Anda di halaman 1dari 8

SELAT MURYO (MURIA) : LAUT YANG DITELAN BUMI

Siapa sangka bahwa Pantura Demak – Pati itu adalah bekas laut? Mungkin tidak ada yang
pernah mengira sebelumnya. Tapi suatu keanehan terjadi di fenomena alam lokal, di sepanjang
daerah Demak ke timur yang terletak di sekitar jalan pantura, jika menggali sumur bor lebih dari
20 meter bisa dipastikan airnya asin[1]. Lha kok bisa? Kita tidak bisa menduga bila tidak ada
kajian geologis dan historis mengenai struktur tanah di daerah tersebut. Ternyata fenomena air
asin ini tidak hanya di temukan di daerah Demak saja. Fenomena ini juga terjadi sampai di
daerah Kuwu, wilayah Kabupaten Grobogan. Daerah Kuwu ini terdapat geyser[2] yang selalu
menyemburkan lumpur panas dan mempunyai kadar garam yang sangat tinggi, sehingga bisa
dibuat garam. Tidak hanya itu, di Bukit Pati Ayam ditemukan fosil-fosil kerang yang
menandakan bahwa sejak jaman Purba (lebih tepatnya di jaman Pleistosen) daerah tersebut
adalah pantai.
Struktur tanah di Demak, terutama di sekitar jalan pantura sedikit berbeda dengan tanah
di daerah lain. Tanahnya berwarna hitam pekat, empuk dan berupa tanah lempung, menandakan
sturktur tanah aluvial (tanah endapan lumpur) di daerah delta sungai. Struktur tanah ini sangat
subur dan sangat baik untuk daerah pertanian. Sehingga penduduk di daerah tersebut paling
banyak berprofesi sebagai petani dengan hasil pertanian yang utama adalah padi, dan Demak
dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Tengah.
Berdasar keadaan topografis Demak terbagi dalam 3 sub bagian yaitu:
1. Sub A dengan ketinggian 0-3 meter meliputi sebagian Kecamatan Bonang, Demak,
Karangtengah, Mijen, Sayung dan Wedung.
2. Sub B dengan ketinggian 3-100 meter meliputi Kecamatan Dempet, Karangawen, Mranggen,
Wonosalam, Guntur, Gajah, Karanganyar dan beberapa dari sebagian kecamatan-kecamatan di
wilayah sub A.
3. Sub C dengan ketinggian lebih dari 100 meter meliputi sebagian kecil Kecamatan Karangawen
dan Mranggen.
Berdasarkan drainase permukaan tanah terbagi dalam daerah tanah yang tidak tergenang
72,85%, daerah yang kadang-kadang tergenang 23,85%, dan daerah yang tergenang sepanjang

[
tahun 3,32%.[2] sedangkan untuk daerah Pati dan Kudus presentasi untuk tanah alluvial cukup
tinggi, daerah Kudus 8%, sedangkan daerah Pati 40,82%[3].
Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa sebagian wilayah Demak-Pati yang sekarang
menjadi jalan pantura utama di abad 15 M masih berupa selat yang berupa Selat Muryo (Selat
Muria). Selat ini memisahkan antara Pulau Jawa dengan Pulau Muryo (Muria). Pulau Muryo
adalah sebuah pulau yang sekarang menjadi kawasan Pegunungan Muria ke utara sampai ke
Jepara. Hal ini bermula dari pencarian tentang lokasi pusat Kerajaan Demak yang diindikasikan
tidak jauh (lebih tepatnya berada di tepi) dari pantai. Namun proses sedimentasi[4] yang semakin
terasa mulai dari abad 17. Sekarang hasilnya menjadi daratan utuh dan menjadi tanah aluvial
yang subur sebagai tanah pertanian.

Bukti-bukti fisik
Bukti-bukti fisik yang menandakan wilayah Demak-Pati merupakan bekas laut adalah air
tanah yang rasanya asin. Sebenarnya tidak asin benar, tapi asin air payau. Kemudian struktur
tanah yang berupa tanah lempung yang berwarna hitam pekat dan sangat subur untuk daerah
pertanian, merupakan tanah endapan sungai. Hal ini sangat dimungkinkan karena mengalir
beberapa sungai yang membawa debit air yang cukup besar, yaitu Kali Serang, Kali Juwana dan
Kali Tuntang. Namun semua sungai itu telah mengalami pendangkalan sehingga semakin sempit
dan dangkal. Selain itu juga ditemukannya kadar garam yang cukup tinggi di daerah Kuwu yang
berupa geyser dengan kadar garam yang cukup tinggi sehingga bisa dibuat garam.
Selain bukti fisik yang dapat diketahui sekarang, juga terdapat bukti-bukti kesejarahan.
Bukti kesejarahan yang menandakan bahwa pernah ada yang namanya Selat Muria adalah
catatan dari jaman Susuhunan Pakubuwono I yang menyatakan bahwa pernah ada penggalian
1657 oleh Tumenggung Pati untuk menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, sehingga
Juwana dapat menjadi pusat perdagangan. Boleh jadi, ia ingin memulihkan jalan air lama, yang
seabad sebelumnya masih bisa dipakai untuk memperdalam selat dari Demak sampai Pati. Pada
abad ke-17, selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang
tergenang air, mulai dari Jepara sampai Pati, di tepi Sungai Juwana[5].

[
Ada beberapa cerita rakyat yang bisa menjadi sumber tentang keberadaan selat itu, yaitu
tentang nama-nama desa di kawasan Kabupaten Kudus. Misal nama Undaan, sebuah kecamatan
yang terlatak di barat daya Kabupaten Kudus. Kata Undaan berarti undak-undak, karena menurut
cerita rakyat dulunya adalah pantai yang berbentuk sseperti tlundakan (anak tangga). Ada juga
nama desa Tanjung Karang yang terletak di sebelah utara Kecamatan Undaan. Menurut cerita
rakyat desa ini dulunya berupa pantai semenanjung yang terdiri dari karang-karang.[6]
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Demak dulu berlokasi di tepi laut, tetapi sekarang
jaraknya dari laut sampai 30 km, dapat diinterpretasikan dari peta genangan air yang diterbitkan
Pemda Semarang. Peta genangan banjir dari Semarang sampai Juwana ini dengan jelas
menggambarkan sisa-sisa rawa di sekitar Demak sebab sampai sekarang wilayah ini selalu
menjadi area genangan bila terjadi banjir besar dari sungai-sungai di sekitarnya. Dari peta itu
dapat kita perkirakan bahwa lokasi Pulau Muryo ada di sebelah utara Jawa Tengah pada abad ke-
15 sampai 16. Demak sebagai kota terletak di tepi sungai Tuntang yang airnya berasal dari Rawa
Pening di dekat Ambarawa.

Gbr 1. Selat Muria. Sumber : google.com

Laut Purba
Ternyata Selat Muria sudah ada sejak zaman Pleistosen. Hal ini ditandai dengan adanya
penemuan-penemuan fosil-fosil binatang laut purba yang ditemukan di situs pati Ayam yang
berlokasi di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Bukit Pati Ayam merupakan
bagian dari Gunung Muria. Luasnya mencapai 2.902,2 hektar, yang tersebar di wilayah
Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus ( 1.573,5 hektar) dan di wilayah Kecamatan Margorejo,
Gembong, Tlogowungu Kabupaten Pati, 1.328,7 hektar. Secara morfologi menurut Yahdi Zaim
dari Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Perbukitan Pati Ayam merupakan kubah (dome)

[
dengan puncak ketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Batuannya berumur sekitar 1 juta
hingga 700.000 tahun atau pada masa plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia
purba (homo erectus). Jenis-jenis fosil binatang laut purba yang ditemukan antara lain adalah dua
buah fosil kerang raksasa yang diperkirakan berumur satu juta hingga 700.000 tahun. Fosil ini
masih cukup lengkap, mulus, berukuran lebar sekitar 30 cm, sehingga dengan mudah dikenali
sebagai bentuk kerang laut, namun ukurannya antara tujuh hingga sepuluh kali lipat dengan
kerang yang ada sekarang pada umumnya[7]. Ini menandakan bahwa wilayah perbukitan Pati
Ayam dulunya adalah pantai yang menjorok ke laut.

