Anda di halaman 1dari 11

Ekspresi Islami Generasi Millenial Muslim

Para Millenial muda muslim ini ingin menyampaikan bahwa berislam juga bisa menjadi modern.

M. Fakhru Riza M. Fakhru Riza 16 Oktober 2017 13271

Share

Tweet

Dikala di negeri ini isu kebangkitan Islam Kanan atau Fundamentalis semakin meninggi. Ada sebuah
perkembangan dalam generasi muda muslim dengan genre yang berbeda. Mereka-mereka ini muslim,
tapi juga terbuka terhadap unsur-unsur budaya dari luar mereka. Mereka ini hidup dan berkreativitas
dalam arus modernitas, dan mereka ini malah sebagai agen Islam yang mengampanyekan Islam yang
ramah dan terbuka terhadap dunia modern.

Generasi muda muslim ini lahir dari depresi paska peristiwa teroris 11 September WTC dan
Penembakan brutal para teroris kepada 11 pegawai Charlie Hebdo di Perancis pada 2015 lalu. Mereka
merasa terstereotype sebagai seorang muslim yang di identikan dengan terorisme dan kolot. Peristiwa
besar ini banyak membentuk jiwa keberislaman mereka. Mereka ingin menunjukkan, bahwa Islam tidak
sebagaimana dituduhkan dalam isu-isu Islamophobia.

Para Millenial muda muslim ini ingin menyampaikan bahwa berislam juga bisa menjadi modern. Berislam
juga bukan teroris, tapi mereka terbuka dalam bergaul, hidup berpendidikan tinggi dan survive dalam
dunia modern. Seperti yang diuraikan oleh Shelina Janmohammed dalam bukunya yang berjudul
Generation M: Generasi Muda Muslim dan Cara Mereka Membentuk Dunia, para generasi Millenial
muda muslim ini merasa tersinggung karena diidentikkan dengan para pembunuh brutal di Charlie
Hebdo tersebut.

Saking muaknya terhadap stereotype teroris dan ISIS terhadap identitas mereka sebagai seorang muslim.
Seperti yang diceritakan oleh Shelina Janmohammed dalam bukunya, seorang pemudi bernama Layla
Shaikley, muslimah Millenial jebolan MIT dan sekarang bekerja untuk NASA. Layla merasa frustasi
terhadap stereotype-stereotype ini. Kemudian untuk melawan cap-cap teroris dan ISIS, ia membuat
sebuah video yang diperankan oleh para muslimah-muslimah berhijab terdidik di Amerika. Dalam video
itu ingin menyampaikan bahwa generasi muslim adalah seorang muslimah, berhijab, dan yang cukup
penting adalah mereka fashionable dan menjadi diri mereka sendiri.
Memberikan gambaran baru tentang identitas kemusliman mereka ini cukuplah penting. Gambaran baru
bahwa mereka juga melek fesyen dan sekaligus berhijab tentulah suatu kampanye yang positif.

Generasi Millenial muda muslim ini hidup di jantung modernitas dunia, Eropa dan Amerika. Dalam
kondisi belakangan ini, dimana menjadi seorang muslim ditengah merebaknya ketidakpercayaan dunia
Internasional terhadap Islam, menjadi seorang generasi muda yang muslim merupakan suatu yang sulit
untuk dilakukan.

Yang menarik adalah, generasi Millenial muda ini lahir di era saat ini, zaman internet dan keterbukaan
informasi. Dimana, para Millenial ini hidup dididik dalam keluarga muslim dan sekaligus mereka
dibesarkan dalam lingkungan Eropa dan Amerika. Sintesa ini ternyata mampu melahirkan sebuah
generasi yang terbuka terhadap peradaban dan juga sekaligus tidak kehilangan terhadap identitas
keislamannya.

Ekspresi beragama mereka dan bergumulnya dengan dunia modern barat amatlah menarik. Mereka
tidak sebagaimana umat muslim pada umumnya, yang setiap hari terlalu mencolokkan identitas
keislamannya dengan jenggot panjang dan jubah. Generasi Millenial muda muslim ini malah
menunjukkan kalau mereka berislam juga bisa gaul, cerdas, melek fesyen dan sekaligus modern.

