Anda di halaman 1dari 11

PENGEMBANGAN BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA KONTEKS

MULTIKULTURAL BERBASIS MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN


KECERDASAN EMOSI SISWA SMP

1. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran sastra di sekolah memiliki peran penting dalam pembentukan watak peserta didik
yang berkarakter. Rahmanto (2005:24) mengemukakan bahwa seseorang yang telah banyak
mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk
hal mana yang bernilai dan yang tak bernilai. Lebih lanjut, seseorang akan mampu menghadapi
masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan, toleransi, dan rasa simpati yang lebih
mendalam.

Pembelajaran sastra di sekolah mencakup genre puisi, prosa, dan drama. Pembelajaran apresiasi
drama sebagai salah satu pembelajaran sastra di sekolah, saat ini kurang mendapatkan perhatian
yang memadai dibandingkan pembelajaran puisi dan prosa. Di bandingkan dengan puisi dan
prosa, drama sebenarnya lebih mudah dipahami, lebih mudah dipetik nilai moral yang
terkandung di dalamnya, juga lebih menarik dinikmati.

Pembelajaran apresiasi drama di sekolah saat ini lebih menonjolkan pembahasan drama secara
teoretis, mengapresiasi drama berdasarkan naskah yang dibaca, dan jarang meresepsi drama
pementasan maupun berekspresi melalui sebuah pementasan drama. Akibatnya, pembelajaran
apresiasi drama menjadi kurang menarik, tidak merangsang timbulnya daya kreativitas dan
imajinasi, serta kurang kontekstual. Hal-hal tersebut berdampak pada rendahnya kualitas
pembelajaran apresiasi drama dan kurang tercapainya peran pembelajaran apresiasi drama di
sekolah, yaitu sebagai salah satu pembentuk karakter peserta didik.

Salah satu penyebab kurangnya perhatian pembelajaran apresiasi drama di sekolah adalah kurang
tersedianya sumber dan bahan pembelajaran yang sesuai. Sumarjo (1988:76) menekankan
perihal pemilihan bahan ajar, bahwa bahan pembelajaran yang dipilih harus sesuai dengan
tingkat usia maupun lingkungan siswa. Pendapat tersebut sangat tepat mengingat beragamnya
latar belakang dan kultur peserta didik. Hal ini menuntut kecermatan pendidik dalam memilih
bahan pembelajaran drama yang mampu memperkuat ikatan kebangsaan peserta didik yang
multikultural.

Relevan dengan masalah tersebut, perlu kiranya diciptakan bahan pembelajaran apresiasi drama
yang berkonteks multikultural dan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, mudah
penggunaannya, dan menarik. Salah satu alternatif yang dapat menjadikan bahan ajar menarik
adalah dengan mengemasnya dalam basis multimedia.

1. 2. Kajian Teoretis
2.1 Apresiasi Drama

Apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga tumbuh
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
karya sastra (Effendi, 2002). Kata menggauli atau mengakrabi biasanya berkaitan dengan
hubungan sosial, misalnya kita berusaha mempererat hubungan dengan teman atau tetangga
baru. Oleh sebab itu, apresiasi sastra pun seyogianyalah dipahami sebagai usaha mempererat
hubungan antara kita sebagai pembaca karya sastra dan karya sastra itu sendiri sehingga terjalin
hubungan yang bersifat emosional, imajinatif, dan intelektual.

Apresiasi memiliki tingkatan-tingkatan, mulai dari yang terendah hingga yang tertinggi.
Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila kita mengalami pengalaman yang tertuang di dalam
karya sastra. Kita terlibat secara imajinatif, emosional, dan intelektual dengan karya sastra.
Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual kita bekerja lebih giat, misalnya dengan
mencermati karya satra sebagai sebuah bangunan utuh yang di dalamnya terdiri atas paduan
unsur-unsur. Apabila kita menyadari pula bahwa ada kaitan antara karya sastra dengan aspek-
aspek di luarnya, misalnya dengan mengaitkannya pada aspek kehidupan, maka kita telah sampai
pada tingkat tertinggi (Rusyana, 1980).

