MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Neurobehaviour yang dibimbing oleh
Bapak Ginanjar Sasmito Adi, Ns.,Sp Kep.M.B
Disusun oleh
Fitriyatus Soleha` (1511011003)
Tri Okta Linda Pertiwi (1511011015)
Khoirul Mutmainnah (1511011033)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Tujuan
1. Apakah pengertian dari Alzheimer dan Retardasi Mental?
2.
1.3 Manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Alzheimer
2.1.1 Pengertian Alzheimer
Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan
degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan
untuk merawat diri. ( Suddart, & Brunner, 2002 ).
Alzheimer merupakan penyakit degeneratif yang ditandai dengan
penurunan daya ingat, intelektual, dan kepribadian. Tidak dapat disembuhkan,
pengobatan ditujukan untuk menghentikan progresivitas penyakit dan
meningkatkan kemandirian penderita. (Dr. Sofi Kumala Dewi, dkk, 2008 )
Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan,
yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep
klinis proses- proses penyakit, juga merupakan penyakit dengan gangguan
degeneratif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi
intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi
pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal
1003).
Alzheimer merupakan penyakit degenerasi neuron kolinergik yang merusak
dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun
ke atas. Penyakit Alzheimer ditandai dengan hilangnya ingatan dan fungsi
kognitif secara progresif (Arif Mutaqqin, 2008).
2.1.5 Penyebab/Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang
telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi
flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri
dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara
progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan
dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami
degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler,
kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapat
produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit
genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-
genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus faktor genetika.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan
dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami
degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler,
kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya
produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit alzheimer adalah penyakit
genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-
genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus factor genetika.
2.1.6 Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang
dijumpai pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa
kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein
beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP).
Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan
mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan
kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid
dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan
morfologik (structural) dan biokimia pada neuron – neuron. Perubahan morfologis
terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi
soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan
neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian
besar terdiri dari protein “tau”.
Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk
structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen
penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal
dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak
dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama – sama. Tau yang abnormal
terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing – masing
terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah
yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian
sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak
menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta)
yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel
neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada
keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam
pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen
oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi
gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel
glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril plak yang membeku, padat, matang,
tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain
adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan
intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan
makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia
dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada otak
2.1.7 Pengobatan
1. Pemeriksaan Diasnostik
a. Positron Emission Tomography (PET-Ct scan) memperlihatkan perubahan
dalam metabolisme korteks serebri.
b. Pemeriksaan CT scan (Computed Tomography) memperlihatkan bukti
ada atrofi otak yang dini dan melebihi atrofi, yang terjadi dalam proses
penuaan normal.
c. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak menunjukan lesi
sebagai penyebab demensia.
d. EEG memperlihatkan perlambatan gelombang otak pada stadium lanjut
penyakit tersebut.
e. Pemeriksaan aliran darah serebral menunjukan kelainan pada aliran darah.
2. Penatalaksanaan Medis
a. Pemberian obat obat vasodilator, seperti ergoloid mesilat, isoksuprin,
siklandelat untuk meningkatkan peredaran darah otak.
b. Terapi oksigen hiperbarik untuk meningkatkan oksigenasi otak.
c. Pemberian obat-obat psikostimulat, seperti metilfenidat untuk
memperbaiki emosi pasien.
d. Pemberian obat-obat antidepressan jika terdapat depresi yang
menimbulkan eksaserbasi demensia.
e. Pemberian takrin, yaitu obat antikolinegrik atau pemberian obat yang
masih dalam eksperimen, seperti deanol.
f. Pemberian garam-garam kolin, lesitin, fisostigmin, atau obat eksperimen,
seperti deanol, enkefalin, atau nalokson yang kemungkinan dapat
memperlambat proses perjalanan penyakit ini.
2.2.2 Etiologi/Penyebab
Adanya disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental. Untuk
mengetahui adanya retardasi mental perlu anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik
dan laboratorium. Penyebab dari retardasi mental sangat kompleks dan
multifaktorial. Walaupun begitu terdapat beberapa faktor yang potensial
berperanan dalam terjadinya retardasi mental seperti yang dinyatakan oleh Taft
LT (1983) dan Shonkoff JP (1992) dibawah ini.