Nampaknya, kita yang hidup di negeri yang mayoritas muslim ini perlu untuk banyak belajar terhadap
cara mengekspresikan generasi Millenial Muda Islam seperti Layla dan teman-temannya. Kita tentunya
amat jenuh dan muak dengan cara berislam banyak generasi muda kita, yang menjual keislaman kita
dengan identitas sebagai Islam yang pemarah dan membahayakan orang lain. Takbirr.

M. Fakhru Riza, Penulis adalah Pegiat Gusdurian Jogja dan Mahasiswa Psikologi UIN Jogja.

https://islami.co/ekspresi-islami-generasi-millenial-muslim/

Peta Literatur Keislaman di Kalangan Generasi Milenial


Grand Hotel Mercure Yogyakarta menjadi tempat terakhir rangkaian acara Seminar Diseminasi Hasil
Penelitian “Literatur Keislaman Generasi Milenial” yang digagas oleh Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Convey Indonesia. Dalam acara yang diselenggarakan pada Selasa (30/1) itu, beberapa
peneliti yang hadir antara lain Prof. Noorhaidi Hasan, Dr. Roma Ulinnuha, Dr. Fosa Sarassina dan Dr.
Suhadi. Acara seminar itu juga mendatangkan Hairus Salim (pegiat buku dan budaya) dan Nendra
Primonik (Founder Hipwee) sebagai pembahas.

Dilakukannya penelitian tentang literature keislaman tersebut secara umum berangkat dari satu
pertanyaan mendasar; literature keislaman seperti apa yang banyak diakses oleh generasi milenial?

Selama ini, sebagian kalangan beranggapan bahwa generasi milenial merupakan generasi yang sangat
rentan terhadap ideology radikalisme dan konservatif. Berkembangnya ideology tersebut salah satunya
dipengaruhi oleh menyebarnya literature keislaman di kalangan mereka yang ditulis dan diproduksi oleh
pihak-pihak yang memiliki afiliasi terhadap beberapa kelompok Islam seperti Salafi, Tarbawi, Tahriri,
Jihadi dan sejenisnya.

Dari hasil penelitian yang melibatkan para siswa dan mahasiswa di 16 kota di Indonesia ini, setidaknya
dapat dipetakan bahwa literature keislaman yang paling banyak diakses oleh generasi milenial adalah
literature keislaman populer, menyusul kemudian literature keislaman Tarbawi, Tahriri, dan Salafi.
Meskipun literature keislaman popular sangat dominan di kalangan generasi ini, namun secara tidak
langsung tetap ada pengaruh ideology tertentu yang turut mewarnai konten literature tersebut seperti
ideology Salafi dan Tarbawi.

Dalam paparannya, Prof. Noorhaidi mengatakan bahwa dominannya literature keislaman populer di
kalangan generasi milenial salah satunya dipengaruhi oleh terlalu kuatnya ide penerapan pendidikan
karakter yang dibebankan bagi siswa maupun mahasiswa. Sementara di sisi lain, pemerintah tidak
mampu menghadirkan literature keislaman yang sesuai dengan budaya mereka, sehingga kalangan ini
pada akhirnya memilih mengakses literature keislaman yang lebih mewakili gaya dan kecenderungan
mereka. Kenyataan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para akademisi untuk dapat
memproduksi literatur keislaman yang sesuai dengan budaya yang berkembang di kalangan anak muda.

