Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PERIOPERATIF DAN KOMPLIKASI


PADA PASIEN ILEUS OBSTRUKTIF

Disusun Oleh:
Renno Firaldy 105070100111092

Pembimbing:
Dr. dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An.

PPDS Pembimbing:
dr. M. Rizqan Khalidi

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2016
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul.......................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................2
1.3 Tujuan Masalah..........................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Ileus Obstruktif...........................................................................3
2.1.1 Definisi..................................................................................3
2.1.2 Etiologi..................................................................................3
2.1.3 Patofisiologi..........................................................................4
2.1.4 Manifestasi Klinis..................................................................5
2.1.5 Diagnosis..............................................................................6
2.1.6 Diagnosis banding................................................................8
2.1.7 Tatalaksana...........................................................................8
2.1.8 Komplikasi............................................................................9
2.1.9 Prognosis..............................................................................10
2.2 Manajemen Cairan Perioperatif.................................................10
2.2.1 Kebutuhan Maintenance Normal...........................................10
2.2.2 Kehilangan Cairan saat Pembedahan...................................11
2.2.3 Kehilangan Cairan Redistributif dan Evaporasi.....................12

2.3 Manajemen Komplikasi Ileus Obstruktif.....................................13


2.3.1 Sepsis...................................................................................13
2.3.2 Gangguan elektrolit...............................................................14

BAB 3 LAPORAN KASUS


3.1 Identitas Pasien.........................................................................15
3.2 Primary Survey..........................................................................15
3.3 Persiapan Pre Operatif..............................................................16
3.3.1 Anamnesis Pre Operatif........................................................16
3.3.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operatif............................................16
3.4 Pemeriksaan Penunjang............................................................16
3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium...................................................16
3.4.2 Pemeriksaan Lain.................................................................17
3.5 Laporan Anestesi Pre Operatif...................................................18
3.6 Persiapan Pre Operatif..............................................................18
3.6.1 Di IGD...................................................................................18
3.6.2 Di Kamar Operasi.................................................................18
3.7 Durante Operatif........................................................................19
3.7.1 Laporan Anestesi Durante Operatif.......................................19
3.7.2 Pemberian Cairan.................................................................19
3.8 Post Operatif..............................................................................20
3.8.1 Laporan Anestesi Post Operatif di Ruang Pulih Sadar..........20
3.8.2 Monitoring.............................................................................20
3.9 Timeline Perjalanan Penyakit.....................................................21

BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Manajemen Cairan pada Kegawatan Abdomen.........................22
4.2 Terapi Cairan Pre Operatif.........................................................22
4.3 Terapi Cairan Intraoperatif..........................................................23

BAB 5 PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyeri pada perut adalah salah satu penyebab tersering kunjungan ke
IGD. Data dari sebuah rumah sakit di Amerika Serikat menyebutkan 7% dari
total kunjungan IGD per tahun disebabkan nyeri abdomen (Bojarska, 2005).
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan nyeri abdomen adalah infeksi,
obstruksi, perforasi, atau perdarahan saluran cerna. Keadaan ini memerlukan
tindakan segera, biasanya dengan pembedahan. Obstruksi usus mencakup
sekitar 15% dari kejadian pasien nyeri perut (Sjamsuhidajat dan De Jong,
2003).
Gangguan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi mekanik
atau gangguan peristaltik. Obstruksi usus adalah keadaan di mana isi saluran
cerna tak bisa bergerak ke distal karena adanya hambatan dari lumen,
dinding, maupun luar usus. Ileus obstruktif adalah hilangnya pasase isi usus
yang menandakan adanya obstruksi akut yang segera memerlukan
pertolongan atau tindakan. Ileus jenis ini lebih sering terjadi di usus halus
daripada di usus besar (Fiedberg dan Antillon, 2004). Prinsip penanganan
ileus obstruktif adalah menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh,
dekompresi, menangani penyakit penyerta maupun komplikasinya seperti
syok atau peritonitis, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki fungsi
usus. Manajemen cairan dan elektrolit dibutuhkan karena tubuh tidak bisa
mendapat asupan air, elektrolit, dan zat penting dalam makanan secara oral
(Guyton, 2005).
Cara penanganan ileus obstruktif biasanya adalah tindakan operatif
atau pembedahan secepatnya. Tindakan pembedahan ini butuh manajemen
bidang anestesi yang baik dari pre, durante, hingga post operasi. Oleh
karena itu, manajemen perioperatif pada ileus obstruktif penting untuk
dibahas lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana manajemen perioperatif dan manajemen komplikasi pada
pasien ileus obstruktif?
1.3 Tujuan
Mengetahui penatalaksanaan perioperatif dan komplikasi pada pasien
ileus obstruktif.

1.4 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dokter muda
dan tenaga medis mengenai penatalaksanaan perioperatif dan komplikasi
pada pasien ileus obstruktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ileus Obstruktif


2.1.1 Definisi
Ileus obstruktif atau mekanik adalah tidak berjalannya pasase isi
lumen saluran cerna ke distal karena adanya hambatan mekanik, bisa
dari dalam lumen, dinding, ataupun luar saluran cerna, atau juga karena
kelainan vaskularisasi pada segmen usus yang menyebabkan nekrosis
(Guyton, 2005). Berdasar lokasi obstruksinya, ileus ini terbagi menjadi
dua jenis, yaitu ileus obstruktif letak tinggi (dari gaster hingga ileum
terminal) dan letak rendah (dari ileum terminal hingga rektum) (Indrayani,
2013).
2.1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya ileus obstruksi dapat berasal dari luar
maupun dalam usus. Ileus ini lebih sering terjadi pada usus halus
daripada usus besar. Di usus besar, penyebabnya kebanyakan adalah
tumor (terutama kolon kiri), divertikulitis (terutama di sigmoid), volvulus,
atau fecalith (Ansari, 2007). Penyebab lengkapnya adalah sebagai
berikut.
Lesi di luar dinding usus Lesi di dalam dinding usus
Adhesi Kongenital
Postoperatif Atresia usus
Kongenital Divertikulum Meckel
Postinflamasi Duplikasi/kista
Hernia Inflamasi
Dinding abdomen eksternal (kongenital Crohn’s disease
Granuloma eosinofilik
maupun didapat)
Infeksi
Internal
Tuberkulosis
Insisional
Actinomycosis
Kongenital
Divertikulitis dengan penyulit
Annular pancreas
Neoplasma
Malrotasi
Neoplasma primer
Sisa duktus omfalomesenterikus
Metastase
Neoplasma
Apendisitis
Karsinomatosis
Lain-lain
Neoplasma ekstraintestinal
Intususepsi
Inflamasi
Endometriosis
Abses intaabdominal
Enteropati radiasi/striktur
Peritonitis “starch”
Hematoma intramural
Lain-lain
Striktur iskemik
Volvulus
Obstruksi intraluminal/obturator
Gossypiboma
Batu empedu
Sindrom arteri mesenterika superior
Enterolith
Fitobezoar
Parasit
Benda asing tertelan
Tabel 2.1 Etiologi Ileus Obstruktif (Zinner dan Ashley, 2007).
2.1.3 Patofisiologi
Perubahan patologis utama pada ileus adalah kolapsnya usus di
bagian distal dan dilatasi usus bagian proksimal. Karena sekitar 8 liter
cairan masuk ke saluran cerna tiap harinya, usus mengalami
penumpukan cairan dan gas, sehingga tekanan intraluminal meningkat
dan menyebabkan pembuluh darah tertekan dan suplai darah terganggu
(iskemik), serta dapat terjadi perforasi. Gangguan vaskularisasi
menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh karena muntah, yang
lebih lanjut dapat menyebabkan syok hipovolemik. Iskemia dan edema
mukosa menyebabkan peningkatan permeabilitas sehingga terjadi
translokasi bakteri, sepsis, dehidrasi, dan gangguan elektrolit lebih lanjut.
Jika berlanjut menjadi nekrosis dapat terjadi perforasi dan peritonitis
(Levine dan Aust, 1992).
Sesaat setelah muncul ileus ini, distensi muncul dan menimbulkan
refleks muntah. Kemudian peristaltik berusaha melawan obstruksi dengan
mendorong isi usus hingga timbul nyeri seperti kram episodik. Semakin
lama semakin hilang juga kemampuan peristaltik usus. Dinding usus
halus kuat dan tebal sehingga tidak timbul distensi berlebih atau ruptur.
Sedangkan dinding usus besar tipis sehingga mudah terdistensi. Caecum
merupakan bagian yang paling tipis, sehingga bila terlalu tegang terjadi
ruptur (Khan, 2009).
2.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ileus obstruktif meliputi empat ciri klinis kunci, yaitu nyeri
perut, mual muntah, distensi abdomen, dan konstipasi. Perbedaan ini
tergantung tingkat obstruksi, penyakit yang mendasari, dan adanya
iskemia usus (Stephenson et al., 2009). Pada ileus obstruksi nyerinya
lebih hebat, hilang timbul, dan terlokalisir pada abdomen tengah. Pada
ileus usus besar, nyeri bisa muncul tiap 20 menit, tak seperti pada usus
halus yang muncul tiap 5 menit. Makin proksimal obstruksi makin berat
gejala muntahnya. Gejala yang selanjutnya timbul adalah dehidrasi,
oliguria, gejala syok, febris, septicemia, penurunan laju napas, dan
peritonitis (Helton dan Fisichella, 2004).
Gambar 2.1 Perbedaan ileus obstruktif simpel dan strangulata (Faradila,
2009).

Gambar 2.2 Perbedaan ileus obstruktif pada usus halus dan usus besar
(Faradila, 2009).
2.1.5 Diagnosis
Anamnesis pada obstruksi letak tinggi biasanya ditemukan riwayat
penyebabnya misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah
dioperasi, neoplasma, inflamasi saluran cerna, atau hernia. Gejala umum
berupa nyeri perut kolik, mual muntah, distensi abdomen, perut terasa
kembung, adanya perubahan pola BAB maupun gangguan flatus, dan
pada tahap lanjut BAB tidak bisa sama sekali (Jackson dan Raiji, 2011).
Penderita tampak gelisah dan kesakitan sewaktu kolik dan setelah satu
dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pada ileus obstruksi
usus halus biasanya nyeri di sekitar umbilikus, sedangkan pada usus
besar nyeri ada di area suprapubik. Muntah jika ileus obstruksi usus halus
berwarna hijau dan onset lebih cepat, sedangkan pada usus besar
onsetnya lebih lama (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat adanya pembesaran perut
abnormal seperti pembesaran lokal karena peristaltik kuat sehingga
tampak kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada
obstruksi letak rendah (di sekum dan kolon proksimal) karena bagian ini
mudah membesar. Gejala lain yaitu tanda syok (hipotensi dan takikardi),
oliguria, dan tanda dehidrasi (turgor menurun, mukosa kering). Pada
auskultasi saat kolik, hiperperistaltis terdengar jelas sebagai bunyi keras
bernada tinggi (metallic sound) (Brunicardi, 2005). Jika penyakit telah
berjalan beberapa hari, peristaltik bisa menurun atau bahkan menghilang.
Palpasi dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tekan, defans
muskuler, dan pembesaran atau massa abnormal. Periksa pula
kemungkinan terjadi hernia. Pemeriksaan colok dubur juga bisa dilakukan
untuk menilai besarnya obstruksi. Jika ampulla rekti kolaps maka
obstruksi yang ada total (Zinner dan Ashley, 2007).
Pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan hasil spesifik
karena awalnya biasanya normal, tapi dapat membantu memandu
resusitasi. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, ureum kreatinin,
dan urinalisis harus dilakukan untuk menilai status hidrasi dan
menyingkirkan sepsis. Pada urinalisis, berat jenis bisa meningkat dan ada
ketonuria yang menunjukkan dehidrasi serta asidosis metabolik. Leukosit
biasanya normal atau sedikit meningkat, dan jika sudah tinggi
kemungkinan sudah ada sepsis atau peritonitis. Gangguan elektrolit juga
sering terjadi (Zinner dan Ashley, 2007). Pada obstruksi di mana ada
gangguan vaskuler, perlu juga dicek serum laktat sebagai indikator
iskemia. Pengambilan sampel darah harus dilakukan untuk kepentingan
transfusi jika diperlukan dengan adanya pembedahan (Hughes, 2005).
Diagnosis pasti biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan
radiologis, yaitu foto polos abdomen posisi tegak, terlentang, dan lateral
decubitus, yang menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil
yang mengalami dilatasi dengan air fluid level (step ladder sign) serta
gambaran herring bone sign (tampak seperti tulang ikan). Pada obstruksi
usus besar tampak gambaran dilatasi kolon, dengan dekompresi usus
halus jika katup ileosekal kompeten, dan air fluid level yang panjang.
Posisi berbaring perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan posisi
tegak untuk melihat batas udara dan feses serta letak obstruksi. Pada
posisi lateral dekubitus dapat ditemukan udara bebas di atas hepar jika
ada perforasi. Pemberian kontras dapat menunjukkan letak obstruksi jika
dalam foto polos tidak ditemukan, tetapi kontraindikasi jika ada perforasi
dan peritonitis. Pada ileus obstruktif letak rendah perlu dilakukan
rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan barium in loop) untuk mencari
penyebabnya. CT Scan, USG, dan MRI dapat lebih akurat dalam
mendiagnosis ileus obstruktif jika dalam foto polos tidak ditemukan
kelainan, tetapi murah, mudah, dan amannya foto polos membuat
pemeriksaan lain kurang dipilih (Hughes, 2005).
Gambar 2.3 Gambaran Radiologis Ileus Obstruktif pada Usus Besar
(kiri) dan pada Usus Kecil (kanan)
2.1.6 Diagnosis Banding
Ileus obstruktif memiliki gejala seperti beberapa penyakit saluran cerna
lain seperti mual, muntah, dan nyeri abdomen. Bedanya, pada ileus
paralitik nyeri lebih ringan, konstan dan difus, bising usus tidak terdengar
sejak awal, dan distensi lebih ringan. Penyakit lain seperti gastroenteritis
akut, apendisitis akut, dan pankreatitis akut juga dapat menyerupai
penyakit ini (Sutton, 2003).
2.1.7 Tatalaksana
Target penatalaksanaan utama adalah dekompresi pada bagian
yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi
hampir selalu diperlukan. Tindakan konservatif bisa dilakukan jika
obstruksinya parsial (kecuali saat ada gangguan perfusi) atau
penyebabnya diduga adalah adhesi dinding usus, yaitu dengan resusitasi
cairan, puasa, pemasangan nasogastric tube, analgesik, dan antiemetik.
Setelah dekompresi, tujuan selanjutnya adalah menghilangkan penyebab
obstruksi (Hughes, 2005). Berikut adalah langkah-langkah tatalaksana
ileus obstruktif.

1. Pre Operasi
Nasogastric tube harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi
dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan untuk
mengistirahatkan pencernaan, dilakukan resusitasi cairan dan koreksi
gangguan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Kateter harus dipasang
untuk mengobservasi produksi urin. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
mencegah pertumbuhan berlebih kuman dan translokasinya melewati dinding
usus (Jackson dan Raiji, 2011).
2. Operasi
Operasi dilakukan jika rehidrasi tercapai dan organ-organ vital berfungsi baik.
Pembedahan segera harus dilakukan tanpa menunggu optimalnya kondisi
pasien jika ada peritonitis dan sepsis. Pembedahan dilakukan juga jika tidak
ada perbaikan dengan pengobatan konservatif. Operasi yang paling banyak
dipilih adalah dengan laparotomi, meskipun juga bisa dilakukan dengan operasi
terbuka. Operasi yang dilakukan biasanya adalah reseksi dan anastomosis
serta pemasangan stoma. Stent intraluminal juga bisa dipasang agar tidak
terjadi perlekatan pasca operasi (Hughes, 2005).
3. Pasca Operasi
Tatalaksana pasca operasi sangat penting terutama dalam hal manajemen cairan
dan elektrolit untuk mencegah komplikasi seperti gagal ginjal, serta memberi
asupan nutrisi yang tepat karena usus pasien masih dalam keadaan paralitik.
Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif dengan pengawasan keadaan
pasien (tanda vital, tanda dehidrasi, nyeri, elektrolit, dan keluhan) secara ketat.
Ini dapat membantu mendiagnosis komplikasi pasca operasi. NGT harus
terpasang hingga aspirat lambung minimal, dan setelahnya cairan enteral bisa
diberikan bertahap hingga dapat tercapai diet normal (Jackson dan Raiji, 2011).
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi pada ileus obstruktif bisa terjadi sebelum maupun sesudah
operasi. Pada saat sebelum operasi, dapat terjadi perforasi karena
dilatasi berlebihan dan terjadi peritonitis hingga sepsis (Sjamsuhidajat dan
Jong, 2003). Iskemia karena terganggunya perfusi usus dapat
menyebabkan nekrosis yang pada akhirnya dapat menimbulkan sepsis
juga karena adanya translokasi bakteri. Gangguan cairan dan elektrolit
dapat menimbulkan gangguan sirkulasi dan kerusakan ginjal akut
(Saunders, 2007). Setelah operasi, komplikasi yang dapat terjadi adalah
perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit, syok (sepsis, hipovolemik),
gangguan saluran cerna (mual, muntah, ileus paralitik), infeksi, obstruksi
karena adhesi, dan perforasi usus.
2.1.9 Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif dipengaruhi banyak faktor seperti usia, etiologi,
dan posisi serta lama obstruksi. Pasien yang berumur sangat muda atau
sangat tua memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi berdasar
beberapa penelitian. Posisi dan etiologi obstruksi yang ada di usus besar
memiliki mortalitas yang lebih tinggi daripada obstruksi pada usus halus.
Timbulnya komplikasi juga meningkatkan angka mortalitas (Sjamsuhidajat
dan Jong, 2003). Mortalitas jika operasi ditunda lebih dari 36 jam adalah
25%, lebih besar dibanding jika operasi dilakukan di bawah 36 jam, yaitu
8%. Prognosis pada keganasan tetap paling buruk karena biasanya
pasien ini sudah mengalami metastasis (Saunders, 2007).
2.2 Manajemen Cairan Perioperatif
Manajemen cairan perioperatif meliputi penggantian defisit cairan
sebelum operasi, kebutuhan maintenance, dan perdarahan. Asupan oral
terganggu pada ileus menyebabkan defisit cairan dan elektrolit karena
terus adanya sekresi gastrointestinal, produksi urin, keringat, dan
insensible water loss kulit dan paru.
2.2.1 Kebutuhan maintenance normal
Kebutuhan maintenance adalah kebutuhan cairan pada orang normal
sehari-hari. Perhitungannya menggunakan metode Holliday-Segar, yaitu sebagai
berikut.

