Anda di halaman 1dari 39

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar yang memiliki wilayah

pesisir yang cukup luas dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 Km, angka

tersebut menempatkan Indonesia di posisi ke empat sebagai Negara dengan garis

pantai terpanjang di Dunia. Dengan garis pantai yang panjang serta wilayah

pesisir yang cukup luas tersebut, tentunya Indonesia memliki potensi sumberdaya

alam pesisir yang luar biasa dengan keanekaragaman ekosistem dan salah satu

ekosistem di wilayah pesisir yang mempunyai peranan penting selain terumbu

karan dan padang lamun adalah hutan mangrove.

Hutan mangrove merupakan ekosistem penting penunjang aktivitas

kehidupan masyarakat di Kabupaten Donggala khususnya di Kecamatan Banawa

Selatan dan sekitarnya yang berada di pesisir pantai karena memiliki sumberdaya

alam cukup produktif serta berperan dalam menjaga keseimbangan siklus biologis

di lingkungannya. Dengan kawasan hutan mangrove yang masih cukup luas dan

kondisi laut yang produktif, Kecamatan Banawa selatan merupakan salah satu

kawasan yang potensi untuk pengembangan sektor perikanan berbasis budidaya,

secara fisik kawasan ini memiliki berbagai keunikan ekosistem, mulai dari

ekosistem pantai, dataran rendah sampai dengan ekosistem hutan dan bukan

hanya itu, terkhusus untuk ekosistem pantai yang ada di Banawa Selatan ini, juga

memiliki keunikan karena memiliki teluk-teluk dengan ekosistem terumbu


2

karang, padang lamun, pantai berpasir yang indah dan beberapa kawasan hutan

mangrove.

Secara umum hutan mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan

dan tekanan lingkungan. Meskipun demikian, permasalahan utama tentang

pengaruh dan tekanan terhadap habitat mangrove di wilayah ini bukanlah semata

mata dari gangguan dan tekanan lingkungan secra alami saja, melainkan karena

jumlah penduduk serta pendapatan perkapita yang semakin meningkat setiap

tahun, ketersediaan lahan untuk pembangunan yang terbatas sehingga timbul

keinginan manusia yang mengkonservasi area hutan mangrove menjadi area

pemukiman, tambak, pertanian. Selain itu dengan meningkatnya permintaan

produksi kayu menyebabkan ekploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove,

sehingga apabila ekploitasi berlangsung terus menerus dapat menyebabkan

kematian dan berkurangnya luas hutan mangrove di Kecamatan Banawa Selatan.

Bersinergi dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan masyarakat

akan kayu bakar serta kegiatan konservasi hutan mangrove di Kecamatan Banawa

Selatan mengakibatkan banyaknya perambahan dan alih fungsi lahan hutan

mangrove. Hal terpenting yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan

peningkatan konservasi hutan tersebut adalah perlu diketahui sejauh mana

perubahan luas kahan yang terjadi dengan cara melakukan analisis perubahan luas

lahan hutan mangrove di Kecamatan Banawa Selatan menggunakan citra landsat 8

perekaman tahun 2014 dan perekaman tahun 2015.

Saat ini teluk-teluk yang terletak di Kecamatan Banawa Selatan dimanfaatkan

sebagai sentra pengembangan komoditas rumput laut, dan kemudian di sekitar


3

kawasan hutan mangrove telah dimanfaatkan masyarakat untuk pengembangan

tambak tradisional, pemukiman, kawasan industri, wisata dan lain-lain, tanpa

mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan urai diatas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian

ini yaitu bagaimana menganalisis perubahan luas lahan hutan mangrove di

Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala menggunakan citra Landsat.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan luasan mangrove di

Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah

dengan memanfaatkan data citra Landsat 8 tahun 2010 dan 2015

Kegunaan penelitian ini dalah diharapkan dapat memberikan gambaran,

data serta informasi bagi mahasiswa ataupun instansi terkait mengenai perubahan

luas lahan hutan mangrove di Kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala.


4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

Menurut etimologi (asal Kata), kata “mangrove” berasal dari kata

“Mangue” (Bahasa Prancis) dan kata “at grove” (Bahasa Inggris) yang artinya

komunitas tanaman yang tumbuh di daerah berlumpur dan pada umumnya

ditumbuhi oleh sejenis pohon bakau (Rhizophera sp) (Davis, 1940).

Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang

selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air

laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan dareah pantai dalah daratan

yang terletak dibagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan

laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8%

(Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000)

Menurut Bengen (2002), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi

pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu

tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Karaktekristik hutan mangrove antara lain :

 Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,

berlempung atau berpasir.

 Dapat tumbuh di daerah tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari

maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi

genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.


5

 Menerima pasokan air tawar dari darat.

 Melindungi pantai dari gelombang dan arus pasang surut. Mampu hidup

pada air bersanitasi payau (2-22 %) hingga asin (38%).

 Banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, esturi, delta, dan

daerah pantai yang terlindung.

Pohon mangrove memiliki stuktur anatomi yang unik untuk beradaptasi

dengan lingkungan hidupnya. Menurut Bengen (2002), ada beberapa adaptasi

yang dilakukan pohon mangrove :

 Adaptasi terhadap kadar O2 yang rendah, terdapat pada bentuk perakaran

tipe cakar ayam yang mempunyai pneumatorophora (misalnya pada

Avecennia spp, Xylocarpus spp, dan Sonneratia spp) untuk mengambil O2

dari udara dan tipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya

Rhizophora spp).

 Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi, ditunjukan dengan adanya sel-

sel khusus dalam daun untuk menyimpan garam struktur daun yang tebal

dan kuat banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam

dan adanya stomata khusus untuk mngurangi penguapan.

 Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut

dilakukan dengan mengembangkan struktur akar yang ekstensif dan

membentuk jaringan horizontal yang lebar.

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam pesisir yang mempunyai

peranan penting bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya. Dimana secara garis

besar mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologi dan fungsi ekonomis.
6

Menurut Bengen (2004), mangrove mempunyai beberapa fungsi antara lain

sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan

lumpur, perangkap sedimen, daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari

makan (feeding grounds). Daerah pemijahan (spawning grounds) dan pemasok

larva udang, ikan, biota laut lainnya serta penghasil kayu untuk bahan kontruksi,

kayu bakar, bahan baku arang dan bahan baku kertas.

2.2 Pengertian Lahan dan Penutupan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,

hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi

penggunanya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik

pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai,

penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi

garam (Poppy, 2010)

Menurut Jayadinata (1999 : 10), lahan merupakan tanah yang sudah ada

peruntukannya dan umunya dimiliki dan dimanfaatkan oleh perorangan atau

lembaga untuk dapat diusahakan.

Menurut Lillesan dan Kiefer (2004). Penutupan lahan berkaitan dengan

jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi seperti bangunan perkotaan,

danau, salju, dan lain lain. Kegiatan klasifikasi penutupan lahan dilakukan untuk

menghasilkan kelas-kelas penutupan yang diinginkan. Kelas-kelas penutupan

lahan yang diinginkan itu disebut dengan skema klasifikasi atau sistem klasifikasi.

Selanjutnya Bambang (2006) mengemukakan bahwa ada tiga kelas data yang

tercakup dalam penutupan lahan secara umum yaitu struktur fisik yang dibangun
7

oleh manusia: fenomena biotik, vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan

binatang serta tipe tipe pembangunan.

Dalam peta rupa bumi indonesia (RBI) skala 1:250.000, tahun 1986

penutupan lahan dibedakan menjadi : hutan, perkebunan, ladang, pemukiman, dan

sawah. Oleh badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, klasifikasi

penutupan lahan tersebut diperluas menjadi : (a) hutan yang terdiri atas hutan

lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman, hutan rawa

primer, hutan rawa sekunder (b) perkebunan (c) pemukiman (d) sawah (e) sawah

lahan kering/ladang yang dibagi atas pertanian lahan kering, pertanian lahan

kering campur semak (f) rawa (g) tanah terbuka (h) tubuh air (i) belukar

diantaranya semak/belukar dan belukar rawa.

2.3 Aplikasi Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh

dengan suatu alat tanpa kontak langsung denga obyek, daerah atau fenomena yang

dikaji. Pada berbagai hal, penginderaan jauh dpat diartikan sebagai suatu proses

pembaca. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari

daerah, atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1990)

Secara umum penginderaan jauh menunjukan pada aktifitas perekaman,

pengamatan dan penagkapan objek atau peristiwa dari jarak jauh. Dalam

penginderaan jauh, sensor tidak langsung kontak dengan obyek yang diamati,

informasi tersebut membutuhkan alat penghantar secra fisik untuk perjalanan dari
8

obyek ke sensor melalui medium. Dalam hal ini penginderaan jauh lebih dibatasi

pada suatu teknologi perolehan informasi permukaan bumi (laut dan daratan) dan

atmosfer dengan menggunakan sensor diatas platform Airborne (pesawat udara,

balon udara) dan spaceborne (satelit, pesawat luar angkasa) (Barkey et. al., 2009).

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa proses dan elemen yang

terkait di dalam sistem penginderaan jauh meliputi dua proses utama yaitu

pengumpulan data dan analisi data. Elemen proses pengumpulan data meliputi (a)

sember energi, (b) perjalanan energi melalui atmosfer, (c) interaksi antara energi

dengan kenampakan di muka bumi, (d) sensor wahana pesawat terbang dan

satelit, dan (e) hasil pembenyukan data dalam bentuk piktorial dan bentuk

numerik. Proses analisi data meliputi :

1. pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan

untuk menganalisis data piktorial, dan/atau komputer untuk menganalisis

data sensor numerik.

2. Penyajian informasi dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis

atau laporan.

3. Penggunaan data untuk proses pengambilan keputusan.

Teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara atau metoda yang sangat

efektif untuk memantau sumberdaya alam, karena memiliki beberapa keutungan

antara lain: (Lillesand dan Kiefer (1990).

1. Menghasilkan data sinoptik (meliputi wilayah yang luas dalam waktu

yang hampir bersamaan) dalam dua dimensi dengan resolusi tinggi dan
9

mampu menghasilkan data derat waktu (time series data) dalam frekuensi

yang rendah.

2. Mempunyai kemampuan untuk mendeteksi dan memberikan informasi

tentang lapisan yang terpenting yaitu lapisan permukaan.

3. Pengamatan terhadap suatu obyek dapat dilakukan dengan menggunakan

sensor yang bersifat multispektral, mulai dari sinar tampak (visible), infra

merah (infrared) dan gelombang mikro (microwave). Hal ini

memungkinkan dilakukanya analisis multispektral dengan implementasi

berbagai model matematik untuk mendapatkan informasi yang lebih

akurat.

4. Biaya operasional yang relatif murah serta tidak mengandung resiko

rusaknya sumberdaya alam, karena tanpa kontak langsung dengan obyek

yang diamati.

Disamping semua dari sistem penginderaan jauh dengan sarana satelit,

sistem ini juga memiliki beberapa keterbatasan antara lain :

1. Akurasi yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan pengukuran atau

pengamatan secara insitu.

