sebagai suatu bangsa, maka suku-suku bangsa tidak lagi memiliki hak
kepunyaan atas tanah ulayatnya, karena tanah ulayatnya tersebut telah menjadi
tanah ulayat bangsa, dengan kata lain telah melebur menjadi hak (ulayat) bangsa
atau hak bangsa. Dengan demikian, maka suatu kesatuan masyarakat hukum adat
pada dasarnya hanya memiliki hak untuk mengelola sebagian dari hak bangsa
yang pelaksanaannya didelegasikan pada negara melalui HMN, apabila terdapat
pendelegasian kewenangan hak menguasai dari negara kepada masyarakat hukum
adat yang bersangkutan sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Vide
Pasal 2 ayat 4 UUPA).

11
Pada bagian Penjelasan Umum II UUPA secara tegas dinyatakan bahwa,
kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional
dan negara yang lebih luas dan hak ulayatpun yang masih ada pelaksanaannya
harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas.
Dalam bagian lain Penjelasan Umum UUPA dinyatakan, berhubung dengan
disebut Hak Ulayat dalam UUPA yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan
hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan, misalnya di
dalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha),
masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan
akan diberi “Recognitie” yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang
hak ulayat tersebut. Sebaliknya, tidak dapat dibenarkan jika berdasarkan hak
ulayat itu, masyarakat hukum berdasarkan hak ulayat, misalnya menolak begitu
saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-
proyek besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan
dan pemindahan penduduk.
Berdasarkan uraian di atas, jelas UUPA lebih berpihak pada kepentingan
negara/pemerintah. Pemerintah pusat adalah pemegang kekuasaan sentral di
bidang agraria/pertanahan. Secara sosiologis, jelas terjadi penegasian/pelemahan
terhadap hukum rakyat/hukum adat oleh hukum negara, kenyataan:
1. Terjadinya penghisapan kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur
tanah yang ada dilingkungan hak ulayatnya yang secara sosiologis ditujukan
untuk menjamin tersedianya kebutuhan hidupan anggota masyarakat hukum
adat dalam rangka mengejar kesejahteraan oleh Hak Menguasai Negara yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat;
2. Dinegasikannya/dilemahkannya akses anggota masyarakat hukum adat yang
selama ini dijamin oleh hukum adat yang walaupun tradisional dan sederhana,
namun mampu menjamin akses anggota masyarakat untuk secara leluasa
mengakses dan memanfaatkan bagian tanah ulayat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan;
3. Hancurnya tatanan hukum tanah adat yang telah terbukti menjadi sandaran
masyarakat hukum adat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

12
Ketiga hal di atas mengakibatkan terjadinya perlawanan atas implementasi
Hak Menguasai Negara yang mencuat dalam bentuk berbagai sengketa pertanahan
di bidang perkebunan antara pemerintah/negara dengan masyarakat. Perlawanan
masyarakat terhadap pemerintah/negara tersebut semakin meningkat manakala
pemanfaatan tanah ex Hak Ulayat yang difasilitasi pemerintah tersebut selain
dilakukan dengan cara-cara yang secara sosiologis tidak dapat diterima, juga
karena pembangunan perkebunan yang dilakukan tidak memberikan manfaat pada
rakyat yang ada disekitarnya.
HMN yang memberikan kewenangan yang sedemikian luas kepada
pemerintah pusat telah mengakibatkan terjadinya monopoli kekuasaan pengaturan
hak atas tanah oleh pemerintah pusat yang cenderung mendorong negara/
pemerintah menjadi kapitalis. Pada kondisi demikian, maka pengertian bahwa
HMN hanya memberikan kepada negara pada tingkatan tertinggi untuk mengatur
penggunaan dan pemanfaatan tanah tidak ada bedanya dengan pengertiannya
dengan tanah dimiliki oleh negara/pemerintah, mengingat lemahnya daya tawar
rakyat/ masyarakat terhadap negara.
Setelah mendapat berbagai kecaman, PMDN 15/75 dan PMDN 2/76 dicabut
melalui Keppres 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Walaupun pola pengadaan tanah untuk kepentingan investasi dengan
memanfaatkan kewenangan negara di bidang pertanahan telah dihapuskan melalui
Kepres 55/93, namun pengambilan tanah rakyat untuk kepentingan investasi tetap
berlangsung dengan berbagai cara, karena UUPA tidak secara tegas mengatur
kedudukan tanah-tanah individu maupun tanah masyarakat yang umumnya tunduk
pada hukum adat, juga karena UUPA tidak secara tegas dan jelas menentukan
bagaimana mekanisme serta lembaga yang berfungsi menjembatani pengalihan
dari tanah adat menjadi tanah yang tunduk pada UUPA.
Bila dikaji lebih mendalam, dengan dasar HMN yang tidak jelas tafsir dan
batasannya, pemerintah atau rejim yang berkuasa cenderung melakukan
pembatasan terhadap tanah-tanah masyarakat yang lebih banyak dimiliki/dikuasai
berdasarkan hukum adat melalui berbagai peraturan yang diterbitkannya.