Sebagai sebuah rekomendasi bagi pemerintah, para peneliti sepakat tentang perlunya mengimbangi
literature keislaman yang di antaranya mengandung bias-bias ideology konservatif dan radikal tersebut
dengan memproduksi literature keislaman yang moderat, humanis dan toleran. Dalam paparannya,
Nendra Primonik juga memandang penting buku-buku keislaman di sekolah dikemas dan disajikan
dengan gaya yang menarik, trendy, kece dan casual sesuai budaya yang berkembang di kalangan generasi
milenial saat ini (Salman Rusydie).
http://pps.uin-suka.ac.id/id/2-berita-terkini/1054-peta-literatur-keislaman-di-kalangan-generasi-
milenial.html

Islam, Indonesia, dan Generasi Milenial

1 Januari 2018 15:00 Diperbarui: 1 Januari 2018 15:00 19765 0 1

Islam, Indonesia, dan Generasi Milenial

Dunia informasi dan telekomunikasi yang canggih telah membawa perubahan yang sangat drastis kepada
generasi muda kita. Perubahan ini mulai kita rasakan dari cara berkomunikasi, berbagai kemudahan
akses terhadap informasi sampai cara kita berpikir dan respons kita terhadap permasalahan yang ada.
Selama perubahan ini menguntungkan kita, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, justru
perubahan ini terkadang membawa kita menjadi makhluk yang bodoh dan cenderung pemalas. Kita
terlalu asyik menikmati semua hasil penemuan generasi sebelumnya, sehingga merasa cukup dan
terbiasa. Di sinilah tantangan kita untuk bangkit dari lembah kehancuran ini.

Generasi Millennial atau generasi Y adalah generasi penerus yang menurut penelitian dimulai oleh
generasi yang lahir sejak tahun 1980 sampai tahun 2000. Itu berarti, setelah 37 tahun berlalu dapat
dipastikan sekitar 87% populasi penduduk bumi sekarang didominasi oleh generasi millennial. Karakter
yang dimiliki oleh generasi muda ini juga cenderung khas. Karakter mereka sangat berbeda dari generasi
sebelumnya mulai dari budaya, sikap, tingkah laku dan hal lainnya. Hal ini disebabkan Karena generasi ini
sedikit banyaknya tinggal menggunakan apa yang sudah ditemukan oleh generasi sebelumnya, yaitu
generasi X. Maka generasi ini juga disebut dengan generasi muda penduduk bumi.

Generasi muda suatu umat atau bangsa menjadi tolak ukur terhadap nasib dan masa depan dari umat
atau bangsa tersebut. Jika kita ingin melihat kekuatan dan ketahanan suatu umat dan bangsa, maka
lihatlah dari kualitas generasi muda yang mereka miliki. Jika generasi muda mereka baik, maka pastilah
kekuatan mereka juga baik dan sulit untuk dipengaruhi oleh ideologi atau pemikiran bangsa atau umat
lainnya. Namun sebaliknya, jika generasi muda suatu bangsa atau umat buruk, maka dapat dipastikan
mereka sangat rentan dengan kehancuran dan mudah untuk dipengaruhi oleh ideologi bangsa atau umat
lain.

Karena itu, bila kita cermati lebih lanjut gerakan-gerakan musuh Islam dalam memerangi Islam adalah
dengan menghancurkan generasi mudanya terlebih dahulu. Caranya adalah mereka gencar dalam
memperkenalkan budaya mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam hingga generasi muslim
tertarik dan terjerumus ke dalamnya. Bila generasi suatu umat atau bangsa rusak, maka untuk
menghancurkannya tidak perlu menggunakan perang senjata dan angkatan perang. Inilah yang
dipesankan oleh Napoleon Bonaparteketika dia dan pasukannya memenangkan perang salib dari kaum
Muslim, bahwa satu-satunya cara berperang dengan generasi Muslim adalah dengan cara perang
pemikiran.

Selanjutnya, ini menjadi hal yang sangat penting dan menarik untuk dibahas. Mulai dari mengapa hal ini
dapat terjadi, bagaimana kondisi umat pada zaman keemasan Islam sedang berlangsung dan bagaimana
nikmatnya hidup pada zaman sains dan teknologi Islam sedang berkembang dengan pesat sampai
bagaimana kondisi umat di tengah zaman yang rentan ini. Terlepas dari ingin mengingatnya kembali,
justru hal ini dapat menjadi sesuatu yang dapat kita petik pelajaran dari padanya. Dengan membahas
kembali, kita ingin agar pemuda Islam bangkit dengan cara mempelajari konsep ilmu keislaman dan
menentang penjajahan ideologi bangsa barat yang jelas-jelas memecah umat Muslim di seluruh dunia.

