Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medik


1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal
dengan PPOK adalah : Bronkhitis kronis, emfisema paru-paru. Dan asma
bronkhial. Sering juga penyakit ini disebut dengan “chronic limitation
(CAL)’ dan ‘chronic obstructive lung diseases (COLD)’ (Brunner &
Suddarth, 2018, hal. 1636).
PPOK adalah suatu penyakit yang menimbulkan obstruktif saluran nafas,
termasuk ke dalamnya ialah asthma, bronchitis kroni, emfisema pulmonal
atau bisa disebut juga PPOK adalah suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
dikenal dengan istilah PPOK yaitu bronchitis kronis, empisema paru-paru
dan asma (Manurung N. , 2016, hal. 9).
Chronic obstructive pulmonary diseases (COPD) merupakan istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Somantri, 2014).

2. Anatomi Fisiologi
a. Saluran pernapasan
1) Nares anterior adalah saluran – saluran di dalam lubang hidung,
saluran ini bermuara dibagian vestibulum (rongga hidung ),
vestibulum dilapisi oleh epitelium bergaris yang bersambung
dengan kulit. Lapisan nares anterior memuat sejumlah kelenjar
sebascus yang ditutupi oleh bulu – bulu kasar. Kelenjar ini
bermuara ke dalam rongga hidung.
2) Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang kaya akan pembuluh
darah dan bersambung dengan lapisan faring. Sinus yang
mempunai lubang masuk ke dalam rongga hidung.
Daerahpernapasan dilapisi oleh epitelium silinder dan selaput
epitel rambut, yang mempunyai kandungan. Sel cangkir atau sel
lendir, sekresi dari sel itu membuat permukaan nares basah dan
berlendir. Sewaktu udara melalui hidung, udara disaring oleh bulu-
bulu yang terdapat di vestibulum dan karena kontak dengan
permukaan lendir yang dilaluinya, maka udara menjadi hangat, dan
oleh penguapan air dari permukaan, selaput lendir jadi lembab.
3) Faring ( Tekak ) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar
tengkorak sampai bersambung dari osepagus. Pada ketinggian
tulang rawan krikoid, maka letaknya dibelakang hidung (
Nasofaring), dibelakang mulut (Orofaring), dan dibelakang laring.
4) Laring , terletak dibagian terendah depan faring. Terdiri dari
kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligamen dan
membran. Terkait di puncak tulang rawan tiroid, tedapat epiglotis
yang berupa katup tulang rawan dan membantu menutup laring
sewaktu orang menelan. Laring dilapisi oleh selaput lendir, pita
suara terletak dalam laring.
5) Trakea adalah batang tenggorokan yang panjangnya kurang lebih 9
cm. Batas dari laring sampai dengan torakalis V dan disini
bercabang menjadi 2 bronchus.
6) Bronkhus, terbentuk dari trakea pada ketinggian kira-kira torakalis
V. Bronkhus kanan lebih pendek dan lebar dari yang kiri.
Bronkhus kiri lebih panjang dan langsing dari yang kanan .
7) Paru – paru, ada dua, merupakan alat pernapasan utama dan paru –
paru mengisi rongga dada, terletak disebelah kanan dan kiri dan
dilapisi oleh jantung, pembuluh darah besar dan stuktur lainnya.
Yang terletak di dalam mediastinum, paru –paru adalah organ
berbentuk kerucut bagian puncak disebut apex. Paru -paru dibagi
beberapa lobus, paru-paru kanan mempunyai 3 lobus dan paru –
paru kiri 2 lobus.
8) Bronkhus Pulmonalis.
Trakea terbelah menjadi 2 bronkhus utama. Bronkhus ini
bercabang lagi sebelum masuk paru-paru, dalam perjalanannya
menuju paru-paru, bronkuhus dan pulmonalis bercabang dan
beranting banyak sekali. Bronkhus yang bercabang dan beranting
membentuk pohon brokhial, yang merupakan jalan udara utama.
9) Pleura
Setiap paru-paru dilapisi oleh membran serosa rangkap dua yaitu
pleura. Pleura viseralis erat melapisi paru-paru masuk kedalam
visura dan dengan demikian memisahkan lobus satu dari yang lain,
membran ini kemudian dilipat kembali di sebelah tampuk paru-
paru dan membentuk pleura parietalis. Diantara kedua lapisan
pleura itu terdapat sedikit exudat untuk meminyaki permukaannya
dan menghindarkan gesekan antara paru –paru dan dinding dada
sewaktu bernapas.
10) Pembuluh darah dalam paru-paru.
Arteri pulmonalis membawa darah yang sudah tidak mengandung
O2 dari ventrikel kanan jantung ke paru –paru, cabangnya
menyentuh saluran bronkhial bercabang –cabang menjadi arteriola
membelah dan membentuk jaringan kapiler. Jaringan kapiler ini
menyentuh dinding alveoli atau gelembung udara. Kapiler halus ini
hanya dapat memuat sedikit, maka praktis dapat dikatakan sel-sel
darah merah membuat jaring tunggal, alirannya bergerak lambat
dan dipisahkan udara dalam alveolinya oleh 2 membran yang
sangat tipis, maka pertukaran gas berlangsung dengan difusi, yang
merupakan fungwsi pernapasan. Hilus paru-paru dibentuk oleh
stuktur sebagai berikut: Arteri Pulmonalis yang mengembalikan
darah tanpa O2 ke dalam paru-paru untuk diisi O2. Vena
Pulmonalis yang mengembalikan darah berisi O2 dari paru-paru ke
jantung. Arteri bronkhialis keluar aorta dan mengantarkan darah
arteri ke jantung dan paru-paru. Vena bronkhialis mengembalikan
sebagian darah dari paru-paru ke vena cava superior dan pembuluh
darah limfe, yang masuk keluar paru-paru sangat banyak.
Persyarapan paru-paru mendapat pelayanan dari syaraf vagus dan
syaraf limpati. Kelenjar limfe, semua pembuluh limfe yang
menjelajahi struktur paru-paru dapat menyalurkan ke dalam
kelenjar yang ada.