13
Pengakuan terhadap tanah adat ataupun tanah masyarakat hukum adat
semakin pudar/tidak menentu dan semakin ternegasi/melemah dengan
diundangkannya UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Walaupun UU
No.5/79 tidak menghapuskan masyarakat hukum adat (dalam artian sosiologis),
namun penghapusan terhadap kelembagaan masyarakat hukum adat, seperti marga
Sumatera Selatan, Nagari di Sumatera Barat dan lain-lain yang selama ini telah
menyatu dengan masyarakat dengan hukum adat sebagai satu kekuasaan yang
otonom, dan menggantikannya dengan pemerintahan desa melemahkan akses
masyarakat hukum adat terhadap hak ulayatnya.
Masyarakat menilai kebijaksanaan pemerintah untuk melemahkan akses rakyat,
terutama rakyat tani merupakan upaya memfasilitasi investor dalam pengadaan tanah
bagi penanaman modal. Hal ini terlihat dari kebijaksanaan pemerintah Orde Baru di
bidang pertanahan, berupa:
1. Penempatan landreform tidak lagi sebagai strategi pembangunan, akan tetapi
hanya sebagai masalah teknis belaka/rutin birokrasi. Masalah tanah oleh Orde
Baru tidak ditempatkan sebagai dasar pembangunan, namun sebagai strategi
peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk mempermudah kalangan
swasta/pemilik modal dalam memperoleh tanah, bahkan bila perlu dengan
mengorbankan tanah-tanah rakyat.
2. Penghapusan legitimasi partisipasi organisasi petani dalam program landreform,
dengan mencabut peraturan yang lama dan menggantikannya dengan yang baru.
Hal ini dilakukan dengan melakukan penghapusan pengadilan landreform dan
pembentukan HKTI sebagai organisasi tani bentukan pemerintah;
3. Penerapan kebijakan massa mengambang (Floating Mass) dengan tujuan
memotong hubungan petani/pedesaan dengan partai politik, sehingga petani tidak
memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah, apalagi memiliki
posisi tawar.
4. Menghilangkan dinamika proses politik di pedesaan, dengan mengundangkan UU
No.5/79 dengan tujuan melakukan kontrol birokratis terhadap kekuatan yang ada
pada masyarakat pedesaan.
5. Pelibatan unsur militer dan polisi dalam dinamika pembangunan desa atas dasar
dwi fungsi ABRI.

14
6. Memanfaatkan Hak Menguasai Negara yang tidak jelas tafsir dan batasnya
sebagai dasar pengadaan tanah bagi keperluan perusahaan, pemerintah maupun
pembangunan lainnya. 8