Berdasarkan penjelasan mengenai apresiasi, dapat simpulkan bahwa kegiatan apresiasi


menitikberatkan pada daya intelektual. Apabila kita dapat mengkaji dan mengkritik sastra, maka
hal itu menunjukkan bahwa kita telah memiliki kompetensi sastra khususnya kemampuan
kognitif. Apabila setelah mengkaji dan mengkritik sastra itu terjadi perubahan sikap dalam diri
kita, misalnya kita menjadi orang yang peka terhadap perasaan orang lain, maka kita telah
sampai pada kompetensi afektif sastra. Dengan demikian, titik berat dari apresiasi terletak pada
pengembangan sikap dan nilai kita terhadap karya sastra.

Apresiasi drama dapat disimpulkan sebagai upaya mengkaji drama untuk memahami,
menghargai, dan menumbuhkan kepekaan pikiran kritis dan perasaan yang baik.

2.2 Drama Konteks Multikultural

Karya sastra dan kehidupan merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam
kedirian masing-masing sebagai sesuatu yang eksistensial (Suyitno, 1986:3). Hal itu
mengandung pengertian, karya sastra dan kehidupan nyata selain memiliki otonomi tersendiri,
keduanya memiliki hubungan timbal balik. Keberangkatan pengarang dalam menciptakan karya
sastra diilhami oleh fenomena kehidupan.

Membicarakan keterkaitan antara sastra dengan kehidupan Rudolf Unger (dalam Wellek,
1990:141) menyatakan, sastra bukanlah filsafat yang diterjemahkan dalam bentuk pencitraan,
melainkan ekspresi atau sikap umum terhadap kehidupan. Lebih lanjut Unger menjelaskan,
permasalahan yang digarap sastra antara lain (1) masalah nasib, yakni hubungan antara
kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam; (2) masalah keagamaan; (3) masalah
mitos dan ilmu gaib; (4) masalah yang menyangkut konsepsi manusia, hubungan manusia
dengan kematian dan konsep cinta; dan (5) masalah masyarakat dan keluarga.

Damono (1984:1) mengatakan dalam karya sastra tersirat gambaran kehidupan, dan kehidupan
itu sendiri merupakan kenyataan sosial. Dalam hal ini kehidupan mencakup (1) hubungan
antarmasyarakat, (2) antarmanusia, (3) antarmasyarakat dengan orang-seorang, dan (5) pantulan
hubungan orang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Dalam karya sastra tersimpan nilai-
nilai budaya, bahkan yang berasal dari masa lalu yang jauh. Nilai-nilai tersebut telah teruji dalam
perjalanan waktu baik yang bersifat umum maupun yang khas berupa pandangan hidup. Karya
sastra juga merekonstruksikan pengalaman yang sedang dijalani dalam suatu susunan yang
terpahami.

“Dengan memasuki segala macam situasi dalam karya sastra, orang pun akan dapat
menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas daripada situasi yang nyata. Lewat sastra
orang meresapi secara imajinatif kepentingan-kepentingan di luar dirinya dan mampu melihat
segala sesuatu dari sudut pandang yang lain, berganti-ganti menurut wawasan pengarang dan apa
yang dihadapinya (Sayuti, 1991:121)”

Sehubungan dengan hal di atas, Yus Rusyana (1991:108) menegaskan bahwa dalam sastra bukan
saja menyajikan makna yang dialami oleh pengarang sebagai perseorangan, melainkan juga
menyajikan susunan makna yang terdapat dalam hubungan seseorang dengan lainnya di
masyarakat. Hal itulah yang memberikan penegasan bahwa nilai-nilai dalam karya sastra sebagai
suatu kesatuan yang kompleks.