2. Untuk menghasilkan citra yang memiliki informasi akurat, harus disertai

pengecekan daerah atau objek yang diamati.

3. Waktu pendeteksian satelit terbatas hanya pada saat satelit tersebut

melintas di atas lokasi pengamatan.

4. Kondisi atmosfer yang beraneka ragam seperti awan, kabut, dan hujan

menyebabkan citra yang diperoleh kurang baik untuk keperluan


10

monitoring daerah lautan maupun daratan. Awan dan kabut akan

menyebabkan citra visual kurang jelas. Namun dengan dikembangkannya

penginderaan jauh secara aktif dengan menggunakan radar yang bisa

menembus awan, kabut, dan hujan maka beberapa kekurangan tersebut

dapat diatasi.

2.4 Karakteristik Citra Landsat

Sistem landsat diluncurkan pertama kali oleh NASA (The National

Aeronautical and Space Administration). Satelit landsat merupakan salah satu

satelit yang bertujuan memantau sumberdaya lahan yang dikembangkan NASA

dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Resolusi spasial dari citra

landsat cukup baik (30 m) dan kombinasi sensor radiometriknya pun cukup tinggi,

disamping itu cakupan area per lembar (scene)-nya cukup luas sehingga efisien

untuk digunakan dalam aplikasi pemetaan di area yang besar. Resolusi temporal

landsat adalah 16 hari dan karena jangka waktu pengoperasiannya yang cukup

lama, landsat memiliki kelengkapan data historis amat baik (Ekadinata et. al.,

2008).

Pada tanggal 11 Februari 2013, NASA melakukan peluncuran satelit

Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Dan menyediakan produk citra open

access sejak tanggal 30 Mei 2013, menandai perekembangan baru dunia antariksa.

NASA lalu menyerahkan satelit LDCM kepada USGS sebagai pengguna data

terhitung 30 Mei tersebut. Satelit ini kemudian lebih dikenal sebagai Landsat 8.

Pengelolaan arsip data citra masih ditangani oleh Earth Resources Observation
11

and Science (EROS) Center. Landsat 8 hanya memerlukan waktu 99 menit untuk

mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali.

Resolusi temporalnya tidak berbeda dengan landsat versi sebelumnya. Satelit

landsat 8 terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memliki

area scan seluas 170 km x 183 km. Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard

Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan

jumlah kanal sebnyak 11 buah. Diantara kanal – kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9)

berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS, sebagian besar kanal

memiliki spesifikasi mirip dengan landsat 7.

2.5 Koreksi Citra (Image Restoration)

Restorasi citra (Image Restoration) didefinisikan sebagai kegiatan yang

berkaitan dengan koreksi distorsi, degradasi dan noise yang terjadi akibat

kesalahan pada saat perekaman. Kegiatan dari restorasi citra ini nantinya akan

menghasilkan citra yang telah dikoreksi baik geometrik maupun radiometrik

(Jaya, 2002).

Menurut Mather (1987), koreksi geometrik adalah transformasi citra hasil

penginderaan jauh sehingga citra tersebut mempunyai sifat – sifat peta dalam

bentuk, skala dan proyeksi. Tranformasi geometrik yang paling mendasar adalah

penempatan kembali posisi pixel sedemikian rupa, sehingga pada citra digital

yang tretranformasi dapat dilihat gambaran objek dipermukaan bumi yang

terekam sensor. Pengubahan bentuk kerangka liputan dari bujur sangkar menjadi

jajaran genjang merupakan hasil tranformasi ini. Tahap ini diterapkan pada citra
12

digital mentah (langsung hasil perekaman satelit, dan merupakan koreksi

kesalahan geometrik sismatik.

2.6 Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra

dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek

tersebut (Simonett, 1975 dalam Susanto, 1992). Ada 3 hal penting yang perlu

dilakukan dalam proses interpretasi yaitu :

1. Deteksi, adalah pengamatan adanya suatu objek, misalnya pada gambaran

sungai terdapat objek yang bukan air.

2. Identifikasi, adalah upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan

menggunakan keterangan yang cukup.

3. Analisis, adalah pengumpulan keterangan lebih lanjut. Melakukan

pengklasifikasian dari hasil identifikasi.

Pengenalan objek merupakan tahap yang sangat penting dalam interpretasi

citra, bila objek tidak dikenal maka analisis maupun pemecahan masalah tidak

mungkin dilakukan.

2.7 Klasifikasi Citra (Image Classification)

Klasifikasi adalah proses mengelompokkan piksel-piksel ke dalam kelas

atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness

value/BV atau digital number/DN) piksel yang bersangkutan (Jaya, 2002).

Menurut Purwadhi (2001), teknik klasisfikasi dapat dilakukan dengan tiga

cara, yaitu klasifikasi secara terbimbing (supurvised classification), klasifikasi


13

secara tidak terbimbing (unsupervised classification) dan klasisfikasi pengkelasan

hibrida (hybrid classification) dengan menerapkan model restorasi dan teknik

penajaman di dalam klasisfikasi. Lebih lanjut Purwadhi (2001) menyatakan

klasifikasi tidak terbimbing menggunakan alogaritma untuk mnegkaji atau

menganalisis sejumlah kelas berdasarkan pengelompokkan nilai digital citra.

Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi tidak terbimbing adalah kelas spektral.