Berkaca pada sejarah, salah satu faktor melemahnya Islam adalah runtuhnya kekuasaan Khilafah di
berbagai kekuasaan negara di dunia pada zaman keemasan Islam. Ada 2 nilai inti dari konsep Khilafah ini
yang nilainya hilang dari pemuda Islam pada saat itu: Pertama, nilai pemahaman pemuda Islam dari
konsep-konsep keislaman, yang kedua adalah memudarnya nilai penerapan dari nilai-nilai keislaman
yang diwariskan kepada pemuda Islam. Inilah titik kehancuran fondasi Islam dan terbukanya pintu untuk
negara barat memasuki dan memengaruhi pemuda Islam dengan ideologi yang mereka bawa.

MEMUDARNYA KONSEP KEISLAMAN PADA PEMUDA

Hilangnya konsep pemahaman nilai Islam menjadi salah satu inti permasalahan yang lambat laun akan
membawa Islam ke gerbang kehancuran. Penulis ibaratkan konsep pemahaman ini sebagai batu bata
yang akan menjadi fondasi sebuah rumah mewah. Tentunya, batu bata yang kita perlukan adalah batu
bata berkualitas, yang bentuknya rapi dan simetris, tidak mudah rapuh dan cukup kuat untuk
membangun dinding yang kokoh.

Yang jika kita ditanya mengapa memilih batu bata yang ini ketimbang batu bata yang lain, kita akan tahu
jawabannya dengan yakin. Kira-kira seperti itulah konsep yang seharusnya ada dalam setiap jiwa pemuda
Islam. Konsep yang akan menjadi penjaga keimanan dan kekuatan dari nilai Islam pada pemuda selaku
generasi muda Islam. Yang akan memberikan alasan yang kuat mengapa mereka mempertahankan
konsep keislaman seperti itu. Di sinilah letak kekuatan konsep keislaman yang seharusnya dipertahankan
oleh generasi muda Islam dari dulu.
Kelemahan pemahaman ini antara lain berkenaan dengan nas-nas ajaran Islam, Bahasa Arab dan
ketidaksuaian praktik ajaran Islam dalam realitas kehidupan. Ketiga bentuk pelemahan ini juga
diperparah dengan intensifnya serangan-serangan budaya dan peradaban barat yang bertentangan
dengan budaya dan ajaran Islam, di tengah melemahnya budaya dan peradaban Islam itu sendiri.
Masuknya budaya dan peradaban barat ini meliputi hampir setiap aspek kehidupan dalam konsep
pemerintahan Khilafah itu sendiri.

Cara barat meyakinkan umat Islam dengan ideologi yang mereka bawa juga terkesan unik. Mereka
menyampaikan bahwa peradaban dan budaya barat tidak bertentangan dengan budaya dan peradaban
Islam itu sendiri. Mereka meyakinkan bahwa peradaban barat akan menyempurnakan peradaban Islam
dan tidak akan menghapuskannya dari keberadaan masyarakat, hingga akhirnya pemahaman umat
terhadap Islam makin melemah. Buktinya adalah umat mulai melegalkan hukum barat di negaranya,
menakwilkan riba dan membuka bank-bank, memberhentikan penegakan hudud dan mengambil
gantinya dari undang-undang barat.

Adapun kelemahan dalam penerapan Islam, salahnya penerapan konsep keislaman pada aspek
kehidupan. Diantaranya ialah, maraknya partai-partai politik yang menggunakan kekuatan militer sebagai
basis kekuatan partai dan menjaga kekuasaan, bukan berorientasi pada dukungan umat. Seperti
golongan Arbaiyah yang menduduki Persia dan Irak serta menjadikan wilayah ini sebagai sentral
kekuasaannya. Lalu dari sini mereka menggulingkan kekuasaan dan menjadikan Bani Hasyim sebagai
penguasanya.