Istilah drama mengacu pada dua pemahaman, yaitu drama sebagai sebuah teks dan drama
sebagai pertunjukan. Waluyo (2001:1) menyatakan bahwa drama merupakan tiruan kehidupan
manusia yang diproyeksikan di atas pentas, drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka
duka, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia, sedangkan Wiyanto dalam Harahap (2012:
13) menyatakan bahwa drama adalah kisah hidup dalam masyarakat yang diproyeksikan di atas
panggung, disajikan dalam bentuk dialog dan gerak berdasarkan naskah.

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk


dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (paham). Secara hakiki, dalam kata itu
terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaannya masing-masing yang unik (Mahfud, 2011:75).

Kondisi Indonesia yang multikultural sekaligus multietnis menuntut sekolah untuk mampu
mendobrak enkapsulasi etnis dan penyekat sosial budaya lainnya. Selain itu sekolah diharapkan
dapat mengembangkan siswa agar menjadi makhluk yang melek-etnik (ethnic literacy) dan
melek-kebinekaan budaya. Kebinekaan budaya yang ada dilahirkan oleh berbagai aspek
kehidupan, seperti agama, suku, keturunan, kondisi sosial ekonomi, dan tahapan kekuasaan
(Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II, 1994:119-120).
Pengembangan wawasan siswa agar menjadi insan yang melek-etnik dan melek-kebinekaan dapat
dilakukan melalui pembelajaran, yaitu pengajaran yang responsif secara kultural. Gay dalam
Jacobsen (2009) mengemukakan bahwa pengajaran responsif secara kultural (culturally
responsive teaching) merupakan pengajaran yang mengakui dan mengakomodasi keragaman
kultural di dalam ruang kelas. Komponen-komponen pengajaran responsif secara kultural
mencakup hal-hal sebagai berikut: (1) menciptakan lingkungan kelas yang positif di mana
seluruh siswa dihargai dan dihormati; (2) mengomunikasikan harapan-harapan yang positif untuk
pembelajaran seluruh siswa; (3) mengakui keragaman kultural dalam diri siswa dan
mengintegrasikan keragaman ini ke dalam kurikulum (Jacobsen, 2009:262). Pengintegrasian
keragaman kultur ke dalam kurikulum salah satunya melalui penyediaan bahan-bahan
pembelajaran yang berkonteks multikultural.

Bahan pembelajaran drama yang berkonteks multikultural merupakan bahan pembelajaran yang
isinya mengakomodasi keragaman kultur yang ada di masyarakat.

2.3 Apresiasi Drama Konteks Multikultural

Keluasan dan kedalaman segala hal yang terkandung dalam karya sastra mengindikasikan
muncul keanekaragaman. Keanekaragaman tersebut dapat berupa berbagai pandangan hidup,
sikap dan pola pikir, dan juga keragaman pokok persoalan yang ditampilkan. Bahkan bila
dihubungkan dengan realitas sosial, keberagaman tersebut juga menyangkut latar sosial budaya
yang ditampilkan maupun menjadi setting dari karya yang dihasilkan. Aspek-apsek tersebut di
atas itulah yang harus diperhatikan dalam pemilihan bahan pengajaran sastra.

Dengan melihat hal tersebut dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat dijadikan sebagai
sarana mengembangkan sikap menghargai perbedaan pada diri anak didik. Dengan membaca,
memahami, mengapresiasi karya sastra siswa akan berhadapan dengan fenomena nyata yang
begitu luas, dalam, dan beraneka ragam. Keluasan, kedalaman, dan keankeragaman tersebut
tentu dapat dihubungkan dengan realitas masyarakat Indonesia yang homogen. Pada akhirnya
siswa akan mengambil sikap dan menjatuhkan pilihan, berdasarkan pemahaman yang
dimilikinya.