Faisol dan Indarto (2009) menjelaskan bahwa klasisfikasi supervised

merupakan proses pengelompokan piksel-piksel dan merupakan identifikasi dan

klasifikasi piksel-piksel yang terdapat pada citra melalui training area. Sedangkan

klasifikasi unsupervised merupakan proses pengelompokkan piksel pada citra

menjadi bebrapa kelas menggunakan analisa cluster. Klasifikasi supervised

didasarkan pada ide bahwa pengguna (user) dapat memilih sampel piksel dalam

suatu citra yang mempresentasikan kelas khusus dan kemudian mengarahkan

perangkat lunak pengolahan citra (image processing software) untuk

menggunakan pilihan-pilihan tersebut, klasifikasi unsupervised merupakan

pengklasifikasian hasil akhir didasarkan pada analisis perangkat lunak (software

analisis) suatu citra tanpa pengguna menyediakan contoh kelas terlebih dahulu

(kusno, 2009).

2.8 Sistem Informasi Geografis

SIG merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis

komputer dengan tiga karakteristik dasar, yaitu : (a) mempunyai fenomena aktual

(variabel data non-lokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan dilokasi

bersangkutan; (b) merupakan kejadian di suatu lokasi; (c) mempunyai dimensi


14

waktu. Selanjutnya Anjar (2002), mengatakan bahwa komponen-komponen SIG

antara lain yaitu Hardware, dimana SIG membutuhkan komputer untuk

menyimpan dan memproses data. Ukuran dari sistem komputerisasi bergantung

pada tipe SIG itu sendiri. SIG dengan skala yang kecil hanya membutuhkan PC

(personal komputer) yang kecil dan sebaliknya. Selanjutnya Akhbar dan B. E,

Somba (2003) dalam Jamria (2013), mengatakan bahwa komponen SIG

selanjutnya adalah data, SIG merupakan perangkat pengolahan basis data (DBMS

= Data Base management System) dimana interaksi dengan pemakai dilakukan

dengan suatu sistem antar muka dan sistem query dan basis data untuk apliaksi

multiuser. Selain SIG perangkat analisis keruangan (spatial analiysis) dengan

kelebihan dapat mengelola data spasial dan data non-spasial sekaligus (Prahasta,

2001).
15

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Juli

sampai dengan September 2015 dengan lokasi penelitiannya adalah Kecamatan

Banawa Selatan, Kabupaten Donggala.

3.2 Bahan dan Alat

Di dalam penelitian ini bahan dan alat yang digunakan terdiri dari

pengolahan data citra dengan menggunakan citra landsat perekaman tahun 2010 -

2015, survei lapangan menggunakan GPS (Global Posisition System), software

Quantum GIS untuk mendigitasi dan overlay, serta komputer dan printer untuk

pengetikan dan pengolahan data.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini berdasarkan analisis data citra satelit landsat dengan

menggunakan metode indeks vegetasi (NDVI). Dalam penelitian ada beberapa

tahapan yang harus dilewati sebagai berikut :

3.3.1 Tahap Persiapan

Tahap persiapan meliputi penentuan lokasi penelitian, studi literatur, dan

mengumpulkan data citra lokasi penelitian. Studi literatur dilakukan untuk

mempelajari sumber informasi yang mendukung pelaksanaan penelitian. Dalam

pengumpulan data ada dua sumber yang digunakan, yaitu :


16

 Data primer merupakan data yang langsung diperoleh dilapangan. Data

primer berupa hasil survey lapangan misalnya titik yang diambil

dilapangan menggunakan GPS (Global Posisition System).

 Data sekunder merupakan data yang diperlukan sebagai penunjang dari

data primer. Data sekunder berupa citra landsat perekaman tahun 2015

serta peta penunjuk kawasan Hutan mangrove.

3.3.2 Pengolahan Citra Secara Digital

Tujuan dari analisis data citra secra digital adalah untuk mengekstrakan

informasi yang terkandung dari hasil rekaman satelit. Pengolahan citra secara

digital terdiri atas koreksi citra/pemulihan citra (image restoration). Komposit

band citra (bands composite), pemotongan citra (cropping image), penajaman

citra (image enhancement), dan pengklasifikasian (image classification).

1. Koreksi Citra/Pemulihan Citra (Image Restoration)

Pemulihan citra (image restoration) dilakukan untuk memulihkan citra

yang mengalami distorsi pada saat satelit melakukan perekaman. Gangguan ini

terjadi pada signal pantulan objek yang pada proses perekaman meleweti lapisan

atmosfer, sehingga ganngguan atmosfer tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu

sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di permukaan bumi, sehimgga citra dapat

lebih bermanfaat untuk kegiatan analisis. Langkah yang dilakukan yaitu dengan

melakukan koreksi geometrik dan radiometik.


17

2. Komposit Citra

Komposit citra adalah penggabungan 3 band atau saluran pada citra yang

mampu menampilkan keunggulan dari saluran saluran penyusunya, penggunaan

komposit citra ini dikarenakan oleh keterbatasan mata yang kurang mampu dalam

membedakan gradasi warna dan lebih mudah memahami dengan pemberian

warna. Pada citra multispektral yang terdiri dari banyak saluran, apabila hanya

menampilkan satu saluran saja maka citra yang dihasilkan merupakan gradasi

rona, dan mata manusia hanya bisa membedakan objek yang menonjol pada suatu

saluran, objek yang lain maka kita sulit untuk mengidentifikasinya. Oleh sebab itu

pada citra komposit ini, hasilnya akan lebih mudah menidentifikasi suatu objek

pada citra.

3. Pemotongan Citra (Cropping/Masking Area)

Pemotongan citra (cropping/masking area) berfungsi untuk membatasi

daerah penelitian dan mengurangi besar file citra. Pemotongan dilakukan setelah

citra tersebut dikoreksi dan hasil pemotongan citra tersebut akan digunakan dalam

proses selanjutnya.