Di samping itu, kelemahan lainnya tampak dari pemberian otoritas yang besar dan luas kepada para Wali
(Gubernur) di berbagai wilayah. Hal ini menjadikan Khalifah memberikan wewenang dan otoritas yang
sangat luas kepada para Wali sehingga mereka mengatur wilayah mereka sendiri secara independen,
terlepas dari pusat. Hubungan dengan pusat hanya sebatas formalitas, seperti doa kepada Khalifah di
mimbar Jumat, pencetakan mata uang atas namanya, pengiriman kharaj kepadanya, dan sebagainya.

Dua inti permasalahan inilah yang mengantarkan Islam pada gerbang kehancuran. Dimulai dari
kurangnya pemahaman konsep keislaman pada umat, terlebih pada kaum pemudanya, hebatnya
gempuran barat dengan membawa peradaban dan budaya mereka ditengah-tengah kaum muslim,
hingga memudarnya hukum-hukum Islam dari penerapan pada internal Islam itu sendiri dan kurangnya
kewaspadaan gempuran hukum-hukum barat pada zaman keemasan Islam itu sendiri. Hingga detik-detik
saat hancurnya Islam ditandai dengan bubarnya Khilafah Islamiyah terakhir di Turki tahun 1924 Masehi
oleh Mustafa Kemal Attaturk
KONDISI UMAT DI INDONESIA

Di Indonesia pun berita penghapusan Khalifah telah sampai dan mendapat respons dari ulama dan tokoh
pergerakan umat Islam pada saat itu. Pada Mei 1924, dalam kongres Al-Islam II yang diselenggarakan
oleh Syarikat Islam dan Muhammadiyah, persoalan tentang pengganti Khalifah pun menjadi topik
pembicaraan kongres. Dalam kongres yang diketuai oleh Haji Agus Salim ini diputuskan bahwa untuk
meningkatkan persatuan umat Islam maka kongres harus ikut aktif dalam usaha menyelesaikan
persoalan Khalifah yang menyangkut kepentingan seluruh umat Islam di dunia. Semenjak kongres ini
dilakukan, mulai banyak pergerakan-pergerakan Islam yang bermunculan seperti Syarikat Islam, Al-
Irsyad, Muhammadiyah dan menyusul kemudian Nadhatu Ulama.

Jauh sebelum detik-detik penghapusan dan pembubaran Khalifah oleh Kemal Attaturk, umat di Indonesia
sudah gencar-gencarnya membahas kekhalifahan tersebut. Ini dikarenakan, sejak awal Kemal Attaturk
berkuasa di Turki, banyak kebijakan-kebijakan kontroversial yang dilakukan oleh Kemal Attaturk, seperti
membatasi pergerakan Muslim di Turki, lebih banyak berkoalisi dengan Barat ketimbang negara Arab,
membenci Agama dan Bahasa Arab, serta pada akhirnya Ia secara resmi memberhentikan Khilafah di
Turki. Ini membuat umat di Indonesia mempersiapkan langkah guna mengantisipasi kehancuran sistem
Khilafah dan meneruskan perjuangan Khalifah Abdul Majid II. Umat juga kebingungan disertai
kewaspadaan terkait siapa yang akan menggantikan Khalifah Abdul Majid II. Mereka tidak hanya memiliki
hasrat untuk terlibat dalam perbincangan ini, namun umat berkewajiban untuk memperbincangkan dan
mencari penyelesainya.

Saat gagasan penegakan Khalifah muncul, umat di Indonesia sedang berada di zaman pergerakan
Nasional. Organisasi-organisasi pergerakan umat yang muncul tadi menjadi wadah perjuangan mereka
untuk berjuang melawan penjajahan Belanda. Berbeda dengan perjuangan generasi sebelum mereka
yang melakukan perlawanan melalui kontak fisik dan bersenjata, maka generasi umat ini pun melakukan
perjuangan dengan adu pemikiran dan intelektual.