b. Fisiologi Pernapasan
Respirasi dibawah pengontrolan pusat respirasi di medula
oblongata, dan badan karotid yang terletak di bifurkasio karotis. Pusat
meduler sangat terpengaruh oleh perubahan konsenterasi CO2 dalam
serebrospinal, dan perubahan respirasi oleh stimulasi saraf dari otot
pernapasan dan diafragma. Tekanan O2 dalam darah dimonitor oleh
badan karotis ( carotid bodies), yang kemudian merangsang pusat
respirasi melalui saraf glosofaringeal. Badan carotis dapat mengalami
hiperplastik akibat merespon hipoksemia kronis arteri, seperti yang
terjadi pada: Daerah dengan ketinggian yang tinggi, Empisema paru,
Fibrosa pulmo difusa, Kifoskoliosis disertai hipoventilasi kronis,
Sindrom Pickwickian (obesitas disertai hipoksemia kronis).

c. Pertukaran udara
Udara ditarik masuk ke dalam paru oleh kontraksi diafragma dan
otot interkosta, yang membentuk tekanan negatif intrapleura. Pada
waktu otot-otot tersebut relaksasi udara dikeluarkan karena paru
berkontraksi akibat aksi gravitasi dan kelenturan jaringan ikat paru.
Kelenturan paru, atau compliance, merupakan ukuran perubahan
volume per satuan perubahan tekanan, dan karenanya merupakan suatu
pengukuran kemampuan penekanan; sebagai contoh, pada fibrosis
paru, paru tidak mudah mengadakan tekanan, dan karenanya
kelenturan paru akan berkurang.
Jelasnya, pertukaran udara terjadi hanya dalam alveoli yang
mampu menyerap sehingga udara mudah mengalir. Aliran udara dalam
alveoli yang tidak mampu menyerap akan meningkatkan “ruang mati”,
dimana udara yang terhisap masuk tidak terlibat dalam pertukaran
udara. Perfusi dalam alveoli yang tanpa aliran udara menghasilkan
hubungan kanan ke kiri yang fisiologis dari darah yang tanpa
mengandung oksigen sewaktu melalui sirkulasi pulmoner.