IV. Seterusnya (Zaman Orde Reformasi)

Dengan melaksanakan politik agraria kapitalisme yang bersifat otoritarian


(Kapitalisme Klasik), pemerintah Orde Baru pada awalnya dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, jatuhnya harga minyak dunia, efek
pemerataan pendapatan yang tinggi pada kalangan menengah ke atas yang
diharapkan menetes ke bawah yang ternyata tidak terjadi, bahkan menimbulkan
kesenjangan sosial ekonomi yang semakin besar, KKN yang merajalela yang
mengakibatkan lemahnya lembaga pemerintahan, berbagai pelanggaran hak asasi
manusia yang dilakukan orde baru dalam mempertahankan kekuasaannya serta
terjadinya krisis ekonomi di kawasan Asia yang juga melanda Indonesia dengan
kualitas yang lebih dahsyat yang melahirkan krisis multi dimensi, pada akhirnya
mengkerucut menjadi krisis kepercayaan pada pemerintah telah menyebabkan
jatuhnya rejim pemerintah Orde Baru.
Jatuhnya pemerintahan rejim Orde Baru oleh gerakan reformasi yang
dimotori mahasiswa, memberikan ruang gerak untuk mengkaji kembali pengaturan
hukum pertanahan di bidang perkebunan yang tidak memihak kepada rakyat,
terutama yang berkaitan dengan kewenangan negara di bidang agraria/pertanahan,
karena terdapat indikasi kuat, gagalnya UUPA mewujudkan kesejahteraan rakyat
dikarenakan pemerintah sebagai pelaksana HMN lebih memihak kepada
perusahaan perkebunan dan mengabaikan asas keadilan, yang seharusnya
diimplementasikan dengan melakukan pemerataan pemilikan/penguasaan tanah
bagi rakyat.
Kondisi yang tidak kondusif yang dirasakan oleh investor dan terjadinya
berbagai sengketa yang merugikan masyarakat akibat kegiatan investasi

8
Firman Muntaqo, 2001. Studi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Pabrik Pulp PT.
Tanjung Enim Lestari di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan: Suatu Tinjauan
Sosioyuridis, Palembang: Unit Penelitian Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya ,hal 86-87.

15
menimbulkan tuntutan dari investor maupun masyarakat agar pemerintah
melakukan reformasi hukum di bidang agraria dan sumber daya alam.
Secara politis, tuntutan masyarakat direnspons pemerintah melalui
TAP MPR Nomor IX/MPR/20019 Tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Secara yuridis, tuntutan masyarakat ditindak
lanjuti pemerintah dengan mengundangkan Keppres Nomor 34 Tahun 2003
Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan (selanjutnya disebut Kepres
34/2003-pen). Amanat tersebut belum terlaksana dan baru sampai pada
penyusunan rancangan undang-undang tentang sumber daya alam dan hukum
tanah.
Dalam kaitannya dengan investasi bidang perkebunan, pemerintah
mengundangkan 2 (dua) Undang-Undang baru, yaitu UUPM dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Penjelasannya termuat dalam Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 441.

B. Kompleksitas Peraturan Investasi Bidang Perkebunan


di Indonesia.
Sejak NKRI berdiri, Founding Father menyadari, tanah adalah faktor
produksi utama dan merupakan asset nasional yang vital dan strategis dalam upaya
menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pemerataan
pemilikan tanah menjadi strategi dan program utama pemerintah sejak
kemerdekaan sampai runtuhnya pemerintah Orde Lama pada Tahun 1965. Rejim
Orde Lama lebih menekankan pada pemerataan pemilikan tanah bagi petani dan
pekebun, oleh karena itu landreform menjadi dasar pengaturan pemanfaatan tanah.
Seiring dengan pergantian rejim dari Orde Lama ke Orde Baru dan
dilanjutkan dengan Orde Reformasi terjadi perbedaan orientasi pemanfatan tanah
dalam penanaman modal di bidang perkebunan. Rejim Orde Baru dan Orde
Reformasi menganut orientasi pembangunan ekonomi yang sama, yaitu
9
Tap MPR adalah produk politik, bukan aturan hukum. Tap MPR menjadi sandaran
legitimasi politis presiden dalam menjalankan pemerintahan, termasuk menjadi dasar politis
pembentukan peraturan, pemberi arah pembangunan hukum, dan menjadi sumber nilai, asas,
konsep, dan prinsip bagi pembentukan peraturan (hukum tertulis). Tap MPR adalah sumber hukum
material, sebagaimana keputusan hakim, doktrin, dan kesadaran hukum masyarakat.