Berat Badan Jumlah


10 kg pertama 4 mL/kg/jam
10 kg kedua + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20 kg + 1 mL/kg/jam

Tabel 2.2 Kebutuhan maintenance normal (Morgan, 2013)

Wajibnya puasa sebelum operasi menimbulkan defisit cairan


sesuai durasi puasa. Defisit dapat ditentukan dan diganti dengan cara
kebutuhan cairan maintenance dikalikan dengan lama puasa dalam
satuan jam. Perdarahan preoperatif, muntah, dan diare menjadi
kontributor penting defisit cairan pre operatif, Peningkatan insensible
water loss akibat hiperventilasi, demam, dan keringat juga sering diamati
(Morgan, 2013).

2.2.2 Kehilangan Cairan saat Pembedahan


Metode terpopuler untuk memperkirakan kehilangan darah adalah
pengukuran darah dalam wadah (misalnya wadah suction) dan perkiraan
dari kasa yang menyerap darah. Kasa kecil dapat menyerap ±10 cc, kasa
besar dapat menyerap ±75 cc. Akurasi bisa lebih tinggi apabila kasa
ditimbang sebelum dan sesudah digunakan. Tetapi perhitungan ini
dipengaruhi juga oleh cairan irigasi maupun cairan keluar seperti ascites
dan air ketuban (Morgan and Mikhail, 2012). Pemilihan tipe cairan
intravena tergantung prosedur pembedahan dan estimasi perdarahan.
Untuk semua prosedur, cairan ringer laktat biasa digunakan termasuk
untuk kebutuhan pemeliharaan (Morgan, 2013).
Kehilangan darah dapat diganti dengan kristaloid atau koloid untuk
mempertahankan volume intravaskuler (normovolemia). Perdarahan lebih
lanjut dapat diganti dengan transfusi PRC untuk mempertahankan kadar
hemoglobin.
Gambar 2.4 Estimasi Volume Darah (Morgan and Mikhail, 2012)

Cairan kristaloid untuk mengganti perdarahan diberikan 3-4 kali lipat


volume perdarahan, sedangkan koloid diberikan dengan rasio 1:1 sampai
titik transfusi dicapai. Pasien dengan hematokrit atau hemoglobin normal
ditransfusi setelah kehilangan lebih dari 10-20% volume darah mereka
atau yang disebut allowed blood loss. Perhitungan ABL tersebut adalah
sebagai berikut (Subramaniam, 2008).
ABL = (∆Hb/Hb Aktual) x EBV
 EBV: Estimated Blood Volume, yaitu perkiraan jumlah darah pada tubuh
seseorang, seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.4, atau bisa
dihitung dengan perkalian berat badan dengan konstanta (pada pria
konstantanya 70, dan pada wanita 65)
 ∆Hb: Hb aktual – Hb target
Untuk panduan transfusi, 1 pak sel darah merah dianggap meningkatkan
hemoglobin 1g/dL dan hematokrit 2-3% pada dewasa, dan transfusi PRC
10mL/kg meningkatkan konsentrasi hemoglobin 3g/dL dan hematokrit
10% (Arya et al., 2011).
2.2.3 Kehilangan Cairan Redistributif dan Evaporasi
Kehilangan cairan redistributif dan evaporasi berhubungan dengan
ukuran luka, diseksi atau manipulasi, sehingga ia diklasifikasikan
berdasarkan derajat trauma jaringan. Kehilangan cairan ini dapat diganti
sesuai dengan Gambar 2.5, berdasarkan trauma jaringan yang dibagi
menjadi minimal, sedang, atau berat. Nilai ini juga tergantung pada
kondisi masing-masing Pasien (Morgan, 2012).

Kebutuhan penggantian
Derajat Trauma
cairan
Minimal (seperti herniorrhaphy) 0–2 mL/kg

Sedang (seperti kolesistektomi) 2–4 mL/kg


Kebutuhan penggantian
Derajat Trauma
cairan
Berat (seperti reseksi usus) 4–8 mL/kg

Gambar 2.5 Cairan yang hilang secara distribusi ke ruang ketiga dan evaporasi
(Morgan, 2012)
2.3 Manajemen Komplikasi Ileus Obstruktif
2.3.1 Sepsis
Infeksi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan merupakan
penyebab morbiditas baik sebelum maupun sesudah operasi pada pasien
ileus obstruktif (Kujath et al., 2010). Iskemia usus menyebabkan
peningkatan permeabilitas sehingga terjadi translokasi bakteri yang
berlanjut menjadi sepsis. Perforasi akibat distensi usus berlebihan juga
dapat menyebabkan infeksi, peritonitis, dan sepsis (Levine dan Aust,
1992).
Sepsis adalah keadaan di mana terjadi infeksi sistemik yang disebabkan
adanya kuman patogen dalam darah. Sepsis didiagnosis dengan
terpenuhinya kriteria SIRS (systemic inflammatory response syndrome)
dan ditambah dengan adanya sumber infeksi. Kriteria SIRS ada 4,
dengan diagnosis SIRS ditegakkan jika dua atau lebih kriteria itu
terpenuhi. Kriterianya meliputi suhu (<38ᵒC atau <36ᵒC), denyut nadi (>90
kali/menit), laju napas (>20 kali per menit) atau PaCO2 <32 mmHg, dan
leukosit (>12.000/mm3, <4.000/mm3, atau >10% sel muda). Sepsis berat
adalah keadaan dimana sepsis sudah menimbulkan disfungsi organ. Jika
organ yang terkena berjumlah dua atau lebih maka disebut MODS
(multiple organ dysfunction syndrome). Syok septik adalah keadaan di
mana ada keadaan sepsis berat disertai tanda syok seperti hipotensi dan
takikardi yang refrakter terhadap resusitasi cairan (Angus dan van der
Poll, 2013).
Tatalaksana sepsis pada pasien ileus obstruktif sama dengan tatalaksana
sepsis pada umumnya. Tujuan utamanya adalah melakukan resusitasi
dan mengurangi efek dari infeksi tak terkontrol. Pada kecurigaan adanya
sepsis, dalam 3 jam pertama harus diukur kadar laktat, cek kultur darah,
berikan antibiotik spektrum luas, berikan oksigen, nilai status volume
(pasang kateter urin) dan beri kristaloid intravena 30 cc/kgBB jika ada
hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L. Dalam 6 jam setelah presentasi, berikan
vasopresor jika hipotensi tak merespon resusitasi cairan hingga MAP ≥65
mmHg dan nilai status volume dan perfusi, serta ukur kembali laktat jika
laktat di pengukuran awal meningkat. Berikan antibiotik spesifik jika hasil
kultur datang. Pasien juga harus dipindahkan ke ICU dan diawasi dengan
ketat (Angus dan van der Poll, 2013).
2.3.2 Gangguan elektrolit
Pada pasien ileus obstruktif, gangguan elektrolit bisa terjadi sebelum dan
sesudah operasi karena gangguan vaskularisasi yang menyebabkan
muntah sehingga air dan elektrolit keluar dari tubuh. Iskemia dan edema
mukosa juga menyebabkan peningkatan permeabilitas sehingga cairan
keluar dan absorbsi juga terganggu. Sekresi gastrointestinal yang
mengandung elektrolit pada keadaan normal direabsorbsi lagi sebagian,
tetapi pada keadaan ini tidak. Hal ini diperberat dengan tidak adanya
asupan elektrolit yang memadai karena puasa sebelum operasi
(Farquharson et al., 2014).
Kebanyakan gangguan elektrolit yang terjadi pada pasien ileus obstruktif
adalah hipokalemia. Hipokalemia adalah keadaan di mana kadar kalium
serum di bawah 3.5 mmol/L. Hal ini terjadi karena kehilangan kalium
berlebihan dari muntah. Hipokalemia ditandai dengan kelemahan otot,
palpitasi, lemas, sesak, dan konstipasi. Hipokalemia juga menyebabkan
paralisis usus, sehingga jika tidak ditangani akan memperparah obstruksi.
Setelah operasi hipokalemia juga dapat terjadi jika ada sekresi berlebih
dari urin. Penanganannya adalah dengan pemberian suplemen oral atau
drip KCl intravena. Kadar kalium ≥ 2.5mmol/L dapat ditangani dengan KCl
10-20 mEq/jam dengan maksimal 200 mEq/hari. Jika kadar kalium<2
mmol/L berikan drip cepat dengan dosis hingga 40 mEq/jam (Yang dan
Pan, 2014).
Hiponatremia, yaitu kadar serum natrium di bawah 135 mmol/L, juga
dapat terjadi. Gejalanya meliputi mual, muntah, pusing, kejang, dan
penurunan kesadaran. Hiponatremia parah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebri. Pada ileus obstruktif
hal ini disebabkan oleh kebocoran cairan dari pembuluh darah karena
menurunnya volume darah dalam sirkulasi. Hal ini menyebabkan aktivasi
baroreseptor dan pelepasan vasopressin. Di sini tidak boleh dilakukan
pemberian cairan hipotonik karena bisa memperburuk hiponatremia.
Setelah operasi, hiponatremia terjadi karena SIADH yang disebabkan
oleh pemberian obat, prosedur operasi, dan nyeri. Hiponatremia pada
ileus obstruktif jenisnya adalah hipotonik karena berkurangnya volume
sirkulasi. Tatalaksananya adalah dengan infus NaCl 3% 150 cc selama 20
menit jika penurunan melebihi 10 mmol/L dari kadar normal, dan cek lagi
setelah 4 jam (Biswas dan Davies, 2007).
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. P
No. Register : 11271190
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dsn. Banjar RT 6/2, Karangan, Trenggalek
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status Pernikahan : Menikah
Tinggi Badan : 150 cm
Berat Badan : 40 kg
Tanggal MRS : 14 Januari 2016
Tanggal Anestesi : 14 Januari 2016
Lama Anestesi : 13.00 – 15.10 (2 jam 10 menit)
Diagnosa Pra Bedah : Ileus obstruktif
Jenis Pembedahan : Eksplorasi laparotomi k/p reseksi k/p stoma
Jenis Anestesi : GA intubasi
3.2 Primary Survey
A : Paten, suara napas tambahan (-), benda asing (-), massa (-)
B : Napas spontan, gerak dinding dada simetris, reguler, RR 20x/menit,
sianosis (-), retraksi (-), NCH (-)
C : Akral hangat kering merah, nadi 92x/menit reguler kuat, CRT <2 detik,
turgor kulit menurun ,TD 130/80 mmHg.
D : Alert, pupil bulat isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
Masalah:
Aktual Potensial
A: - -
B: - Sesak akibat distensi abdomen
C : Dehidrasi ringan Gangguan elektrolit, syok (hipovolemik, sepsis)
D: - -
Penanganan: B: Operasi segera untuk dekompresi.
C: Resusitasi dengan infus RL 2000 cc, yaitu 800 cc dalam
20 menit dan 1200 cc dalam 1 jam.
3.3 Persiapan Pre Operasi
3.3.1 Anamnesis Pre Operasi (14 Januari 2016)
A : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan obat-obatan
M : Selama sakit minum Antangin, 2 kali sehari
P : Tidak ada riwayat penyakit lain maupun keluhan yang sama.
L : Pasien makan terakhir pukul 06.00 tanggal 13 Januari 2016, makan
nasi dan lauk seperti biasa. 1 hari terakhir hanya minum sedikit-
sedikit, total hanya kira-kira 4 gelas.
E : Pasien mengeluh perut membesar, sulit BAB, dan tak bisa kentut
sejak 1 minggu yang lalu, disertai nyeri perut, mual dan muntah
beberapa kali, warna muntahan kekuningan. Kencing pasien juga
dirasa makin jarang dan sedikit, terakhir sekitar 6 jam sebelum MRS.