3. Patofisologi
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali
memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang
menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh sekret yang
berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-
otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga
menyebabkan hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mukus dan akhirnya terjadi
edema dan inflamasi. Penyempitan saluran pernapasan terutama
disebabkan elastisitas paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul gejala
sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi.
Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas
mengakibatkan hiperventilasi (napas cepat dan dangkal) sehingga terjadi
retensi CO2 (CO2 tertahan) dan menyebabkan hiperkapnia (CO2 di dalam
darah/cairan tubuh lainnya meningkat). Pada orang normal sewaktu terjadi
ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran-saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.
Pada penderita COPD saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup
serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi
yang tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli
dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusi baik, sehingga
penyebaran pernapasan udara maupun aliran darah ke alveoli, antara
alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama). Timbul
hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia.
Pada dasarnya ada tiga kelainan fisiologis yang dapat
menimbulkan insufiensi atau ketidakcukupan pernapasan, yaitu karena :
a. Ventilasi yang tidak memadai di alveoli.
b. Pengurangan difusi gas melalui membrane pernapasan.
c. Berkurangnya transportasi oksigen dari paru-paru ke jaringan.

Ventilasi yang tidak memadai di alveoli karena adanya kelainan yang


menambah kerja ventilasi yaitu dengan penambahan tahanan jalan udara.
Mekanisme terjadinya obstruksi:

Intraluminer (pada bronkhitis kronis) Akibat infeksi dan iritasi yang


menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh sekret yang
berlebihan.

Intramular(pada asma bronkial) Dinding bronkus menebal, akibatnya :

a. Kontraksi otot-otot polos bronkus dan bronkiolus seperti pada asma,


b. Hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mukus,
c. Edema dan inflamasi (peradangan), sering terdapat pada bronkhitis dan
asma.
d. Ekstramular.(emfisema)
Kelainan terjadi di luar saluran pernafasan. Destruksi dari jaringan
paru mengakibatkan hilangnya kontraksi radial dinding bronkus
ditambah dengan hiperinflamasi jeringan paru menyebabkan
penyempitan saluran napas.
4. Etiologi
Ada tiga factor yang mempengaruhi timbulnya COPD yaitu:
a. Rokok
Menurut buku report of the WHO expert comittee on smoking control,
rokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara pisiologis
rokok berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukosa
bronkus dan metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga
dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut.
b. Infeksi
Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita
bronchitis kronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian
bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi
bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus,
yang kemudaian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
c. Polusi
Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi yang dapat juga
menyebabkan bronkhitis, zat-zat pengoksidasi seperti N2O,
hydrocarbon, aldehid.

Sedangkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya


COPD adalah:
a. Kebiasaan merokok
b. Polusi udara
c. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
d. Riwayat infeksi saluran nafas.
e. defisiensi α 1-antitripsin
5. Tanda dan Gejala
Menurut (Jeffrey & Scott, 2012, hal. 130)
a. Gejala awal PPOK termasuk batuk produktif yang berlangsung
kronis; pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun
sebelum berkembangnya dispnea.
b. Pemeriksaan fisik menunjukan hasil normal pada pasien yang
berada tahap lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi
parah, pasien dapat mengalami membrane mulkosa, “barrel chest”
karena pengembangan paru-paru yang berlebihan.
c. Pasien PPOK akan mengalami dispnea (dengan aktivitas fisik atau
pada saat aktivitas).
d. Terdapat suara mengi saat ekspirasi.
e. Hipoksia (takipnea, takikardi, sianosis).
f. Hiperkapnia ditandai dengan ansietas, tremor, dan penurunan
respirasi.
g. Penurunan berat badan.

6. Klasifikasi
a. Bronkhitis kronik
Inflamasi luas jalan nafas dengan penyempitan atau hambatan jalan
nafas dan peningkatan produksi sputum mukoid, menyebabkan
ketidakcocokan ventilasi perfusi dan menyebabkan sianosis. Atau
suatu kelainan pada bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung
lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar
bronchus maupun dari bronchus sendiri (Manurung, 2016, hal.12).
b. Asma bronkhial
Kondisi kronik yang dikarakteristikkan dengan inflamasi lapisan jalan
nafas bronkial (Rosdahl & Kowalski, 2017, hal 1637).
c. Emfisema
Gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran
ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan (Seomantri,
2018, hal. 52).
1) Derajat I: COPD ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).
Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 >
80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak
menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2) Derajat II: COPD sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP <
70%; 50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan
dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari
pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3) Derajat III: COPD berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang
semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% / VEP1 < 50%
prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan
kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak
pada kualitas hidup pasien.
4) Derajat IV: COPD sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP <
70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah
dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

