Fraktur Tulang LP
Fraktur Tulang LP
Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya (Smeltzer & Bare, 2002). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang terjadi karena adanya tekanan pada tulang yang melebihi absorpsi tulang, terjadi ketika
tekanan yang berlebihan mengenai tulang dan tidak bisa diredam. Biasanya hal ini juga
menimbulkan cedera jaringan lunak sekitarnya seperti kulit, jaringan subkutan, otot, pembuluh
darah, syaraf, ligamen, dan tendon (Black & Matassarin, 1997). Fraktur dapat terjadi di bagian
tubuh mana saja dan semua usia (Workman & Ignatavicius, 2006). Fraktur dapat disebabkan
oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot
ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan
edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan
saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang
disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer & Bare, 2002).
B. Etiologi
Etiologi fraktur, diantaranya (Hamblen & Simpson, 2007):
1. Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat
terkenanya benturan.
2. Fragility fraktur, yaitu fraktur yang terjadi karena kelemahan tulang, biasanyanya pada
lanjut usia yang mengalami osteoporosis.
3. Kelemahan/ stress fraktur, yaitu fraktur yang terjadi bukan karena satu kali trauma,
tetapi karena stress tulang yang terjadi berulang-ulang, biasanya terjadi pada atlit.
Fraktur ini dimulai dari kerusakan-kerusakan kecil, dan berakumulasi dan berkembang
menjadi fraktur komplit.
4. Fraktur patologi, fraktur yang terjadi karena tulang yang lemah akibat suatu proses
penyakit misalnya kanker, riketsia, spiondilitis TB.
C. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur berdasarkan luasnya fraktur, dibedakan menjadi (Smeltzer & Bare,
2002; Workman & Ignatavicius, 2006):
1. Fraktur komplit : patah dari seluruh garis tengah tulang, biasanya mengalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal) dan tulang menjadi dua bagian yang terpisah.
2. Fraktur inkomplit : patahnya terjadi di sebagian garis tengah tulang.
Klasifikasi fraktur berdasarkan luasnya kerusakan jaringan lunak sekitar, dibedakan
menjadi (Smeltzer & Bare, 2002; Workman & Ignatavicius, 2006):
1. Fraktur terbuka (compound fraktur) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau
membrane mukosa sampai patahan tulang dan adanya luka eksternal. Fraktur terbuka
ini digradasi menjadi:
a. Grade I : luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, trauma dan kerusakan kulit
minimal.
b. Grade II : luka bersih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif. Adanya luka
memar pada kulit dan otot.
c. Grade III : yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif, merupakan yang paling berat. Kerusakan meliputi kulit, otot, saraf,
pembuluh darah, diameter luka lebih dari 6-8 cm.
2. Fraktur tertutup (simple fraktur) : fraktur tidak melukai jaringan kulit dan tidak terlihat
adanya luka (tidak merobek jaringan kulit).
Klasifikasi fraktur berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (fraktur bergeser atau
tidak bergeser), dibedakan menjadi (Smeltzer & Bare, 2002):
1. Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi lainnya
membengkok.
2. Tranversal, suatu fraktur yang melintang pada tulang (fraktur sepanjang garis tengah
tulang) merupakan akibat dari trauma langsung.
3. Oblik, yaitu fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak
stabil dibanding tranversal) akibat trauma langsung.
4. Spiral, suatu fraktur yang mengelilingi batang tulang, arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan karena trauma rotasi
5. Impacted (Telescopic) atau kompresi, yaitu sebagian fragmen tulang menusuk bagian
fragmen yang lain.
6. Displaced. Fragmen tulang terpisah dengan kesegarisan tulang lain
Perubahan jaringan sekitar Kerusakan Mengenai jaringan lunak Mengenai jaringan keras
integritas
kulit
Pergeseran fragmen tulang Arteri Vena Tulang kehilangan asupan
darah
Terputusnya arteri Vena statis karena
Deformitas Gangguan sirkulasi
penekanan lokal
Spasme arteri
Gangguan fungsi Trombosis Nutrisi dan O2 tidak adekuat
Penekanan arteri
Masuk ke dalam paru
Gangguan mobilitas fisik Trombosis arteri Nekrosis vaskular tulang
Emboli
Perdarahan Osteomiolitis
Gangguan
pertukaran gas
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Smeltzer & Bare,
2002).