16
pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan investasi. Untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi, strategi pemanfaatan tanah untuk penanaman modal yang
diterapkan oleh kedua rejim tersebut adalah menempatkan tanah dan buruh sebagai
komoditas, serta meninggalkan program landreform/pemerataan pemilikan/
penguasaan tanah, dan menempatkan masalah agraria/tanah sebagai kebijakan
teknis semata, bukan sebagai program utama pembangunan.
Orientasi pemanfaatan tanah demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang
didasari pemikiran teori Trickle Down Effect yang mengharuskan adanya
pemupukan modal (bukan pemerataan modal/asset) demi mencapai pertumbuhan
ekonomi yang tinggi masih dianut hingga sekarang. Akibatnya, peraturan yang
dikeluarkan pemerintah menimbulkan kompleksitas dengan UUPA yang juga
mengatur pemanfaatan tanah untuk penanaman modal, termasuk penanaman
modal di bidang perkebunan.
Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat dicapai oleh sektor swasta
melalui investasi (karena pemerintah tidak cukup punya dana untuk
melaksanakannya) mengharuskan pemerintah menciptakan iklim yang kondusif
bagi penanaman modal melalui pemberian berbagai fasilitas dan kemudahan, serta
keberpihakan pemerintah kepada investor. Strategi demikian tercermin dari
peraturan penanaman modal baru (UUPM) yang liberal yang bertentangan dengan
UUPA dan UUD 1945 serta menimbulkan kompleksitas pengaturan.
Menurut I Gede AB Wiranata10 , terdapat beberapa hal yang tidak konsisten
dalam UUPM dalam bentuk pertentangan substansi, bahkan maksud dan tujuan
filosofis Undang-Undang tersebut. UUPM juga memuat banyak bidang yang
sebenarnya telah memiliki peraturan sendiri, misalnya Undang-Undang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Pemerintah Daerah, Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Pokok Agraria,
Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan Undang-Undang Pasar Modal.
Kompleksitas permasalahannya adalah, bagaimana pelaksanaan UUPM yang
bertentangan dengan berbagai Undang-Undang yang telah memiliki peraturan
pelaksanaan masing-masing tersebut.
10
I Gede AB Wiranata, “Antisipasi Terhadap Persoalan Tanah Untuk Kepentingan Investasi
(Sebuah Catatan Atas Penetapan Amandemen UU Penanaman Modal)”, dalam Joni Emirzo. et.al.,
ed., 2007. Perspektif Hukum Bisnis Indonesia Pada Era Globalisasi. Yogyakarta: Genta Press, hal.
95-96.

17
Kompleksitas lain yang terkandung dalam UUPM adalah, Pasal 39 UUPM
menentukan, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara
langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan
pengaturannya pada Undang-Undang ini.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 39 tersebut, pada kenyataanya politik
hukum di Indonesia belum memberikan kepastian bahwa, asas undang-undang
yang berlaku belakangan mengalahkan undang-undang yang terlebih dahulu untuk
dapat dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya.
Juga akan timbul banyak kompleksitas permasalahan apabila begitu banyak
aturan yang harus disesuaikan, diamandemen atau dicabut atas perintah Pasal 39
UUPM. Pasal 39 UUPM juga akan mengakibatkan penyesuaian berbagai
kewenangan dan kelembagaan. Andaikan Pasal 39 akan dilaksanakan, diperlukan
aturan pelaksanaan yang komprehensif dan powerfull yang subtansinya mampu
menterjemahkan maksud dan tujuan dari UUPM yang tentunya memerlukan waktu
yang lama untuk dapat dilaksanakan yang harus dibarengi dengan kemauan politik
pemerintah yang kuat.
Selain kompleksitas UUPM dalam hubungannya dengan peraturan lain,
rumusan Pasal 22 UUPM yang mengatur tentang Hak Atas Tanah juga
menyimpang/bertentangan dengan UUPA sebagai peraturan dasar yang mengatur
tentang hak-hak atas tanah.
Menurut Maria SW Soemarjono, hukum tanah mempunyai ciri khusus,
berkenaan dengan sifatnya yang merupakan perwujudan suatu bangsa, sehingga
tidak dapat dengan mudah disesuaikan dengan prinsip-prinsip hukum tanah yang
berlaku di negara lain, terlebih apabila sistem hukumnya berbeda. Sering terdapat
anggapan yang keliru, bahwa dengan liberalisasi sistem perdagangan, maka untuk
mengundang investor asing perlu dirombak peraturan-peraturan hukum tanah
nasional yang tidak sesuai dengan peraturan negara lain, tanpa memperhatikan
sistem yang berlaku dan konsep yang mendasarinya (misalnya perintah
menyesuaikan peraturan pemanfaatan tanah oleh Pasal 39 UUPM-pen). Dengan
perkataan lain, perombakan yang harus dilakukan janganlah dilakukan asal-
asalan (change for the sake change) hanya untuk menarik investasi. 11
11
Maria SW Soemardjono, 2008 “Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya”, Kompas, Jakarta, 22 Januari: 20-22.