7. Tes Diagnostik
a. Pengukuran Fungsi Paru
1) Kapasitas inspirasi menurun
2) Volume residu meningkat
3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruktif progresif penyakit paru
obstruktif kronis.
4) FVC awal normal kemudian menurun pada bronkhitis dan asma
5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada
emfisema)
b. Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma.
Pada pemeriksaan gas darah arteri PH 45 mmHg, sedangkan yang
normal PH 7,35-7,45 dan PaCO2 35-45 mmHg, serta pO2 75-100
mmHg.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada plisitemia
sekunder.
2) Jumlah darah merah meningkat.
3) Eosinofil dan total IgE serum meningkat.
4) Pulse oksimetri SaO2 oksigenisasi menurun.
5) Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretik.
d. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman/ kultur adanya infeksi campuran. Kuman
patogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus pneumoniae,
Hemopylus influenza, dan Moraxella catarrhalis.
e. Pemeriksaan Radiologi Thoraks Fhoto (AP dan Lateral)
Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan
bendungan area paru. Pada emfisema paru didapatkan diafragma
dengan letak yang rendah dan mendatar, ruang udara retrosternal >
(foto lateral), jantung tampak bergantung, memanjang dan menyempit.
f. Pemeriksaan Bronkhogram
Menunjukkan dilatasi bronkhus, kolaps bronkhiale pada ekspirasi kuat
g. EKG
Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise
jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal, terdapat deviasi aksis ke
kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS
rendah.
8. Komplikasi
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2 < 50 mmHg
dengan nilai saturasi O2 < 85%. Pada awalnya pasien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa.pada
tahap lanjuttimbul sianosis.
b. Asidosis respiratori
Asidosis respiratori timbul akibat dari peningkatan nilai PCO2
(hiperkapnia) tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue,
letargi, dizziness, dan takipnea.
c. Infeksi saluran pernafasan
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena adanya peningkatan
produksi mukus.
d. Gagal jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru-
paru) harus diobservasi, terutama pada pasien dispnea berat.
Komplikasi ini seringkali berhubungan dengan bronkhitis kronis,
namun beberapa pasien emfisema berat juga mengalami masalah ini.
e. Disritmia jantung
Disritmia jantung timbul akibat dari hipoksemia, penyait jantung lain,
dan efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.
f. Status asmatikus
Status asmatikus merupakan komplikasi utama yang berhubungan
dengan asma bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam
kehidupan, dan sering kali tidak memberikan respon terhadap terapi
yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher sering kali terlihat.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penderita COPD prinsipnya ialah untuk
meringankan keluhan simptomatik, memperbaiki serta mempertahankan
fungsi paru dan usaha pencegahan harus dilakukan seperti penghentian
merokok, menghindari polusi udara.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
a. Pengobatan farmakologi
1) Anti-inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dan lain-lain).
2) Bronkodilator.
3) Adrenergik : efedrin, epinefrin, dan beta adrenergik agonis selektif
4) Nonadrenergik : aminofilin, teofilin.
5) Antihistamin
6) Steroid
7) Antibiotik
8) Ekspektoran
9) Oksigen digunakan 3l/menit dengan nasal kanul.
b. Higiene paru
Dilaksanakan dengan pemberian nebulizer, fisioterapi dada, dan
postural drainase. Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekret dari
paru, meningkatkan kerja silia, dan menurunkan resiko infeksi.
c. Latihan
Dilaksanakan dengan jalan sehat. Cara ini bertujuan untuk
mempertinggi kebugaran dan melatih fungsi otot skeletal agar lebih
efektif.
d. Menghindari bahan iritan
Penyebab iritan jalan nafas yang harus dihindari diantaranya asap
rokok dan perlu juga mencegah adanya alergen yang masuk tubuh.
e. Diet
Klien sering mengalami kesulitan makan karena adanya dispnea.
Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik daripada makan
sekaligus banyak.
B. KONSEP DASAR RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
Beberapa komponen yang ada pada identitas meliputi nama, jenis
kelamin,umur, alamat, suku bangsa, agama, No.registrasi, pendidikan,
pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal dan jam masuk Rumah
Sakit.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien biasanya mengeluh adanya
sesak nafas.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat sekarang berisi tentang perjalanan penyakit yang dialami
pasien dari rumah sampai dengan masuk ke Rumah Sakit.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien sebelumnya pernah mengalami PPOK
atau penyakit menular yang lain.
e. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota keluraga ada
yang pernah mengalami sakit yang sama dengan pasien atau penyakit
yang lain yang ada di dalam keluarga.
f. Pola fungi kesehatan
Pengorganisasian data berdasarkan pola fungsi kesehatan menurut
Gordon :
1) Persepsi terhadap kesehatan
Adanya tindakan penatalaksanaan kesehatan di RS akan
menimbulkan perubahan terhadap pemeliharaan kesehatan.
2) Pola aktivitas dan latihan
Pola aktivitas perlu dikaji karena pada klien dengan PPOK
mengalami keletihan, dan kelemahan dalam melakukan aktivitas
gangguan karena adanya dispnea yang dialami.
3) Pola istirahat dan tidur
Gangguan yang terjadi pada pasien dengan PPOK salah satunya
adalah gangguan pola tidur, pasien diharuskan tidur dalam posisi
semi fowler. Sedangkan pada pola istirahat pasien diharuskan
untuk istirahat karena untuk mengurangi adanya sesak yang
disebabkan oleh aktivitas yang berlebih.
4) Pola nutrisi-metabolik
Adanya penurunan nafsu makan yang disertai adanya mual muntah
pada pasien dengan PPOK akan mempengaruhi asupan nutrisi pada
tubuh yang berakibat adanya penurunan BB dan penurunan massa
otot.
5) Pola eliminasi
Pada pola eliminasi perlu dikaji adanya perubahan ataupun
gangguan pada kebiasaan BAB dan BAK.
6) Pola hubungan dengan orang lain
Akibat dari proses inflamasi tersebut secara langsung akan
mempengaruhi hubungan baik intrapersonal maupun interpersonal.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Akan terjadi perubahan jika pasien tidak memahami cara yang
efektif untuk mengatasi masalah kesehatannya dan konsep diri
yang meliputi (Body Image, identitas diri, Peran diri, ideal diri, dan
harga diri).
8) Pola reproduksi dan seksual
Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang sudah menikah
akan mengalami perubahan.
9) Pola mekanisme koping
Masalah timbul jika pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah
kesehatannya, termasuk dalam memutuskan untuk menjalani
pengobatan yang intensif.
10) Pola nilai dan kepercayaan
Adanya kecemasan dalam sisi spiritual akan menyebabkan masalah
yang baru yang ditimbulkan akibat dari ketakutan akan kematian
dan akan mengganggu kebiasaan ibadahnya.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem pernafasan :
adanya sesak, retraksi dada, auskultasi adanya bunyi ronchi, atau bunyi
tambahan lain. tetapi pada kasus berat bisa didapatkan komplikasi
yaitu adanya pneumonia.
2) Sistem kardiovaskuler :
TD menurun, diaforesis terjadi pada minggu pertama, kulit pucat, akral
dingin, penurunan curah jantung dengan adanya bradikardi, kadang
terjadi anemia, nyeri dada.
3) Sistem neuromuskular :
perlu diwaspadai kesadaran dari composmentis ke apatis,somnolen
hingga koma pada pemeriksaan GCS, adanya kelemahan anggota
badan dan terganggunya aktivitas.
4) Sistem perkemihan :
Pada pasien dengan bronkhitis kaji adanya gangguan eliminasi seperti
retensi urine ataupun inkontinensia urine.
5) Sistem pencernaan
Kaji adanya mual,muntah,kembung,adanya distensi abdomen dan
nyeri abdomen,diare atau konstipasi. Auskultasi : kaji adanya
peningkatan bunyi usus. Perkusi : kaji adanya bunyi tympani abdomen
akibat adanya kembung. Palpasi : adanya hepatomegali, splenomegali,
mengidentifikasi adanya infeksi pada minggu kedua,adanya nyeri
tekan pada abdomen.
6) Sistem muskuloskeletal:
Adanya respon sistemik yang menyebabkan malaise, adanya sianosis.
Integumen turgor kulit menurun, kulit kering.
2. Diagnosa keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkokontriksi,peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenagadan infeksi bronkopulmonal.
b. Pola napas tidak efektif b.d napas pendek,mukus,bronkokontriksi
dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pertukaran gas b.d ketidaksamaan ventilasi perfusi
d. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d dispnea,kelamahan,
efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
f. Kurang perawatan diri b.d keletihan sekunder akibat peningkatan
upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

3. Intervensi keperawatan
a. Diagnosa 1 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
kontriksi bronkus peningkatan produksi stputum, batuk tidak efektif,
infeksi bronkopulmonal.

Tujuan : Setelah dilakukan asuha keperawatan selama . . . . × . . . .


jam, diharapkan bersihan jalan nafas kembali efektif.

Kriteria Hasil, klien akan :


1) Frekuensi nafas normal (16 – 20 × per menit)
2) Tidak sesak
3) Tidak ada sputum
4) Batuk berkurang

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji warna, kekentalan, dan jumlah 1. Karakteristik sputum dapat
sputum menunjukkan berat ringannya
2. Atur posisi semifowler obstruksi
3. Ajarkan cara batuk efektif 2. Meningkatkan ekspansi dada
4. Bantu klien nafas dalam 3. Batuk yang terkontrol dan efektif
5. Tingkatkan masukan cairan sampai dapat memudahkan pengeluaran
3000 ml/hari sesuai toleransi secret yang melekat di jalan nafas.
jantung. 4. Ventilasi maksimal membuka
6. Lakukan fisioterapi dada dengan lumen jalan nafas dan
teknik postural drainage, perkusi, meningkatkan gerakan secret
dan fibrasi dada kedalam jalan nafas besar untuk
7. Kolaborasi pemberian obat : dikeluarkan.
Bronkodilator 5. Hidrasi menbantu menurunkan
Nebulizer (via inhalasi) dengan kekentalan secret, mempermudah
golongan terbutaline 0,25 mg, pengeluaran. Penggunaan cairan
fenoterol HBr 0,1% solution, hangat dapat menurunkan spasme
orcipenaline sulfur 0,75 mg bronkus.
8. Agen mukolitik dan ekspektoran 6. Postural drainage dengan perkusi
dan vibrasi menggunakan bantuan
gaya gravitasi untuk membantu
menaikkan sekresi sehingga dapat
dikeluarkan atau dihisap dengan
mudah.
7. Pemberian bronkodilator via
inhalasi akan langsung menuju area
bronchus yang mengalami spasme
sehingga lebih cepat berdilatasi.
8. Agen mukolitik menurunkan
kekentalan dan pelengketan secret
paru untuk memudahkan
pembersihan. Agen ekspektoran
akan memudahkan secret lepas dari
pelengketan dari jalan nafas.

b. Diagnosa 2 : Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan


suplai oksigen.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama . . . × . . . jam,


diharapkan tidak terjadi gangguan pertukaran gas.

Kriteria hasil, klien akan :


1) Frekuensi nafas normal (16 – 20 kali/menit)
2) Tidak terdapat disritmia
3) Adanya penurunan dispnea
4) Menunjukan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji frekuensi, kedalaman 1. Berguna dalam evaluasi derajat
pernafasan. Catat penggunaan otot disstres pernafasan dan atau
aksesori, napas bibir, kronisnya proses penyakit.
keridakmampuan berbicara. 2. Pengiriman oksigen
2. Atur posisi semifowler 3. Sianosis mungkin perifer (terlhat
3. Kaji/awasi secara rutin kulit dan pada kuku) atau sentral (terlihat di
warna membrane mukosa. sekitar bibir atau telinga). Keabu-
4. Auskultasi bunyi nafas, catat area abuan dan sianosis sentral
penurunan aliran udara dan atau mengindikasikan beratnya
bunyi tambahan. hipoksemia.
5. Awasi tingkat kesadaran/status 4. Bunyi nafas mungkin redup karena
mental. Selidiki adanya perubahan. adanya penurunan aliran udara atau
6. Awasi tanda vital dan irama area konsolidasi. Adanya mengi
jantung. mengindikasikan spasme
bronkus/tertahannya secret.
5. Gelisah dan ansietas adalah
menifestasi umum pada hipoksia.
6. Takikardia, disritmia, dan
perubahan TD dapat menunjukan
efekl hipoksemia sistemik pada
fungsi jantung.

c. Diagnosa 3 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas


pendek dan produksi sputum.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama . . . × . . .


jam, diharapkan pola nafas kembali efektif.