Melalui karya sastra, termasuk drama di dalamnya, siswa dapat belajar mengenal dan
memahamai keragaman budaya di Indonesia. Karya sastra menyediakan informasi keragaman
budaya yang melatari kelahirannya. Untuk mengenal budaya Jawa, siswa dapat dihadapkan
dengan karya-karya Umar Kayam seperti Para Priyayi atau Jalan Menikung. Latar budaya Jawa
juga ditemui dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suyadi. Aspek kultural masyarakat
Kalimantan terekam dengan baik dalam novel Upacara karya Korie Layun Rampan. Pengenalan
budaya Bali dapat dilakukan melalui penelaahan novelet karya Oka Rusmini yang berjudul
Sagra. Novel Chairul Harun yang berjudul Warisan jelas sekali menyuarakan ke-Minangkabau-
an dalam konteks ke-Indonesia-an. Bahkan untuk mengenal budaya China dapat dimulai dengan
membaca novelet Bibi Giok karya Zarra Zetira, novel Miss Lu karya Naning Pranoto, dan karya
terkenal dari Remy Silado yang sudah difilmkan berjudul Cau Bau Kan (Darma, 2001).
Pembelajaran apresiasi drama konteks multikultural dapat dilakukan melalui pengkajian drama-
drama yang ada. Untuk tingkatan SMP, drama-drama realis tampaknya lebih tepat sebagai bahan
apresiasi. Kita dapat memahami kultur masyarakat Bali melalui drama karya Putu Wijaya yang
berjudul Bila Malam Bertambah Malam, latar budaya masyarakat Jawa kelas pinggiran dapat
ditemui dalam drama-drama karya Bambang Widoyo yang dipentaskan Teater Gapit
Surakarta, Leng, Suk. Drama-drama karya Arifin C. Noer, N. Riantiarno, Teguh Karya juga
memiliki kandungan nilai multikultural yang baik untuk membentuk karakter kebangsaan peserta
didik.

2.4 Pembelajaran Drama di SMP

Pembelajaran apresiasi drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu
pembelajaran teks drama yang termasuk sastra, dan pementasan drama yang termasuk bidang
teater. Di SMP, sebagaimana termuat di dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi, pembelajaran drama terdapat di kelas VIII dan IX sebanyak enam standar
kompetensi dan sebelas kompetensi dasar. Di kelas VIII pembelajaran drama meliputi kegiatan
menanggapi unsur pementasan, bermain peran, dan menulis naskah drama sederhana, sedangkan
di kelas IX meliputi kegiatan membahas dan menilai sebuah pementasan drama dan menulis
naskah drama.

Tabel 1

SK dan KD Pembelajaran Drama di SMP Kelas VIII

No. Aspek / Standar Kompetensi Kompetensi Dasar


1. Mendengarkan 5.1 Menanggapi unsur pementasan
drama
5. Mengapresiasi pementasan
drama 5.2 Mengevaluasi pemeran tokoh
dalam pementasan drama
2. Berbicara 6.1 Bermain peran sesuai dengan naskah
yang ditulis siswa
6. Mengungkapkan pikiran
dan perasaan dengan bermain 6.2 Bermain peran dengan cara
peran improvisasi sesuai dengan kerangka
naskah yang ditulis siswa
3. Membaca 7.1 Mengidentifikasi unsur intrinsik teks
drama
7. Memahami teks drama dan
novel remaja
4. Menulis 8.1 Menulis kreatif naskah drama satu
babak dengan memperhatikan keaslian
8. Mengungkapkan pikiran ide
dan perasaan melalui kegiatan
menulis kreatif naskah drama 8.2 Menulis kreatif naskah drama satu
babak dengan memperhatikan kaidah
penulisan naskah drama

Tabel 2

SK dan KD Pembelajaran Drama di SMP Kelas IX

No. Aspek / Standar Kompetensi Kompetensi Dasar


1. Berbicara 14.1 Membahas pementasan drama yang
ditulis siswa
14. Mengungkapkan tanggapan
terhadap pementasan drama 14.2 Menilai mementasan drama yang
dilakukan oleh siswa
2. Menulis 16.1 Menulis naskah drama berdasarkan
cerpen yang sudah dibaca
16. Menulis naskah drama
16.2 Menulis naskah drama berdasarkan
peristiwa nyata