Perjuangan umat dengan cara yang modern ini dilakukan dengan berdiskusi melalui Muktamar-
muktamar dalam organisasi. Dengan cara lakukan diskusi, umat dengan tepat dapat menyelesaikan
permasalahan yang ada. Ditambah, kekuatan media dan siaran-siaran yang menyiarkan kegiatan mereka
membantu menyebarluaskan informasi yang akan dikirimkan kepada umat banyak di dalam negeri dan
umat banyak melakukan koordinasi dengan gerakan-gerakan keislaman dari negeri lain.
Koordinasi dengan gerakan dari luar negeri ini pun menghasilkan terlaksananya sebuah kongres dunia
Islam di Kairo dengan mengundang perwakilan dari seluruh umat Islam di Dunia. Umat Islam di
Indonesia harus terlibat dalam kongres di Kairo ini dengan mengirimkan utusan ke kongres tersebut.
Untuk maksud tersebut, maka dibentuk suatu badan khusus bagi perjuangan Khilafah di Indonesia
bernama Comite-Chilafat dengan ketua Wondosoedirdjo dari Organisasi Syarikat Islam dan Wakil Ketua
K. H. Abdul Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi yang kemudian menjadi salah seorang pendiri
Nadhatu Ulama.

Aspirasi umat Islam di Indonesia Pergerakan Khilafah ini terus menyebar di Indonesia. Kesadaran tentang
urgensi perjuangan Khilafah terus diopinikan. Hal itu di upayakan dengan membentuk cabang-cabang
Comite-Chilafat di berbagai wilayah di Indonesia dan dengan diadakannya pertemuan-pertemuan yang
membahas Khilafah di beberapa kota.

Bertahun-tahun suara perjuangan kekhilafahan di suarakan demi tidak memudarnya identitas umat Islam
di Tanah Air. Berbagai latar belakang organisasi keislaman dan ormas mencari penyelesaiannya dan
berusaha menemukan kembali jati diri umat yang di hancurkan oleh rezim Kemal Attaturk di Turki
dengan cara yang lebih modern. Kekuatan intelektual dan cara berpikir umat Islam menjadi prioritas,
sampai akhirnya umat dihadapi dengan tantangan yang baru.

Tantangan dimana umat Islam harus berperang habis-habisan gempuran informasi dari Barat dan
mudahnya bagi Barat menyusupkan ideologi-ideologi mereka yang bertentangan dengan Syariat Islam di
era globalisasi. Meskipun Indonesia tidak menerapkan syariat Islam ini dan memilih untuk menjadi
Negara Hukum, namun yang harus diperhatikan adalah jumlah mayoritas penduduk Muslim di negeri ini
sangat lah banyak. Tidak mengherankan, ini menjadi suatu tantangan bukan hanya penduduk muslim di
negara ini, namun ini juga menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana generasi muslim Millennials di Tanah Air
menjaga dan mempertahankan dua pilar utama dari kekuatan Islam di zaman mereka. Mau tidak mau,
mereka ini harus menghadapi kenyataan bahwasanya budaya dan peradaban Barat tidak dapat
dibendung lagi. Mereka harus memiliki benteng pertahanan yang lebih kuat ketimbang generasi
pendahulu mereka. Mereka harus memutar otak mencari cara bertahan di tengah arus modernitas ini,
bukan hanya mempertahankan nilai pemahaman dan konsep penerapan hukum Islam, namun mereka
harus menyampaikannya dengan cara yang dapat diterima masyarakat modern, tidak melalui kekerasan
dan menunjukkan kasih sayang Islam ke seluruh umat manusia.
Faktanya, masih banyak umat Muslim di Tanah Air tidak memahami konsep-konsep ini dan pemerintah
belum sepenuhnya mendukung. Pengetahuan mereka sangat lemah, bahkan kebanyakan dari mereka
tidak tahu identitas agama mereka sendiri. Terkadang mereka malu untuk menunjukkan bahwa "AKULAH
ISLAM". Mereka terlalu bangga untuk menggunakan identitas Barat yang modern. Padahal, Islam dan
Modernitas berjalan beriringan tidak ada kontradiksi di antaranya. Islam di ciptakan timeless, berlaku
untuk semua zaman dan cocok untuk diterapkan kapan pun dan di negara mana pun.