4. Identifikasi dan Klasifikasi Citra

Data citra landsat yang telah terkoreksi selanjutnya secara digital untuk

menentukan luas lahan kawasan hutan mangrove. Identifikasi citra dilakukan

berdasarkan waran dan pola dari piksel dan spektral pada objek di citra yang

langsung pada monitor komputer (onscreen interpretation) menggunakan

software Quantum GIS 2:4:0.


18

Proses klasifikasi dilakukan menggunakan kalsifikasi tak terbimbing

(unsupervised classification), yaitu klasifikasi tanpa menggunakan daerah contoh

(training area) yang ditetapkan terlebih dahulu. Klasifikasi ini dilakukan

berdasarkan nilai piksel secara statistik dan kelas yang diperoleh merupakan kelas

abstrak.

5. Tranformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

Setelah dilakukan identifikasi dan klasifikasi, maka didapatkan peta

sebaran penutupan mangrove yang kemudian pada area ini dilakukan analisis

indeks vegetasi. Metode indeks vegetasi yang dipergunakan adalah NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index), dengan memanfaatkan beberapa

saluran dari citra satelit Landsat antara lain : band saluran merah dan saluran

inframerah dekat. Kelebihan kedua saluran ini untuk identifikasi vegetasi adalah

obyek akan memberikan tanggapan spektral yang tinggi dengan formula sebagai

berikut (Jansen, 1998) :

Saluran Inframerah Dekat – Saluran Merah


NDVI =
Saluran Inframerah Dekat + Saluran Merah

6. Overlay

Setelah melakukan proses interpretasi dan klasifikasi citra serta penentuan

kelas kerapatan vegetasi mangrove melalui transfrormsi indeks vegetasi NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index), maka selanjutnya citra landsat tersebut

dioverlay dengan peta penunjukan kawasan hutan untuk mengetahui kenampakan

objek dari hasil overlay tersebut.


19

3.3.3 Analisis Perubahan Luas Lahan Hutan Mangrove.

Analisis perubahan luas lahan hutan mangrove merupakan proses

identifikasi perubahan luas lahan hutan mangrove dengan cara mengamati pada

waktu yang berbeda. Registrasi yang akurat dari sedikitnya satu citra sangat

diperlukan dalam mendeteksi perubahan. Berdasarkan hasil dari klasifikasi citra

multiwaktu, dilakukan analisis perubahan luas lahan hutan mangrove.

Analisis perubahan ini dapat dilakukan dengan melakukan tumpang susun

(overlay) terhadap satu citra yang telah diolah sehingga dapat diketahui perubahan

luasan obyek yang diamati. Dengan cara ini selain bisa menegtahui luas

perubahan lahan yang terjadi, juga bisa mengetahui bentuk perubahan terjadi.

Untuk mengetahui adanya perubahan luas hutan mangrove di Kecamatan

Banawa Selatan Kabupaten Donggala, maka dilakukan analisis terhadap citra

landsat tahun 2015 yang terkoreksi secara geometrik yang dioverlay dengan peta

penunjukkan hutan untuk mengetahui besarnya perubahan luas hutan mangrove

yang terjadi sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 di Kecamatan Banawa

Selatan Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah.

3.3.4 Uji Akurasi Hasil

Data lapangan dan peta penutupan lahan digunakan untuk menghasilkan

sebuah matrik kesalahan untuk mengukur akurasi peta tematik yang dihasilkan

(Congalton, 1991). Matrik tersebut mampu mengestimasi akurasi user

(kemungkinan objek hasil klasifikasi sama dengan pengamatan lapangan) dan


20

akurasi produser (kemungkinan setiap piksel kelas penutup lahan telah benar

diklasifikasikan). Selain itu, dilakukan uji akurasi keseluruhan (proporsi piksel

yang benar dikelaskan) begitu juga dengan statistik kappa (Congalton dan Green,

2009). Uji akurasi dilakukan tidak berbasiskan objek atau uji akurasi yang

berkaitan terhadap akurasi geometri objek (seperti lokasi dan bentuk (Whiteside et

al., 2011)

Tabel 1. Perhitungan Akurasi Dengan Metode Confusion Matrix


Data Acuan (Lapangan) Total Kolom
Kelas
1 2
Data Hasil 1 Kelas Utama
Klasifikasi Kelas
2 Kelas Utama
Total Baris Jumlah Titik
Sumber : Sutanto 1986

Jumlah kelas utama


Akurasi keseluruhan = x 100%
Jumlah titik

Kelas utama
Akurasi produser = x 100%
Total baris objek

Kelas utama
Akurasi Penggunaan = x 100%
Total kolom objek

Menurut Sutanto (1996) dalam Akhbar (2014), standar dalam hasil


interpretasi untuk keperluan analisis dilakukan dengan penentuan titik geografis
dengan GPS (Global Position System) di lapangan kemudian dilapangan membuat
plot 30 meter x 30 meter untuk mengetahui berapa perhitungan mengidentifikasi
kelas penggunaan lahan maka dilakukan perhitungan identifikasi besaran luas
penggunaan lahan tersebut. Jika pengklasifikasian mencapai persentase 100 - 80
maka nilai akuratnya adalah sangat baik, persentase 79 – 60 maka nilai akuratnya
adalah baik, persentase 59 – 40 maka nilai akuratnya adalah sedang, persentase
21

39 – 20 maka nilai akuratnya adalah rendah dan jika pengklasifikasian mencapai


persentase < 20 maka nilai akuratnya adalah sangat rendah

Skema Rencana Penelitian Analisis Perubahan Luas Lahan Hutan Mangrove.

Citra Landsat 8

Citra 2010 Citra 2015

Input Data dan Penggabungan


Band

Koreksi Atmosferik
(Radiometik)

Koreksi Geometrik dan Registrasi


Citra

Membuat False Color Ananlisis Indeks Vegetasi


Composite (FCC) RGB (NDVI = Nomalized Difference
453 Vegetation Index)

Membuat training area


Untuk klasifikasi Membuat overlay antara
penutupan Lahan secara Hasil MLC dan NDVI
unsupervised
Dengan metode MLC
(maksimum Likeihood Informasi perubahan luas
Classification) lahan

Gambar 1. Tahapan Pengolahan Dan Analisis Data Secara Digital


22

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Geografis

i. Letak Geografis

Secara geografis Kecamatan Banawa Selatan berada pada posisi

0⁰45’53”LS - 1⁰00’57”LS dan 119⁰32’30”BT - 119⁰46’36”BT. Secara

administrasi Kecamatan Banawa Selatan berbatasan dengan:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Banawa Tengah

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Marawola Barat dan

Kecamatan Pinembani

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Propinsi Sulawesi Barat dan

Kecamatan Pinembani

 Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.

ii. Curah Hujan

Banyaknya curah hujan dinyatakan dalam satuan milimeter. Banyaknya

curah hujan 1 mm menunjukan banyaknya air hujan yang jatuh pada bidang

permukaan bumi seluas 1 m2 sebanyak 1 liter. Curah hujan merupakan salah satu

faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan kegiatan usaha di bidang

pertanian.

Oleh karena itu, Dinas Pertanian melalui Balai Penyuluhan Pertanian

Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Banawa Selatan berkerjasama

dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) untuk memperoleh data


23

mengenai keadaan curah hujan khususnya di Kecamatan Banawa Selatan dengan

menempatkan pos hujan di dua titik yakni di desa Tanah Mea dan Lumbumamara.

Gambar 2. Keadaan Curah Hujan di Kecamatan Banawa Selatan Tahun

2013

Berdasarkan Grafik diatas, pada tahun 2013 keadaan curah hujan di

Kecamatan Banawa Selatan menunjukkan frekuensi curah hujan tertinggi terjadi

pada bulan Desember dengan jumlah 18 hari hujan sedangkan frekuensi curah

hujan yang terendah terdapat pada bulan Oktober dengan jumlah hari hujan

sebanyak 6 hari. Curah hujan tertinggi Kecamatan Banawa Selatan terjadi pada

bulan Juli dan Desember yakni masing-masing sebanyak 409 mm dan disajikan

pada Tabel 2.
24

Tabel 2. Keadaan Curah Hujan di Kecamatan Banawa Selatan tahun 2013

Hari Curah Hujan


Kecamatan Bulan
Hujan (mm)
Banawa Selatan 01 Januari 15 338
02 Februari 13 203
03 Maret 9 146
04 April 13 369
05 Mei 17 218
06 Juni 7 193
07 Juli 14 409
08 Agustus 13 90
09 September 12 217
10 Oktober 6 59
11 November 13 284
12 Desember 18 409
Rata-Rata 2013 152 2.935
2012 181 2.882
2011 135 1.842
2010 140 2.361
2009 118 1.738
Sumber : Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kec. Banawa Selatan

a. Penduduk

Jumlah penduduk menurut hasil pencatatan registrasi penduduk pada akhir

Tahun 2013 sebanyak 24.394 jiwa dibandingkan dengan tahun 2012 sebanyak

24.195 jiwa, dengan luas wilayah 430,7 km². Jumlah penduduk terbanyak terdapat

di Desa Watatu dengan jumlah 3.184 jiwa, dengan luas desa 20,5 km², sedangkan

jumlah penduduk terendah terdapat di Desa Tanampulu yaitu 643 jiwa.

Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan kepadatan

penduduk. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk yang mendiami suatu

wilayah atau daerah tertentu dengan satuan per kilometer persegi. Ciri-ciri

kepadatan penduduk yang makin lama makin tinggi adalah tingginya

pertumbuhan penduduk yang terus berjalan dan meningkatnya jumlah pemukiman

di daerah tersebut. Pada Tahun 2013 kepadatan penduduk Kecamatan Banawa

Selatan rata-rata mencapai 57 jiwa/km² dengan luas wilayah 430,7 km².


25

Kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Desa Sarombaya dengan jumlah

penduduk 729 jiwa dengan luas 3.20 km² maka kepadatan penduduknya 228

jiwa/km² lebih tinggi dari angka rata-rata kepadatan penduduk

kecamatan.Sedangkan Desa Salungkaenu merupakan desa dengan kepadatan

penduduk terendah yakni 18 jiwa/km² dengan jumlah penduduk 936 jiwa dengan

luas 51,3 km².


26

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perubahan Luas Tutupan Lahan Hutan Mangrove di Kecamatan


Banawa Selatan Tahun 2010 dan 2015

` Tutupan lahan di Kecamatan Banawa Selatan tahun 2015 diperoleh dari

hasil klasifikasi citra landsat 8 tahun 2015 di Kecamatan Banawa Selatan

Kabupaten Donggala menggunakan software Quantum Gis dengan metode

klasifikasi tak tembimbing (Unsupervised Classification). Proses klasifikasi citra

landsat 8 tahun 2015 dapat dilihat sebagai berikut :

1. Pembuatan Training Slide

Pembuatan training slide dilakukan dengan memilih objek pada citra digital

komposit band 543 dan komposit band 645. Objek yang terpilih dibuat polygon

pada daerah yang memiliki nilai spektral yang seragam / sama dengan nama

sesuai tutupan lahan. Proses ini dilakukan terhadap semua jenis tutupan lahan.