Kriteria hasil, klien akan :

1) Frekuensi nafas normal (16 – 20 × per menit)


2) Frekuensi nadi normal (70 – 90 × permenit)
3) Tidak ada dispnea

INTERVENSI IMPLEMENTASI
1. Ajarkan pasien diafragmatik dan 1. Membantu pasien memperpanjang
pernafaan bibir dirapatkan. waktu ekspirasi. Dengan teknik ini
2. Berikan dorongan untuk menyelingi pasien akan bernafas lebih efisien
aktivitas dengan istirahat. Biarkan dan efektif.
pasien membuat beberapa 2. Membrikan jeda aktivita akan
keputusan (mandi, bercukur) memungkinkan pasien untuk
tentang perawatannya berdasarkan melakukan aktivitas tanpa disstres
pada tingkat toleransi pasien. berlebih.
3. Berikan dorongan penggunaan 3. Menggunakan dan mengkondisikan
pelatihan otot-otot pernafasan jika otot-otot pernafasan.
diharuskan.
d. Diagnosa 4 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan produksi sputum berlebih.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama . . . × . . .


jam, diharapkan terpenuhinya kebutuhan nutrisi sesuai kebutuhan.

Kriteria hasil, klien akan :

1) Menunjukan perilaku mempertahankan masukan nutrisi adekuat.


2) Mengidentifikasi kebutuhan nutrisi individual.
3) Peningkatan asupan makanan dari sepertiga porsi menjadi setengah
porsi untuk setiap kali makan

INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji kebiasaan diet, masukan 1. Pasie distress pernafasan akut
makanan saat ini. Catat derajat sering anoreksia karena dispnea,
kesulitan makanan. Evaluasi berat produksi sputum dan obat. Selain
badan dan ukuran tubuh. itu pasien PPOM mempunyai
2. Auskultasi bunyi usus kebiasaan makan buruk, meskipun
3. Berikan perawatan oral sering, kegagalan pernafasan membuat
buang secret, berikan wadah khusus ststus hipermetabolik dengan
untuk sekali pakai dan tisu. peningkatan kebutuhan kalori.
4. Dorong periode istirahat selama 1 2. Penurunan bising usus menunjukan
jam sebelum dan sesudah makan. penurunan mobilitas gaster dan
Berikan porsi kecil atapi sering. konstipasi (konstipasi umum) yang
5. Hindari makanan yang sangat panas berhubungan dengan pembatasan
atau sangat dingin. pemasukan cairan, pemulihan
makanan buruk, penurunan aktivitas
dan hipoksemia.
3. Rasa tak enak, bau, dan
penampillan adalah pencehgahan
utama terhadap nafsu makan dan
dapat membuat mual dan muntah
dengan peningkatan kesulitan nafas.
4. Membantu menurunkan kelemahan
selama waktu makan dan
memberikan kesempatan untuk
meningkatkan masukan kalori total.
5. Suhu ekstrem dapat mencetus atau
meningkatkan spasme batuk.
e. Diagnosa 5 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan hipoksemia,
keletihan, poal nafas tidak efektif.

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama . . . × . . .


jam, diharapkan klien dapat melakukan aktivitas seperti orang normal
(sehat)

Kriteria hasil, klien akan :

1) Melakukan aktivitas dengan nafas pendek lebih sedikit.


2) Mengungkapkan perlunya untuk melakukan latihan setiap hari dan
memperagakan rencana latihan yang akan dilakukan di rumah.
3) Berjalan dan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak
berjalan untuk memperbaiki kindisimfisik.
4) Minimal bias berjalan 10 – 15 meter.

INTERVENSI RASIONAL
1. Dukung pasien dalam menegakkan 1. Otot-otot yuang mengalami
regimen latihan teratur dengan cara kontaminasi membutuhkan lebih
berjalan atau latihan lainnya yang banyak oksigen dan memberikan
sesuai, seperti berjalan perlahan, beban tambahan pada paru-paru.
latihan berdiri tanpa alat bantu, dll. Melalui latihan yang teratur,
2. Konsultasikan dengan ahli terapi bertahap, kelpmpk otot ini menjadi
fisik untuk menentkan program lebih terkondisi, dan pasien dapat
latihan spesifik terhadap melakukan lebih banyak tanpa
kemampuan pasien. mengalami nafas pendek.
2. Ahli terapi fisik akan lebih tau
tentang latihan fisik yang akan
diberikan pada klien, akan
membrikan porsi yang sesuai
dengan klien
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. (2010). Pengkajian Keperawatan . Jakarta Selatan: Salemba Medika.

Nixson Manurung, S. (2016). Aplikasi Asuhan Keperawatan Sistem Respiratory.


Jakarta: CV. Trans Info Media.

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Tim


Pokja SDKI DPP PPNI.

Soematri, i. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai