Anda di halaman 1dari 23

Syok Neurogenik

A. Definisi
Seseorang dikatakan syok bila terdapat ketidakcukupan perfusi oksigen dan zat gizi
ke sel- sel tubuh. Kegagalan memperbaiki perfusi menyebabkan kematian sel yang
progressif, gangguan fungsi organ dan akhirnya kematian penderita (Boswick John. A,
1997, hal 44).
Syok neurogenik disebabkan oleh kerusakan alur simpatik di spinal cord. Alur system
saraf simpatik keluar dari torakal vertebrae pada daerah T6. Kondisi pasien dengan syok
neurogenik : Nadi normal, tekanan darah rendah ,keadaan kulit hangat, normal, lembab
Kerusakan alur simpatik dapat menyebabkan perubahan fungsi autonom normal (Elaine
cole, 2009)
Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga tejadi hipotensi dan
penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels).Syok neurogenik
terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.
(Corwin, 2000).
Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. bentuk dari syok distributif, hasil
dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh daerah pada
sistem saraf. (seperti trauma kepala, sidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok distributif,
syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus
pembuluh darah secara mendadak diseluruh tubuh. sehingga terjadi hipotensi dan
penimbunanan darah pada pemmbuluh tampung (capacitance vessels). hasil dari
perubahan resistensi pembuluh darah sistemik ini diakibatkan olrh cidera pada sistem
saraf.

B. Etiologi

Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu SNS.


Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran
simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI . Syok
neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. Kondisi berikutnya
mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera tulang belakang,
tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif (Linda D. Urden, 2008).
Syok neurogenik merupakan kondisi syok yang terjadi karena hilangnya kontrol
saraf simpatis terhadap tahanan vaskular sehingga sebagai akibatnya, muncul dilatasi
arteriol dan vena di seluruh tubuh (Duane, 2008).
Penyebabnya antara lain :
1. Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
2. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada
fraktur tulang.
3. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
4. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
5. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
6. Syok neurogenik bisa juga akibat letupan rangsangan parasimpatis ke jantung
yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan
simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan
emosional

C. Patofisiologi
Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam
syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan
dalam efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone,
pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan
intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard
primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan
penurunan kurva fungsi ventrikel. Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran
vaskuler dengan akibat sekunder terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok
neurogenik mengacu pada hilangnya tonus simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik
pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit.
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan
vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi
vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau
nyeri. Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang
memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke
pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional.
Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik
sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien dengan nyeri hebat, stress,
emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak
jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop, syok
neurogenik disebabkan oleh gangguan persarafan simpatis descendens ke pembuluh
darah yang mendilatasi pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya hipotensi dan
bradikardia. (Ristari, 2012)
Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya kontrol saraf simpatis terhadap
tahanan vaskular, sehingga sebagai hasilnya, terjadilah vasodilatasi arteriol dan venula
secara besar-besaran di seluruh tubuh (Cheatham dkk, 2003). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, beberapa etiologi yang mendasari terjadinya syok neurogenik
antara lain adalah penggunaan zat anesthesia maupun cidera pada medula spinalis yang
mekanismenya kurang lebih dapat dijelaskan melalui skema berikut ini.

Bagian terpenting sistem saraf otonom bagi pengaturan sirkulasi adalah sistem
saraf simpatis. Secara anatomis, serabut-serabut saraf vasomotor simpatis
meninggalkan medula spinalis melalui semua saraf spinal toraks dan melalui satu atau
dua saraf spinal lumbal pertama. Serabut-serabut ini segera masuk ke dalam rantai
simpatis yang berada di tiap sisi korpus vertebra, kemudian menuju sistem sirkulasi
melalui dua jalan utama :
- Melalui saraf simpatis spesifik yang terutama mempersarafi pembuluh darah
organ visera interna dan jantung
- Hampir segera memasuki nervus spinalis perifer yang mempersarafi pembuluh
darah perifer
Di sebagian besar jaringan, semua pembuluh darah kecuali kapiler, sfingter
prekapiler, dan sebagian besar metarteriol diinervasi oleh saraf simpatis. Tentunya
inervasi ini memiliki tujuan tersendiri. Sebagai contoh, Inervasi arteri kecil dan arteriol
menyebabkan rangsangan simpatis untuk meningkatkan tahanan aliran darah dan
dengan demikian menurunkan laju aliran darah yang melalui jaringan. Inervasi
pembuluh darah besar, terutama vena, memungkinkan rangsangan simpatis untuk
menurunkan volume pembuluh darah ini. Keadaan tersebut dapat mendorong darah
masuk ke jantung dan dengan demikian berperan penting dalam pengaturan pompa
jantung.
Selain serabut saraf simpatis yang menyuplai pembuluh darah, serabut simpatis
juga pergi secara langsung menuju jantung. Perlu diingat kembali bahwa rangsangan
simpatis jelas meningkatkan aktivitas jantung, meningkatkan frekuensi jantung, dan
menambah kekuatan serta volume pompa jantung.
Hubungan antara saraf simpatis dan sistem sirkulasi yang baru saja dijabarkan
secara singkat, sebenarnya membawa serabut saraf vasokonstriktor dalam jumlah yang
banyak sekali dan hanya sedikit serabut vasodilator. Serabut tersebut pada dasarnya
didistribusikan ke seluruh segmen sirkulasi dan efek vasokonstriktornya terutama
sangat kuat di ginjal, usus, limpa dan kulit tetapi kurang kuat di otot rangka dan otak.
Dalam keadaan normal, daerah vasokonstriktor di pusat vasomotor terus menerus
mengantarkan sinyal ke serabut saraf vasokonstriktor seluruh tubuh, menyebabkan
serabut ini mengalami cetusan yang lambat dan kontinu dengan frekuensi sekitar satu
setengah sampai dua impuls per detik. Impuls ini, mempertahankan keadaan kontraksi
parsial dalam pembuluh darah yang disebut tonus vasomotor. Tonus inilah yang
mempertahankan tekanan darah dalam batas normal, sehingga fungsi sirkulasi tetap
terjaga untuk kebutuhan jaringan.
Melemahnya tonus vasomotor, secara langsung menimbulkan manifestasi klinis
dari syok neurogenik. Sebagai contoh, trauma pada medula spinalis segmen toraks
bagian atas akan memutuskan perjalanan impuls vasokonstriktor dari pusat vasomotor
ke sistem sirkulasi. Akibatnya, tonus vasomotor di seluruh tubuh pun menghilang.
Efeknya (vasodilatasi), paling jelas terlihat pada vena-vena juga arteri kecil.
Dalam vena kecil yang berdilatasi, darah akan tertahan dan tidak kembali bermuara ke
dalam vena besar. Karena faktor ini, aliran balik vena maupun curah jantung akan
menurun, dan dengan demikian tekanan darah secara otomatis jatuh hingga nilai yang
sangat rendah. Di momen yang bersamaan, dilatasi arteriol menyebabkan lemahnya
tahanan vaskular sistemik yang seharusnya membantu memudahkan kerja jantung
sebagai pompa yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Pada saat ini, didapatkanlah
tanda-tanda syok neurogenik yang jalur akhirnya tidak jauh berbeda dengan syok tipe
lain.
Konsekuensi akhir dari gangguan perfusi dalam berbagai bentuk syok distributif
dapat berbeda pada tiap pasien, tergantung dari derajat dan durasi hipoperfusi, jumlah
sistem organ yang terkena, serta ada tidaknya disfungsi organ utama. Harap ditekankan
bahwa apapun tipenya, sekali syok terjadi, cenderung memburuk secara progresif.
Sekali syok sirkulasi mencapai suatu keadaan berat yang kritis, tidak peduli apa
penyebabnya, syok itu sendiri akan menyebabkan syok menjadi lebih berat. Artinya,
aliran darah yang tidak adekuat menyebabkan jaringan tubuh mulai mengalami
kerusakan, termasuk jantung dan sistem sirkulasi itu sendiri, seperti dinding pembuluh
darah, sistem vasomotor, dan bagian-bagian sirkulasi lainnya (Guyton & Hall, 2008).
D. Pathway

Multiple Vehicle Trauma

Suhu lingkungan SCI Fraktur tulang Trauma kepala Obat-obatan


panas, terkejut, anastesi
takut atau nyeri

Nyeri hebat Perdarahan


Spinal Lumbal
Reaksi
vasovagal
refleks

Lumpuhnya Penekanan
Perfusi ke neurogenik venus
Vasokonstriksi sfingter venomotor
otak
pembuluh perkapiler
berkurang Nadi darah

Volume
sirkulasi darah
tidak efektif

Sinkop

Syok
neurogenik
Deficit hilangnya kontrol Hilangnya tonus Pengumpulan
neurogeni saraf simpatis simpatik darah di arteriol,
k terhadap tahanan vena dan kapiler
vaskular
quadriplegi paraplegi Vasodilatas
a a i perifeal ↓ Kulit Kulit merah,
Vasodilatasi hangat vasokonstrik
si kulit
Tidak sadar Menghambat
Dilatasi Dilatasi respon
vena arteri baroreseptor
Resiko Hipertermi
cedera
darah akan Tonus pemb. Kegagalan
tertahan dan darah perifer termoregulas
tidak kembali ↓ i
bermuara ke
dalam vena
Perfusi
Jaringan ↓
Venous return
↓, SV ↓

CO ↓

MAP ↓

TD ↓

E. Manifestasi Klinis
Syok distributif yang terjadi dalam bentuk syok neurogenik memiliki
manifestasi yang hampir sama dengan syok pada umumnya. Pada syok neurogenik
juga ditemukan hipotensi, hanya saja akibat dari berbagai disfungsi saraf otonom
(khususnya saraf simpatis) nadi tidaklah bertambah cepat (takikardi), bahkan dapat
lebih lambat (bradikardi). Kadang gejala ini disertai dengan adanya defisit neurologis
dalam bentuk quadriplegia atau paraplegia. Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah
pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya
pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat
dan cepat berwarna kemerahan (Duane, 2008).
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik
terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih
lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa
quadriplegia atau paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi
tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di
dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna
kemerahan. (Smeltzer, 2001)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Banding
Tanda dan gejala serupa dengan syok hipovolemik tapi kelainan neurologik
seperti quadriplegia atau paraplegia harus ada.
Diagnosis bandingnya syok neurogenik adalah vasovagal. Keduanya sama-
sama menyebabkan hipotensi karena kegagalan pusat pengaturan vasomotor tetapi
pada sinkop vasovagal hal ini tidak sampai menyebabkan iskemia jaringan
menyeluruh dan menimbulkan gejala syok.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak membantu diagnosis. Rontgen cervik, thorax,
dan lumbosakral spinal merupakan sangat penting untuk menentukan adanya patah
tulang atau tidak. CT scan dan MRI akan berguna untuk menentukan bagian medulla
spinalis yang menyebabkan kompresi medulla spinalis. (Duane, 2008)

G. Penatalaksanaan
langakah-langkah pertama menangani syok. langkah pertolongan pertama
mengani shok secara umum menurut alexander R. H Proctor H J. Shock., (1993 ; 75 –
94).

1. Posisi Tubuh
a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke
organ-organ vital.
b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
c. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita
tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring)
untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari
sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting
adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari
terjadinya asfiksia.
d. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala
agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh
lainnya.
e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan
dengan posisi telentang datar.
f. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih
besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih
sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya
kembali.

2. Pertahankan Respirasi
a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
c. Berikan oksigen 6 liter/menit
d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa
e. sungkup (Ambu bag) atau ETT.

3. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).
Penanganan Syok Neuregenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat
tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat,
penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini
untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi
yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik
dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot -otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus
secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan
darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat –obat vasoaktif
(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
 Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek
serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
 Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor
terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam
menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak
sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik
karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung
(palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali.
Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi
otot-otot uterus.
 Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan
pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu
bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik
 Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac
output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.

Karena syok merupakan suatu gejala klinis yang disebabkan oleh ketidak
seimbangan antara kebutuhan oksigen dan pasokan oksien ke jaringan. Terganggunya
pasokan oksigen merupakan masalah utama pada syok apaupun itu jenisnyaa.
Oleh karena itu resusitasi cairan sangat diperlukan untuk memperbaiki
kebutuhan sirkulasi sehingga kebutuhan sirkulasi terpenuhi.untuk menilai
keberhasilan resusitasi cairan yang diberikan terdapat satu tolak ukur keberhasilan
dengan menggunakan end point (Rundra.2006)

End Point Resusitasi


Parameter untuk menilai sirkulasi makro:
 Denyut jantung
 Tekanan darah
 Produksi urin
 Suhu tubuh
 Pengukuran hemodinamik : CVP, PAWP dan RVEDVI

untuk menilai sirkulasi mikro dapat menggunakan dua katagori end point yaitu:
1. parameter Umum
 indeks antaran oksigen/ oxygen delivery index (DO2I)
 Indeks konsumsi oksigen/Oxygen
 consumption index ( VO2 I )
 Saturasi vena campuran/Mixed
 venous saturation ( SVO2 )
 Laktat serum
 Defisit basal
 Gradien karbon dioksida arteri/
 Arterio carbon dioxide gradient (AVPa CO2 )
2. Parameter Organ Spesifik
 Tonometri lambung
 Kapnometri sublingual
 Spektroskopi infra merah dekat
Dalam jurnal kedokteran diponegoro resensi dikatakan laktat merupakan
salah satu end point untuk menilai resusitasi cairan.

H. Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan
2. Sindrome disstres pernafasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler
karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi Intravaskuler Diseminasi) akibat hipoksia dan kematian jaringan
yang luas sehingga terjadi pengaktivan berlebihan jenjang koagulasi

I. Prognosis
Prognosis syok neurogenik tergantung penyebab syok tersebut. Berhasil tidaknya
penanggulangan syok terghantung kemampuan mengenal gejala-gejala syok,
mengetahui, dan mengantisipasi penyebab syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita
pada saat-saat pertama pasien mengalami syok.
Syok Anafilaktik

A. Definisi
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat.Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi.Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian.Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas
(Rehata, 2000).

B. Mekanisme Anafilaksis
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.Alergen yang masuk lewat kulit,
mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan
sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma
(plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen
tersebut.IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan
basofil.

2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit
dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed
mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ-organ
tertentu.Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi.Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos.Platelet Activating Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil.Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi, demikian juga dengan leukotriene (Rehata, 2000).
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah.Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah.Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
membahayakan penderita.

C. Derajat Berat Reaksi Anafilaksis


1. Derajat Ringan (hanya kulit dan jaringan submukosa)
Gambaran klinik antara lain: eritema luas, edema periorbita, atau angioedema.Reaksi
ringan dapat dibagi lagi, disertai atau tidak ada angioedema.
2. Derajat Sedang (keterlibatan pernapasan, kardiovaskuler, atau gastrointestinal.
Gambaran klinik antara lain: sesak, stridor, mengi, mual, muntah, pusing, presinkop
diaforesis, rasa tertekan di dada atau tenggorok atau sakit perut.
3. Derajat Berat (hipoksia, hipotensi, atau defisit neurologik)
Sianosis, atau SpO2 < 92% pada tiap tingkat, hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg
pada dewasa), bingung kolaps, hilang kesadaran, atau inkontinensia (Rengganis,
2012).
D. Manifestasi Klinik
Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas
atau syok anafilaktik yang mematikan. Tanda-tanda ini harus segera dikenali agar pengobatan
dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok
anafilaktik atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran dikelompokkan sebagai berikut
(Rengganis., 2012):

Sistem Gejala dan Tanda

Umum Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut,
Prodromal rasa gatal di hidung dan palatum.
Pernapasan
Hidung Hidung gatal, bersin, dan tersumbat.
Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.
Lidah Edema
Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme
Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok,
Kardiovaskuler aritmia. Kelainan EKG: gelombang T datar, terbalik, atau
tanda-tanda infark miokard.
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai
Gastrointestinal
darah, peristaltik usus meninggi.
Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas.
Mata Gatal, lakrimasi
Susunan saraf
Gelisah, kejang
pusat

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat.Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut.Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.

E. Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang
muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor
pencetusnya

Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sesak, frekuensi nafas meningkat, sianosis karena
edema laring dan bronkospasme.Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok
anafilaktik.Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi kongjungtiva.Tanda
prodromal pada kulit dapat berupa urtikaria dan eritema.

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih
setelah terpapar dengan alergen tertentu.Untuk membantu menegakkan diagnosis maka
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria (IDI,
2013).

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa
jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan
salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor,
wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang
berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%.Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat


membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal dan beberapa pemeriksaan
digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut.Hitung
eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukan nilai normal.Pemeriksaan ini hanya berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada anak kecil atau bayi dari keluarga dengan derajat alergi yang tinggi (IDI, 2013).