Buktinya, masih banyak generasi muda Indonesia yang tertarik untuk menempuh pendidikan di sekolah
formal milik pemerintah ketimbang menempuh pendidikan di pondok pesantren. Mereka lebih menyukai
kebebasan ketimbang mendapatkan ilmu agama yang konstan diberikan di pondok pesantren. Padahal,
di sinilah seharusnya letak basis kekuatan umat di Indonesia. Pemerintah sepatutnya mulai
memperhatikan penuh keberadaan pondok pesantren yang ada di Indonesia dan mendukungnya, tidak
membedakan bentuk dukungan tersebut dengan sekolah formal pemerintah seperti SD, SMP, dan SMA
Negeri. Misalnya memberikan jumlah beasiswa yang sama kepada santri-santri yang ada di Indonesia
dan kesempatan yang sama untuk mereka melanjutkan Pendidikan ke dalam maupun luar negeri. Bukan
tidak mungkin, justru santri-santri di Indonesia kemudian yang akan membawa pengaruh besar kepada
perubahan bangsa.

Di sisi lain, kondisi generasi muslim muda di Indonesia jauh dari kata baik. Pasalnya, mereka terlalu
banyak mengadopsi budaya dari luar. Mereka hanyut dalam arus globalisasi dan lupa dari mana mereka
berasal. Mulai dari cara berpakaian, tingkah laku, sopan santun seakan hilang bertahap dari jiwa muda
muslim di Indonesia. Perlahan mereka meninggalkan budaya berpakaian Islam yang sopan dan lebih
senang menggunakan budaya berpakaian dari Barat yang terkesan terbuka. Mereka beranggapan bahwa
berpakaian Islam itu ketinggalan zaman dan berpakaian mengadopsi Barat menunjukkan modernitas.

Di sisi lain, keadaan ini pun bertambah buruk dengan pemanfaatan waktu yang kurang. Generasi
Millennial ini cenderung terlalu sering menatap gadget mereka. Keadaan ini di sebabkan karena mereka
tidak mau ketinggalan dengan informasi yang ada di gadget mereka. Kebanyakan dari orang yang
mengakses gadget ini menggunakan sosial media yang kurang bermanfaat untuk mengisi waktu
luangnya. Hal ini sebenarnya wajar, karena generasi ini hidup di lingkungan yang beda dari generasi X
sebelumnya dimana pemanfaatan teknologi masif dilakukan untuk memudahkan hidup. Tetapi, hal ini
tidak wajar jika hal ini sampai mempengaruhi kualitas Iman dari seorang Muslim, lebih-lebih waktu
mereka banyak tersita untuk gadgetnya.

Konteks jati diri sebagai Muslim seharusnya tidak goyang dengan adanya teknologi seperti ini. Generasi
Muslim Millennials harus mampu menjaga kualitas diri dan iman mereka. Ada tiga hal yang harus
dijabarkan terkait prioritas seorang generasi muda muslim dalam pemanfaatan teknologi. Yang pertama
adalah dunia spiritual mereka, yang kedua di dunia nyata, yang ketiga adalah di dunia digital.

Di dunia nyata, mestinya generasi ini tetap melakukan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar
mereka. Tidak boleh gadget membuat muslim yang berkualitas menjadi anti-sosial, tidak memedulikan
keadaan lingkungan sekitar mereka. Tetap hormat kepada orang dituakan, berperilaku baik kepada orang
lain dan menjaga orang yang lemah. Tetap mencintai majelis dan berkumpul dengan orang-orang yang
saleh.