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa), bukan tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi
dengan baik, karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Saat meraba bagian ekstremitas yang terkena fraktur, akan teraba adanya derik
tulang yang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa
jam atau haru setelah cedera.
F. Komplikasi
Komplikasi Awal
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan
perdarahan eksterna maupun yang tak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke
jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan
vertebra. Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah yang besar seperti akibat trauma, khususnya pada
fraktur femur dan pelvis (Smeltzer & Bare, 2002).
Treatment: mempertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang dirasakan,
memasang pembebatan yang memadai, dan melindungi pasien dari cedera yang lebih
lanjut (Smeltzer & Bare, 2002).
2. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur khususnya pada fraktur multipel dan fraktur tulang
panjang (Workman & Ignatavicius, 2006), globula emboli lemak yang dihasilkan di
kuning sumsum tulang masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih
tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres
pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak
dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru,
ginjal, dan organ lain (Smeltzer & Bare, 2002).
Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi, dan pireksia. Gangguan
serebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi mulai
dari agitasi ringan, kebingungan, delirium, dan koma yang terjadi sebagai respon
hipoksia akibat penyumbatan emboli lemak di otak (Smeltzer & Bare, 2002).
Treatment: pemberian terapi oksigen, heparin atau dextran 40 untuk
meningkatkan aliran kapiler (Hamblen & Simpson, 2007), imobilisasi segera fraktur,
penyangga fraktur yang memadai saat pemindahan dan mengubah posisi sebagai
upaya yang dapat mengurangi insiden emboli lemak. Pemberian kortikosteroid untuk
menangani reaksi inflamasi paru dan mengontrol edema otak (Smeltzer & Bare,
2002).
3. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan
dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Hal ini terjadi
karena (1) penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot
terlalu ketat atau gips atau balutannya; (2) peningkatan isi kompartemen otot karena
edema atau perdarahan karena iskemia, cedera remuk, penyuntikan toksik jaringan
(Smeltzer & Bare, 2002).
Patofisiologi. Penyebab utama sindrom kompartemen adalah peningkatan
tekanan di kompartemen yang biasanya berkaitan dengan siklus iskemik-edema.
Kapiler di jaringan otot berlaksasi, yang meningkatkan tekanan di kapiler. Jaringan
otot yang mengalami iskemia akan mengeluarkan histamin, akibatnya permeabilitas
kapiler pun meningkat. Oleh karena itu protein plasma berpindah ke ruangan
intersisial dan terjadilah edema. Edema menekan saraf dan menyebabkan nyeri.
Aliran darah pada area tersebut berkurang, mengakibatkan iskemi yang lebih lanjut.
Defisit sensori (paratesia) muncul sebelum terjadi perubahan vaskular dan tanda
motorik. Jaringan terlihat pucat, pulsasi/ denyut lemah bahkan bisa tidak teraba,
nyeri ketika ekstremitas digerakkan (Workman & Ignatavicius, 2006).
Jika sindrom kompartemen ini tidak ditangani dalam 4 sampai 6 jam akan terjadi
kerusakan meuromuskular ireversibel, dan 24 sampai 48 jam akan terjadi
ketidakberfungsian tungkai yang terkena (Workman & Ignatavicius, 2006).
Treatment: sindrom kompartemen dapat dicegah dengan mengontrol edema,
yang dapat dicapai dengan meninggikan ekstremitas yang cedera setinggi jantung,
memberikan kompres es setelah terjadinya cedera,balutan yang ketat harus
dilonggarkan, dan fasiotomi (Smeltzer & Bare, 2002).
4. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat (Workman & Ignatavicius, 2006).
5. Iskemik-Nekrosis
Iskemik-nekrosis ini mengarah pada Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena
aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
(osteonekrosis) dan kematian jaringan tulang (Workman & Ignatavicius, 2006).
2. Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6 – 9 bulan. Non union ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
I. Pengkajian Keperawatan
Berikut adalah pengkajian keperawatan menurut Doenges (1995):
Aktivitas
Tanda :
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena(mungkin
segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan
jaringan, nyeri)
Sirkulasi
Tanda :
Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri,
ansietas)
Hipotensi (kehilangan darah)
Takikardia (respon stres, hipovolemia)
Penurunan/tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera
Pengisian kapiler lambat
Pucat pada bagian yang terkena
Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera
Neurosensor
Gejala :
Hilangnya gerakan/sensasi
Spasme otot
Kebas/kesemutan (parestesis)
Tanda :
Deformitas lokal
Angulasi abnormal
Pemendekan
Rotasi
Krepitasi
Spame otot
Terlihat kelemahan/hilang fungsi
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ ansietas/trauma)
Nyeri/kenyamanan
Gejala :
Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/kerusakan tulang; dapat berkurang dengan imobilisasi)
Tidak ada nyeri karena kerusakan syaraf
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
Keamanan
Tanda :
Laserasi kulit
Avulsi jaringan
Perdarahan
Perubahan warna
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba)
J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjuang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa fraktur,
antara lain sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rontgen untuk menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya trauma.
2. Scan tulang, temogram, CT scan untuk memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Hitung darah lengkap menunjukkan nilai Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (akibat perdarahan bermaksan pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multipel).
4. Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respons stres normal setelah trauma.
5. Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
6. Profil koagulasi, yaitu perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multiple, atau cedera hati.
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
1. Reduksi
Reduksi atau manipulasi adalah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimum. Reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Reduksi fraktur
sesegera mungkin dilakukan untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
2. Imobilisasi
Indikasi dari imobilisasi, diantaranya:
a. Untuk mencegah kesalahan tempat atau angulasi dari fragmen. Biasanya pada
fraktur tulang panjang yang memerlukan imobilisasi untuk menjaga ketepatan
kesejajaran.
b. Untuk mencegah pergeseran yang mempengaruhi penyatuan tulang terutama
pada fraktur skapiod, batang ulnaris, leher femur. Ada juga fraktur yang tidak
membutuhkan imobilisasi, seperti costa (rusuk), clavikula dan scapula,
humerus dan femur, fraktur metacarpal, metatarsal, palangers. Hal ini karena,
imobilisasi pada beberapa fraktur dapat mengakibatkan cedera dan
meningkatkan kekakuan.
c. Untuk mengurangi nyeri.
Immobilisasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
tulang sehingga kembali seperti semula secara optimum. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Sedangkan untuk fiksasi interna dapat digunakan implan logam yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna ataupun
interna biasanya dikenal dengan pemasangan OREF dan ORIF.
OREF (Open Reduction and External Fixation) adalah reduksi terbuka dengan
fiksasi eksternal di mana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah
fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal
memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk).
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) adalah suatu bentuk
pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami
fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran.
OREF ORIF
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menghindari atropi dan kontraktur dengan
fisioterapi. Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Rehabilitasi ini dilakukan dengan cara
gerak aktiv menggunakan ekstremitas yang terkena fraktur dan aktivitas latihan
(Hamblen & Simpson, 2007).
L. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
2. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskular perifer
3. Kerusakan mobilitas fisik
4. Aktual/ resiko kerusakan intergritas kulit
5. Resiko tinggi terhadap infeksi
Rencana Asuhan Keperawatan
Black, J.M and E.M Jacobs.(1997). Medical Surgical Nursing: Clinical Management
for Continuity of Care. 5th Ed. Philadelphia: W.B Saunders Company
Doenges, M.E.(1995). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan pendokumentasian Perawatan Pasien.(edisi ketiga). Jakarta : EGC
Hamblen, D. L., & Simpson, A. H. R. W. (2007). Adams’s outline of fractures: Including
joint injuriest. USA: Elsevier.
Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical
thinking for collaborative care. Ed. 5th. St. Louis: Elseveir Saunders.
Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah Brunner
& Suddarth. Ed. 8 Vol.1. Jakarta: EGC.