18
Penyimpangan politik hukum oleh pemerintah dari politik hukum
agraria/pertanahan populis/neo populis yang mengakibatkan kompleksitas
peraturan penanaman modal di bidang perkebunan, antara lain tercermin dari
rumusan UUPM Pasal 22 ayat (1) huruf:
a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh
lima) tahun;
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf a: Hak Guna Usaha (HGU) diperoleh
dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama
60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima)
tahun.
b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh)
tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus
selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)
tahun;
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf b: Hak Guna Bangunan (HGB)
diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka
sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30
(tiga puluh) tahun.
c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45
(empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh
lima) tahun.
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf c: Hak Pakai (HP) diperoleh dengan
cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45
(empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima)
tahun.
Rumusan pasal di atas, adalah wujud pembelokan atas tujuan pembangunan
ekonomi nasional yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan atas dasar
prinsip berdaulat dan mandiri.

19
Peruntukan dan penggunaan tanah sebagaimana yang diatur dalam pasal 22
ayat (1) UUPM bertentangan dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 29, 35,
dan 41 UUPA sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
Pasal 35
(1) Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta
keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1)
dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Pasal 41
(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain,
yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Hak pakai dapat diberikan:
a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan yang tertentu;
b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa
apapun.
Perbedaan pengaturan dari kedua peraturan perundang-undangan (UUPA
No.5 Tahun 1960 dan UUPM No.25 Tahun 2007) yang sama-sama ingin
mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya merupakan
bentuk penyimpangan terhadap politik agraria populis/neo populis yang
diamanankan UUD 1945 dan UUPA. Hal ini merupakan salah satu contoh

20
penyelundupan hukum sebagaimana yang diprediksi oleh Sri Redjeki Hartono
untuk kepentingan ekonomi dari berbagai pihak. Karena pada dasarnya UUPA
tidak mengenal sistem perpenjangan hak atas tanah di muka sekaligus.
Pengaturan HGU,HGB dan Hak Pakai dalam UUPM dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.21-22/PUU-
V/2007 tentang Pengujian UU No.25 Tahun 2007 yang mengembalikan posisi
jangka waktu hak atas tanah kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku
yaitu UUPA.
Jelas bahwa, semangat yang terkandung dalam UUPM No. 25 Tahun 2007
ini dibuat untuk menfasilitasi masuknya modal asing di hampir semua sektor
strategis dan penting bagi negara12 yang mampu berkontribusi bagi kesejahteraan
rakyat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan
kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi
kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem
perekonomian yang berdaya saing, ternyata mengakibatkan pemerintah melupakan
bahwa, tanah mempunyai peran yang vitas dan strategis bagi pembangunan
perekonomian rakyat, oleh karena itu, penguasaan/pemilikan tanah yang demikian
lama oleh perusahaan perkebunan misalnya, sama saja dengan memberikan hak
milik pada perusahaan tersebut, karena selama tiga generasi tidak ada harapan
bagi petani/pekebun untuk dapat mengakses tanah untuk memenuhi kebutuhan
hidup, dan meningkatkan kesejahteraannya.
Pemberian hak atas tanah HGU, HGB, dan Hak Pakai yang diatur dalam
UUPM bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang dinyatakan sebagai tujuan
negara kesejahteraan, karena kebijakan nasional di bidang pertanahan tentang
penguasaan dan penataan tanah oleh Negara diarahkan pemanfaatannya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, artinya penguasaan
tanah oleh negara harus sesuai dengan tujuan pemanfaatannya dan perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat luas untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat dengan memperhatikan hak-hak atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah,
batas maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian, termasuk berbagai