2. Klasifikasi Tutupan Lahan

Untuk mengetahui jenis tutupan lahan, maka dilakukan klasifikasi terhadap

citra digital dengan menggunakan teknik klasifikasi tak terbimbing

(unsupervised classifiaction). Klasifikasi ini dilakukan terhadap semua training

slide, hasil klasifikasi tersebut ditemukan 6 kelas tutupan lahan. Sebagai

berikut disajikan pada Tabel 3.


27

Tabel. 3 Perubahan Luas Tutupan Lahan Tahun 2010-2015 di Kecamatan Banawa


Selatan Kabupaten Donggala.
Tahun 2010 Tahun 2015 Perubahan
No Tutupan Lahan Ket
(ha) (ha) (ha)
1 Lahan Terbuka 182,60 250,51 67,91 (+)
2 Semak Belukar 213,09 216,04 2,95 (+)
3 Pertanian Lahan Kering 495,27 491,23 4,04 (-)
4 Pemukiman 262,76 278,60 15,84 (+)
5 Hutan Mangrove Sekunder 366,68 108,85 257,83 (-)
6 Tambak/Tubuh Air 697,80 871,52 173,72 (+)
TOTAL 2215,20 2216,75

Berdasarkan Tabel 3, hasil klasifikasi jenis penutupan lahan tahun 2010-

2015, perubahan luas lahan terjadi pada semua kelas tutupan lahan yang dimana

dapat dilihat adanya kelas yang mengalami perubahan maupun peningkatan

luasan. Kelas tutupan lahan yang mengalami peningkatan antara tahun 2010 dan

tahun 2015 adalah kelas lahan terbuka, kelas pemukiman, kelas tubuh air/tambak,

dan kelas semak belukar, sedangkan yang mengalami penurunan luasan adalah

kelas hutan mangrove sekunder dan kelas pertanian lahan kering.

Berdasarkan data Tabel 3 dengan jelas dapat diketahui perubahan serta

bentuk bentuk perubahannya sebagai berikut :

a. Pemukiman

Pada tahun 2010 luas pemukiman seluas 262,76 ha dan pada tahun 2015

menjadi 278,60 ha. Jika dilihat dari tabel 2, penambahan luasan ini sekitar

15,84 ha berasal dari perubahan penutupan lain, kawasan pemukiman ini

diperdiksi setiap tahun akan selalu mengalami peningkatan seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk serta kebutuhan akan lahan untuk


28

pemukiman, lahan perkebunan serta fasilitas lain juga untuk pembangunan

industri.

b. Tambak

Klasifikasi kelas tambak pada tahun 2010 memiliki luas 693,80 ha dan

pada tahun 2015 memliki luas sebesar 87,52 ha. Klasifikasi kelas tambak

pada periode waktu 5 tahun mengalami penambahan luasan sebesar 173,72

ha.

c. Pertanian Lahan Kering

Pertanian lahan kering berdasarkan klasifikasi berupa kebun campuran dan

ladang. Secara keseluruhan juga mengalami pertambahan luas sebesar 4,04 ha

dari luas total penutupan lahan, pada tahun 2010 seluas 495,27 ha menjadi

491,23 ha pada tahun 2015. Pertambahan jumlah luasan pertanian lahan

kering ini diakibatkan karena adanya konversi areal pertanian lahan kering.

Hal ini ditandai dengan adanya kebun milik masyarakat seperti jagung,

pisang, sayur sayuran dan sebagainya.

d. Semak Belukar

Kawasan semak belukar terdiri dari hutan hasil tebangan yang mengalami

suksesi, pepohonan dan vegetasi rendah tumbuh secara alami. Menurut hasil

klasifikasi tutupan lahan, kawasan ini merupakan penutupan yang memiliki

nilai luasan yaitu 213,09 ha pada tahun 2010 dan mengalami penambahan

luasan pada tahun 2015 menjadi 216,04 ha.


29

e. Hutan Mangrove Sekunder

Hutan mangrove sekunder menurut hasil interpretasi adalah kawasan hutan

bakau yang telah mengalami penebangan oleh masyarakat di sekitarnya.

Hutan mangrove di kawasan Kecamatan Banawa Selatan merupakan salah

satu penutupan lahan yang mengalami penurunan luasan yaitu sebesar 257,83

ha dari luas total penutupan lahan di Kecamatan ini. Pada tahun 2010 luas

tutupan hutan mangrove adalah 366,68 ha dan pada tahun 2015 berkurang

menjadi 108,85 ha. Hal ini menunjukan bahwa degradasi hutan mangrove

dapat terlihat jelas dengan menggunakan pendekatan secara temporal. Luas

hutan mangrove berkurang tersebut dikonversi menjadi perkebunan, pertanian

lahan kering, pemukiman serta penggunaan lain.

5.2 Perubahan Luas Lahan Hutan Mangrove di Kecamatan Banawa Selatan

Tahun 2010 dan 2015

Tabel 3 di atas menunjukan bahwa luas hutan mangrove yang ada pada citra

landsat 8 2010 mengalami perubahan secara temporal pada citra landsat 8 di tahun

2015, yaitu hutan mangrove mengalami penurunan sebesar 257,83 ha area luas

hutan mangrove yang menghilang di lima tahun terakhir ini. Berkurangnya luas

lahan tersebut dipengaruhi oleh peluasan area tambak yang kian meningkat setiap

tahunnya, aktifitas manusia yang menjadikan hutan mangrove sebagai tempat

penyedia kayu bakar, dan juga karena pembuatan jalan sekitar area hutan

mangrove untuk akses lokasi pemukiman yang di pedalaman.