Gbr 2. Fosil Kerang Laut di museum Pati Ayam. Sumber : dokumen pribadi

Asumsi Adanya Selat Muria


Dalam menelisik keberadaan Selat Muria, bermula dari upaya pencarian lokasi asli istana
Kerajaan Demak Bintoro yang masih sampai saat ini masih menjadi misteri dengan tidak adanya
bukit konkret kesejarahan. Yang ada hanyalah bukti-bukti kronologi melalui nama-nama
perkampungan di sekitar kota Demak. Misalnya nama Kampung Sitinggil [8] (sekarang berlokasi
di sebelah barat daya alun-alun Demak kearah Semarang, tepatnya di belakang SMP N 2
Demak), kampung Kauman (perkampungan di sebelah Masjid Agung Demak), Betengan,
Pungkuran, Sampangan Mangunjiwan dan lain-lain. lokasi istana Kerajaan Demak diprediksi
berdasar asumsi tentang tata letak ibukota berdasar filosofi Jawa, yaitu sebelah barat alun-alun
adalah masjid, sebelah utara adalah pasar (tempat perniagaan), sebelah timur yang berhadapan

[
dengan masjid adalah tempat penahanan, sebelah selatan adalah istana yang menghadap ke arah
utara/laut. Dengan melihat filosofi demikian timbul asumsi bahwa letak Kerajaan Demak
pastilah tidak jauh dari laut, karena fakta bahwa letak Kota Demak sekarang berada 30 Km dari
tepi laut. Jadi ada dugaan kuat bahwa letak pusat Kerajaan Demak tentulah tidak jauh dari laut
guna untuk pengawasan pelabuhan Demak, mengingat bahwa Demak adalah negara maritim
yang menguasai perdagangan Laut Jawa waktu itu.

Pendapat Para Sejarawan Mengenai Keberadaan Selat Muria


Seperti yang telah disinggung di muka, para ahli menerangkan bahwa munculnya nama
Selat Muryo juga berawal dari literatur-literatur pencarian lokasi pasti keberadaan pusat Kerajaan
Demak. Mohammad Ali, dalam bukunya “Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia
Tenggara” (1963), menguraikan terjadinya Kerajaan Demak. Dalam tulisannya diceritakan
bahwa pada suatu peristiwa Raden Patah/Jin Bun[9] diperintahkan oleh gurunya, Sunan
Ampel[10] dari Surabaya, agar merantau ke barat dan bermukim di sebuah tempat yang
terlindung oleh tanaman gelagah[11] yang berbau wangi. Tanaman gelagah yang rimbun tentu
hanya subur di daerah rawa-rawa. Raden Patah kemudian menemukan lokasi itu di daerah rawa
di tepi selatan Pulau Muryo (Muria), yaitu suatu kawasan rawa-rawa besar yang menutup laut
atau lebih tepat sebuah selat. Di situlah ditemukan gelagah wangi dan rawa, kemudian oleh
Raden Patah dibangun sebuah perkampungan dan menjadi basis kekuatan. Tempat tersebut
dinamai Raden Patah sebagai “Demak”. [12]

Menurut Slamet Muljana (1983), dalam bukunya “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur
Majapahit”, hutan di Gelagah Wangi itu dibuka dan dijadikan tempat hunian baru berrnama
“Bintara”. Dari nama wilayah baru itulah Raden Patah/Jin Bun, terkenal sebagai Pangeran
Bintara. Daerah itu sangat subur dan strategis untuk menguasai pelayaran di pantai utara. Jin Bun
berkedudukan di Demak dan juga menjadi ulama sesuai pesan gurunya, Sunan Ampel. Wilayah
ini adalah pemberian dari Raja Majapahit waktu itu, yaitu Brawijaya Kerthabumi yang juga
merupakan ayah dari Raden Patah. Ia mengumpulkan para pengikutnya baik dari masyarakat

[
Jawa maupun Cina, terutama saat Raden Patah berhasil menguasai Semarang. Setelah basis
kekuatannya menjadi semakin besar, Raden Patah menyerang Majapahit.[13]

De Graaf dan Th. Pigeaud (1974), dalam bukunya “De Eerste Moslimse
Voorstendommen op Java”, punya keterangan tentang lokasi Demak. Letak Demak cukup
menguntungkan bagi kegiatan perdagangan maupun pertanian. Selat yang memisahkan Jawa
Tengah dan Pulau Muryo pada masa itu cukup lebar dan dapat dilayari dengan mudah, sehingga
dari Semarang melalui Demak perahu dapat berlayar sampai Rembang. Baru pada abad ke-17
selat ini tidak dapat dilayari sepanjang tahun, hanya dapat dilayari oleh perahu-perahu kecil
sampai di tepi Sungai Juwana. Pada tahun 1657, Tumenggung Pati mengumumkan bahwa ia
bermaksud memerintahkan menggali terusan yang menghubungkan Demak-Pati dengan tujuan
Juwana dapat dijadikan pusat perniagaan[14].

Tom Pires juga menceritakan, bahwa abad 16, Demak adalah pusat penyimpanan beras
yang berasal dari sepanjang Selat Muryo. Demak terletak dan Jepara terletak di sebelah barat
muara selat tua, sedangkan Kotanegara Pati dan Juwana berada di sebelah timur. Juwana semula
adalah kota dagang yang disebut Pires dengan nama Cajongam. Pada tahun 1513 Juwana
dihancurkan oleh Manggala Yuda (tentara) Majaphit, kemudian Demak beralih menguasainya.

Namun mulai dari abad 17, proses sedimentasi yang berlangsung terus menerus
menghasilkan daratan utuh yang menyatukan antara Pulau Jawa dengan Pulau Muryo. Tanah
alluvial yang dihasilkan merupakan tanah gerak yang labil namun subur untuk daerah pertanian.
Hal yang menjadi pertanyaan sekarang adalah seberapa dalam Selat Muryo jaman dulu itu,
bagaimana bisa sebuah selat yang cukup lebar bisa lenyap ditelan sedimentasi dan menjadi
daratan utuh. Fenomena ini menjadi menarik jika melihat banyak daratan yang hilang ditelan
laut, tapi mengapa laut ini yang ditelan daratan. Belum ada penelitian yang mampu menunjukkan
berapa kecepatan sedimentasi yang berlangsung selama beberapa abad itu. Dari abad 15 selat itu
masih dilalui kapal besar sedangkan di jaman Deandels (dekade pertama abad 19) di gempur
sebagai jalan raya pos (jalur Anyer-Panarukan) melalui kerja rodi[15] yang menewaskan ribuan
orang. Dari semua itu hanya ada satu hal yang bisa kita ketahui, bahwa keberadaan selat itu

[
merupakan suatu bagian sejarah yang terlupakan dan terabaikan. Sebagaimana Selat Muria,
sebuah laut yang ditelan bumi, turut hilang pula sejarah yang menyertainya.
DAFTAR PUSTAKA

________. 1994. Potensi Wisata Jawa Tengah Berwawasan Lingkungan. Klaten: CV Sahabat
Anshoriy, Nasrudin HM, Dri Arbaningsih. 2008. Negara Maritim Nusantara. Jogja: Tiara
Wacana
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam
di Nusantara. Jogja : LkiS
geologi.iagi.or.id. diunduh tanggal 28 Mei 2011, pukul 21:33WIB.
www.patiayam.com/ diunduh tanggal 27 Mei 2011 pukul 21.45 WIB
www.suaramerdeka.com/ cetak 6 Maret 2008. Diunduh tanggal 27 Mei 2011, pukul 22.00WIB.

Anda mungkin juga menyukai