Dan yang ketiga, tugas seorang muslim di dunia digital adalah berdakwah. Ini lah pemanfaatan yang luar
biasa dari teknologi dan ini membantu Islam secara umum. Pada dasarnya, sosial media sangat menarik
bagi generasi muda ini dan menjadi wadah yang sangat bagus untuk menyebarkan informasi secara
cepat ke siapa pun dan dimana pun. Dan kekuatan sosial media ini juga menjadi jembatan antara ustaz
atau ahli agama kepada jamaahnya, karena secara tidak langsung sosial media menghubungkan langsung
kedua pihak ini dan penyampaian materi Agama Islam pun lebih masif.

Jangan lupa dengan mengikuti informasi-informasi kajian dan ilmu seputar Islam di dunia maya. Banyak
informasi yang dibagikan di internet mengenai informasi kajian ini termasuk jadwal, pembicara dan
tempat dilaksanakannya. Dengan begini, maka seorang muslim dapat terus menjaga kualitasnya sebagai
Islam sejati dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Terkadang, memanfaatkan teknologi tidak hanya dibutuhkan penggunaan yang bijak, tetapi kita harus
menjadi muslim yang cerdas dalam mengakses informasi yang luas di internet. Ini dikaitkan dengan
kondisi Indonesia belakangan marak munculnya situs palsu atau sumber yang tidak dapat dipercaya
sebagai sumber Ilmu Islam. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab berusaha memecahbelah umat
di Indonesia dengan membuat situs palsu yang mengatasnamakan Islam. Bahayanya, jika hal ini tidak
diperhatikan oleh muslim dan mereka mengakses informasi yang salah maka hal ini dapat
menghancurkan fondasi konsep keislaman. Akibatnya, mereka akan memperdebatkan hal-hal yang
seharusnya tidak diperdebatkan mengenai konsep Islam itu sendiri.

Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah generasi muda muslim di Indonesia harus bersatu dan tidak
gampang dipengaruhi oleh pihak yang menginginkan kehancuran Islam. Ini berkaca dari banyaknya
kasus-kasus di negara Timur Tengah yang notabene adalah negara Islam. Mereka berhasil di adu domba
oleh pihak Barat dan menyebabkan mereka memperdebatkan hal yang tidak penting dan memusuhi
sesamanya. Padahal, dulunya mereka ini sangat kuat dan susah untuk dipengaruhi oleh pihak mana pun
karena mereka sangat berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman.
Setelah negara Barat berhasil mempengaruhi mereka, bukan tidak mungkin mereka sedang
mengintervensi Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Mereka pun akan
menargetkan pemuda muslim Indonesia terlebih dahulu dengan teknologi yang melalaikan, karena
mereka percaya bahwa kekuatan suatu negara ditentukan oleh generasi mudanya.

Sekarang, negara yang sedang bangkit menghapuskan sekularisme adalah Turki. Di bawah pimpinan
Recep Tayib Erdogan, Turki mulai menghapuskan peraturan yang bertentangan dengan Syariah Islam
yang telah diterapkan selama bertahun-tahun. Erdogan percaya bahwa kekuatan Turki berada di tangan
umat, dan ia percaya dengan kekuatan itu dia bisa menghentikan rencana negara-negara Barat beserta
sekutunya untuk menghancurkan Islam.

Demikianlah penjelasan mengenai perjalanan kekhilafahan di muka bumi dan siapa saja yang terlibat di
dalamnya. Sejarah Islam tidak akan pernah hilang. Cukuplah sejarah kelam kekhilafahan di muka bumi
menjadi pelajaran yang tidak akan terulang lagi. Waktunya generasi muslim Millennials aktif dalam
merubah dunia dan membawa Islam kepada zaman kejayaan dan maju seperti zaman Abbasiyah. ISLAM
INDONESIA DAN GENERASI MILLENNIALS.

PALEMBANG, 1 JANUARI 2018

https://www.kompasiana.com/muhammadsultana/5a49eaaef133447eec6b9652/islam-indonesia-dan-
generasi-millennials?page=all

Anda mungkin juga menyukai