F. Penatalaksanaan
Dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien
anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi
berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular juga harus berfungsi dengan baik sehingga perfusi
jaringan memadai (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Sistem Pernapasan

a. Memelihara saluran pernapasan tetap memadai. Penyebab tersering kematian pada


anafilaksis adalah tersumbatnya salauran napas baik karena edema larings atau
spasme bronkus. Kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Karena trakeostomi hanya
dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat
dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum
besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit.
b. Pemberian oksigen sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun
kardiovaskular.
c. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah seperti
pada asma atau status asmatikus (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia, 2007).
Sistem Kardiovaskular

a. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl
0,9%) atau koloid (plasma, dextran).
b. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskular dan
pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
c. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure).
d. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaktsis yang berat,
American Heart Association,menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal,
kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan:

a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta
(beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi
lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan
demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan manfaat
disamping pemberian aminofilin dan kortikosteroid intravena.
b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 denganAH2 bekerja secara sinergistik
teradap reseptor yang ada di pembuluh darah.
c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan
napas maupun gangguan kardiovaskular (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2007).
Steroid sering diberikan sebagai usaha perlindungan untuk melawan “late” reaction
yang dapat terjadi beberapa jam setelah reaksi alergi. Pada beberapa pasien, terutama
pasien dengan asma, “late” reaction ini dapat terjadi lebih berat daripada initial
reaction (American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, 2012).
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

1. Terapi medikamentosa
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosis dan
pengelolaannya.
a. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3
faktor yaitu :
 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat, sehingga penderita dengan
cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang
kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic
AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang
atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya:

0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang
dapat diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat
lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler
kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin
dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan.
Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga
absorbsi obat tidak terjadi.

b. Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang
dengan pemberian adrenalin.250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama
10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.

c. Antihistamin dan kortikosteroid.


Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang
manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu
menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan
produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna
mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect.
Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan
untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau
hidrocortison 100 – 250 mg IV.
2. Terapi Suportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan
sebaiknya dilakukan secara bersamaan (Cook, 1971).
a. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr /
menit harus dilakukan.Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi
atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
b. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
c. Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap
rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan.Cairan plasma expander
(Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler
secepatnya.Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis
dapat dipakai sebagai cairan pengganti.Pemberian cairan infus sebaiknya
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
d. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan
seterusnya.Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok
anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter
tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi (Resucitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hudak & Gallo, 1994, Keperwatan Kritis: Pendekatan Holistik, edk. 6, vol. 2, trans.
Sumarwati, M. dkk., EGC, Jakarta.
Cole, Elaine. 2009. Trauma Care. UK : Wiley-Blackwell
Huether. McCance & Brashers. Rote. Understanding Patophysiology. 2008. Missouri: Mosby
Urden, linda D.dkk. 2008. Priorities in critical care nursing. Canada: Mosby Elseveir
Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of
Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine,
1997
Duane lynn, 2008. Types of Shock. Diakses dari www.mnhealthandmedical.com
Advance Trauma Life Support. 2001. Edisi keenam. American Collage of Surgeons.
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology (2012). Treatment of Anaphylaxis,
Preparedness and Prevention.
http://www.aaaai.org/professionals/treatment_anaphylaxis.pdf.

Azis AL, Dharmawati I, Kushartono (2008). Renjatan Anafilaksis. Dalam Pedoman


Diagnosa dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Buku 3. Rumah Sakit
Umum Daerah dr. Soetomo. Surabaya. Pp. 8-9.

Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia : Case
Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.

Fauci, et al (2008).Harrison’s Principle of Medicine (17thed, 2008). New York: McGraw-Hill


Profesional

Guyton AC, Hall JE (2006). Syok Sirkulasi dan Fisiologi Pengobatan.Dalam Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran.Edisi 11.EGC. Jakarta. pp. 359–72.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) (2013).Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer.Edisi 1. Jakarta: IDI.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Rehata, NM, Syok Anafilaktik Patofisiologi dan penanganan dalam up date on shock,
pertemuan Ilmiah terpadu I FKUA Surabaya, 2000 : 69-75

Rengganis I (2012). Anafilaksis Karena Obat.


http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e674d1778222a2880e7b73db429d4387e
1a6b3ab.pdf.
Yani HI, Vincent HSG (2008). Farmakologi dan Terapi: Penicilin, Sephalosporin dan
Antibiotik Betalaktam Lainnya. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai