Anda di halaman 1dari 8

BAB 3 “PERTUMBUHAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA

BANI UMAYYAH”
“UMAR BIN ABDUL AZIZ”

NAMA:RUFIAD DARAJATUS SALSABILA


NO:29
KELAS VIII D
BIOGRAFI UMAR BIN ABDUL AZIZ
A.Nasabnya

Beliau adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan


bin Hakam bin Abu al-’Ash bin Umayah bin Abdu
Syam bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab; salah
satu keturunan Bani Umayah, yang tentu saja
berdarah Quraisy. Beliau biasa dipanggil dengan
sebutan Abu Hafs, sedangkan di kalangan Bani
Umayyah beliau lebih dikenal dengan al-Asyaj (si
pemilik luka di wajah)[2]. Ayahnya; Abdul Aziz
-seorang gubernur mesir pada
pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan-
adalah salah satu kandidiat yang dicalonkan untuk
menduduki tampuk kekhalifahan sepeninggal
ayahnya; Marwan bin Hakam, namun ajal keburu
menjemputnya. Sedangkan ibunya; Laila bintu
Ashim bin Umar bin Khattab, biasa dipanggil dengan Ummu Ashim. Secara garis
keturunan dari pihak ibu, beliau adalah cicit Umar bin Khattab.

Cerita ini dikisahkan oleh Abdullah bin Zubair bin Aslam dari ayahnya dari
kakeknya yang bernama Aslam. Ia menuturkan, “Suatu malam aku sedang
menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. Ketika beliau merasa lelah,
ketika beliau merasa lelah, beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau
mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, ‘Wahai putriku, campurlah
susu itu dengan air.’ Maka putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda, apakah engkau
tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin hari ini?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai
putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya menjawab, ‘Dia memerintahkan petugas
untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air.’ Ibunya berkata,
‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat
oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka gadis itu menjawab, ‘Ibu, tidak patut bagiku
menaatinya di depan khalayak demikian juga menyelesihinya walaupun di
belakang mereka.’ Sementara Umar mendengar semua perbincangan tersebut.
Maka dia berkata, ‘Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan kenalilah tempat ini.’
Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya.

Di pagi hari Umar berkata, ‘Aslam, pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita
yang berkata demikian dan kepada siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya
mempunyai suami?’ Aku pun berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang
gadis yang belum bersuami dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak
bersuami. Aku pun pulang dan mengabarkan kepada Umar. Setelah itu, Umar
langsung memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata,
‘Adakah di antara kalian yang ingin menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku
belum beristri, nikahkanlah aku.’ Maka Umar meminang gadis itu dan
menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang di
kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz.”

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar bin Khattab bermimpi, dia berkata,
“Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang
akan memenuhinya dengan keadilan (setelah sebelumnya) dipenuhi dengan
kezaliman. Abdullah bin Umar mengatakan, “Sesungguhnya keluarga Al-Khattab
mengira bahwa Bilal bin Abdullah yang mempunyai tanda di wajahnya.” Mereka
mengira bahwa dialah orang yang dimaksud, hingga Allah kemudian
menghadirkan Umar bin Abdul Aziz.

B.Kelahiran Umar Bin Abdul Aziz

Beliau dilahirkan tahun 61 H di Madinah pada era pemerintahan khalifah Yazid


bin Mu’awiyah, bertepatan dengan meninggalnya Maemunah istri Nabi
Muhammad r. Beliau menghabiskan masa kecilnya di
Madinah Munawwarah dengan menimba ilmu dari para ulama yang hidup saat itu.
Sehingga terkumpullah pada diri beliau keutamaan ilmu dan agama, disamping
keturunan ‘darah biru’ dan gelimpangan materi.

C.Wafatnya Umar Bin Abdul Aziz

Beliau meninggal dunia hari jum’at di sepuluh hari terakhir bulan Rajab tahun
101 H pada umur 40 tahun, setelah memegang tampuk kekuasaan selama kurang
lebih 2 tahun 5 bulan 4 hari, dikarenakan stroke yang menimpanya. Ada juga yang
mengatakan bahwa beliau meninggal dunia karena diracun para pejabat Bani
Umayah. Wallahu A’lam.

Beliau meninggalkan 3 orang istri: Fatimah bintu Abdul Malik bin Marwan,
Lumais bintu Ali bin Haris, Ummu Utsman bintu Syu’aib bin Zayyan, dan 14
orang anak laki-laki: Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub,
Bakr, Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zayyan, Abdul Aziz, Abdullah, serta 3 orang
anak perempuan: Ummu Ammar, Aminah, Ummu Abdillah
Adz-Dzahabi berkomentar: “Beliau adalah seorang yang berperawakan dan
berakhlak bagus. Memiliki kesempurnaan dalam berpikir, pintar menempatkan diri,
jago lobi politik, menjunjung tinggi nilai keadilan dan berusaha
mengaplikasikannya semaksimal mungkin, luas ilmunya, mumpuni dalam ilmu
psikologi dan diberi kecerdasan luar biasa yang ‘dibungkus’ pemahaman yang
menakjubkan. Di samping itu beliau juga dikenal sebagai ahli ibadah, memiliki
akidah yang lurus, zuhud meskipun memegang tampuk pemerintahan dan lantang
menyuarakan kebenaran meskipun sedikit yang mendukungnya. Para ulama
mengkategorikan beliau sebagai salah satu al-Khulafa’ ar-Rasyidun dan ulama
yang mengamalkan ilmunya.

D.Kepribadian Umar Bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz adalah sosok yang berkepribadian kuat, bermental baja,
mampu mencarikan solusi terbaik dari setiap problematika yang ada dan memiliki
analisa yang tajam.

Di antara karakteristik yang dimilikinya:

a. Rasa takut yang tinggi kepada Allah I.

Hal yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena
banyaknya shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut yang tinggi
kepada Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang mendorong beliau
menjadi pribadi yang berprestasi dalam segala aspek; ilmu dan amal.

Dikisahkan pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar
oleh ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: “Aku teringat
mati”. Maka sang ibu pun menangis dibuatnya.

Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang
memegang lentera. “Berilah aku petuah!”, Umar membuka perbincangan. Laki-laki
itu pun berujar: “Wahai Amirul Mukminin!! Jika engkau masuk neraka, orang yang
masuk surga tidaklah mungkin bisa memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau
masuk surga, orang yang masuk neraka juga tidaklah mungkin bisa
membahayakanmu”. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu
sehingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang
membasahi.

b. Wara’.
Di antara bentuk nyata sikap Wara’ yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah
keenganan beliau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, meskipun
hanya sekedar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh
pembantunya, “Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar bau aroma saja, tidak
lebih?”. Beliau pun menjawab: “Bukankah minyak wangi itu diambil manfaatnya
karena bau aromanya?”

Dikisahkan suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel.
Tiba-tiba salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi
sekantong buah apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar:
“Wahai Amirul Mukminin Bukankah Nabi r dulu pernah menerima hadiah dan
tidak menerima sedekah?”. Serta merta beliau pun menimpali, “Hadiah di zaman
Nabi r benar-benar murni hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti
suap”.

c. Zuhud.

Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang
dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya. Kezuhudan
yang mencapai level tertinggi di saat ‘puncak dunia’ berada di genggamannya.

Malik bin Dinar pernah berkata: “Orang-orang berkomentar mengenaiku, “Malik


bin Dinar adalah orang zuhud.” Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud
hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun ditinggalkannya”.

Pernahkan terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan


menunaikan ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang perbekalannya
tidak cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang bangsawan yang hanya
memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Si zuhud Umar bin Abdul Aziz
pernah mengalaminya!

d. Tawadhu’.

Keluhuran budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal
itu tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada diri beliau.
Di antaranya adalah sikap Tawadhu’nya.

Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, “Wahai khalifahAllah di


bumi!” Maka beliau pun berkata kepadanya: “Ketika aku dilahirkan keluargaku
memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil
dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara
aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama,
sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan
engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas
diberikan kepada Nabi Daud u dan orang yang semisalnya. Namun, ada yang lebih
mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu’ yang dimilikinya;
Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya.

Pernah suatu saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk
mengipasinya. Maka dengan penuh cekatan sang pembantu segera mengambil
kipas, lalu menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu, hingga
akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari ternyata si
pembantu juga ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz
terbangun. Ia mendapati pembantunya tengah tertidur pulas dengan wajah
memerah dan peluh keringat membasahi badan disebabkan panasnya cuaca. Serta
merta Umar bin Abdul Aziz pun mengambil kipas, lalu membolak-balikkannya
mengipasi si pembantu. Dan sang pembantu itu pun akhirnya terbangun juga,
begitu membuka mata ia mendapati sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa
sungkan dan canggung. Maka dengan gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh
tangan di kepala seraya berseru karena malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun
berkata menenangkannya: “Engkau ini manusia sepertiku! Engkau merasakan
panas sebagaimana aku juga merasakannya. Aku hanya ingin membuatmu nyaman
-dengan kipas ini- sebagaimana engkau membuatku nyaman”.[20]

e. Adil.

Di antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil adalah sikap
yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama beliau begitu familiar
di telinga generasi setelahnya hingga hari ini. Keadilannya selalu digaungkan oleh
para pencari keadilan, entah karena betul-betul ingin menapaktilasi jejaknya
ataukah hanya sekedar kamuflase belaka. Yang terpenting adalah nama besarnya
telah mendapat tempat di hati para penerus perjuangannya. Dan nama itu terukir
indah dengan tinta emas di deretan para pemimpin yang adil, para pemimpin yang
terbimbimg oleh kesucian wahyu; Al Qur’an dan Sunnah, para pemimpin yang
dijuluki al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya.

Al-Ajurri menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau berujar: “Seorang laki-
laki Dzimmi [21]dari penduduk Himsh[22] pernah mendatangi Umar bin Abdul
Aziz seraya mengadu: “Hai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan
hukum Allah”. “Apa yang engkau maksud?”, sergah Umar bin Abdul Aziz. “Abbas
bin Walid bin Abdul Malik telah merampas tanahku”, lanjutnya -saat itu Abbas
sedang duduk di samping Umar bin Abdul Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun
menanyakan hal itu kepada Abbas, “Apa komentarmu?”. “Aku terpaksa melakukan
itu karena mendapat perintah langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik”, sahut
Abbas membela diri. Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, “Apa
komentarmu?”. “Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan
hukum Allah”, ulang si Dzimmi. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata:
“Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul
Malik”, seraya memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah
dirampasnya.[23]

Kisah di atas hanyalah satu dari sekian puluh bahkan ratus sikap adil yang dimiliki
Umar bin Abdul Aziz. Kisah tentang keadilannya begitu mudah di dapati di buku-
buku sejarah yang menulis biografinya. Kisah yang memenuhi lembar demi lembar
buku para sejarawan. Sungguh sebuah kisah, siapa pun pembacanya pasti akan
menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub sambil menyunggingkan rasa masygul
tanpa ragu, diiringi air mata bahagia yang turut mengharukan suasana.

Kesimpulan:

1. Umar Bin Abdul Aziz sangat taat dan patuh terhadap perintah Allah SWT
maupun orang tuanya.

2. Tidak sepeti khalifah yang lain, Beliau rela meninggalkan harta demi
keadilan rakyatya dan negerinya.

3. Beliau tidak pernah putus asa dalam menjalankan kewajibannya sebagai


khalifah.

4. Beliau selalu bersikap adil dalam memimpin rakyatnya.

Sumber:
1. https://kisahmuslim.com/1810-umar-bin-abdul-aziz.html
2. https://www.nahimunkar.org/umar-bin-abdul-aziz-sang-teladan/
3. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/06/26/paxao0313-
umar-bin-abdul-aziz-contoh-penguasa-sederhana-dan-adil

Anda mungkin juga menyukai