1. Organik
a. Faktor prekonsepsi: kelainan kromosom (trisomi 21/Down syndrome dan
Abnormalitas single gene (penyakit-penyakit metabolik, kelainan neuro-
cutaneos.
b. Faktor prenatal: kelainan petumbuhan otak selama kehamilan (infeksi,
zat teratogen dan toxin, disfungsi plasenta).
c. Faktor perinatal: prematuritas, perdarahan intrakranial, asphyxia
neonatorum, Meningitis, Kelainan metabolik:hipoglikemia,
hiperbilirubinemia.
d. Faktor postnatal : infeksi, trauma, gangguan metabolik/hipoglikemia,
malnutrisi, CVA (Cerebrovascularaccident) - Anoksia, misalnya
tenggelam
2. Non organik
a. Kemiskinan dan keluarga tidak harmonis
b. Sosial kultural
c. Interaksi anak kurang
d. Penelantaran anak
2.2.3 Klasifikasi
Menurut nilai IQ-nya, maka intelegensi seseorang dapat digolongkan
sebagai berikut (dikutip dari Swaiman 1989):
Nilai IQ :
1. Sangat superior 130 atau lebih
2. Superior 120-129
3. Diatas rata-rata 110-119
4. Rata-rata 90-110
5. Dibawah rata-rata 80-89
6. Retardasi mental borderline 70-79
7. Retardasi mental ringan (mampu didik) 52-69
8. Retardasi mental sedang (mampu latih ) 36-51
9. Retardasi mental berat 20-35
10. Retardasi mental sangat berat dibawah 20
Yang disebut retardasi mental apabila IQ dibawah 70, retardasi mental tipe
ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe sedang mampu latih, sedangkan
retardasi mental tipe berat dan sangat berat memerlukan pengawasan dan
bimbingan seumur hidupnya. Bila ditinjau dari gejalanya, maka Melly
Budhiman membagi:
1. Tipe klinik
Pada retardasi mental tipe klinik ini mudah dideteksi sejak dini, karena
kelainan fisis maupun mentalnya cukup berat. Penyebabnya sering kelainan
organik. Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelainan
ini dapat terjadi pada kelas sosial tinggi ataupun yang rendah. Orang tua dari anak
yang menderita retardasi mental tipe klinik ini cepat mencari pertolongan oleh
karena mereka melihat sendiri kelainan pada anaknya
2. Pencegahan sekunder
Adalah untuk mempersingkat perjalanan penyakit.
3. Pencegahan tersier
Bertujuan untuk menekan kecacatan yang terjadi. Dalam pelaksanaanya
kedua jenis pencegahan ini dilakuakn bersamaan, yang meliputi
1. Pendidikan untuk anak: terapi perilaku, kognitif dan psikodinamika.
2. Pendidikan keluarga: intervensi farmakologi.
Pendidikan untuk anak harus merupakan program yang lengkap dan
mencakup latihan keterampilan adaptif, sosialn, dan kejuruan. Satu hal yang
penting dalam mendidik keluarga tentang cara meningkatkan kopetensi dan harga
diri sambil mempertahankan harapan yang realistik.
Untuk mengatasi perilaku agresif dan melukai diri sendiri dapat digunakan
naltrekson. Untuk gerakan motorik stereotopik dapat dipakai antipsikotik seperti
haloperidol dan klorpromazin. Perilaku kemarahan eksplosif dapat diatasi dengan
penghambat beta seperti propranolol dan buspiron. Adapun untuk gangguan
deficit atensi atau hiperktivitas dapat digunakan metilpenidat.
2.2.6 Pencegahan
1. Imunisasi bagi anak dan ibu sebelum kehamilan
2. Konseling perkawinan
3. Pemeriksaan kehamilan rutin
4. Nutrisi yang baik
5. Persalinan oleh tenaga kesehatan
6. Memperbaiki sanitasi dan gizi keluarga
7. Pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat
8. Program mengentaskan kemiskinan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.