12
Dani Setiawan, 2007. “Arah Liberalisasi Investasi”. Jawa Pos, 14 Juli: 6.

21
upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah dan penelantaran tanah.
Penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam skala besar untuk mendukung
upaya pembangunan nasional dan daerah harus tetap mempertimbangkan aspek
sosial, politik, pertahanan keamanan dan pelestarian lingkungan hidup.
Upaya merealisasikan negara kesejahteraan sebagaimana diamanatkan Pasal
33 UUD 1945 melalui UUPA dapat ditemukan dalam pasal yang mengatur
hubungan antara manusia dengan tanah, yaitu Pasal 1 UUPA:
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
(4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
(5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air
tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat ditarik pengertian, bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa yang dapat memberikan kehidupan dan penghidupan yang
layak bagi manusia. Dalam hal ini jelas, bahwa sumber daya alam sangat
menentukan kelangsungan hidup manu, hidup dan matinya manusia sangat
bergantung kepada kemampuan sumber daya alam yang berasal dari bumi (tanah),
air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya13.
13
Dari sudut pandangan masyarakat bahwa tanah adalah suatu benda dan harta kekayaan
yang sangat tinggi nilainya dalam menentukan kelangsungan hidup manusia sampai matinya,
karena itu tanah adalah benda yang bernilai tinggi, karena tanah dianggap mengandung aspek
spritual, bagi anggota masyarakat adat, tanah merupakan sesuatu yang berhubungan dengan para
leluhurnya, karena itu tanah bagi masyarakat adat mempunyai nilai khusus dan sangat penting
dalam kehidupannya. Hal ini karena seorang manusia tidak dapat hidup tanpa tanah, ia bekerja dan

22
Permasalahan lain yang timbul dari kompleksitas peraturan penanaman
modal adalah, ketentuan tentang bidang usaha penanaman modal yang diatur
dalam UUPM Bab VII Pasal 12 yang menentukan, pada dasarnya semua bidang
usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang
usaha atau jenis yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
Berdasarkan pasal 12 UUPM, sejatinya pemerintah menganut prinsip
membuka seluas-luasnya bidang usaha penanaman modal (Prinsip enumeratif-
pen). Dari perspektif pemerintah, prinsip ini akan memberikan kemudahan bagi
penanaman modal di Indonesia. Pengaturan demikian merupakan bentuk
pengaturan yang sangat luas.
Dilihat dari perspektif kepentingan masyarakat luas, pengaturan yang sangat
luas oleh pemerintah dengan hanya membatasi bidang usaha tertutup mutlak dan
tertutup dengan persyaratan merupakan kebijakan yang kurang memberikan
perlindungan pada perekonomian rakyat, terutama golongan ekonomi lemah dan
dinilai membiarkan masyarakat bersaing dalam suasana ekonomi pasar yang keras
yang ketat. Bagi investor bentuk pengaturan yang sangat luas dinilai kurang
memberikan kepastian hukum.
Bagi pemerintah yang kemampuan dananya untuk melakukan pembangunan
terbatas, prinsip enumeratif pengaturan bidang usaha penanaman modal sangat
membantu dalam pengadaan dana bagi pelaksanaan pembangunan dan
meringankan tugas pemerintah dalam mengatur dan menentukan bidang usaha
penanaman modal, karena pemerintah cukup mengatur bidang usaha yang tetutup
dan terbuka dengan persyaratan tertentu.
Prinsip enumeratif pengaturan bidang usaha merupakan wujud efisiensi
pengaturan bidang usaha menunjukan bahwa, Indonesia adalah negara yang
membuka seluas-luasnya penanaman modal, sebagai bagian dari strategi
pengadaan modal bagi pelaksanaan pembangunan perekonomian.

hidup sehari-hari di atas tanah dan makanan utamanya juga ditanam dalam tanah, demikian pula
apabila mereka meninggal ditanam dalam tanah, lihat dalam Djuhaendah Hasan, 1996. “Lembaga
Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi
Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, , hal.73-74, bandingkan
dengan Singgih Praptodihardjo, 1951. Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia. Jakarta: Jajasan
Pembangunan, hal. 26.; juga R.Wirjono Prodjodikoro, 1986. Hukum Perdata tentang Hak Atas
Benda. Jakarta: Intermasa, hal.12; demikian juga: CFG Sunarjati Hartono, 1978, Beberapa
Pemikiran Ke arah Pembaharuan Hukum Tanah.Bandung: Alumni, hal. 90

23
Dengan prinsip enumeratif, mungkin di masa yang akan datang hanya
penanaman modal di bidang pertahanan dan kemanan saja yang akan menjadi
bidang usaha tertutup bagi penanaman modal.
Selain masalah yang berkaitan dengan bidang usaha14, penerapan UUPM
juga akan menimbulkan kompleksitas permasalahan berkaitan dengan pemberian
insentif di bidang perpajakan, karena insentif yang diberikan UUPM tidak diatur
dalam Undang-Undang Perpajakan, UU No.6/1983 jo.UU No.16/2000, sementara
amandemen Undang-Undang Perpajakan belum selesai.

14
Dhaniswara. K.Harjono, op.Cit, Hal. 103.

24

Anda mungkin juga menyukai