2.5 Bahan Pembelajaran Berbasis Multimedia

Pembelajaran merupakan sebuah sistem yang mengintegrasikan berbagai komponen menjadi


satu fungsi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam pembelajaran. Salah satu
komponennya disebut sebagai komponen dasar yang meliputi enam komponen yaitu: (a) peserta
didik; (b) lulusan yang berkompeten seperti diharapkan; (c) proses pembelajaran; (d) pendidik;
(e) kurikulum; dan (f) bahan pembelajaran/bahan pembelajaran (Suparman, 2012:38).

Bahan pembelajaran disusun berdasarkan tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik, dan
strategi pembelajaran untuk setiap tujuan pembelajaran. Bahan pembelajaran merupakan
komponen yang sangat terkait erat dengan isi setiap mata pelajaran dan harus relevan dengan
tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik, dan strategi pembelajaran (Suparman, 2012:43).
Richard yang dikutip Zulaeha (2010), memberi batasan materi atau bahan pembelajaran sebagai
suatu komponen yang dalam program pembelajaran, mungkin berupa textbook, paket dari
sekolah, sesuatu yang dibuat sendiri oleh guru, yang dipakai sebagai dasar untuk memberikan
masukan (input) bagi siswa di dalam kelas (Zulaeha, 2010:5).

Multimedia dimaknai sebagai suatu sistem komunikasi interaktif berbasis komputer yang mampu
menciptakan, menyimpan, menyajikan dan mengakses kembali informasi berupa teks, grafik,
suara, video atau animasi (Gayestik dalam Soenarto, 2011). Dengan teknologi komputer saat ini,
sudah memungkinkan untuk menyimpan, mengolah dan menyajikan kembali sumber suara dan
video dalam format digital. Hackbart mendefinisikan Multimedia Pembelajaran Interaktif (MPI)
sebagai suatu program pembelajaran yang mencakup berbagai sumber yang terintegrasi berbagai
unsur media dalam program komputer. Program tersebut secara sengaja dirancang dalam bagian-
bagian dan secara terstruktur memberi peluang untuk terjadinya interaktivitas antara
pengembang dengan penggunanya secara fleksibel, sehingga terjadi proses belajar (Soenarto,
2011).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahan pembelajaran drama berbasis multimedia
adalah bahan pembelajaran yang mencakup berbagai sumber yang terintegrasi dari berbagai
unsur media dalam program komputer. Komponen bahan pembelajaran multimedia meliputi
berikut ini.

2.5.1 Suara (Sound)

Dalam teknologi multimedia, sound card memepunyai peranan yang sangat penting dalam
pembuatan suatu apalikasi multimedia. Dengan menggunakan sound card komputer dapat
mengolah data suara dalam bentuk analog dan diubah ke dalam bentuk digital dan disimpan ke
dalam file bertipe data suara. Beberapa format standar suatu file ini antara lain: waveform
(WAV), MIDI (Musical Instrument Digital Interface), dan sebagainya.

Sumber suara diperoleh dengan peralatan: mikropon, Open Reel Videotape, kaset audio,
Compact Disk, kaset video, MIDI instrument.

2.5.2 Gambar (Image)

Pada dasarnya sebuah format gambar dapat dipresentasikan ke dalam dua tipe, yaitu bitmap dan
vector. Perbedaan dari kedua format ini adalah file bitmap berisikan informasi warna RGB dalam
setiap pixelnya. Pada vector tidak berisikan informasi RGB. File bitmap dapat dilihat langsung
keanekaragaman warna yang dapat disimpannya. Tetapi dengan semakin banyaknya informasi
warna yang disimpan akan semakin banyak jumlah byte memori yang akan digunakan untuk
menyimpan file bitmap tersebut.
Sumber gambar dapat diperoleh dengan peralatan scanner, kamera, dan sebagainya. Banyak
software yang dapat digunakan untuk mengolah sumber gambar, antara lain: Corel Draw, Adobe
Photoshop.

2.5.3 Animasi (Animation)

Animasi merupakan perubahan gambar satu ke gambar berikutnya sehingga dapat membentuk
suatu gerakan tertentu. Animasi menunjukkan sebuah seni dari gambar grafik yang menirukan
gerakan dan juga berisikan penyamaan suara. Animasi mempunyai dua tipe yang berbeda, yaitu
cast based dan frame based.

Animasi cast based disebut juga dengan animasi obyek, yaitu sebuah bentuk animasi dimana
tiap-tiap obyek obyek dalam tampilan merupakan elemen tersendiri yang mempunyai susunan
gambar, bentuk, ukuran, warna dan kecepatan. Sebuah naskah tampilan diawasi oleh penempatan
dan pergerakan obyek dalam tiap-tiap frame animasi.

Animasi frame based adalah sebuah layar atau frame yang ditunjukkan dalam kecepatan yang
berurutan. Perubahan layar dari frame satu ke frame yang lain akan menghasilkan animasi. Tiap-
tiap frame dapat dirubah menjadi entitas yang unik, sebab perubahan ini digambarkan dalam
gambar yang terlihat untuk periode waktu tertentu. Beberapa program yang dapat digunakan
untuk mengolah animasi, antara lain: Flash Macromedia, Swift 3D, Swish, Adobe After Effect.

2.5.4 Video

Dalam dunia komputer multimedia, video merupakan elemen yang menjadi syarat untuk
dihadirkan sebagai kelengkapan dalam sebuah aplikasi multimedia. Pemasukan data video
analog akan dimasukkan ke 5 dalam sebuah komputer harus dilengkapi dengan sebuah card
tambahan dengan nama video card.

Sumber video dapat diperoleh dengan peralatan, antara lain: video camera analog, video camera
digital, dlsb. Pengolahan sumber suara dapat dilakukan dengan beberapa software, antara lain:
Movie Capture, Movie Editor, MPEG Encoder, VCD Creator, Adobe Premiere, dan lain-lain.
Software Movie Capture digunakan untuk mengambil data audio/video yang akan dibentuk video
VCD. Software Movie Editor, untuk memproses (pemotongan frame, perubahan unsur warna,
terang gelapnya sajian video) data audio/video yang akan dibentuk Video CD. Software MPEG
Encoder digunakan untuk menterjemahkan format data file audio/video ke bentuk standar video
CD dengan format MPEG (Motion Picture Experts Group).

2.5.6 Teks (Text)


Selain elemen-elemen multimedia di atas, teks merupakan bagian dari multimedia yang tidak
boleh ditinggalkan, karena teks dapat membantu melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh
pengguna yang tidak dapat disampaikan hanya dengan menggunakan tampilan-tampilan gambar
yang menarik. Sehingga untuk penyampaian informasi tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan teks. Dengan penggabungan dari tampilan gambar, suara,video dan teks tersebut
dapat dihasilkan suatu informasi yang interaktif dan komunikatif.

2.5.7 Interaktivitas

Rob Phillips (dalam Soenarto) menjelaskan makna interaktif sebagai suatu proses pemberdayaan
siswa untuk mengendalikan sumber belajar. Dalam konteks ini sumber belajar yang dimaksud
adalah belajar dengan menggunakan bahan pembelajaran berbasis komputer. Klasifikasi
interaktif dalam lingkup multimedia pembelajaran bukan terletak pada sistem hardware, tapi
lebih mengacu pada karakteristik belajar siswa dalam merespon stimulus yang ditampilkan layar
monitor komputer. Kualitas interaksi siswa dengan komputer sangat ditentukan oleh
kecanggihan program komputer (Soenarto, 2011).