3.3.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi (14 Januari 2016)


B1 : Airway paten, tak ada benda asing, suara nafas tambahan (-), BM >
3 Jari, Mallampati I, TMD 6 cm, jejas leher (-), nyeri leher (-), massa
leher (-), trakea di tengah, leher pendek (-), gigi palsu (-), nafas
spontan 20 x/menit, reguler simetris, retraksi (-), NCH (-), suara
vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-, SaO2 99 %
B2 : Akral hangat kering merah, Nadi radialis reguler kuat 84x/menit
ictus palpable at MCL (S) ICS 5,CRT < 2’’, S1-S2 tunggal, murmur
(-), gallop (-), TD: 130/80
B3 : GCS 456, pupil bulat isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
B4 : Kateter (+), produksi urin 200 cc dalam 11 jam
B5 : BU meningkat, abdomen distensi
B6 : Edema (-), anemis (-), deformitas (-), krepitasi (-), sianosis (-)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
◦ DL : 9,6/4.690/30,0%/378.000
◦ PPT/APTT : 10.1/24.1 (dalam batas normal)
◦ OT/PT : 41/28
◦ Albumin : 2,86
◦ GDS : 72
◦ Ur/Cr : 22,0/0,46
◦ SE : 126/2,5/89

3.4.2 Pemeriksaan Lain


Gambar 3.1 Foto Polos Abdomen

Gambar 3.2 Foto Polos Thorax


Gambar 3.3 Hasil Elektrokardiogram

3.5 Laporan Anestesi Pre Operatif


 Diagnosa pra bedah : Ileus obstruktif dt suspek colon malignancy
 Assessment: ASA 3, anemia, distended abdomen suspek keganasan,
hipokalemia on koreksi
 Keadaan pra bedah (14 Januari 2016, pukul 11.00 WIB) :
o BB: 40 kg, TB: 150 cm
o N: 84 x/menit, TD: 130/80 mmHg, Tax: 36 oC
o Hb: 9.6 g/dl
o Terakhir makan tanggal 14 Januari 2016 pukul 06.00 WIB
 Jenis tindakan : Eksplorasi laparotomi k/p reseksi k/p stoma

3.6 Persiapan Pre Operatif


3.6.1 Di IGD
 Tanda tangan surat persetujuan operasi dan surat persetujuan
tindakan anestesi
 Puasa sejak pukul 03.00 WIB – 13.00 WIB (± 10 jam)
 IVFD NS 2000 cc
 Premedikasi dari TS bedah  antibiotik, drip KCl 25 mEq/jam

3.6.2 Di Kamar Operasi


 Scope → stetoskop, laringoskop
 Tubes → ETT (cuffed) kink size 7
 Airway → orotracheal airway
 Tape → plester untuk fiksasi
 Introducer → memandu ETT agar mudah dimasukkan
 Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
 Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
- Monitor : tekanan darah, nadi, pulse oximeter, EKG.
- Peralatan resusitasi dan obat emergensi : sulfas atropin, lidokain,
adrenalin, efedrin.

3.7 Durante Operatif


3.7.1 Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : General anestesi intubasi
 Teknik anestesi : GA intubasi oral sleep apneu teknik RSI
 Lama anestesi : 13.00 – 15.10 (2 jam 10 menit)
 Lama operasi : 13.30 – 14.50 (1 jam 20 menit)
 Posisi : Supine
 Infus : 2 line di tangan kanan dan kaki kiri
 Obat-obatan yang diberikan :
 Obat premedikasi sedasi :
1. Inj. Midazolam 2,5 mg IV
 Obat induksi :
1. Inj. Propofol 60 mg IV
2. Inj. Fentanyl 100 µg IV
3. Inj. Rocuronium 25 mg IV
 Obat maintenance anestesi :
1. Inh. O2
2. Inh. Isofluran

3.7.2 Pemberian Cairan


 Jam ke I : 240 cc (M+O)
 Jam ke II : 80 cc (M)  320 cc
 Cairan masuk :
 Pre operatif : NS 2000 cc
 Durante operatif : RL 500 cc
NS 500 cc
PRC 250 cc
 Cairan keluar :
 Pre operatif : urin 200 cc
 Durante operatif : urin 200 cc
perdarahan ± 300 cc
 EBV = 40 x 65 kg = 2600 cc
 ABL = 20% x EBV = 520 cc
 M = (4x10)+(2x10)+(1x20) = 80 cc/jam
 O4 = 4 x 40 = 160 cc

3.8 Post Operatif


3.8.1 Laporan Anestesi Post Operatif di Ruang Pulih Sadar
 Pasien masuk RR jam 15.30
 Keluhan pasien : mual (-), muntah (-), pusing (-)
 Pemeriksaan fisik :
B1 : Airway paten, tak ada benda asing, suara nafas tambahan (-),
BM > 3 Jari, Mallampati I, TMD 6 cm, jejas leher (-), nyeri leher
(-), massa leher (-), trakea di tengah, leher pendek (-), gigi palsu
(-), nafas spontan 20 x/menit, reguler simetris, retraksi (-), NCH
(-), suara vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-, SaO2 100% dengan
NRBM 10 lpm
B2 : Akral hangat kering merah, Nadi radialis reguler kuat 75 x/menit
ictus palpable at MCL (S) ICS 5,CRT < 2’’, S1-S2 tunggal,
murmur (-), gallop (-), TD: 122/82, IV line drip tramadol
B3 : Compos mentis, pupil bulat isokor 3mm/3mm, reflek cahaya +/+
B4 : Produksi urine (+), terpasang kateter ukuran 16 Fr, urin 500 cc
(PU = 12,5cc/kgBB/jam)
B5 : Flat, luka operasi bersih, BU (+), stoma paten, NGT (+) jernih.
B6 : Mobilitas terbatas, anemis (-), sianosis (-)

3.8.2 Monitoring
 Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, pernafasan, dan suhu
setiap 15 menit.
 Awasi pemberian cairan dan obat-obatan
 Muntah, nyeri, inisiasi makan/minum ditangani sesuai instruksi pasca
anestesi
 Berkoordinasi dengan TS Anestesi apabila nadi ≤ 50x/menit (diberi
Sulfas Atropin 0.5 mg), TD ≤ 80/50 mmHg (diberi RL/NS 500 cc/ 30
menit), RR ≤ 10 x/menit, produksi urin ≤ 0,5 cc/kgBB/jam
 Cek DL, SE, dan albumin post operasi
 Pindah ruangan jika skor Aldrete > 8 dan tidak ada nilai 0

3.9 Timeline Perjalanan Penyakit

7 Januari 2016 14 Januari 2016 (01.30)


Nyeri perut, mual Perut makin membesar, makin
muntah, sulit nyeri, hampir satu minggu
BAB, perut tak bisa BAB  ke
membesar puskesmas

14 Januari 2016 14 Januari 2016


(07.05) (02.05)
Konsul ke Dirujuk, tiba di
Anestesi RSSA

14 Januari 2016 14 Januari 2016


(07.15) (13.00)
Foto Klinis Pasien
Anestesi Operasi
menjawab ke eksplorasi
Bedah laparotomi
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Manajemen Cairan pada Kegawatan Abdomen


Pasien dengan akut abdomen cukup banyak yang datang terlambat,
karena sudah beberapa lama keluhan pasien muncul dan baru datang saat
penyakit sudah parah, misalnya ada obstruksi usus berat atau perforasi. Maka
lama penyakit penting untuk diketahui karena membantu menentukan derajat
keparahan penyakit, termasuk apakah ada komplikasi atau tidak. Komplikasi
ileus obstruktif yang paling sering dijumpai adalah gangguan cairan-elektrolit
atau sepsis. Penyebab gangguan cairan-elektrolit misalnya tidak ada asupan
oral, muntah, diare, demam, atau hilangnya cairan ke ruang ketiga (cairan tubuh
yang tidak ada di sirkulasi seperti edema, asites, dan lain-lain). Pada anamnesis,
harus ditanyakan keluhan pasien, terutama urin karena pada kekurangan cairan
terjadi oliguria dan anuria (Bojarska, 2005).
Manajemen cairan perioperatif mengganti kehilangan cairan normal
(maintenance), pengganti defisit cairan sebelum operasi, dan kehilangan selama
operasi. Pilihan cairan intravena untuk manajemen ini misalnya kristaloid, koloid,
atau kombinasi keduanya. Jenis cairan yang biasa digunakan adalah Ringer
Laktat. Ringer Laktat mengandung natrium 130 mEq/L. Ringer Laktat merupakan
cairan paling fisiologis dan memiliki efek paling sedikit pada komposisi cairan
ekstraseluler. Kehilangan darah dapat digantikan dengan RL 3 -4 kali lipat jumlah
darah yang hilang (Morgan, 2013).

4.2 Terapi Cairan Pre Operatif


Pada pasien ini ditemukan nadi radialis 92x/menit dan turgor kulit
menurun, dengan produksi urin yang menurun. Maka disimpulkan pasien
ini mengalami dehidrasi ringan dengan defisit sekitar 5% berat badan.
Tatalaksana pada pasien ini yaitu sebagai berikut.
 Defisit cairan: 5% x 40 kg = 2 kg ~ 2000 cc
 Resusitasi awal  20ml/kgBB dalam 20-30 menit: 20 x 40 kg = 800 cc
dalam 20-30 menit, lalu diobservasi.
 Saat secondary survery denyut nadi menjadi 88x/menit  sisa defisit
1200 cc diberikan dalam 1 jam, kemudian diberikan cairan maintenance.
4.3 Terapi Cairan Intraoperatif
Cara yang paling umum dan mudah untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran dengan wadah dan perkiraan pada kasa yang
menyerap darah (kasa kecil ±10 cc dan kasa besar ±75 cc). Pada pasien ini,
perdarahan durante operasinya sekitar 300cc. Sedangkan kebutuhan
maintenance dapat diperkirakan dari tabel berikut.
Berat Badan Kebutuhan Cairan
Untuk 10 kilogram pertama 4 mL/kg/jam

Untuk 10-20 kg selanjutnya Tambahkan 2 mL/kg/jam

Untuk setiap kg diatas 20 kg tambahkan 1 mL/kg/jam

Gambar 4.1 Kebutuhan cairan maintenance (Morgan, 2012)


Puasa pra operasi menyebabkan defisit cairan. Defisit ini dihitung
dengan rumus perkalian kebutuhan cairan maintenance dengan lama
puasa dalam hitungan jam. Kebutuhan cairan maintenance pada pasien
ini adalah (4x10)+(2x10)+(1x20) = 80 cc/jam.
Estimated Blood Volume (EBV), yaitu berat badan dikalikan
konstanta rerata volume darah, pada pasien ini adalah 40 kg x 65
ml/kgBB = 2600 ml. Allowed Blood Loss (ABL), yaitu (hemoglobin awal –
hemoglobin terendah yang diperbolehkan) x EBV / hemoglobin awal,
dapat juga didefinisikan sebagai 20% dari EBV. Pada pasien ini ABL
adalah 20% x 2600 mL = 520 mL.
Kehilangan cairan intraoperatif juga dapat terjadi karena evaporasi
dan distribusi ke ruang ketiga. Kehilangan ini diperkirakan dari jenis
operasinya.

Additional Fluid
Degree of Tissue Trauma
Requirement
Minimal (eg, herniorrhaphy) 0–2 mL/kg

Moderate (eg, cholecystectomy) 2–4 mL/kg

Severe (eg, bowel resection) 4–8 mL/kg

Gambar 4.2 Kehilangan cairan secara distribusi ke ruang ketiga dan evaporasi
(Morgan, 2012)
Operasi ini termasuk operasi besar sehingga menggunakan konstanta 4
cc/kg. Jadi O4 pasien adalah 4 cc x 40 kg = 160 cc, sehingga selama
operasi pasien mendapat cairan 240 cc/jam (M+O4 = 80cc+160cc = 240
cc) selama 2 jam. Karena anestesi berlangsung 2 jam dan operasi
berlangsung 1 jam, maka kebutuhan cairan selama operasi adalah
sebagai berikut.

Kebutuhan maintenance : 80 cc/jam x 2 jam = 160 cc


Penguapan : 160 cc/jam x 1 jam = 160 cc
Perdarahan 300 cc : = 900 cc +
1220 cc

Input cairan durante operasi: RL 500 cc, NS 500 cc, dan PRC 250 cc.
Pada pasien ini kebutuhan cairan pengganti puasa sudah
diberikan saat preoperatif. Selama pembedahan, kebutuhan cairan total
adalah 1220 cc. Pada pasien ini, diberikan input cairan total 1250 cc.
Karena pasien mendapatkan input cairan yang lebih banyak dari
kebutuhan, maka produksi urin pasien sebanyak 200 cc apabila
dikonversikan kurang lebih 2 cc/kgBB/jam.