Dari hasil tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa luas kawasan hutan

mangrove di Kecmatan Banawa Selatan telah berkurang di tahun 2015, dimana


30

luas keseluruhan hutan mangrove pada citra landsat 8 tahun 2010 seluas 366,68 ha

dan pada tahun 2015 luas keseluruhan kawasan hutan mangrove telah berkurang

menjadi 108,85 ha. Luas lahan hutan mangrove yang hilang akibat di konversi

menjadi areal tambak baru, sebagian area pemukiman, dan aktifitas manusia

lainnya.
31

Gambar 3. Peta Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Kecamatan Banawa Selatan


Kabupaten Donggala Tahun 2010
32

Gambar 4. Peta Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan Kecamatan Banawa Selatan


Kabupaten Donggala Tahun 2015
33

5.3 Analisis NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Pada

Kawasan Hutan Mangrove di Kecamatan Banawa Selatan

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan citra

yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat baik sebagai

awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat menunjukan parameter yang

berhubungan dengan parameter vegetasi, antara lain biomasa dedaunan hijau,

daerah dedaunan hijau yang merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk

pembagian vegetasi (Forest Watch Indonesia 2010).

Kesehatan vegetasi hutan mangrove ditentukan dengan kriteria bahwa secara

teoritis bahwa nilai NDVI berkisar antara -1 hingga +1, namun nilai indeks

vegetasi ini secara titpikal akan bersubdomian sebagai representasi dari tingkat

kesehatan yang lebih baik. Indeksi vegetasi dengan nilai minimum -1 untuk

daerah dengan tutupan vegetasi paling kecil dan 1 untuk dareah tutupan vegetasi

paling besar.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa luas penutupan vegetasi mangrove di

Kecamatan Banawa Selatan berdasarkan tingkat kerapatannya dibedakan atas tiga

kategori yaitu : Jarang, sedang dan lebat. Berdasarkan kategori jarang, luas

vegetasi mangrove tahun 2010 hingga tahun 2015 mengalami penurunan yang

cukup besar yaitu sebesar 262,65 ha. Pada kategori sedang terjadi penurunan

luasan dari 734,14 ha menjadi 616,27 ha, artinya luas vegetasi mangrove kategori

sedang menurun sebesar 117,87 ha. Sedangkan pada kategori penutupan vegetasi

mangrove lebat/rapat mengalami peningkatan luasan yang cukup besar yaitu dari

621,28 ha menjadi 999,32 ha.


34

Tabel. 4 Luas Penutupan Vegetasi Hutan Mangrove Berdasarkan Tingkat


Kerapatan
Tingkat Tahun 2010 Tahun 2015
NO Nilai NDVI
Kerapatan (ha) (ha)
1 0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00 Lebat 621,28 999,32
2 0,33 ≤ NDVI ≤ 0,42 Sedang 878,94 616,27
3 -1,0 ≤ NDV ≤ 0,32 Jarang 734,14 616,29
Jumlah 2234,36 2231,88
Sumber : Hasil Analisis Citra Landsat Tahun 2014 dan 2015

Perubahan penutupan vegetasi hutan mangrove berdasarkan tingkat

kerapatannya jika dilihat berdasarkan hasil klasifikasinya bahwa pada kategori

jarang tahun 2010 hingga 2015 vegetasi hutan mangrove mengalami penurunan

jumlah luasan dan keadaan ini berbanding terbalik dengan jumlah luasan tutupan

vegetasi mangrove pada kategori rapat yang luasannya bertambah. Hal ini

mengindikasikan bahwa dalam selang waktu selama 5 tahun, tingkat kerapatan

hutan mangrove telah mengalami peningkatan yang cukup besar. Alasan lain yang

mendukung analisis ini adalah tingkat pemanfaatan hutan mangrove oleh

masyarakat terbilang masih cukup rendah sebab dengan berkurangnya jumlah

luasan yang kecil tingkat kerapatannya vegetasi hutan mangrove semakin

meningkat.
35

Gambar 6. Peta NDVI Sebaran Vegetasi Hutan Mangrove Tahun 2010


36

Gambar 7. Peta NDVI Sebaran Vegetasi Hutan Mangrove 2015


37
38
39

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Luas hutan mangrove di kecamatan Banawa Selatan Kabupaten Donggala

selama kurun waktu lima tahun yaitu sejak tahun 2010 hingga tahun 2015 telah

mengalami penurunan luasan sebesar 257,83 ha dari 366,68 ha luas total hutan

mangrove Kecamatan Banawa Selatan pada tahun 2015 tersisa seluas 108,85 ha.

Indeks kerapatan vegetasi (NDVI) hutan mangrove di Kecamatan Banawa

Selatan berdasarkan tingkat kerapatannya dibedakan atas tiga kategori yaitu :

Jarang, Sedang dan Lebat. Hasil NDVI tahun 2014 kategori jarang (734,14 ha),

sedang (878,94 ha), dan lebat (621,28 ha). Sedangkan pada tahun 2015 kategori

jarang (616,29 ha), sedang (616,27 ha), dan lebat (999,32 ha). Sehingga kerapatan

hutan mangrove selama tahun 2010 hingga 2015 adalah : Mangrove kategori

jarang berkurang seluas 117,85 ha, mangrove kategori sedang berkurang seluas

262,65 ha dan hutan mangrove kategori lebat bertambah 378,04 ha.

6.2 Saran

1. Untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di Kecamatan Banawa

Selatan Kabupaten Donggala, diperlukan perhatian khusus dan campur

tangan yang lebih serius dari pemerintah dan pemerinah daerah.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan penutupan

lahan mangrove menggunakan data citra resolusi tinggi agar data yang

dihasilkan lebih akurat.

Anda mungkin juga menyukai