TINJAUAN PUSTAKA
Nilai Pelayanan
Nilai konsumen
Nilai karyawan total
Biaya Energi
Biaya
Biaya Mental konsumen total
Biaya Waktu
Kotler (2005) menyatakan bahwa nilai bagi konsumen adalah selisih antara
nilai konsumen total dengan biaya konsumen total. Nilai konsumen total adalah
sekumpulan manfaat yang diharapkan oleh konsumen dari produk atau jasa
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan biaya konsumen total adalah
sekumpulan biaya yang diharapkan oleh konsumen yang dikeluarkan untuk
mengevaluasi, mendapatkan, menggunakan, dan membuang produk.
2.3. Jasa
Jasa menurut Kotler (2000) adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan
oleh satu pihak ke pihak yang lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak
menyebabkan perpindahan kepemilikan, produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat
pada satu produk (fisik). Jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan
output selain produk dalam pengertian fisik, dikomsumsi dan diproduksi pada saat
bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli
pertamanya.
Definisi jasa menurut Zeithaml dan Britner (2005) adalah seluruh aktivitas
ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi
pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud
(intangible) bagi pembeli pertamanya. Berdasarkan pengertian jasa di atas, Tjiptono
(2004) mengutarakan ada lima karakteristik utama jasa bagi pembeli pertamanya, yaitu:
1. Intangibility (tidak berwujud)
Jasa berbeda dengan barang. Barang merupakan suatu objek, alat, atau benda; maka
jasa adalah suatu perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja (performance),
atau usaha. Jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelum
dibeli dan dikonsumsi. Bagi para pelanggan, ketidakpastian dalam pembelian jasa
relatif tinggi karena terbatasnya search qualities, yakni karakteristik fisik yang dapat
dievaluasi pembeli sebelum pembelian dilakukan. Kualitas pada jasa yang akan
diterima konsumen, umumnya tidak diketahui sebelum jasa bersangkutan dikonsumsi.
2. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)
Barang biasa diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa
umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada
waktu dan tempat yang sama.
3. Variability atau Heterogeneity (berubah-ubah)
Jasa bersifat variabel karena merupakan non-standarized output, artinya banyak
variasi bentuk, kualitas, dan jenis tergantung kepada siapa, kapan dan dimana jasa
tersebut diproduksi. Hal ini dikarenakan jasa melibatkan unsur manusia dalam proses
produksi dan konsumsinya yang cenderung tidak bisa diprediksi dan cenderung tidak
konsisten dalam hal sikap dan perilakunya.
4. Perishability (tidak tahan lama)
Jasa tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kursi pesawat yang kosong, kamar
hotel yang tidak dihuni, atau kapasitas jalur telepon yang tidak dimanfaatkan akan
berlalu atau hilang begitu saja karena tidak bisa disimpan.
5. Lack of Ownership
Lack of Ownership merupakan perbedaan dasar antara jasa dan barang. Pada
pembelian barang, konsumen memiliki hak penuh atas penggunaan dan manfaat
produk yang dibelinya. Mereka bisa mengkonsumsi, menyimpan atau menjualnya.
Di lain pihak, pada pembelian jasa, pelanggan mungkin hanya memiliki akses
personel atas suatu jasa untuk jangka waktu terbatas (misalnya kamar hotel, bioskop,
jasa penerbangan dan pendidikan).
2.4. Klasifikasi Jasa
Jasa dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian menurut Kotler (2000) yaitu
sebagai berikut:
1. Berdasarkan faktor produksi yang digunakan, yang meliputi:
a. People based service. Jasa yang melibatkan peranan manusia dalam proses
produksinya sehingga sulit untuk dilakukan standarisasi.
b. Equipment based service. Jasa yang mengandalkan penggunaan peralatan dalam
memberikan atau menyampaikan jasanya.
2. Berdasarkan atas kebutuhan akan kehadiran konsumen (client presence).
Tidak semua jasa memerlukan kehadiran konsumen, sehingga konsumsi dan produksi
jasa dapat dilakukan walaupun konsumen menginginkan jasa tidak hadir dan tidak
terlibat secara langsung, seperti jasa pengiriman barang, angkutan dan lain-lain.
3. Berdasarkan pemenuhan kebutuhan.
4. Berdasarkan tujuan perusahaan.
Berdasarkan tujuan perusahaan dapat dibedakan menjadi profit motif dan non profit
motif.
2.5 Atribut
2.5.1 Outbound
Outbound training merupakan jenis latihan di alam terbuka (outdoor) untuk
pengembangan diri (self development) yang disimulasi melalui permainan-
permainan edukatif baik secara individual maupun kelompok dengan tujuan
untuk meningkatkan motivasi, kepercayaan diri, berpikir kreatif, rasa
kebersamaan, tanggung jawab, komunikasi, rasa saling percaya dan lainnya.
2.5.1.1. Sejarah Outbound Training
1. Segmentasi
Pasar terdiri dari banyak sekali pembeli yang berbeda dalam beberapa hal, misalnya
keinginan, kemampuan keuangan lokasi, sikap pembelian dan praktek-praktek
pembeliannya. Tidak ada cara tunggal dalam melakukan segmentasi pasar. Manajemen
dapat melakukan pengkombinasian dari beberapa variable untuk mendapatkan suatu
cara paling pas dalam segmentasi pasarnya. (Umar 2000)
3. Posisi Pasar
Setelah perusahaan memutuskan segmen pasar yang akan dimasuki, selanjutnya harus
diputuskan pula posisi mana yang akan ditempati dalam segmen tersebut. Jika
perusahaan dapat menentukan posisinya sendiri sebagai yang memberikan nilai
superior kepada sasaran terpilih, maka ia memperoleh keunggulan komparatif
(Umar 2000).
Uji Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu dapat mengukur
variabel yang diukur. Jenis validitas menurut Anastasi dan Nunnaly dalam singarimbun
dan Efendi (1989) dapat digolongkan menjadi:
1. Validitas Konstruksi untuk mencari kerangka konsep ada tiga digunakan, yaitu:
a) Mencari definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang ditulis dalam literatur.
Definisi suatu konsep biasanya berisi kerangka dari konsep tersebut. Terkadang
para ahli tidak memberikan definisi, tetapi memberikan kerangka konsep yang
jelas. Terdapat definisi yang jelas dan cukup operasional untuk dijadikan dasar
penyusunan alat ukur, definisi tersebut sudah dapat langsung dipakai untuk
menyusun pertanyaan dalam kuesioner.
b) Seandainya definisi konsep yang diukur tidak diperoleh dari literatur, periset
harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Untuk membentuk penyusunan
definisi dan mewujudkan definisi tersebut ke dalam bentuk yang operasional,
periset disarankan untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan para ahli yang
kompeten di bidang tersebut. Kemudian pendapat para ahli dan pendapat periset
dicari kesamaannya.
c) Jika ternyata para ahli pun tidak ditentukan, maka periset menanyakan definisi
konsep yang diukur kepada calon responden, atau orang orang yang memiliki
karakteristik yang sama dengan responden. Misalnya periset ingin mengukur
konsep sistem informasi pemasaran. Untuk mendefinisikan konsep ini, periset
dapat langsung menanyakan kepada beberapa calon responden terseleksi dengan
ciri-ciri sistem informasi pemasaran yang efektif. Berdasarkan jawaban
responden, kemudian disusun kerangka konsepnya.
2. Validitas Isi. Validitas isi adalah suatu pengukur untuk mengetahui sejauh mana isi
alat pengukur tersebut mewakili semua spek yang dianggap sebagai aspek kerangka
konsep. Misalnya, seorang periset ingin mengukur konsep sistem informasi SDM.
Jika didalam penyusun kuesioner si peneliti hanya memasukkan beberapa dimensi
saja dari keseluruhan dimensi merupakan kerangka konsep untuk mengukur
efektivitas sistem informasi SDM, maka alat yang disusun tidak memiliki validitas isi
yang tinggi.
3. Validitas Prediktif. Alat pengukur yang dibuat oleh periset seringkali dimaksudkan
untuk memprediksikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam riset
bisnis yang bersifat riset sosial, cukup sering terjadi para periset bermaksud
memprediksi apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang, misalnya dalam upaya
meningkatkan pendapatan perusahaan, seringkali diteliti sikap konsumen terhadap
produk–produk perusahaan. Dengan pengukuran sikap ini dapat diketahui jenis
produk apa yang disukai.
Realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana alat pengukuran dapat
dipercaya atau dapat diandalkan. Menurut Umar (2003), Reabillitas adalah suatu nilai
yang menunjukkan konsistensi suatu alat pengukuran di dalam mengukur gejala yang
sama. Gejala prilaku tidak semantap gejala keuangan, maka dalam pengukuran gejala
perilaku selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran (measurement error).
2.10. Importance Performance Analysis (IPA)
A B
Uji Chi–Square menurut Kountur (2005) adalah suatu analisis yang digunakan
untuk mengukur frekuensi dari dua variabel dengan banyak kategori untuk menentukan
apakah ada hubungan antara kedua variabel. Uji Chi–Square merupakan salah satu uji
statistik non parametrik, maka uji Chi–square dapat diterapkan untuk pengujian data
nominal atau kategorik.