Kristaloid biasa digunakan untuk resusitasi awal pada pasien.


Yang paling sering digunakan adalah Ringer Laktat. Secara umum cairan
ini memiliki efek paling kecil pada komponen cairan ekstraseluler dan
menjadi cairan paling fisiologis (Morgan and Mikhail, 2013).
Kristaloid memiliki paruh waktu di intravaskuler 20-30 menit,
sedangkan koloid mampu bertahan selama 3-6 jam. Indikasi penggunaan
koloid meliputi resusitasi pada defisit cairan intravaskular berat (seperti
syok hipovolemik karena perdarahan) sebelum transfusi dan pada
hipoalbuminemia berat atau kondisi kehilangan protein seperti luka bakar.
Koloid yang biasa digunakan adalah hydroxyethyl starch (HES), turunan
dari glikopektin (Morgan dan Mikhail, 2013).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pasien adalah seorang wanita usia 62 tahun yang mengeluhkan
nyeri perut kanan, mual, muntah, susah kentut dan BAB selama 1
minggu. Pasien diperiksakan ke puskesmas, didiagnosa ileus obstruktif
kemudian dirujuk ke RSSA. Kemudian dilakukan eksplorasi laparotomi
dan pemasangan stoma pada pasien ini. Tindakan anestesi pada pasien
ini adalah general anestesi dengan intubasi.
Manajemen cairan dan elektrolit pada ileus obstruktif sangat penting
karena, seperti pada pasien ini, ada gangguan sistem pencernaan
sehingga asupannya tidak mencukupi. Gangguan ini juga dapat terjadi
pasca operasi dan harus dievaluasi secara teliti serta dilakukan
tatalaksana seperti halnya jika terjadi sebelum operasi. Pada pasien ini
terjadi komplikasi berupa hipokalemia dan dikoreksi dengan drip KCl 25
mEq/jam.
Manajemen cairan perioperatif pada pasien ini adalah resusitasi
pre operatif untuk menangani dehidrasi yang ada dengan pemberian
kristaloid 800 cc dalam 20 menit dilanjutkan dengan 1200 cc dalam 1 jam.
Setelah resusitasi diberikan maintenance dengan kristaloid 80cc/jam.
Selama pembedahan, cairan yang diberikan bertujuan untuk rumatan
sebesar 80cc/jam selama 2 jam, mengganti penguapan 160cc/jam
selama 1 jam, serta mengganti perdarahan 300 cc. Cairan intravena
masuk pada pasien ini selama pembedahan adalah Ringer Laktat 500 cc,
NaCl 0,9% 500 cc dan PRC 250 cc. Produksi urine sebesar 2
cc/kgBB/jam durante operasi mengindikasikan jumlah cairan yang
diberikan lebih banyak dari yang dibutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Angus DC, van der Poll T. 2013. Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med;
369: 840-85

Arya RC, Wander G, Gupta P. 2011. Blood component therapy: Which, when and
how much. Journal of Anaesthesiology, Clinical Pharmacology, 27(2),
278–284.

Biswas M, Davies JS. 2007. Hyponatraemia in clinical practice. Postgrad Med J;


83(980): 373–378

Bojarska, 2005. Fluid Management in Emergency Laparotomy in Rural Hospitals


in South Africa. Update in Anaesthesia (online) http://e-safe-
anaesthesia.org/e_library/05/Fluid_management_for_emergency_laparot
omy
in_rural_hospitals.pdf

Brunicardi FC. 2005. Bowel Obstruction. Dalam: Schwartz Principles of Surgery,


8th edition. McGraw-Hill Companies. New York. Chapter 8: 675-678.

Faradila, N. 2009. Ileus obstruksi. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

Farquharson M, Hollingshead J, Moran B. 2014. Farquharson's Textbook of


Operative General Surgery, 10th Edition

Fiedberg, B. and Antillon, M. Small-Bowel Obstruction. Editor: Vargas, J., Windle,


W.L., Li, B.U.K., Schwarz, S., and Altschuler, S.
http://www.emedicine.com. Terakhir diperbaharui 29 Juni 2004.

Guyton A.C., Hall J.E. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC

Hahn, et.al. 2007. Perioperative Fluid Therapy. Informa Health Care: New York.

Helton WS, Fisichella PM. 2004. Intestinal Obstruction. Dalam: ACS Surgery:
Principles and Practices. WebMD Inc, 4: 5-10

Hughes E. 2005. Caring for the patient with an intestinal obstruction. Nursing
Standard. 19, 47, 56-64

Jackson GP, Raiji M. 2011. Evaluation and Management of Intestinal Obstruction. Am


Fam Physician. 83(2):159-165

Khan AN, et al. 2009. Small bowel Obstruction. England: North Manchester Penine

Kujath P et al. 2010. Complicated skin, skin structure and soft tissue infections - are
we threatened by multi-resistant pathogens?. European Journal of Medical
Research, 15:544-553
Levine, B.A., and Aust, J.B. 1992. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar
Bedah Sabiston’s essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa:
Andrianto, P., dan I.S., Timan. Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC,

Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2013. Clinical Anesthesiology. 4 th


Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Price, S.A. 1994. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor:


Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline.
Jakarta: EGC

Saunders MD. 2007. Acute colonic pseudo-obstruction. Best Pract. Res, Clin.
Gastroenterol; 21(4): 671- 87

Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hal: 623

Stephenson, James A. et al. 2011. Intestinal obstruction. Surgery: Oxford


International Edition. Vol 29: 1, 33-38

Subramaniam R. 2008. A Primer of Anesthesia. Jaypee Brothers Publishers

Sutton, David. 2003. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Edisi 7.


London: Churchill Livingstone

Yang XF, Pan K. 2014. Diagnosis and management of acute complications in


patients with colon cancer: bleeding, obstruction, and perforation. Chin J
Cancer Res; 26(3): 331–340.

Zinner M., Ashley S. 2007. Maingot’s Abdominal Operations. 11th edition. Mc


Graw-Hill Companies.New York. Chapter 17: 1301-1351

Anda mungkin juga menyukai