2.6 Kecerdasan Emosi Siswa

Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam perkembangan siswa adalah kecerdasan
emosional (Natawidjadja dalam Zulaeha, 2007:13). Kecerdasan emosional atau afektif
merupakan kemampuan memecahkan masalah berdasarkan segi sosial pada belahan otak kanan.
Kenyataan membuktikan bahwa tidak semua masalah dapat diatasi dengan kemampuan
intelektual atau kognitif dalam kehidupan sehari-hari. Siswa membutuhkan kemampuan
emosional atau afektif pula dalam mengatasi masalah sosial.

Bahaudin dalam Sakdanur (2005: 48) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu
kemampuan untuk mengendalikan emosi sehingga memberikan dampak atau hasil yang positif
terhadap kita ataupun orang lain.

Menurut Goleman, yang dikutip oleh Mami Hajaroh (2013: 4-5) dalam makalah “Kecerdasan
Emosi dan Aplikasinya dalam Pebelajaran Pendidikan Agama Islam”, terdapat lima kecerdasan
emisonal.

1. Mengenali Emosi Diri

Kesadaran mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.

Mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional. Orang-orang yang memiliki
keyakinan lebih tentang perasaanya adalah pilot yang andal bagi mereka, karena mereka
memiliki kepekaan lebih terhadap perasaan yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-
keputusan masalah pribadi.

1. Mengelola Emosi

Menangani perasaan agar dapat terungkap secara tepat.

Kecakapan ini tergantung pada kemampuan mengenali emosi diri. Termasuk dalam kecakapan
ini adalah bagaimana menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan,
ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar
ini. Orang-orang yang tidak cakap dalam keterampilan ini akan terus-menerus melawan perasaan
murung, sementara mereka yang pintar dalam keterampilan ini dapat bangkit kembali dengan
jauh lebih cepat dari kemerosotan dan keruntuhan dalam kehidupan.

1. Memanfaatkan Emosi Secara Produktif

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting kaitannya
dengan perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi.
Mengendalikan emosi diri meliputi menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan
dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Disamping itu mampu
menyesuaikan diri dalam flow (hanyut dalam pekerjaan) memungkinkan terwujudnya kinerja
yang tinggi dalam segala bidang. Orang yang memiliki ketrampilan ini jauh lebih produktif dan
efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

1. Mengenali Emosi Orang Lain (Empati)

Empati merupakan kemampuan yang juga bergantung kepada kesadaran diri emosional. Empati
merupakan keterampilan bergaul yang mendasar. Orang yang empatik jauh lebih mampu
menangkap sinyal sosial yang tersebunyi, yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau
dikehendaki orang lain.

1. Membina Hubungan

Sebagian besar seni membina hubungan merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain.
Keterampilan sosial ini menunjang popularitas kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.
Orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan
pergaulan dengan orang lain. Mereka adalah bintang-bintang pergaulan.
1. 3. PENUTUP

Pembelajaran sastra di sekolah sudah seharusnya mendapat perhatian yang serius karena menjadi
salah satu tumpuan dalam penanaman dan pengembangan karakter peserta didik. Wujud
perhatian yang serius itu tampak pada proses pembelajaran yang berkualitas. Kualitas
pembelajaran akan berdampak pada tercapainya tujuan pembelajaran sastra dalam membentuk
karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional.

Pembelajaran apresiasi drama sebagai bagian dari pembelajaran sastra di sekolah saat ini dirasa
masih kurang memperoleh perhatian para guru. Hal ini tampak pada proses pembelajaran yang
masih bersifat teoretis dan lebih menekankan pada pembahasan secara tekstual naskah drama.
Kurangnya perhatian itu dapat dipahami karena masih sedikit bahan pembelajaran yang sesuai
untuk pembelajaran apresiasi drama.

Pembelajaran apresiasi drama berperspektif multikultural sudah saatnya dikedepankan seiring


dengan era globalisasi dengan transformasi sosial budaya dan perubahan nilai kehidupan yang
berkecenderungan global. Sebagai sebuah paham, multikulturalisme merupakan suatu pandangan
yang menganggap keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu penyediaan bahan pembelajaran apresiasi drama konteks
multikultural sangat mendesak dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai